Senin, 22 April 2013
Civil Society & Partai Politik dalam Demokratisasi di Indonesia
Aditya
Perdana
1.
Pendahuluan
Selama 11 tahun
paska runtuhnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru, politikIndonesia telah
mengalami perubahan dan dinamika sosial politik yang dramatis.Diawal masa
Reformasi, euphoria kebebasan politik telah memberi celah
munculnyakekuatan-kekuatan politik baru yang selama masa Orde Baru tidak
dimungkinkanterjadi.Pembatasan jumlah partai politik di era Orde Baru telah
berubah menjadi eramulitpartai pada Pemilu 1999 dan pemilu-pemilu selanjutnya.[i]Kekuatan
organisasimasyarakat lainnya seperti LSM ataupun organisasi yang sejenis juga
meningkatjumlahnya secara drastis bila dibandingkan dengan masa Orde Baru.[ii]
Di samping itu,
perubahan kelembagaan politik setelah Reformasi jugamengalami perubahan,
seperti adanya penguatan lembaga-lembaga politik (eksekutif,legislative dan
yudikatif) dalam peran-perannya dan juga mekanisme proceduralseperti pemilihan
umum yang lebih transparan dan adil bagi semua pihak. Aspekdesentralisasi juga
menjadi salah satu perubahan penting dalam tatanan kehidupansocial politik di
Indonesia karena kekuatan dan pergeseran politik di tingkat local punmenjadi
lebih dinamis.Perubahan kelembagaan dan prosedur di dalam tatanan politiktelah
menjadi salah satu aspek penting yang terjadi dalam masa demokratisasi
diIndonesia.Namun demikian, dalam beberapa hal perubahan tersebut juga
membawadinamika yang menarik untuk diperhatikan lebih dalam, semisal yang
terjadi di civilsociety dan juga partai politik.Kedua elemen ini dianggap oleh
kalangan ilmuwanpolitik sebagai kekuatan yang mendorong dan mengarahkan
jalannya demokratisasidi sebuah Negara.
Tumbuh dan
kembangnya civil society setelah Orde Baru runtuhmenimbulkan sebuah harapan
baru yakni munculnya sebuah kekuatan yang pentingdalam mendorong gerakan
pembaharuan politik di Indonesia.Pada saat yangbersamaan, struktur politik yang
lebih terbuka dan memberi kesempatan yang lebihluas adalah keuntungan yang
dimanfaatkan oleh kelompok civil society di Indonesia.Akibatnya arena politik
seperti negosiasi dan lobi dengan penguasa politik yang duludianggap sebagai
sesuatu hal yang dihindari oleh para aktornya, menjadi factor penting yang
harus dipertimbangkan kembali.Maka tidaklah heran bila saat ini,beberapa aktor
civil society lebih memilih bergabung dengan partai politik danbersedia untuk
dicalonkan sebagai anggota legislative dalam pemilu 2009 yang lalu.
Sementara itu,
keberadaan partai politik yang ada saat ini juga masihmenyisakan banyak
pertanyaan.Pada satu sisi, kekuatan partai politik adalah sebuahkeharusan
sebagai instrumen penting dalam proses-proses politik. Namun di sisi
lain,perilaku para politisi dan pengurus partai yang belum menunjukkan
sikapprofesionalitasnya dalam hubungan dengan konstituen ataupun dalam
pembuatankebijakan adalah persoalan serius yang masih dihadapi. Bahkan citra
partai politiksecara keseluruhan di mata masyarakat juga tidaklah baik karena
para politisinyatelah menodai dengan perilaku yang buruk.[iii]
Dalam konteks
relasi pembuatan kebijakan publik, civil society dan partaipolitik di Indonesia
mulai terbangun hubungan yang saling menghargai, menghormatidan memahami
keberadaan akan perannya dalam kehidupan politik. Meski awalnyakalangan civil
society menganggap bahwa para politisi di lembaga legislatif tidakmampu
menghasilkan produk perundangan yang substansial, namun belakangankalangan
civil society menyadari bahwa keterbatasan peran dan aktivitasnya
dalammempengaruhi proses pembuatan kebijakan tidak akan berarti tanpa kehadiran
partaipolitik yang mengisi lembaga legislatif. Sebaliknya, partai politik juga
memahamibahwa salah satu tugas civil society adalah memberi masukan yang
konstruktif dalam proses tersebut. Namun demikian, hubungan ini tidaklah mudah
dicapai karena prosespolitik yang penuh negosiasi adalah penghalang utama bagi
terciptanya hubunganyang kondusif.
Keterbatasan
ruang dan peran yang dimiliki oleh aktor civil society dalammendesakkan
agenda-agenda perubahan yang lebih berorientasi kepentingan rakyat,telah
merubah pola gerakan yang diinginkan oleh para aktivis gerakan sosial.Awalnya
gerakan ekstra parlemen adalah sebuah pilihan yang dilakukan oleh paraaktor
civil society.Namun belakangan, para aktor civil society menyadari bahwasalah
satu ketidakefektifan gerakan ini dikarenakan keterbatasan yang dimiliki
olehcivil society yaitu hanya menjadi kelompok penekan bukan kelompok penentu
dalamlembaga legislatif.Oleh karenanya, beberapa aktor civil society merasa
adakebutuhan yang mendesak untuk menjadi bagian di dalam lembaga legislatif.
Artinyaperubahan peran dari civil society dengan fokus sebagai penekan menjadi
perankelompok yang menentukan dalam proses kebijakan yaitu partai politik.
Maka, dalamdua pemilu terakhir (2004 dan 2009), terdapat banyak nama aktor
civil society yangikut bertarung dalam pemilu legislatif nasional (DPR dan DPD)
ataupun DPRD.Dalam konteks itu, para aktor civil society yang ikut serta dalam
pemilu DPR danDPRD telah berpindah menjadi aktor partai politik.
Salah satu
masalah mendasar yang dihadapi dalam pelembagaan politik diIndonesia adalah
penguatan akan lembaga-lembaga itu sendiri, terutama di kalangancivil society
dan partai politik. Partai politik di Indonesia masih lemah dalam
kontekspenguatan kelembagaan secara internal dan juga kapasitas dalam proses
pembuatankebijakan publik. Sementara itu, civil society pun juga lemah dalam
membangunkekuatan politik yang signifikan, baik di tingkat nasional ataupun di
tingkat lokal.
Fokus makalah
ini adalah mendiskusikan kondisi civil society dan partaipolitik dalam era
demokratisasi yang tengah dijalankan di Indonesia. Ada duapertanyaan yang ingin
diarahkan dalam makalah ini: pertama, dalam masademokratisasi ini, peran civil
society (terutama dari kalangan Organisasi NonPemerintah) dan partai politik
adalah penting. Namun demikian, relasi keduanyatidaklah semudah yang
dibayangkan. Dilihat dari arena politik yaitu dalam prosespembuatan kebijakan
publik dan pertarungan di dalam pilkada, bagaimana kondisicivil society dan
partai politik? Kedua, bagaimana usaha pengembangan relasi yangkonstruktif
antara civil society dan partai politik ke depan? Dua hal inilah yang
akandibahas dalam makalah yang singkat ini.
2.
Civil Society dan Partai Politik dalam Ranah teoritis
Diskusi mengenai
civil society terbagi dua pandangan.Ada sebagian yangberpandangan bahwa civil
society memiliki keterikatan yang erat dengan Negara,termasuk dalam hal ini
dengan partai politik.[iv]Negara,
termasuk apparatus dankebijakannya, merupakan bagian dari konsep sebuah
masyarakat politik yang dicitacitakan.
Sebaliknya,
civil society merupakan sebuah ranah masyarakat yang terpisahdengan ranah
Negara karena dalam peran dan fungsinya yang lebih bebas danmerdeka dari
intervensi Negara.[v]
Civil society adalah kelompok masyarakat yangmemiliki kemandirian yang tegas
terhadap berbagai kepentingan akan kekuasaan.Yang tidak kalah penting dalam
konsep civil society adalah adanya partisipasi aktif darisemua warga negara
baik yang tergabung dalam berbagai perkumpulan, organisasi ataukelompok lainnya
sehingga akan membentuk karakter demokratis di lembaga tersebut.[vi]
Sementara itu,
konsep partai politik sebagai sebuah kelompok atau organisasidi dalam
masyarakat berbeda dengan apa yang telah disebutkan dalam civil society.Menurut
Sartori yang dikutip oleh Miriam Budiarjo, definisi partai politik adalahsuatu
kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihanumum itu
mampu menempatkan calon-calonmnya untuk menduduki jabatan publik[vii].Dalam
pengertian itulah maka partai politik berbeda dengan civil society
terutamadalam aspek usaha meraih kekuasaan politik melalui jalur pemilihan
umum.Meskikeduanya juga memiliki kesamaan dalam usaha untuk berkontribusi
terhadapkepentingan publik.
Dalam konteks
kebijakan, partai politik memiliki fungsi untukmengagregasikan atau
merepresentasikan berbagai macam kepentingan danmenegosiasikan semua
kepentingan tersebut menjadi sebuah kebijakan negara.Sebaliknya, civil society berperan
untuk menuntut dan mengkritik terhadap kebijakanpemerintah, namun sayangnya
kelompok ini tidak bisa mengimplementasikan kritiktersebut dalam hal yang
kongkrit.[viii]
relasi ini sebenarnya terbangun dalam membangunkepentingan akan lahirnya sebuah
kebijakan publik.
Sementara itu,
dalam konteks yang lebih mikro, relasi para aktor civil societydan para
politisi terlihat dalam berbagai kerjasama. Para politisi di DPR,
misalkan,mendukung apa yang disampaikan oleh civil society mengenai satu isu
tertentu.Dalam kesempatan yang berbeda, para aktor civil society juga mendorong
partaipolitik untuk lebih terbuka, transparan dan membuka komunikasi yang
intensifdengan berbagai kelompok masyarakat, terutama di daerah pemilihannya.
Di belahan benua
Eropa, partai politik juga mengalami situasi yang tidakmenguntungkan yakni
ketidakpercayaan ataupun alieanasi dari publik.Salah satupenyebabnya adalah
makin melemahnya ikatan antara konstituen dengan partaipolitik, termasuk salah
satunya adalah ikatan keagamaan ataupun kekeluargaan didalam partai.Yang
menarik adalah menguatnya isu-isu sosial kemasyarakatan dikalangan masyarakat
yang kemudian mengikat kelompok-kelompok tersebut menjadisebuah kepentingan
bersama yang diperjuangkan. Dalam perjalanannya, kelompokini dimungkinkan untuk
menjelma sebagai partai politik seperti partai-partai Hijau di beberapa negara
Eropa.[ix]
Indikasi
melemahnya partai politik dan menguatnya civil society jugaditemukan di
AmerikaLatin ataupun beberapa negara Asia, manakala civil societytelah
berkontribusi untuk memberi bantuan yang memadai bagi pengembangan danpenguatan
kelembagaan partai politik, seperti pengembangan kader-kader partaiterutama
dalam berhubungan dengan konstituen atau merumuskan platformpembangunan yang
akan diarahkan. Artinya, civil society juga memiliki kemampuandalam
memobilisasi dukungan publik menjadi sebuah kebijakan publik.Sayangnya,civil
society memiliki keterbatasan, terutama untuk mengambil perandalam politik
yaitu berada di dalam arena pemutus kebijakan.
Padahal dalam
negara yang sedang mengalami transisi demokrasi, kehadiranpartai politik dan
civil society adalah bagian yang tidak bisa dianggap remeh.Linzdan Stepan
menyatakan bahwa kehadiran civil society dan partai politik adalahbagian yang
penting untuk menciptakan konsolidasi demokrasi, selain juga kehadiranbirokrasi
yang efektif, kehadiran masyarakat ekonomi yang juga kondusif dan taatnyaaturan
terhadap hukum secara bersama-sama.[x]Kehadiran
civil society yang dijaminkebebasannya juga menopang bagi keberlangsungan
partai politik, terutama untukmenghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak
kepada masyarakat.Tugas civilsociety adalah menghasilkan gagasan-gagasan yang
konstruktif dalam pembangunan dan juga memonitor aparat negara serta
kelompok-kelompok ekonomi. Sementara itu,tugas partai politik adalah
menghasilkan dan membentuk konstitusi dan aturan-aturanperundang-undangan,
mengontrol aparat birokrasi dan juga menghasilkan produkprodukkerangka
kebijakan bagi semua pihak, termasuk kelompok ekonomi.[xi]
3.
Model Relasi Partai Politik dan Civil Society
Untuk memahami
relasi yang terjadi antara partai politik dan civil society,Beavis melihat ada
tiga hal mendasar yaitu (1) tipe dari aktivitas yangmenghubungkan partai
politik dan civil society; (2) kekuatan dari hubungan tersebut,terlebih dalam
konteks seberapa dekat dan eksklusif hubungan tersebut dibangun; dan(3) arah
dari pengaruh dalam relasi tersebut.[xii]
Dalam model-model ini yang nantinyaakan menarik akan didiskusikan secara lebih
mendalam.
Ada beberapa
aktivitas yang dilakukan oleh civil society dan partai politiksecara
bersama-sama, dimana lebih banyak fokus dalam konteks pembuatankebijakan publik
seperti advokasi atau lobi terhadap suatu isu yang sedang dibahasdalam proses
pembuatan undang-undang. Dalam konteks ini, civil society sebagaikelompok
kepentingan yang akan me-lobi partai politik di DPR untuk mendorongdan
mendiskusikan kepentingan yang mereka ajukan. Sebagai organisasi yangindependen
dari kepentingan politik, civil society juga memiliki peran untukmemonitor
janji-janji kampanye para kandidat dan partai dalam masa kampanye sertajuga
perilaku para politisi di DPR.Dalam kesempatan yang berbeda, civil societyjuga
dianggap sebagai wadah untuk berdiskusi tentang berbagai hal-hal pentingterkait
dengan isu-isu yang mereka (anggota DPR) butuhkan saat itu.
Dalam konteks
kebutuhan partai politik, civil society juga berperan dalammeningkatkan
kapasitas organisasi partai dalam menjalankan fungsinya, melaluiberbagai bentuk
pelatihan pengembangan kapasitas.Sebagai lembaga yang memilikisumber daya
manusia yang diakui eksistensi dalam pembangunan, civil society jugamenyediakan
para aktor dan pimpinannya sebagai kandidat yang mumpuni dalamajang pemilihan
umum, baik untuk legislatif ataupun eksekutif.Pada saat yangbersamaan, civil society
juga dapat berperan dalam mobilisasi para pemilih untukdapat memilih pemimpin
partai politik yang sesuai dengan arah dan kepentinganmereka sebagai pemilih.
Sementara itu,
bila kita memperhatikan hubungan kedua institusi ini dalamaspek kedekatannya,
maka, Beavis menyebutkan terdapat empat arah relasi yangterkait satu sama lain.
Dari perspektif civil society, paling tidak di kalangan civilsociety terhadap
tiga pandangan relasi tersebut dilihat: (1) menghindari kontakdengan partai
politik; dimana civil society berusaha untuk tidak terlibat dalamkegiatan
politik sehingga mereka tidak diklaim memiliki aktivitas yang partisan.
(2)mendukung partai politik secara menyeluruh, tanpa ada keberpihakan; hal ini
dilihatdari komitmen civil society untuk mendukung partai politik berdasarkan
agenda sertaisu yang sama dengan kepentingan kelompok civil society tersebut.
(3) beraliansidengan satu partai politik; dalam konteks ini sebuah kelompok
civil society atau lebihmenyediakan bergagai informasi dan bentuk pelatihan hanya
kepada satu partaipolitik, dan biasanya mereka memiliki ikatan yang kuat
seperti kelompok buruh.
Dari perspektif
partai politik, terdapat empat pandangan yang dapat dilakukanoleh partai
politik: (1) memiliki jarak jauh dengan civil society; situasi inimengindikasikan
bahwa partai tidak memiliki hubungan dengan civil society atauadanya kompetisi
yang keras satu sama lain sehingga tidak memiliki relasi yangdekat. (2)
mendapat dukungan dari banyak kelompok masyarakat dalam jangka waktuyang
singkat; hal ini disebabkan tergantung dari kepentingan seperti apa yangmenjadi
titik temu dari relasi tersebut. (3) memiliki hubungan jangka panjang
dengansatu atau beberapa kelompok civil society; hal ini diindikasi dari adanya
dukunganserius dan permanen dari satu kelompok civil society kepada satu partai
politik,seperti kelompok think thank, kelompok serikat pekerja dan
lain-lainnya. Dan (4)relasi yang terputus dengan kelompok civil society; hal
ini dimungkinkan manakalasalah satu organ partai memutuskan keluar dari partai
dan bertransformasi menjadikelompok civil society dengan pertimbangan
efektivitas kerja dibandingkan berada didalam partai politik.
Sementara itu
dari arah pengaruhnya, relasi partai politik dan civil societytergantung dari
konteks bagaimana kepentingan tersebut berhasil diolah dan dikelola.Ada yang
berpandangan bahwa partai politik sebenarnya juga memiliki
kelompokkelompokcivil society yang punya pengaruh di dalam konstituen sehingga
partaimemiliki kekuasaan yang besar. Sebaliknya, kelompok civil society juga
memilikitingkat independensi yang tinggi ketimbang partai politik karena
dipengaruhi situasidan lingkungan sosial politik di negara yang bersangkutan.
Secara
keseluruhan model yang diungkapkan oleh Beavis ini merupakanbentuk relasi yang diasumsikan
berada dalam konteks negara yang tengah mengalamitransisi demokrasi. Artinya,
konteks relasi ini tidaklah tunggal dan satu arah melainkan kondisi yang
memiliki ketergantungan dengan apa yang terjadi dalamnegara yang bersangkutan.
4.
Civil Society di era Pemerintahan Orde Baru
Pada masa
pemerintahan Orde Baru, peran civil society dalam pembuatankebijakan tidaklah
signifikan.Bahkan partai politik pun tidak mendapat peran yangpenting.Kalaupun
ada hanya partai politik yang berkuasa penuh memiliki pengaruhdalam pembuatan
undang-undang di DPR seperti Golkar. Artinya proses pembuatankebijakan bukanlah
sarana yang mempertemukan berbagai kelompok kepentingandengan kelompok politik
di DPR, melainkan dominasi kelompok yang berkuasa.Pada saat yang bersamaan,
pemerintah juga berkeinginan untuk mendominasiberbagai hal, termasuk urusan
internal organisasi kemasyarakatan dan partai politik.
Namun demikian,
pertumbuhan kelompok oposisi yang memiliki pengaruhbesar terjadi di akhir masa
pemerintahan Orde Baru.Munculnya partai politikalternatif seperti PUDI dan PRD
yang kemudian dilarang oleh pemerintahan OrdeBaru di tahun 1996-1997 dan
perlawanan dari PDI pimpinan Megawati atas upayapemerintah ikut campur dalam
konflik internal PDI, adalah fakta kekuatan politikoposisi semakin menguat.
Pada saat yang bersamaan kelompok-kelompok LSM,
mahasiswa
ataupun kelompok buruh juga semakin keras terhadap kebijakanpemerintahan Orde
Baru yang semakin represif.[xiii]
Kasus-kasus pelanggaran HAMyang kontroversial disorot pula oleh komunitas
internasional karena pada saat ituIndonesia memiliki ketergantungan dana
pembangunan dari IGGI.[xiv]
Secara khusus,
bila kita melihat perkembangan kekuatan civil society padamasa Orde Baru terdapat
tiga kategori civil society menurut Edward Aspinall yaitu:[xv]pertama,
organisasi yang dibentuk sebagai bagian dari kelompok fungsional padamasa awal
pemerintahan Orde Baru seperti HKTI. Model kelompok civil societyyang seperti
ini memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pemerintahan Orde Barubahkan
menjadi bagian dari kekuatan Golongan Karya.Kedua, organisasi yang
semikorporatis terhadap negara, dimana kelompok ini memiliki independensi dalam
idedan gagasannya namun dapat berkompromi terhadap kebijakan negara agar
merekadapat bertahan hidup serta memiliki suara dalam lembaga legislatif atau
eksekutif.Kelompok seperti NU dan Muhammadiyah merupakan kategori yang masuk
didalamnya karena mereka sadar bahwa mereka memiliki kekuatan jaringan
sertapendukung yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan politik
penguasa.Ketiga,kelompok civil society yang berkembang menjadi kelompok
oposisi.Kelompok inimemiliki keotonoman yang kuat terhadap kekuasaan negara
bahkan cenderungmengkritik berbagai kebijakan dan tindakan dari negara.Tidaklah
heran bilakemudian aparat negara juga bersikap represif terhadap kelompok ini
seperti YLBHIataupun WALHI.[xvi]Maka
kekuatan civil society pada masa Orde Baru tidaklahsignifikan karena sebagian
kelompok civil society juga memiliki aliansi dengankekuatan di lingkaran
kekuasaan.
Dalam konteks
itulah terlihat bahwa kelompok civil society dan partai politikpada masa Orde
Baru memiliki relasi yang sulit dideskripsikan menurut model yangdiajukan oleh
Beavis. Alasannya adalah pada satu sisi, kelompok civil societymerupakan bagian
tak terpisahkan dengan partai politik atau bahkan civil societyyang memiliki
keotonoman juga merasa ada ketergantungan untuk bisa hidup dariusaha mendukung
negara. Sementara di sisi lain, civil society juga merasakan perlukehadiran
akan kekuatan politik. Sayangnya keterbasan ruang politik serta wadahpolitik
yang diberlakukan oleh negara mengakibatkan kelompok civil society tidakleluasa
untuk dapat berkontribusi terhadap proses pembuatan kebijakan,
termasukpembuatan undang-undang.
5.
Dinamika Relasi dalam Pembuatan Kebijakan
Paska Orde Baru,
relasi antara partai politik dan civil society di Indonesiamulai terlihat dalam
bentuk yang lebih konstruktif dikarenakan adanya keterbukaanpolitik serta ruang
kebebasan untuk berekspresi. Partai politik tumbuh bak jamur dimusim hujan dan
civil society pun mengalami hal yang sama. Meski tumbuh dalamruang politik yang
terbuka, namun keduanya tidak serta merta dapat dengan mudahmenjalin komunikasi
yang harmonis di arena pembuatan kebijakan.Di lembagalegislatif seperti DPR,
diskusi yang panas antara para pembuat undang-undangdengan kelompok masyarakat
seperti LSM ataupun universitas kerap terjadi.[xvii]Dinamika
inilah yang menjadi menarik untuk dilihat dalam konteks relasi yang nyataantara
kelompok civil society dengan partai politik yang berada di DPR. Terdapat
duakasus nasional yang akan didiskusikan dalam bagian selanjutnya yaitu
mengenaikeberhasilan Undang-undang Pembentukan Peraturan
perundang-undanganNo.10/2004 yang didorong oleh berbagai kelompok civil society[xviii]
dan dinamika daripembahasan paket UU politik tahun 2009 yang dikawal oleh
Koalisi NGO untukPenyempurnaan Paket UU Politik.[xix]Sementara
ada satu kasus di tingkat lokal yaknikeberhasilan mendorong Peraturan Daerah
terkait dengan peran dan partisipasikelompok perempuan dalam Badan Perwakilan
Desa di Kabupaten DonggalaSulawesi Tengah.[xx]
Undang-undang
Pembentukan Peraturan perundang-undangan (P3)No.10/2004 lahir atas dorongan dan
inisiatif dari anggota DPR dan juga dukungandari kelmpok civil society. Salah
satu pertimbangan yang penting adalah ketiadaanruang partisipasi publik dalam
proses pembuatan kebijakan yang tidak terdapat dalamaturan di atasnya. Artinya,
selain ada kebutuhan partisipasi warga namun yang jugapenting adalah proses
pembentukan peraturan perundang-undangan yang memberiruang adanya hal tersebut.
Dari kalangan civil society terdapat satu koalisi yangberperan sebagai pengawal
dan juga pemberi informasi serta masukan yangkonstruktif kepada para anggota
DPR yaitu Koalisi Kebijakan partisipatif yangdidirikan tahun 2002. Meski dalam
proses pembentukan UU P3 terbilang a lot karenabeberapa partai politik
menganggap adanya kekhawatiran akan bentuk partisipasipublik dalam pembuatan
undang-undang, namun atas desakan dan pengawalan yangkonsisten, undang-undang
tersebut berhasil disahkan pada tahun 2004.
Sementara itu,
dalam pembahasan paket revisi UU Politik tahun 2009 (UUPartai Politik, UU
Pemilu, UU Pilpres dan UU Susduk MPR/DPR/DPRD), adabenturan
kepentingan-kepentingan dalam diskusi pembahasan di antara anggota DPRyang
notabene adalah partai politik dengan kalangan civil society yang tidak
memilikikepentingan politik apapun.Dalam pembahasan sistem pemilu saja ada
duapandangan serius di kalangan DPR yaitu sistem proporsional dengan daftar
terbukaterbatas atau sistem proporsional dengan daftar terbuka murni. Dalam
pandangan Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik sebaiknya adalah sistem
proporsionaldengan daftar terbuka murni karena pemilih tidak akan dirugikan
untuk memilih yangterbaik. Sebaliknya pandangan yang memilih sistem terbuka
terbatas beranggapanbahwa partai tetap memerlukan mekanisme internal untuk
memberi kesempatan bagikader-kadernya untuk dapat terpilih dengan mudah.Namun
pembahasan system pemilu yang penting ini dimenangkan oleh pilihan sistem
proporsional daftar terbukaterbatas, meski akhirnya keputusan Mahkamah
Konstitusi membatalkan tentang pasalini yang mengakibatkan sistem pemilu adalah
proporsional terbuka murni.[xxi]
Dalam kasus
lokal seperti di Donggala, lahirnya Peraturan Daerah yangmemberi kesempatan
istimewa kepada perempuan untuk berpartisipasi di dalamforum Badan Perwakilan
Desa merupakan perjuangan dari kelompok civil societyyang bergerak di isu
pemberdayaan perempuan.Salah satu pertimbangan adanyaperda ini adalah
mendesaknya kebutuhan keterwakilan perempuan yang nyata dalamtingkat desa,
terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Meski terdapathambatan
kultural dan sosial yaitu masih kuatnya hukum adat yang patrilineal,
namundukungan nyata dari para anggota DPRD, termasuk yang laki-laki, terhadap
perda initerlihat dalam pengesahannya.Salah satu poin yang menjadi sukses
dalammendorong perda ini adalah kemampuan mobilisasi sumber daya serta lobi-lobi
untukmeyakinkan bahwa perda ini penting untuk segera dilahirkan di Donggala.
Apa yang bisa
dipelajari dalam kasus-kasus tersebut? Pertama, aktivitas yangterbangun antara
civil society dan partai politik masih dalam kerangka membangunkebijakan publik
yang berpihak kepada rakyat.Maka tidaklah heran bila kelompokcivil society
masih kerap melakukan lobi dan advokasi kepada para pembuatkebijakan untuk
mendorong serta mengawal isu-isu yang ingin mereka tekankan.Kedua, pada saat
yang bersamaan, para politisi di DPR merasa bahwa merekamemiliki asupan
informasi serta bahan yang memadai mengenai isu-isu yang sedangmereka bahas
sehingga kebutuhan merespon tuntutan serta dukungan dari kelompokcivil society
adalah penting.Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa civil society danpartai
politik sama-sama menyebarkan dukungan secara keseluruhan, tidak hanyasatu atau
dua partai atau kelompok civil society. Sebaran dukungan ataupun
tuntutantergantung dari isu dan kepentingan apa yang ingin mereka raih nantinya
sehinggaikatan dalam relasi tersebut tidaklah permanen dan bersifat sementara.
6.
Dinamika Relasi dalam Pemilihan Umum dan Pilkada
Selain bertarung
di luar arena pembuatan kebijakan, kelompok civil societyjuga memikirkan
strategi lain yang jauh lebih efektif yaitu menjadi bagian dari prosespembuatan
kebijakan. Maka, bergabung atau menjelma sebagai aktivis partai politikyang
sudah ada dan mapan adalah pilihan dari berbagai arena pertarungan politiklainnya.[xxii]Tidaklah
heran bila kemudian beberapa aktor dan pimpinan kelompok civilsociety yang
memiliki pengaruh kuat di tingkat nasional dan daerah memutuskanuntuk mengambil
langkah ini, yaitu masuk ke dalam partai dan berharap menjadianggota
legislatif.
Pada Pemilu
2004, telah muncul beberapa aktor civil society yangmemutuskan menjadi calon
anggota legislatif seperti Nursyahbani Kantjasungkana[xxiii]yang
mewakili PKB atau Muspani[xxiv]
yang bertarung di jalur DPD untuk daerahpemilihan Bengkulu.Berkat perjuangan
yang gigih dan tak kenal lelah merekaberhasil memenangkan pertarungan tersebut.Namun
kisah kegagalan juga dialamioleh banyak aktor civil society, seperti salah
satunya adalah Sarah Larry Mboeik yanggagal memenangkan kursi DPD dari daerah pemilihan
Nusa Tenggara Timur.[xxv]
Ada beberapa
pelajaran menarik yang diperoleh dari perjuangan para actor civil society yang
bertarung di kancah pemilu 2004 yang kemudian menjadi bahanrefleksi dalam
perjuangan politik lainnya: pertama, para aktivis civil society lebihmemutuskan
untuk bertarung di DPD ketimbang DPR karena bila menjadi caleg diDPR maka
mereka harus menjadi anggota partai politik. Artinya menjadi anggotapartai
mengindikasikan bahwa mereka memiliki kepentingan yang partisansedangkan bila
menjadi anggota DPD yang notabene adalah calon perseorangan danindependen,
tidak ada indikasi partisan tersebut.Dalam memilih jalur DPD, paraaktivis juga
beranggapan mereka memiliki keleluasaan untuk mengatur strategipemenangan
berdasarkan kekuatan mereka sendiri.Kedua, pilihan untuk bergabungdengan partai
politik lebih disebabkan alasan yang emosional yaitu berdasarkankedekatan, baik
secara etnisitas ataupun secara garis perjuangan.Maka tidaklah heranbila
beberapa aktor civil society yang dikenal dekat dengan kelompok masyarakat
didesa/kampung lebih memilih partai yang juga dikenal memiliki kedekatan
tersebut.[xxvi]
Dalam Pemilu
2009, para aktivis yang menjadi anggota partai dan tercatatsebagai caleg DPR RI
semakin semarak. Diantaranya terdapat nama Ratna BantaraMukti (aktivis
perempuan-PDIP), Apong Herlina (aktivis perempuan-PDIP), IndraJaya Piliang (akademisi/peneliti-Golkar),
Hetifah Sj Sumarto (aktivis planologi-Golkar), ataupun Binny Buchori (aktivis
perempuan-Golkar), yang resmi bertarungdalam sebagai caleg di masing-masing
daerah pemilihannya. Namun demikian,diantara nama-nama tersebut hanyalah Hetifah
SJ Sumarto yang sukses memperolehkursi di Senayan dalam periode 2009-2014
nanti.[xxvii]Sementara
itu, nama-nama paraaktivis yang bertarung di DPD pun juga tidak jauh berbeda
dengan pemilu 2004,namun kali ini Muspani gagal dan Sarah Larry berhasil.
Salah satu
alasan partai politik merekrut para aktivis Ornop menjadi calegadalah untuk
memperkuat dan membuka peluang bagi non-kader partai untuk bisabersaing dan
memenangkan suara partai dalam pemilu 2009.Syarat ini pun diterimadengan
catatan agar mereka sebagai tokoh Ornop yang berpengaruh ditempatkandalam nomor
yang memiliki peluang yang besar keterpilihannya.[xxviii]Meski
pilihan inimenegasikan kepentingan partai politik dalam pengembangan
internalnya denganmemberi kesempatan kepada kader terbaiknya, namun pilihan ini
menjadi sesuatuyang penting diambil partai manakala citra partai tengah
menurun.[xxix]
Dalam konteks
pemilu 2009, pelajaran yang menarik diangkat adalah peluangpolitik yang terbuka
bagi aktor civil society untuk terlibat dalam arena pemilu.Sayangnya, partai
politik masih beranggapan bahwa keterlibatan para tokoh civilsociety ini
tidaklah didukung secara nyata dalam mobilisasi para pemilih lantarankompetisi
diantara caleg di masing-masing partai juga bersaing ketat.Pada saat
yangbersamaan, meski peluang tersebut ada dalam waktu yang relatif sempit
untukbersosialisasi, namun para aktor civil society dengan kekuatan jaringannya
tidakdapat memperoleh dukungan secara penuh dari kawan seprofesinya.Inilah
yangmasih menjadi masalah yang belum tertuntaskan manakala komitmen politik
daripara aktor Ornop yang ingin terjun di ranah pemilu tidak mendapat dukungan
yangmemadai dari koleganya.Padahal salah satu titik lemah keterlibatan para
aktor civilsociety dalam politik adalah ketiadaan sumber daya finansial untuk
dapatbersosialisasi dan memperkenalkan diri di hadapan para konstituen.
Dalam arena
pertarungan di lembaga eksekutif di tingkat lokal yaitu pilkada,keterlibatan
aktor civil society sebagai kandidat, baik sebagai gubernur/wakilgubernur
hingga bupati/wakil bupati, tidaklah signifikan karena memang belum
adakeberhasilan para aktor tersebut memenangkan pilkada.Sebagian besar
pemenangpilkada merupakan figur yang populer karena aktivitasnya di dalam
birokrasipemerintahan, baik sebagai pejabat daerah atau pusat, atau tokoh yang
memilikiketerikatan yang kuat dengan jalur kekuasaan di tingkat lokal seperti
jawara diBanten.[xxx]
Salah satu yang
menyebabkan keberatan kandidat yang berasal dari kalangancivil society adalah
adanya proses transaksi ekonomi yang cukup mahal untuk“membeli” perahu politik
dalam pilkada. Disebutkan dalam regulasi tentang pilkadasebelum munculnya calon
perseorangan, bahwa kandidat dalam pilkada diajukan olehpartai politk atau
gabungan partai politik dengan kriteria tertentu.Akibatnya, hanyakandidat yang memiliki
kemauan besar dan modal yang cukup besar untuk bisabertarung dalam
pilkada.Meski tidak ada gambaran yang komprehensif mengenaijumlah uang yang
dikeluarkan oleh seorang kandidat dalam pemenangan pilkada,namun Syarif Hidayat
menyatakan bahwa ada banyak transaksi politik uang yangdiberikan oleh kandidat
kepada banyak pihak untuk memuluskan jalankemenangannya.[xxxi]Dalam
konteks itulah penulis meyakini bahwa mundurnya banyakaktor civil society yang
potensial menjadi calon bupati ataupun walikota dikarenakanfaktor finansial.
Pelajaran yang
menarik dari keterlibatan civil society di arena pilkada adalahmenyangkut
kelemahan dalam hal mobilisasi dukungan sumber daya finansial
untukmemaksimalkan upaya pemenangan politik.Padahal di kalangan civil society
sendiri,persoalan finansial bagi berlangsungnya jalan organisasi dan juga
keberlanjutanprogram bagi kepentingan masyarakat adalah masalah yang juga tidak
kalah peliknya.Dilema inilah yang menjadi pertimbangan sulit bagi para aktor
civil society untukbertarung dalam berbagai arena pemilu, termasuk pilkada.
7.
Membangun Relasi yang Konstruktif
Relasi dan
dinamika yang terbangun diantara dua kelembagaan ini, civilsociety dan partai
politik, sedang berusaha menemukan arah yang konstruktif.Dahulupada masa Orde
Baru, kelompok civil society yang cenderung beroposisi denganpemerintah, tidak
mendapat tempat dalam konstelasi politik nasional.Pada saat yangbersamaan,
hegemoni Golkar yang didukung oleh penguasa Orde Baru telahmematikan langkah
dan strategi partai politik lainnya seperti PPP dan PDI.Dalamkonteks ini kita
tidak mampu mendiskusikan secara jelas arah relasi civil society danpartai
politik.
Dalam era paska
reformasi, kedua institusi ini sebenarnya telah sepakat bahwamembangun
demokrasi tentu memerlukan relasi yang konstruktif, terutama demimenghasilkan
kebijakan-kebijakan public yang menguntungkan masyarakat luas.Hanya saja yang
perlu didiskusikan secara intensif menyangkut perbedaan perspektifmengenai hal
tersebut.Bagi kelompok civil society, kebutuhan untuk terlibat dalamarena
pembuatan kebijakan adalah penting.Permasalahannya kemudian adalahbagaimana
mengkoneksikan kebutuhan tersebut menjadi sebuah kenyataan manakalaterdapat
kendala yang masih dihadapi, semisal mobilisasi dukungan financial
yangdibutuhkan dalam pemenangan pemilu.Hal ini bisa terjadi karena partai
politik besardi Indonesia masih menghadapi persoalan serius dalam pembenahan
internalorganisasi, semisal dalam urusan rekrutmen yang belum tertata dengan
baik.[xxxii]Padahal
salah satu usaha untuk memenangkan pemilu adalah menyangkut mekanismerekrutmen
yang dikaitkan dengan cara pemenangan tersebut. Artinya para aktor civilsociety
yang berkeinginan untuk menjadi anggota partai politik tertentu dan
menjadicaleg partai tersebut akan mempertimbangkan kembali manakala partai
belummemikirkan secara serius terkait dengan aspek pemenangan tersebut.
Sementara itu,
partai politik juga berpandangan bahwa memenangkan pemiluataupun memutuskan
sebuah perundang-undangan tanpa dukungan nyata darikelompok atau organisasi
kemasyarakatan adalah sesuatu yang sulit dilakukan.Makatidak heran bila partai
politik memiliki organ dan sayap kelompok masyarakat yangberkoneksi langsung
dengan kebutuhan mereka.[xxxiii]Dalam
konteks itu kelompok civilsociety dan partai politik memiliki kedekatan yang
jelas, namun masih memilikipermasalahan yang harus dicari
penyelesaiannya.Apakah mengajak dan memintaaktor civil society ke dalam partai
untuk membantu penyelesaian hal tersebut danmendorong agar terjadi hubungan
yang permanen dan saling menguntungkan dikemudian hari?Ataukah yang bersifat
sementara, dimana kehadiran aktor civilsociety hanya menjadi pelengkap bagi
usaha meningkatkan suara partai?Makadiskusi tentang hal ini menjadi agenda yang
menarik agar tidak menimbulkan rasacuriga.
Gagasan Blok
Politik Demokratik yang disampaikan oleh DEMOSmerupakan sebuah hal yang
menarik.[xxxiv]Gagasan
ini sebenarnya ingin memberipenekanan adanya lembaga perantara diantara dua
kekuatan yaitu organisasi partaipolitik yang punya tujuan politis dengan
organisasi civil society seperti organisasigerakan social dan organisasi
kerakyatan lainnya. Harapannya model blok seperti iniakan mampu menjelma
sebagai sarana yang efektif untuk menjembatani kepentinganpolitik dari
organisasi civil society dengan keterbatasan yang mereka miliki. Namun
demikian,
catatan yang perlu didiskusikan adalah bagaimana blok ini mampu secaraefektif
bekerja dalam mengarahkan kepentingan politik dari kelompok civil
societymanakala komitmen diantara para aktor (baik di dalam partai dan civil
society) belumterbangun dengan utuh. Pada saat yang bersamaan, kesiapan
infrastruktur baikmenyangkut mobilisasi sumber daya untuk mengarahkan tujuan
politik masihmenghadapi persoalan serius di partai politik dan civil
society.Sebagai contoh, dalampersoalan sumber daya, partai politik dan civil
society masih mengandalkanmobilisasi dari pihak luar untuk menjalankan
organisasinya.Parahnya, partai politikmemiliki kelemahan dalam mengelola sumber
daya secara baik, terutama dalamurusan pendanaan. Artinya untuk menciptakan
sebuah bangunan blok yang baikdibutuhkan kedua organ penopangnya yaitu civil
society dan partai politik yang jugamemiliki kesiapan yang memadai untuk
menciptakan sebuah blok yang efektif.
Oleh karena itu,
salah satu hal yang bisa dilakukan segera adalah membangunkomitmen diantara
para aktor civil society dan pimpinan partai politik untukmendesakkan agenda
pembangunan blok politik demokratik. Hal yang positif padasaat ini adalah
adanya kawan-kawan Ornop yang sudah bergabung di partai menjadipenghubung dalam
upaya menciptakan komitmen bersama ini. Bila ini bisa dilakukandan mendapat
dukungan luas dan nyata dalam bentuk kesamaan komitmen terhadapblok-blok ini
maka akan terbuka kemungkinan kerjasama ini bisa diwujudkan.
8.
Penutup
Relasi yang
terjadi antara civil society dan partai politik berada dalam kondisiyang
dinamis.Pada masa Orde Baru, relasi tersebut tidak mudah dibayangkan
karenamemang kekuatan dan hegemoni penguasa Orde Baru mengakibatkan tidak
adanyabangunan komunikasi diantara mereka.Namun pada masa paska Orde Baru,
relasitersebut mulai terlihat.Dari keterlibatan yang bersifat ekstra
parlementer dimanaperan civil society menjadi kelompok kritis terhadap
lembaga-lembaga pemerintahhingga menjadi bagian dari parlementer, meski
jumlahnya belum terlalu signifikan.Paling tidak ada perubahan yang lebih
terlihat dalam bentuk perkawinan yan masihbersifat personal, bukan
kelembaagaan.
Berbagai gagasan
untuk menjembatani kebutuhan ini sebenarnya sudahbanyak didiskusikan.Ada yang
berpendapat lebih baik masuk ke dalam partai danterlibat langsung.Namun banyak
pula yang menyatakan ketidaksetujuaanya denganpertimbangan non-partisan.Gagasan
Blok Politik demokratik yang berusahamenyeimbangkan perbedaan kedua pandangan
tersebut juga tengah dilakukan.Artinya di kalangan civil society memang sudah
ada kebutuhan untuk bergerak danmengambil peran-peran politik secara langsung,
sementara itu di kalangan partaipolitik juga tengah memikirkan hal yang sama.
Persoalannya kemudian berada dalambagaimana menciptakan situasi yang menguntungkan
tersebut.Padahal di kalanganinternal civil society dan partai politik juga
masih menyisakan banyak persoalandalam mengelola sumber daya yang dimiliki.Oleh
karenanya, masa demokratisasi diIndonesia terlihat masih panjang karena
elemen-elemennya pun masih perlu berbenahdiri secara serius.
* Makalah ini disampaikan pada Seminar Internasional ke-10 "Representasi Kepentingan Rakyat pada Pemilu Legislatif 2009", yang diselenggarakan oleh Yayasan Percik, Salatiga - Jawa Tengah, pada tanggal 28-30 Juli 2009.
** Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI dan Peneliti Pusat Kajian Politik FISIP UI. Dapat dikontak di : aditya.perdana@ui.ac.id
* Makalah ini disampaikan pada Seminar Internasional ke-10 "Representasi Kepentingan Rakyat pada Pemilu Legislatif 2009", yang diselenggarakan oleh Yayasan Percik, Salatiga - Jawa Tengah, pada tanggal 28-30 Juli 2009.
** Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI dan Peneliti Pusat Kajian Politik FISIP UI. Dapat dikontak di : aditya.perdana@ui.ac.id
Daftar
Pustaka
Aspinall,
Edward. Indonesia Transformation of Civil Society and DemocraticBreakthrough
dalam Muthiah Alagappa, Civil Society and Political Change inAsia: Expanding
and Contracting Democratic Space. Palo Alto: StanfordUniversity Press,
2004.
Beavis,
Gwendolyn. Civil Society Groups and Political parties:
supportingconstructive relationships, Occasional Papers Series. USAID,
2004.
Budiarjo,
Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik.Jakarta: Gramedia, 2008.
Chandhoke,
Neera. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: ISTAWA,2001.
Cohen, Jean L.
Dan Andrew Arato. Civil Society and Political Theory, dalamHodgkinson, Virginia
A. dan Michael W.Foley (ed.). The Civil Society Reader.University Press
of New England, 2003.
Culla, Adi
Suryadi. Rekonstruksi Civil Society, Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia.Jakarta:
LP3ES, 2006.
Demos. Satu
Dekade reformasi: Maju dan Mundurnya Demokrasi di Indonesia. Dapatdiakses
di:http://www.demosindonesia.org/downloads/1210760409_Satu_Dekade_Reformasi-Presentasi.pdf
Hapsara, Beka
Ulung, Sugeng Bahagijo dan Darmawan Triwibowo, MembangunKembali tradisi
Demokrasi dari Akar Rumput, Kasus Lerry Mboek, Muspanidan Imam Azis, dalam
Darmawan Triwibowo (ed). Gerakan Sosial: wahanaCivil Society bagi
Demokratisasi, Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa,2006.
Hershey,
Marjonie Randon. Citizens’ Group and Political Parties in the UnitedStates, Annals
of the American Academy of Political and Social Science,Vol.528, Citizens,
Protest and Democracy, July 1993.
Hidayat, Syarif,
Pilkada, Money Politics and The Dangers of “Informal Governance”Practices,
dalam Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto (ed). DeepeningDemocracy in
Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada).Singapore: ISEAS,
2009.
Hikmah, Nor,
dkk. Gerakan Ekstra Parlementer Baru, Mendorong Demokrasi ditingkat Lokal. Jakarta:
YAPPIKA, 2008.
Hikmah, Nor.
Perda Keterwakilan Perempuan: Menciptakan Bulonggo Baru diSulawesi Tengah dalam
Nor Hikmah, dkk. Gerakan Ekstra Parlementer Baru:Mendorong Demokrasi di
Tingkat Lokal. Jakarta: YAPPIKA, 2008.
Ichwanuddin,Wawan,
Aditya Perdana dan Fransisca Fitri. Masyarakat Sipil danKebijakan Publik:
Studi Kasus Aktivitas Masyarakat Sipil dalamMempengaruhi Kebijakan Publik. Jakarta:
YAPPIKA, 2006.
Kariyadi,
Syafa'atun dan Willy Purna Samadhi.Blok Politik Demokratik,
PanduanPelatihan. Jakarta: Demos, 2008.
Linz, Juan J.dan
Alfred Stepan. Problems of Democratic Transition andConsolidation: Southern
Europe, South America and Post-Communist Europe.Baltimore: The John Hopkins
University Press, 1996.
Masaaki, Okamoto
dan Abdul Hamid.Jawara in Power 1999-2007, Indonesia,No.86, Oktober
2008.
Perdana ,
Aditya. Aktor Civil Society dan Pemilu 2009. ALIANSI No.49/September-November
2008.
PUSKAPOL FISIP
UI. Studi Kasus dan Pembelajaran Partai Politik di Indonesia,Jakarta:
PUSKAPOL FISIP UI dan IRI, 2008.
Romli, Lili, Aditya
Perdana, Wawan Ichwanuddin dan Miftah Sabri. KerangkaPenguatan Partai
Politik di Indonesia. Depok: PUSKAPOL UI dan Kemitraan,2008.
Sakai, Yumiko.
Indonesia Flexible NGOs vs Inconsistent State Control dalamShinichi Shigetomi
(ed). The State and NGOs, perspective from Asia.Singapore: ISEAS, 2002.
Tanuredjo,
Budiman. Ketika ‘Serangan” Muncul dari Rapat Komisi I DPR, dalamHCB Dharmawan.Lembaga
Swadaya Masyarakat, Menyuarakan NuraniMenggapai Kesetaraan. Jakarta:
Kompas, 2004.
Tornqueist,
Olle. Apa dan Mengapa Blok Politik Demokratik, dapat diakses dihttp://www.demosindonesia.org/laput/article/article.php?id=327
Zuhro, R.Siti,
dkk. Demokrasi Lokal, Peran Aktor dalam Demokratisasi. Yogyakarta:Ombak,
2009.
Siaran Pers
Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik tanggal 18 Januari 2008 tentangPilihan
Sistem Pemilu 2009.dapat diakses di www.parlemen.net.
MK Putuskan
Pemilu Gunakan Suara Terbanyak, hukumonline, 24 Desember 2008.dapat diakses di www.hukumonline.com.
[i]Peserta
pemilu 1999 sebanyak 48 partai politik. Sedangkan pemilu 2004 diikuti oleh 24
partai politikdan pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik dan 6 partai local
di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapatmengakses www.kpu.go.id
[ii]Jumlah
LSM ataupun organisasi kemasyarakatan tidak pernah jelas. Kalaupun ada
terdapatpeningkatan jumlah Ornop sekitar 12.000 di antara tengah tahun 1990-an.
Dari sejumlah itu, hanyasekitar 10-20 persen yang bisa dikonfirmasi datanya.
Lihat Yumiko Sakai, Indonesia Flexible NGOs vsInconsistent State Control dalam
Shinichi Shigetomi (ed), The State and NGOs, perspective from Asia,Singapore,
ISEAS, 2002, hal.165.
[iii]Survey
nasional yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dalam kurun waktu 8-20
September2008 mengkonfirmasi bahwa sebagian pemilih di Indonesia (42 persen)
mengaku tidak ada partai yangbagus akan program-programnya. Bahkan sebanyak 63
persen responden tidak percaya bahwa partaibebas dari korupsi. Lihat www.lsi.or.id
[iv]Pada
masa Yunani Kuno, Civil society dan negara adalah berasal dari definisi
yang sama yaknikoinomia politike (masyarakat politik) dimana setiap
manusia dikenal sebagai zoon politikon (makhlukpolitik). Lihat Neera
Chandhoke. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta, ISTAWA, 2001,hal.115
[v]Pandangan
ini diwakili oleh Hegel dimana civil society adalah momentum dimana
peran transisi darikeluarga menjadi organisasi sosial dan nantinya berujung
pada terbentuknya negara. Ibid, hal.176
[vi]Cohen,
Jean L. Dan Andrew Arato, Civil Society and Political Theory, dalam Hodgkinson,
VirginiaA. dan Michael W.Foley (ed.). The Civil Society Reader. University
Press of New England, 2003
[vii]Miriam
Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 404.
[viii]Gwendolyn
Bevis, Civil Society Groups and Political parties: supporting constructive
relationships,Occasional Papers Series, USAID, 2004, hal. 7.
[x]Linz
dan Stepan menyebutkan partai politik sebagai masyarakat politik. Lihat Juan
J.Linz dan AlfredStepan, Problems of Democratic Transition and
Consolidation: Southern Europe, South America andPost-Communist Europe,
Baltimore, The John Hopkins University Press, 1996, hal.7-8.
[xii]Beavis,
op.cit., hal.9-13
[xiii]Dalam
hal ini kasus-kasus pelanggaran HAM serius dilakukan oleh pemerintah Orde Baru
sepertikasus Kedung Ombo, pembunuhan aktivis buruh Marsinah dan banyak kasus
lainnya. Lihat NorHikmah, dkk Gerakan Ekstra Parlementer Baru, Mendorong
Demokrasi di tingkat Lokal, Jakarta,YAPPIKA, 2008, hal.5-6.
[xiv]Kasus
yang menghebohkan dan controversial antara Negara dan civil society diantaranya
adalahpembantaian Dili dan juga pembangunan KedungOmbo. Lihat Yumiko Sakai, op.cit,
hal.164.
[xv]Edward
Aspinall, Indonesia Transformation of Civil Society and Democratic Breakthrough
dalamMuthiah Alagappa, Civil Society and Political Change in Asia: Expanding
and ContractingDemocratic Space, Palo Alto, Stanford University Press,
2004, hal.71-72
[xvi]Studi
yang khusus mendiskusikan peran dan aksi YLBHI dan WALHI dilakukan oleh Adi
SuryadiCulla manakala kehadiran kedua Ornop ini berkontribusi terhadap gerakan
advokasi masyarakat dalamberbagai isu lingkungan ataupun isu kemasyarakatan
lainnya. Ihat Adi Suryadi Culla, RekonstruksiCivil Society, Wacana dan Aksi
Ornop di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 2006.
[xvii]Salah
satunya adalah tudingan dari anggota DPR mengenai aktivitas kelompok LSM yang
dibiayaioleh Negara asing dan disinyalir akan mengganggu keamanan. Lihat
Budiman Tanuredjo, Ketika‘Serangan” Muncul dari Rapat Komisi I DPR, dalam HCB
Dharmawan, Lembaga SwadayaMasyarakat, Menyuarakan Nurani Menggapai
Kesetaraan, Jakarta, Kompas, 2004, hal.165.
[xviii]Wawan
Ichwanuddin, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri, Masyarakat Sipil dan
Kebijakan Publik:Studi Kasus Aktivitas Masyarakat Sipil dalam Mempengaruhi
Kebijakan Publik, Jakarta, YAPPIKA,2006.
[xix]Lihat
Siaran Pers Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik tanggal 18 Januari 2008
tentang PilihanSistem Pemilu 2009.dapat diakses di www.parlemen.net.
[xx]Nor
Hikmah, Perda Keterwakilan Perempuan: Menciptakan Bulonggo Baru di Sulawesi
Tengahdalam Nor Hikmah, dkk, Gerakan Ekstra Parlementer Baru: Mendorong
Demokrasi di Tingkat Lokal,Jakarta, YAPPIKA, 2008.
[xxi]MK
Putuskan Pemilu Gunakan Suara Terbanyak, hukumonline, 24 Desember 2008. dapat
diakses diwww.hukumonline.com
[xxii]Dalam
berbagai diskusi dan aksi politik yang nyata, ada beberapa pilihan langkah
strategis yangdilakukan oleh beberapa kelompok civil society, seperti WALHI
pernah mengusulkan untuk menjelmamenjadi Partai Hijau, namun gagal
diwujudkan.DEMOS dengan berbagai risetnya mengusulkandibentuknya sebuah Blok
Politik Demokratik yang menjadi lembaga perantara kekuatan politik
yangterorganisir dengan kekuatan non politik seperti gerakan sosial dan gerakan
rakyat.Lihat SyafatunKariyadi dan Willy Purna Samadhi, Blok Politik Demokratik,
Panduan Pelatihan, Jakarta, Demos,2008.
[xxiii]Aktivis
Ornop yang banyak bergerak dalam isu perempuan dan gender.
[xxiv]Aktivis
pembela hukum bagi kelompok masyarakat miskin di Bengkulu.
[xxv]Sarah
Larry Mboeik adalah aktivis PIAR di NTT.Dalam pemilu 2009 Sarah kembali
bertarungdalam arena DPD, dan kali ini berhasil mendapatkan kursi mewakili NTT.
Beka Ulung Hapsara,Sugeng Bahagijo dan Darmawan Triwibowo, Membangun Kembali
tradisi Demokrasi dari AkarRumput, Kasus Lerry Mboek, Muspani dan Imam Azis,
dalam Darmawan Triwibowo (ed). GerakanSosial: wahana Civil Society bagi
Demokratisasi, Jakarta, LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, 2006.hal.33-90
[xxvi]Seperti
anggota DPRD perempuan yang dikisahkan oleh IRI dan PUSKAPOL UI yaitu
AndiMariattang (DPRD Provinsi Sulsel-PPP), Isti'anah ZA (DPRD Provinsi
Yogyakarta-PAN), EstiWijayanti (DPRD Provinsi Yogyakarta-PDIP) dan Eva Nurna
Karmila (DPRD Kota Padang-PKS).Mereka ini adalah aktivis kelompok civil society
yang dekat dengan basis konstituen dan juga secaraemosional kekeluargaan.
Seperti bapaknya Andi Mariattang yang juga mantan petinggi PPP di
Wajo,sementara Isti'anah dekat dengan kalangan Muhammadiyah di yogyakarta.
Lihat PUSKAPOL FISIPUI, Studi Kasus dan Pembelajaran Partai Politik di
Indonesia, Jakarta: PUSKAPOL FISIP UI danIRI, 2008, hal.105-109.
[xxvii]Hetifah
berhasil memperoleh suara sebanyak 23.413 di Kalimantan Timur dan berada di
nomor urut2 dari perolehan suara Partai Golkar di dapil tersebut.
[xxviii]Pernyataan
ini disampaikan dalam forum berbagai diskusi terbatas PUSKAPOL UI
yangmengundang beberapa orang tokoh Ornop yang bersedia bergabung dan
dicalonkan sebagai calegdengan syarat mereka ditempatkan dalam urut jadi
(sekitar nomor 1-3) di dapil masing-masing.Namunsayangnya, akibat keputusan
Mahkamah Konstitusi mengenai perubahan sistem pemilu mengubah arahdan strategi
gerakan para caleg untuk memobilisasi dukungannya.
[xxix]Aditya
Perdana, Aktor Civil Society dan Pemilu 2009, ALIANSI
No.49/September-November 2008.
[xxx]Sebagai
contoh yang menarik, berdasarkan penelitian Siti Zuhro dan kawan-kawan di empat
daerah:Solok (Sumbar), Bojonegoro (Jatim), Gianyar (Bali) dan Bone (Sulsel),
para aktor yang berperandalam pilkada merupakan tokoh-tokoh politisi dan
birokrat, baik di pemda ataupun dalam militer.Lihat R.Siti Zuhro, dkk, Demokrasi
Lokal, Peran Aktor dalam Demokratisasi, Yogyakarta, Ombak,2009. hal.225.
Sementara itu, Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid menyebutkan kekuatan jawarayang
memiliki pengaruh dalam pertarungan politik di provinsi Banten. Lihat, Okamoto
Masaaki danAbdul Hamid, Jawara in Power 1999-2007, Indonesia, No.86,
Oktober 2008, hal.109-138.
[xxxi]Syarif
Hidayat menyebutkan berdasarkan data yang dikumpulkan oleh ICW pada periode
pilkadatahun 2005, ada sumbangan pembangunan mesjid senilai Rp.5 juta, atau
pembayaran untukfungsionaris partai yang mendukung kandidat sebesar Rp.30 juta
per orang. Lihat Syarif Hidayat,Pilkada, Money Politics and The Dangers of
“Informal Governance” Practices, dalam Maribeth Erbdan Priyambudi Sulistiyanto
(ed), Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for LocalLeaders
(Pilkada), Singapore, ISEAS, 2009, hal.130-131
[xxxii]Selain
persoalan rekrutmen dan kaderisasi, persoalan serius yang dihadapi partai
adalah menyangkutkeberadaan platform yang tidak dilihat secara serius.Di
samping juga persoalan kohesifitas konflikdalam partai yang perlu diagendakan.
Lihat Lili Romli, Aditya Perdana, Wawan Ichwanuddin danMiftah Sabri, Kerangka
Penguatan Partai Politik di Indonesia, Depok, PUSKAPOL UI danKemitraan,
2008, hal.19-26
[xxxiii]Sebagai
contoh dalam konteks Amerika Serikat, hubungan antara kelompok warga dengan
partaipolitik bisa saling melengkapi dengan syarat salah satunya ada kedekatan
secara ideologis.Meskidalam konteks ini ideology bukanlah aspek yang penting
namun menjadi pengikat yang memadai.Lihat Marjonie Randon Hershey, Citizens’
Group and Political Parties in the United States, Annals ofthe American Academy
of Political and Social Science, Vol.528, Citizens, Protest and Democracy,July
1993, hal.149
[xxxiv]Olle
Tornqueist, Apa dan Mengapa Blok Politik Demokratik, dapat diakses
dihttp://www.demosindonesia.org/laput/article/article.php?id=327. Makalah yang
disampaikan oleh timpeneliti Demos dalam seminar berjudul Satu Dekade
reformasi: Maju dan Mundurnya Demokrasi diIndonesia. Dapat diakses di:
http://www.demosindonesia.org/downloads/1210760409_Satu_Dekade_Reformasi-Presentasi.pdf
Related Posts:
Politik
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :