Kamis, 09 Mei 2013
Kekerasan Atas Nama Agama: Perspektif Politik*
Cornelis
Lay**
Kekerasan:
Diskusi Pembuka
Kekerasan
merupakan fenomena politik dan sosiologis yang bersifat universal. Ia
dapat berlangsung pada level individual, kolektif, institusi, maupun
sistem secara keseluruhan. Kekerasan bisa berlangsung secara
horisontal pada masing-masing leveli,
tetapi bisa juga berlangsung secara vertikal atau kombinasi di antara
keduanya.ii
Kekerasan juga bisa berlangsung secara terbuka, tetapi juga bisa
bersifat tertutup, sebagaimana diekspresikan dengan sangat baik dalam
kekerasan domestik yang umumnya menempatkan kaum perempuan dan
anak-anak sebagai korban.
Raut
ekspresi kekerasan pun sangat bervariasi, mulai dari kekerasan yang
bersifat simbolikiii
hingga pada kekerasan fisik; dari kekerasan verbal hingga peperangan
antar bangsa atau negara. Metode yang dilibatkan dalam kekerasan juga
sangat bervariasi. Akan tetapi di antara variasi metode yang dipakai,
terdapat kesamaan watak yakni eksploitasi energy anarkhis baik yang
inherent dalam nature manusia sebagai ”makluk”, maupun energi
anarkhis yang merupakan produk karya peradaban manusia,iv
seperti senjata dan sistem persenjataan, misalnya. Daya dan wilayah
jangkauan destruksi dari kekerasan, juga bervariasi, mulai dari
kehancuran yang bersifat total hingga pada kehancuran terbatas, mulai
dari kehancuran fisik hingga pada kehancuran yang bersifat psikis.
Akar
dari kekerasan juga sangat bervariasi. Sebagian, sebagaimana
pendekatan psikologi sosialv
mengargumentasikan, melekat dalam insting manusia sebagai ”makluk.”
Dalam konteks ini, kekerasan muncul sebagai akibat dari pertarungan
dua insting yang melekat dalam libido yang berakhir dengan dominasi
thanatos yang merupakan insting perusak atas eros sebagai insting
kehidupan. Sebagian lainnya, terpulang pada sebab-sebab yang bersifat
struktural,vi
seumpama sistem sosial, ekonomi dan politik. Dari sudut ini,
kekerasan merupakan bagian penting dari apa yang digambarkan Geertzvii
sebagai strukturisasi makna-makna dalam kebudayaan sebagai bagian
fundamental dari usaha pernyataan kekuasaan (exertion of power) dari
kategori struktur yang berkontestasi. Sementara sebagian yang
tersisa, terkait dengan nilai yang melekat dalam kebudayaan ataupun
ideologi, termasuk agama,viii
serta melekat dalam sistem pembilahan masyarakat secara askriptif.ix
Dari
sudut yang lain, kekerasan boleh jadi merupakan tindakan irasional,
tetapi dalam kasus yang lain, kekerasan merupakan wujud dari pilihan
tindakan yang rasional. Sejumlah riset mengkonfirmasi bahwa kekerasan
merupakan pilihan rasional. Lichbach,x
misalnya, menggunakan kata kunci ”selective
incentive”
dalam menjelaskan keterlibatan petani dalam pergolakan-pergolakan
pedesaaan tertentu yang disandarkan pada kalkulasi masing-masingnya
atas keuntungan masa depan yang ditawarkan oleh suatu pergolakan yang
spesifik. Dalam bentuknya yang lunak, sebagaimana diargumentasikan
oleh Scott,xi
kekeraan juga menjadi pilihan rutin yang berbasis keseharian dari
petani dalam menyiasati struktur represif yang bekerja dalam
keseharian mereka.
Bagi
Indoensia, kekerasan dengan berbagai dimensi, akibat dan sebab
sebagaimana dijelaskan secara cepat di atas bukan kisah baru.xii
Ia kisah yang sudah sangat panjang, sedemikian panjang dan dalamnya
sehingga memberikan sumbangsih penting ke dalam kosa-kata bahasa
Inggris yang hingga kini masih digunakan, ”amoek.”xiii
Tulisan ini, jauh dari berkehendak untuk mengeksplorasi wilayah
kekerasan yang sedemikian tak terbatas. Fokus kajian akan diberikan
kepada kekerasan yang bersumber atau yang terjadi atas nama agama
atau yang menemukan agama sebagai alasan pembenarnya.
Kekerasan:
Kapita Selekta Kasus
Dalam
beberapa tahun terakhir ini Indonesia menjadi salah satu kawasan di
dunia yang paling produktif dalam memproduksi aneka kisah tragis di
sekitar kekerasan atas nama agama. Dengannya, menempatkan negeri ini
sebagai ”perpustakaan” maha luas yang menyimpan arsip berbasis
pengalaman diri mengenai berbagai variasi kekerasan yang menjadikan
agama sebagai pembenar. Beberapa kasus selektif yang direkam media
massa berikut ini memberikan gambaran cukup menyeluruh mengenai isu
ini, berikut variasinya.
Pertama,
kekerasan yang berlangsung dalam ranah agama yang sama. Dari sudut
aktor yang terlibat, terdapat variasi-variasi, antara lain: (a)
kekerasan yang melibatkan Ormas dalam komunitas agama yang sama. (b)
kekerasan yang melibatkan negara yang bertindak atas nama agama resmi
dalam merepresi ”aliran sesat” dalam satu agama. (c) kekerasan
yang melibatkan komunitas dari agama yang sama. (d) kekerasan yang
melibatkan institusi pemegang otoritas agama atas warga dari
komunitas agama yang sama.
Kedua,
kekerasan yang melibatkan agama yang berbeda. Dari sudut aktor,
terdapat variasi pola pula. (a) kekerasan yang melibatkan Ormas satu
agama atas komunitas dari agama lain. (b) kekerasan yang melibatkan
Ormas dari komunitas agama yang berbeda. Khusus yang simbolik. (c)
kekerasan atas kelompok agama yang melibatkan Negara melalui
pengaturan tertentu.
Ketiga,
kekerasan satu kelompok agama atas kelompok lain yang melakukan
aktivitas yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama. Variasi pola
juga ditemukan di sini antara lain berupa: (a) kekerasan dilakukan
oleh Ormas agama atas aktivitas-aktivitas yang dianggap sebagai
simbol kemaksiatan, dan sejenisnya. (b) kekerasan atas nama agama
oleh kelompok masyarakat yang ditujukan pada aktivitas-aktivitas yang
didakwa sebagai simbol kemaksiatan, dan sejenisnya.
Berikut
ini akan disajikan secara sepintas beberapa kasus yang menggambarkan
sebagian dari kategori di atas.
1.
Kekerasan di Ranah Sendiri: Kisah Ahmadiyah, Purwakarta, dll
Di
NTB, pengusiran atas warga Ahmadiyah terjadi berulang. Pada 2001
warga Ahmadiyah di Desa Pemongkong, Kecamatan Keruak, Lombok Timur
diserang warga sekitar. September 2002, sekitar 300 warga harus
meninggalkan Ahmadiyah Pancor, Lombok Timur karena alasan yang sama.
Juni 2003, 35 KK Ahmadiyah di Sambi Elen, Kota Selong, Lombok Timur
diusir warga. Antara 10 sampai 13 September 2002, ratusan warga
Ahmadiyah mengungsi akibat diserang. Di kabupaten yang sama tetapi
dusun yang berbeda, 127 warga Dusun Ketapang, juga mengalami nasib
yang sama. Pengusiran juga terjadi di Sumbawa. Dari kawasan lain,
pada 23 Desember 2002, dua masjid milik warga Ahmadiyah di Desa
Manior Lor, Kuningan, Jawa Barat, diserang massa. September 2005,
perusakan terhadap rumah warga Ahmadiyah terjadi di Kecamatan Cibeber
dan Campaka, Cianjur. Sebelumnya pada Juli 2005, markas Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, Kampus Al-Mubarok, Parung, Bogor, diserbu dan
dirusak massa yang melibatkan FPI.
Respons
aktor pemegang otoritas agama seragam: Ahmadiyah masuk dalam kategori
”sesat”. TGH Mahally Fikri, Wakil MUI Lombok Barat mengatakan,
“warga sudah lama menolak keberadaan anggota Ahmadiyah. Apalagi,
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lobar telah menyatakan ajaran Ahmadiyah
sebagai terlarang dalam SK Bupati Lobar No. 35/2001.” Instruksi
pelarangan diterbitkan setelah Pemkab berkoordinasi dengan MUI dan
Departemen Agama Lombok Barat. Hal yang sama dilakukan Bupati Cianjur
melalui SKB dengan pihak kepolisian dan kejaksaan negeri. SKB ini
dikeluarkan atas desakan MUI Cianjur, Kodim 0608 Cianjur, DPRD, serta
40 ormas Islam se-Cianjur.
Respons
yang seragam di atas tidak mengagetkan. Pada level nasional, di bulan
Juli MUI telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ajaran Ahmadiyah,
termasuk mengharamkan pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Fatwa
sesat atas Ahmadiyah sebenarnya telah dikeluarkan sejak 1968. Akan
tetapi selama Orba tidak menimbulkan dampak berarti. Tidak ada
gerakan kekerasan untuk menghentikan aktivitas Jemaat Ahmadiyah yang
sudah berlangsung sejak 1924-1925.
Keberadaan
Ahmadiyah diyakini mengganggu eksitensi Islam dikarenakan Ahmadiyah
menganggap pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi dan rasul.
Klaim ini harus berhadapan dengan sebagian penganut Islam mainstream
yang meyakini Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
Ahmadiyah
adalah suatu aliran yang dilahirkan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India.
Pada tahun 1889, ia menyebut dirinya sebagai Mahdi sekaligus Al
Masih. Ia mengaku telah mendapatkan wahyu dari Tuhan mulai tahun
1876, pada usia 41 tahun. Saat ini pengikut Ahmadiyah di seluruh
dunia diperkirakan mencapai 10 juta orang. Pemimpinnya yang terkini
adalah Mirza Tahir Ahmad, salah satu cucu Mirza Ghulam Ahmad. Pada
tahun 1985, Mirza Tahir Ahmad pindah ke London setelah mendapat
tekanan terus menerus di Pakistan. Dari London, aktifitas gerakan
Ahmadiyah di seluruh dunia dikendalikan.
Di
Indonesia ada dua kelompok penganut Ahmadiyah, yakni Ahmadiyah Qadian
yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Mereka memusatkan
gerakannya di Parung Bogor. Aliran Ahmadiyah yang lain adalah Lahore.
Untuk Indonesia berpusat di Yogyakarta. Aliran Lahore menganggap
Mirza Ghulam Ahmad seorang pembaharu Islam. Ahmadiyah di Indonesia
pernah mendapat ijin legal dari pemerintah sebagai organisasi sosial.
Pada tahun 1953 mereka mendapat legalitas sebagai badan hukum. Pada
tahun 2003 mereka mendapat ijin sebagai organisasi kemasyarakatan
melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No.
75//D.I./VI/2003. Namun ijin sebagai organisasi kemasyarakatan itu
tidak mengurangi niat kaum muslim lain untuk memerangi Ahmadiyah.
Apalagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mengeluarkan
fatwa sesat untuk aliran Ahmadiyah Qadian yang berkembang di
Indonesia sejak tahun 1980. Fatwa tersebut dipertegas dengan surat
edaran Departemen Agama tahun 1984 yang mempertegas pelarangan ajaran
Ahmadiyah.
Komnas
HAM yang melakukan serangkaian penyelidikan mengeani perusakan,
penyerangan warga Ahmadiyah di Bogor dan NTB, mengatakan pemerintah
tidak bisa begitu saja membubarkan Ahmadiyah. Ahmadiyah adalah
organisasi berbadan hukum. Hak beragama, berorganisasi, berpendapat
dijamin UU. H.M. Billah menyatakan yang terjadi selama ini, yang
diserang yang dievakuasi oleh aparat. Seharusnya yang menyerang yang
ditangkap dan diproses atas nama hukum.xiv
Sementara
itu, menanggapi terbitmya SK bupati Lombok Barat, Wakil Ketua Komnas
HAM Zumrotin K. Menyatakan, hal ini menunjukkan adanya kekacauan
sistem regulasi. Dalam bahasanya sendiri, “Pada praktiknya ada
banyak peraturan yang bertentangan dengan konstitusi yang menjamin
kebebasan beragama. Tidak beragama saja tidak boleh diusir, apalagi
orang beragama. Bagaimana ada SK Bupati dapat bertentangan dengan
konstitusi?”.
Dalam
peristiwa yang lain, sejumlah massa yang mengatasnamakan gabungan
kelompok Islam memprotes Dialog Lintas Etnis dan Agama di Purwakarta,
Jawa Barat, Selasa 23 Mei 2006 yang dihadiri Gus Dur. Massa meminta
acara dibubarkan. Ketika baru beberapa menit Gus Dur menyampaikan
pandangannya sebagai pembicara kunci, di luar ruangan massa membuat
kegaduhan. Sekitar 15 orang memasuki ruangan diskusi untuk
membubarkan forum. Kegaduhan itu terjadi ketika sekitar 50 massa
gabungan dari Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), Forum Umat Islam (FUI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
dikomandoi Ketua FPI Cabang Purwakarta Asep Hamdani memaksa masuk
Gedung PKK Kabupaten Purwakarta, tempat acara digelar. Pada acara
bertema “Merajut Cinta yang Terserak, Merangkai Silaturahim, Menuju
Purwakarta Wibawa Karta Raharja” itu, Gus Dur memaparkan
pandangannya tentang pluralisme dalam bingkai masyarakat mandiri. Gus
Dur menyebutkan aksi sejuta umat mendukung RUU Anti-Pornografi dan
Pornoaksi didanai pihak ketiga. Tersinggung dengan pernyataan Gus
Dur, Asep Hamdani, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Purwakarta,
berteriak lugas di depan forum, “Kami harap Bapak Gus Dur pulang
secepatnya.” Tanpa komando, puluhan massa FPI pun menyambutnya
dengan takbir ‘’Allahu Akbar.’’
Ucapan
Asep berbuntut panjang. Para pendukung Gus Dur menilai telah terjadi
aksi penghinaan dan pengusiran pada presiden keempat RI itu. Sebagai
dukungan pada Gus Dur yang juga mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama,
puluhan organisasi -- antara lain Garda Bangsa, organisasi pemuda di
bawah PKB -- menggelar demonstrasi di Jakarta. Mereka mendesak
pemerintah membubarkan Ormas-ormas Islam yang dianggap sering
melakukan tindakan anarki: FPI, Majelis Mujahidin Indonesia, Forum
Umat Islam, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan sejenisnya. Tokoh
agama, akademisi, dan aktivis prodemokrasi yang tergabung dalam
Aliansi Masyarakat Anti-Kekerasan menggelar konferensi pers bertema
“Melawan Preman Berjubah” di kantor The Wahid Institue, Jl Taman
Amir Hamzah No 8 Jakarta, Rabu, 24 Mei 2006.xv
Banyak
kasus lainnya yang menggambarkan meluasnya penggunaan kekerasan dalam
ranah agama yang sama. Sebagai contoh, Jaringan Islam Liberal terus
dikritik, bahkan sejumlah figurnya diancam akan dibunuh, karena
menyerukan himbauan untuk tidak menafsirkan doktrin Islam terlau
harafiah. Pada 25 Juni 2005, 2000 orang yang menyebut Komunitas
Muslim Kota Palu melakukan protes terhadap artikel Islam, Agama Yang
Gagal, yang ditulis dosen Universitas Muhamadiyah di Palu. Para
pengunjuk rasa mengancam akan mengerahkan massa yang besar dan akan
menyelesaikan masalahnya sendiri bila polisi tidak bertindak selama
24 jam.xvi
2.
Kekerasan Lintas Agama
Kebebasan
beragama menurut hukum Indonesia ditafsirkan sebagai suatu kewajiban
untuk menjadi anggota salah satu dari 5 agama resmi atau menjadi 6
setelah Konghuchu juga diakui sebagai agama resmi. Peraturan ini
berlaku bagi penganut agama lama atau agama suku, seperti suku Dayak
di Kalimantan, yang oleh karenanya mereka lalu berpindah agama ke
Kristen atau sebagaian ke Hindu menjadi Hindu Kaharingan.
Sejak
berdirinya RI hingga November 2001 tercatat 858 gereja dirusak, baik
secara total atau mengalami kerusakan berat, serta dilarang atau
ditutup oleh aparat negara. Selama masa pemerintahan Presiden
Soekarno yang berlangsung 21 tahun, hanya 2 buah gereja yang dirusak.
Sedangkan selama pemerintahan Soeharto yang berlangsung 32 tahun, ada
456 gereja yang dirusak. Dalam 17 bulan pemerintahan Habibie ada 156
gereja yang dirusak. Selama 21 bulan pemerintahan Gus Dur terdapat
232 gereja yang dirusak dan dalam 4 bulan masa pemerintahan Megawati
Soekarnoputri ada 12 gereja yang dirusak. Dalam angka tersebut
termasuk perusakan di daerah konflik Maluku, Poso, yang sejak awal
tahun 1999 sebanyak 192 gereja dan 28 mesjid dirusak.
Perusakan
gereja sering bersamaan dengan timbulnya kerusuhan massal. Misal
kerusuhan tangal 26 Dsember 1996 di Tasikmalaya, hanya dalam 24 jam,
15 gerejaxvii
Selama
Januari tahun 2005, terjadi penyerangan dan pengrusakan atas kuil
Hindu di Legian, Kuta, Tuban dan Pedonganan. Enam kuil rusak selama
penyerangan tersebut. Penghancuran atas rumah ibadat juga menimpa
komunitas Muslim. Sayangnya penulis belum dapat menghimpun data
secara baik untuk dapat disajikan dalam tulisan ini. Akan tetapi
ingatan banyak kita masih cukup segar mengenai kasus pengrusakan
Mesjid di Kupang sebelum meletusnya konflik Ambon. Demikian juga,
terjadi pengrusakan mesjid An Nur di wilayah Talake Ambon oleh massa
Kristen, pada 26 April tahun 2004. Mesjid diserang setelah sebelumnya
warga Muslim diserang dengan senjata rakitan oleh warga Kristen.
Pada
3 Oktober 2004, forum komunikasi umat Islam Karang Tengah, dengan
dukungan FPI mendirikan tembok setinggi 2 meter dan lebar 5 meter
yang menutup akses menuju Sekolah Katolik Sang Timur. Warga sekitar
yang mayoritas beragama Islam berkeberatan dengan pengoperasian
sekolah tersbut karena sebuah paroki katolik secara rutin mengadakan
kegiatan keagamaan di aula sekolah. Hal ini disebutkan bertentangan
dengan ijin operasional sekolah. Pemda pun akhirnya menghancurkan
tembok tersebut pada 25 oktober 2004, hanya beberapa jam sebelum
kedatangan Gus Dur.xviii
Kerusakan
parah yang dialami komunitas agama justru terjadi di kawasan tempat
konflik antar komunitas agama yang berbeda berlangsung dengan skala
dan intensitas yang tinggi. Konflik terbuka antara kelompok Kristen
dan Islam di Ambon pecah pada hari raya Lebaran 1999. Penyebabnya
terjadi pertengkaran antara pengemudi taksi beragama Kristen dan
seorang preman yang kebetulan beragama Islam karena masalah uang
setoran. Sejak saat itu, konflik terus mengalami eskalasi yang
menyebabkan jatuhnya korban nyawa yang sangat besar serta hancurnya
sarana dan prasarana publik dan pribadi di kedua belah pihak.
Konflik
dengan kekerasan yang juga melibatkan dua komunitas agama yang
berbeda berlangsung di Poso. Konflik yang diawali oleh adanya
pertengkaran sepele antar anak muda ini, akhirnya memicu konflik
antar kelompok agama yang berkepanjangan. Sejak tahun 1999 sampai
2001, ratusan rumah dan rumah ibadah hancur dan dibakar, dan korban
telah mencapai lebih dari 200 jiwa.
3.
Kekerasan oleh Negara atas Nama Agama
DPRD
Kota Depok didesak segera mengesahkan peraturan daerah tentang
pelarangan pelacuran. Desakan ini disampaikan Front Pembela Islam
Depok yang melakukan konvoi ke DPRD dan Balaikota, Jumat, 28 April
2006 sore. FPI juga minta agar perzinahan dimasukkan dalam rancangan
perda, termasuk perselingkuhan dan kumpul kebo. Ketua Front Pembela
Islam (FPI) Depok Habib Idrus Al Ghadri yang berorasi di depan Gedung
DPRD Depok mengatakan, bila aspek perzinahan tak dicantumkan, maka
berpotensi untuk diakali secara hukum oleh pelaku pelacuran.
Pelaksanaan Perda ini, dengan segera memakan korban seorang perempuan
yang harus menghadapi kekerasan negara karena dituduh sebagai
pelacur.
Ketua
Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Depok M Triyono, yang
menerima massa FPI, mengatakan, secara jujur pihaknya mengajukan
raperda pelarangan pelacuran ini atas masukan FPI. “Tapi Komisi A
baru mengajukan ini sebatas usulan. Keputusan akhir ada pada panitia
musyawarah,” katanya.
Negara
menjadi bagian dari kekerasan atas nama agama juga kental terekam
dari kasus Madi, seorang peladang berpindah yang tinggal di
permukiman terisolir di kaki Gunung Kamalisi, wilayah Kota Palu. Ia
dituduh mengembangkan ajaran sesat di Dusun Salena. Puncaknya, ia
dianggap menjadi pemicu kekerasan yang menewaskan tiga polisi dan
seorang warga sipil serta mencederai beberapa lainnya. Menteri Agama
memvonis Madi sebagai pesakitan dan menuduhnya sebagai penyebar
ajaran sesat. Kepala Polri menuduh Madi melarang orang puasa dan
shalat di masjid. Kedua sikap ini mewakili pandangan resmi
pemerintah. Sebagian media massa dan masyarakat mengambil posisi yang
kurang lebih sama. Arianto Sangaji Direktur Pelaksana Yayasan Tanah
Merdeka, di Palu mengemukakan persoalan Madi merupakan ekses dari
kombinasi antara ketidakadilan, kesalahpahaman, prasangka,
stigmatisasi, dan kriminalisasi yang terjadi sistematis.
Ia
menegaskan, pertama, adanya stereotyping terhadap komunitas suku-suku
tertentu. Berbagai komunitas yang tinggal di kaki dan lereng Gunung
Kamalisi kerap dipanggil to lare (orang gunung) dalam konotasi
negatif. Sebutan ini bermakna primitif karena pendidikan yang rendah,
ketidakmampuan berbahasa Indonesia, masih mempraktikkan ritus-ritus
agama suku, berladang dengan pola tebang dan bakar yang berorientasi
subsisten, agresi terhadap orang asing, dan sebagainya.
Kedua,
Madi dan penduduk yang tinggal di Kamalisi adalah potret
ketidakadilan dan marginalisasi. Akses terhadap sumber daya alam,
yang menjadi sandaran kehidupan, kian sempit sejak Orba. Penetapan
kawasan lindung dan masuknya proyek perkebunan dan HPH menyebabkan
akses tradisional mereka atas tanah dan hutan kian sempit. Puluhan
proyek pemukiman kembali penduduk oleh pemerintah, yang kadang
dilakukan secara paksa, menunjukkan bahwa penduduk di sana
dipersepsikan sebagai ancaman.
Salena,
sebuah dusun di Kota Palu merupakan contoh ketidakadilan. Permukiman
yang berjarak hanya belasan kilometer dari pusat kota itu baru sejak
lima tahun terakhir bisa dijangkau menggunakan kendaraan roda empat.
Sebagian besar warganya memilih persalinan oleh dukun karena tidak
ada paramedis yang menetap di sana. Buta huruf dan ketidakmampuan
sebagian besar warganya berbahasa Indonesia menunjukkan mereka tidak
punya akses ke pendidikan. Pemerintah lima tahun terakhir mulai
memberikan perhatian terhadap warga Dusun Salena setelah Yayasan
Pendidikan Rakyat, sebuah LSM yang bekerja dengan isyu masyarakat
adat, ”memaksa” pemerintah kota hadir di sana. Sebelum itu, warga
Salena seperti hidup tanpa pemerintah.
Ketiga,
tidak adanya pemahaman antropologis atau sosiologis terhadap ”ajaran”
Madi. Padahal, ajarannya tidak lebih dari cermin ritus yang biasa
dilakukan para petani subsisten pra-kapitalis. Itu mencakup
perdukunan, penolakan terhadap penyakit (movala ngata, memagari
kampung), siklus aktivitas pertanian (pembukaan lahan, penanaman, dan
panen), dan latihan bela diri bersandar kekuatan gaib. Di Kamalisi,
sebagian di antara ritus itu masih dipraktikkan dengan perbedaan
tertentu oleh berbagai komunitas di sana. Dalam kasus Madi, kemudian
disimplifikasi sebagai ajaran sesat.
Padahal,
klaim sebagai ajaran sesat menggunakan kacamata agama resmi yang
diakui pemerintah, yakni dengan menempatkan agama resmi itu vis a vis
dengan ritus agama suku. Ini kemudian mengundang intervensi negara.
Dalam kasus Madi, negara (aparat keamanan) terlampau jauh mengurusi
soal kepercayaan. Dimulai dengan prasangka tentang ajaran sesatnya.
Tewasnya tiga polisi semakin menjustifikasi bahwa kekerasan adalah
bagian dari metode ajarannya. Vonis Menteri Agama dan Kepala Polri
menggambarkan sifat intervensionis negara.
Kehadiran
negara yang bertindak atas nama agama sebagai bagian dari sistem
kekerasan atas warganya juga terekam dari kasus komunitas Eden. Lia
Aminuddin, pemimpin komunitas religius bernama Komunitas Eden
ditangkap bersama 47 anggotanya oleh aparat kepolisian Polsek Senen
pada 28 Desember 2005. Lia dituduh melakukan penodaan agama .
Sebelumnya markas komunitas Eden coba dibakar oleh sekelompok massa
Muslim. Polisi yang datang pada waktu percobaan pembakaran markas,
membawa komunitas Eden ke kantor polsek Senen dengan alasan keamanan,
yakni untuk melindungi mereka dari serangan massa. Namun keesokan
harinya komunitas ini dikenai tuduhan penodaan agama.
Pengalaman
lain yang melibatkan negara adalah penangkapan dan pemenjaraan atas
pengikut Falun Dafa atau Fanun Dafa. Pada 23 April 2005, saat
presiden Cina, Hu Jintao berkunjung ke Indonesia, para pengkut Falun
Dafa, dikenal dengan Falun Gong berdemonstrasi secara damai di
Kedutaan Besar Cina. Polisi menahan 12 anggota Falun Dafa. 28 April
2005, pengadilan menjatuhi hukuman 2 bulan pejara, 6 bulan masa
percobaan pada 12 orang tersebut, karena melanggar peraturan
melakukan demonstrasi di luar derah yang ditentukan. Dalam kasus yang
lain, pemerintah menetapkan batasan terhadap beberapa ceramah
keagamaan. Sementara pada kasus yang lain pemerintah bahkan
penjatuhkan sanksi keras bagi pemimpin agama yang didefinisikan
menyimpang. Sebagai contoh, pada tanggal 8 Mei 2005, misalnya,
Muhamad Yusman Roy, pemimpin pondok pesantren dikenai tuduhan
penodaan atas agama, dan dikenai sanksi 5 tahun penjara karena
memimpin shalat di pesantren dalam bahasa Arab kemudian dikuti
terjemahannya dalam bahasa Indonesia.xix
4.
Kekerasan Atas Simbol Kemaksiatan
Enam
puluh anggota FPI Bekasi menyerang sebelas warung remang-remang di
Jalan Masjid At Taqwa, Minggu, 21 Mei 2006. Deretan warung yang
menyuguhkan hiburan musik dan minuman beralkohol pernah dihimbau FPI
untuk tutup. Namun warung tersebut makin bertambah jumlahnya. Hal ini
semakin meyakinkan kelompok ini bahwa prosedur menegakkan amar makruf
nahi mungkar dan menegakkan Islam secara kaffah tidak pernah secara
sungguh-sungguh dilakukan pemerintah. Mereka bahkan mendapat kesan,
pemerintah tidak punya kemauan. Karenanya, sebagai Ormas yang
mengklaim diri sebagai penegak ajaran Islam, FPI merasa berkewajiban
melakukan cara-cara “tegas” – kekerasan – untuk mempertegas
pesan mereka. Ormas ini, merasa memiliki mandat untuk memberikan
penghukuman atas merekamereka yang mengangkangi keyakinan FPI.
Sebelumnya
pada 22 Mei 2006, Kapolresta Bekasi mengimbau agar aksi kekerasan,
perusakan yang dilakukan lembaga kemasyarakatan dalam memberantas
penyakit masyarakat tidak sampai terjadi di wilayah hukum Bekasi.
Jika sampai ada yang melakukan tindakan anarkis polisi tidak akan
tinggal diam dan akan memberikan sanksi tegas. Akan tetapi, pesan
keras ini, tidak pernah diwujudkan.
Pada
peristiwa yang lain, 12 April 2006 sekitar pukul 14.00 sekitar 500
anggota Front Pembela Islam (FPI) mendatangi Kantor Majalah Playboy
di Gedung Asean Aceh Fertilizer (AAF). Maksud kedatangan mereka
adalah memprotes penerbitan majalah dewasa itu. Sesampainya di Gedung
AAF, para anggota FPI lalu menggelar unjuk rasa. Namun, beberapa saat
kemudian, Zainal dan Agus bersama dengan beberapa anggota FPI lainnya
melempari Gedung AAF menggunakan batu sebesar kepalan tangan orang
dewasa hingga sebagian kaca gedung pecah. Batu ini didapat dari
trotoar jalan yang berada empat meter di depan gedung.xx
Kekerasan
Atas Nama Agama: Sebuah Spekulasi
Kekerasan
atas nama agama atau yang menempatkan agama sebagai pembenarannya
mendapatkan respons yang bervariasi. Azyumardi Azraxxi
menggunakan perspektif politik dalam memahami persoalan ini. Menurut
Azyumardi, kekerasan atas nama agama telah ada sejak era pasca
kemerdekaan dengan munculnya DI/TII. Sebuah gerakan politik yang
menggunakan agama sebagai justifikasinya dalam usaha untuk mewujudkan
cita-cita politiknya. Sejarah mencatat DI/ TII gagal. Akan tetapi
pada masa Soeharto muncul lagi. Hanya saja, sebagian kelompok radikal
di era Soeharto adalah produk rekayasa militer atau intelijen melalui
Ali Moertopo dengan Opsusnya dan Bakin yang merekayasa bekas anggota
DI/TII. Sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan berbagai aksi
seperti Komando Jihad dalam rangka mendiskreditkan Islam. Sejak
jatuhnya Soeharto, kelompok ini muncul lebih visible, lebih militan,
dan vokal. Hal ini semakin diperkeras oleh kehadiran media massa,
khususnya media elektronik sepetti TV yang banyak memberikan
liputannya atas sepak-terjang kelompok sejenis.
Aksi
ini bisa karena faktor agama saja dan bisa juga karena politik. Ini
bisa bertitik tolak dari pemahaman keagamaan tertentu kemudian diisi
oleh muatan politik. Atau sebaliknya muatan politik lebih dulu baru
diberikan justifikasi agama. Mereka punya agenda politik tertentu
yang dijustifikasi oleh ayat-ayat Al Quran atau Hadis atau pandangan
ulama tertentu. Atau bisa jadi dua-duanya. Penggunaan agama sebagai
alat justifikasi bisa disebabkan karena pemahaman keagamaannya sangat
literer atau harfiah. Dengan pemahaman ini mendorong mereka melakukan
tindakan politik tertentu, termasuk tindakan kekerasan.
Penggunaan
kekerasan oleh kelompok ini oleh Azyumardi disebabkan karena pada
awalnya kelompok ini merupakan kelompok politik. Untuk mendapatkan
dukungan publik Indonesia yang mayoritasMuslim, mereka menyertakan
agama. Tujuannya agar sikap politiknya, termasuk kekerasan,
seolah-olah dibenarkan agama. Cara ini sebenarnya karena melihat
ajaran agama secara sepotong-sepotong. Misalnya, memahami jihad itu
hanya perang. Perang yang dikembangkan bersifat indsikriminatif
dimana tidak hanya orang non-muslim saja yang menjadi target, tetapi
juga orang Islam yang berbeda pendapat. Orang Islam sendiri, akhirnya
menjadi sasaran jihad versi mereka.
Romo
Mudji Sutrisnoxxii
memahaminya dari sudut budaya. Dari segi kebudayaan, agama berfungsi
sebagai perekat damai. Ia merupakan teks yang mengajarkan hubungan
damai dengan sesama dan tulus damai dengan Yang Kuasa. Geertz
menempatkannya sebagai ruang pengarti makna hidup dan orientasi hidup
yang bersumber pada teks suci kebenaran hingga mendasari lapis-lapis
pandangan hidup lainnya seperti akal sehat, ilmu pengetahuan, dan
estetika.
Krisis
di tahap agama akan mengakibatkan krisis mendasar dan total. Sebab,
pengarti makna hidup runtuh. Di sini saja, terjawab bahwa peran agama
secara budaya menjadi perajut identitas individu maupun kolektif atau
komunitas. Di situ, juga terletak salah satu jawaban mengapa usaha
mati-matian untuk tidak terjadi krisis identitas, komunitas memegang
agama erat-erat dengan ketotalan tafsiran dan pembahasan hukum
kebenaran mutlak. Sekalipun demikian, konflik bisa tetap diatasi
secara budaya. Contoh paling mencolok adalah wacana konflik peradaban
dari Samuel Huntington yang membuat masing-masing peradaban yang
merasa eksistensi identitasnya ditantang konflik lalu memakai jalur
politik identitas untuk mempertahankan diri dan melawan.
Lalu,
kapan potensi kekerasan itu meruyak ke luar dan apa sebabnya? Agama
potensial menjadi kendaraan dan legitimator kekerasan bila
radikalisme perjuangan politik identitas mengambilnya sebagai
amunisi.
Tamrin
Amal Tamagola,xxiii
memahami kesemuanya melalui kaca mata yang berbeda, yakni kaca-mata
struktural. Dalam pemahamannya, konflik antar agama sudah ada sejak
dahulu, bukanlah buah reformasi. Konflik beragama di Halmahera,
misalnya, telah terjadi sejak 1960-an dan di Kalimantan sejak 1950an.
Namun setiap konflik bernuansa SARA berhasil ditumpas oleh pemerintah
Soeharto. Hal ini dicapai melalui perasionalisasi seperangkat lembaga
hegemonik-ideologis, antara lain dengan memaksakan asas tungal
Pancasila. Cara lain adalah dengan menciptakan mesin politik raksasa,
Golkar dengan lembaga turunannya, dengan jaringan cabang dan ranting
yang meliputi jaringan birokrasi sipil, termasuk BUMN, militer. Cara
terakhir adalah dengan menggerakkan serangkaian mesin penundukan
dengan kekerasan, dengan menggencarkan intimidasi aparat militer,
polisi dan berbagai organisasi milisi serta organisasi kepemudaan
seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Karya.
Pasca
jatuhnya Soeharto, konflik dengan kekerasan yang melibatkan agama
yang berbeda meluas karena adanya faktor bom waktu yang telah
disemaikan selama masa Orba, dan hancurnya berbagai lembaga manajemen
konflik baik yang dipunyai komunitas sipil, maupun yang dikendalikan
negara.
Bom
waktu ini berupa bom waktu struktural, institutional, behavioral. Bom
waktu struktural karena ketidakadilan dan marjinalisasi ekonomi,
politik, dan sosial-budaya serta kelembagaan. Bentuk marjinalisasi
kelembagaan hadir dalam raut penghancuran secara sistematis lembaga
adat perekat sosial yang diakrabi warga dan pengikisan identitas
budaya suku tertentu.
Penutup
Secara
sengaja tulisan ini merekonstruksi kembali secara selektif sejumlah
kasus yang merepresentasikan kategori tertentu pola kekerasan yang
mengatas-namakan agama yang dapat ditelusuri dari pengalaman
Indonesia sebagai laboratorium pencipta kekerasan dan sekaligus
”perpustakaan” tempat penyimpanan arsip diri tentang kekerasan
atas nama agama. Demikian pula, dengan cara eklektik, tulisan ini
memilih pandangan tiga pakar yang merefleksikan cudut pandang yang
berbeda dalam memahami fenomena di atas.
Dengan
cara tersebut di atas, diharapkan khalayak dapat menarik benang merah
dan kesimpulan sendiri mengenai fenomena yang dibahas dalam tuliasn
ini. Kasus-kasus dan interpretasi para ahli di atas, sudah mewakili
spektrum perdebatan yang luas mengenai topic ini. Kalaupun ada yang
masih tersisa, boleh jadi terkait dengan apa yang pernah
diargumentasikan kami dalam buku yang ditulis Sumartana dkk: pola
hubungan konfliktual, yang tak jarang melibatkan kekerasan antar
kelompok agama disebabkan karena terjebak pada ”politik angka”
dan watak missionaris dari agama-agama. Mengerasnya konflik di antara
gama-agama samawi, terutama yang melibatkan kekerasan merupakan
akibat logis dari habisnya ruang ekspansi masing-masingnya dalam
memperbesar ”angka” pengikut menyusul ditaklukkannya secara
hampir totalnya agama-agama suku yang pernah bersemai di nusantara.xxiv
*
Dimuat Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 13, Nomor 1, Juli
2009 (1-19). Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang pernah
disampaikan dalam Diskusi Panel “Kekerasan Atas Nama Agama di
Indonesia: Proyeksi Ke Depan,” diselenggarakan oleh BEM Fakultas
Teologi, Universitas Kristen DutaWacana, Yogyakarta, 26 Agustus 2006
**
Cornelis Lay adalah mahasiswa S3 Ilmu Politik Universitas Gadjah
MadaYogyakarta dan Staf Pengajar Jurusan Ilmu Politik dan
Pemerintahan, Fisipol UGM,Yogyakarta. Ia dapat dihubungi melalui
email: conny@ugm.ac.id
Daftar
Pustaka
Ari Dwipayana, AAGN.
(2001). ’Ritual “Amoek” Melayu: Rekonstruksi atas Ritus-ritus
Kekerasan di Indonesia.’ Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik,
Fisipol UGM, Vol. 5. No. 1, Juli 2001.
Foucault, Michel,
(1997). Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern. Yogyakarta: LKiS.
Galtung, Johan
(1996). ‘On the Social Cost of Modernization, Social
Disintegration, Atomie/Anomie and Social Development.’ Development
and Change, Vol 27, No. 2, April 1996.
Geerzt, Clifford,
(1975). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Gehl, Jan (1987).
Life Between Building, New York: Van Nortrand Reinhold Company.
Haryanto, Ariel,
(2006). State Terrorism and Political Indentity in Indonesia: Fatally
Belonging, London: Routledge.
Kampschulte,
Theodor, (2001). Situasi Ham di Indonesia: Kebebasan Beragama dan
Aksi Kekerasan, Internationales Katholisches Missionswerk Mision.
Lay, Cornelis,
(2004). Antara Anarki dan Demokrasi. Jakarta: Pensil 324.
Lichbach, Matrk I.
(1994). ‘What Makes Rational Peasants Revolutionary? Delemma,
Paradox and Irony in Peasant Collective Action.’ World Politics,
46.
Scott, James (1985).
Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasants Resistance. New
Haven: Yale University Press.
Sumarthana, Th. Tim
Peneliti, (1999). Pengalaman, Kesaksian, dan Refleksi Kehidupan
Mahasiswa di Yogyakarta. Yogyakarta: DIAN/Interfidei.
Tamagola, Tamrin
Amal 2006. Republik Kapling. Yogyakarta: Resist Book
C. L. Sylzberger,
The New York Times, 13 April 1966.
Antaranews, 24
Agustus 2006.
Informasi pada
bagian-bagian ini diambil dari Laporan Kebebasan Beragama
Internasional, Departemen Luar Negeri AS, 2005.
www. polarhome.com
www.polarhome.com
i
Hal ini diekspresikan antara melalui konflik komunal yang melibatkan
kekerasan sebagaimana melanda Indonesia dalam tahun-tahun awal pasca
reformasi. Diskusi lebih mendalam dapat dilihat dalam Tamrin Amal
Tamagola, Republik Kapling (Yogyakarta: Resist Book, 2006)
iii
Untuk diskusi yang menarik, lihat misalnya Ariel Haryanto, State
Terrorism and Political Indentity in Indonesia: Fatally Belonging,
London: Routledge, 2006.
v
Lihat misalnya, argumentasi Jan Gehl di sekitar psikologi arsitektur
yang dibangunnya berdasarkan eksperimentasi atas tikus yang
distimulasi dengan warna yang menggambarkan terjadinya perubahan
perilaku ke arah kekerasan tikus-tikus yang mendapatkan pencahayaan
dengan warna konstan untuk jangka waktu tertentu. Jan Gehl, Life
Between Building, New York: Van Nortrand Reinhold Company, 1987.
vi
Galtung menggambarkan kekerasan sebagai respons atas kekerasan
struktural negara sebagai konsekuensi logis dari terjadinya
perubahan watak kekuasaan negara dari kekuasaan yang bercorak
ideologis dan remuneratif, ke bentuknya yang keras berupa kekuasaan
punitif, Johan Galtung, ‘On the Social Cost of Modernization,
Social Disintegration, Atomie/Anomie and Social Development,’
Development and Change, Vol 27, No. 2, April 1 996. Lihat pula,
Cornelias Lay, Op.Cit. Pendekatan struktural dalam memahami
kekerasan dapat pula dipelajari dalam Michel Foucault, Disiplin
Tubuh: Bengkel Individu Modern (Yogyakarta: LKis, 1997).
viii
Lihat misalnya, AA. GN. Ari Dwipayana, ‘Ritual “Amoek” Melayu:
Rekonstruksi atas Ritusritus Kekerasan di Indonesia,’ Jurnal Ilmu
Sosial & Ilmu Politik, Fisipol UGM, Vol. 5 . No. 1 , Juli 2001.
ix
Pola hubungan konfliktual yang kadang melibatkan kekerasan yang
bersumber pada perbedaan yang bersumber pada etnisitas (etnis dan
agama) didiskusikan secara cukup mendalam dalam Th. Sumarthana,
dkk., Pengalaman, Kesaksian, dan Refleksi Kehidupan Mahasiswa di
Yogyakarta (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 1999).
x
Lihat, Mark I. Lichbach, ‘What Makes Rational Peasants
Revolutionary? Dilemma, Paradox and Irony in Peasant Collective
Action,’ World Politics, 46.
xi
James Scott,Weapons of theWeak: Everyday Forms of Peasants
Resistance (New Haven: Yale University Press, 1985).
xii
Penggunaan kekerasan paling demonstratif dan bersifat missal, serta
melibatkan kombinasi kekuasaan negara, militer, dan kekuatan agama
didemosntrasikan secara sangat kasat mata melalui pembantaian
anggota PKI, para simpatisan PKI atau mereka yang dituduh PKI
selepas peristiwa 1 Oktober 1965 (Gestok).
xvi
Informasi pada bagian-bagian ini diambil dari Laporan Kebebasan
Beragama Internasional, Departemen Luar Negeri AS, 2005.
xvii
Informasi mengenai kerusakan gereja di diambil dari Theodor
Kampschulte, Situasi HAM di Indonesia: Kebebasan Beragama dan Aksi
Kekerasan (Internationales Katholisches Missionswerk Misio, 2001)
xviii
Data pada bagian-bagian ini diekstraksi dari Laporan Kebebasan
Beragama Internasional, Op. Cit.
Related Posts:
Agama Politik Sosial-Budaya
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Kalah terus tidak pernah menang?
BalasHapusselalu Deposit tidak pernah WD?
kartu yang dibagikan selalu jelek?
ROYALQQ.POKER jalan menuju kemenangan...
Mani dan Buktikan sendiri..