Kamis, 09 Mei 2013
Hak Minoritas dan Peran Negara: Menguji Argumen Multikulturalisme*
Hikmat Budiman
“Under
the doctrine of state multiculturalism, we have encouraged different
cultures to live separate lives, apart from each other and the
mainstream. We have failed to provide a vision of society to which
they feel they want to belong.” (David William Donald Cameron,
Perdana Menteri Inggris)i
Problematik
Minoritas
Seorang
individu menjadi bagian dari minoritas karena keterikatannya pada
etnik/ras/nasionalitas, agama, kelompok kultural, jenis kelamin,
preferensi seksual tertentu, atau pengelompokan-pengelompokan sosial
lainnya. Kymlicka (1991 dan 2005) menggunakan ungkapan keanggotaan
kultural (cultural membership) untuk mendepiksikan keterikatan
tersebut. Identitas individu berjalinan dengan identitas-identitas
kolektif dan hanya bisa ditetapkan dalam sebuah jaringan kultural
yang bukan lagi privat sifatnya (Habermas, 1991: 129).
Identitas personal dan kolektif dibentuk oleh proses-proses pengakuan dan pengabaian oleh yang lain, sehingga seseorang atau sekelompok orang akan benar-benar mengalami distorsi yang real ketika masyarakat di sekelilingnya memantulkan gambaran yang menghinakan mereka (Taylor, 1994: 25). Tapi keanggotaan kultural seorang individu meliputi banyak lapisan yang sering tumpang tindih satu dengan lainnya. Seorang perempuan beretnis Jawa, beragama Islam, penganut Ahmadiyah, heteroseksual, dan bekerja sebagai seorang pembantu dalam sebuah rumah tangga Ahmadi, misalnya, pada konteks spesifik tertentu dia adalah bagian dari mayoritas (Jawa, Muslim, heteroseksual), tapi pada konteks yang lain dan dalam waktu yang sama ia adalah anggota kelompok minoritas (sebagai perempuan di bawah dominasi laki-laki, sebagai anggota Ahmadiyah). Bahkan di dalam kelompok Ahmadiyah pun ia adalah bagian dari minorities within minorities.
Identitas personal dan kolektif dibentuk oleh proses-proses pengakuan dan pengabaian oleh yang lain, sehingga seseorang atau sekelompok orang akan benar-benar mengalami distorsi yang real ketika masyarakat di sekelilingnya memantulkan gambaran yang menghinakan mereka (Taylor, 1994: 25). Tapi keanggotaan kultural seorang individu meliputi banyak lapisan yang sering tumpang tindih satu dengan lainnya. Seorang perempuan beretnis Jawa, beragama Islam, penganut Ahmadiyah, heteroseksual, dan bekerja sebagai seorang pembantu dalam sebuah rumah tangga Ahmadi, misalnya, pada konteks spesifik tertentu dia adalah bagian dari mayoritas (Jawa, Muslim, heteroseksual), tapi pada konteks yang lain dan dalam waktu yang sama ia adalah anggota kelompok minoritas (sebagai perempuan di bawah dominasi laki-laki, sebagai anggota Ahmadiyah). Bahkan di dalam kelompok Ahmadiyah pun ia adalah bagian dari minorities within minorities.
Meskipun
individu pada dasarnya adalah pemangku-pemangku hak, termasuk hak
minoritas, tapi problematik minoritas hanya bisa dipahami dalam
konteks perjuangan untuk pengakuan atas identitas-identitas kolektif
tadi. Diskursus HAM kemudian membawa pertanyaan tentang hak-hak apa
yang bisa diberikan kepada kelompok-kelompok minoritas ini. Diskursus
hak minoritas, dengan demikian, adalah diskursus tentang
identitas-identitas kolektif yang mempertahankan diri melawan
penindasan, marginalisasi, asimilasi, dan sikap tidak hormat yang
dialaminya dari pihak lain dalam konteks komunitas warga masyarakat.
Bentuk-bentuk perlawanan muncul dalam berbagai variasi mulai dari
yang berlangsung dengan kekerasan sampai upaya-upaya diskursif.
Politik pengakuan (the politics of recognition) dan politik perbedaan
(the politics of difference) adalah bentuk-bentuk gerakan pembebasan
yang tujuan-tujuan politik kolektifnya terutama didefinisikan dalam
terminologi-terminologi kultural, sehingga karena itu bagi para
pengkritiknya gerakan ini cenderung terkesan tidak terlalu peduli
pada isu-isu ketimpangan sosial ekonomi dan ketergantungan politik,
meskipun dua isu tersebut jelas besar pengaruhnya pada berlangsungya
praktek-praktek ketidakadilan yang mereka lawan itu.
Namun
bahkan dalam konteks identitas kolektif pun persoalan pertama yang
segera muncul dalam diksusi tentang hak kelompok minoritas adalah
kesulitan menetapkan siapa yang bisa dimasukkan ke dalam kategori
“minoritas”. Dalam konteks pemeluk agama di Indonesia, misalnya,
memang cukup mudah untuk menunjuk mayoritas mutlak, yakni Islam,
berhadapan baik dengan lima agama lain yang diakui negara (Katolik,
Prostestan, Hindu, Budha, dan Konghucu) mau pun dengan agama-agama
lain yang tidak secara formal diakui oleh negara. Tapi lantas siapa
yang minoritas dalam konteks semacam itu? Pemeluk lima agama tadi
sering mendaku sebagai bagian dari minoritas vis a vis Islam, tapi
mereka adalah bagian dari mayoritas ketika berhadapan dengan
agama-agama lokal semacam Parmalim, Kaharingan, Wetutelu atau
Patuntung. Problem lainnya juga segera muncul karena bahkan di dalam
Islam pun, seperti juga di dalam agama-agama lain, terdapat banyak
sekali kelompok yang berbeda satu dengan lainnya. Problem yang
relative sama terjadi dalam pengelompokan-pengelompokan komunal
berbasis etnis. Selalu ada minoritas di dalam minoritas.
Rogers
Brubaker (2002: 164) mengingatkan kita tentang apa yang disebutnya
“kekeliruan kelompok-isme”, the error of groupism: kecenderungan
untuk menjadikan kelompok-kelompok yang terpisah, diskret, berbeda
secara tajam, homogen ke dalam dan mengekang ke luar, itu sebagai
konstituen-konstituen dasar dari kehidupan sosial, protagonist utama
konflik sosiall, dan unit fundamental dalam analisa sosial. Padahal,
menurut Brubaker, protagonis sebagian terbesar konflik etnis,
misalnya, bukanlah kelompok-kelompok melainkan organisasi-organisasi,
yang biasa memang memiiki kepentingan membuat orang melihat mereka
sendiri dalam terminologi-terminologi etnik. Kalau kelompok
diidentifikasi sebagai sesuatu yang solid dan homogen atau,
katakanlah, terjadi reifikasi tentang kelompok, tidakah dengan cara
itu kita justru sedang mempromosikan purbasangka antar kelompok
bahkan separatisme?
Dalam
Politics in the Vernacular, Will Kymlicka (2002: 18-27) membagi
evolusi debat tentang hak minoritas menjadi tiga fase: Pertama,
debat-debat yang bisa dicarikan rujukannya pada perbedabatan antara
komunitarianisme versus liberalisme, yang berlangsung sebelum tahun
1989 yang lalu. Singkatnya, inti persoalan yang diperbedatkan adalah
apakah kebebasan individu yang harus diprioritaskan ataukah
eksistensi kelompok yang diutamakan. Dalam konteks semacam itu,
liberalisme melihat hak minoritas sebagai hal yang tidak perlu karena
justru dapat mengancam kebebasan individu. Di lain pihak, kaum
komunitarian justru melihat hak minoritas sebagai sebuah cara untuk
melindungi komunitas-komunitas kultural dari ancaman bahaya
individualisme. Salah satu yang dipersoalkan adalah bagaimana dengan
kelompok-kelompok (minoritas) yang menolak asimilasi ke dalam
kelompok yang lebih besar.
Kedua,
debat tentang hak minoritas dalam kerangka liberalisme, yang salah
satu proponennya adalah Kymlicka sendiri. Asumsinya, bahkan
kelompok-kelompok minoritas yang menolak demokrasi liberal pun bukan
karena mereka ingin mendirikan rezim komunitarian iliberal, melainkan
lebih karena ingin mendirikan negeri demokrasi liberal lain milik
mereka sendiri. Orang-orang Québéc, Catalonia, dan orang-orang
berbahasa Belanda di Belgia (Flemish), semuanya justru menginginkan
integrasi dan partisipasi penuh dalam masyarakat demokrasi liberal.
Karena itu, menurut Kymlicka, yang terjadi setelah tahun 1989
bukanlah debat antara liberalisme dengan komunitarianisme, melainkan
debat antar kaum liberal tentang makna liberalisme. Kymlicka sendiri
membuat dikotomi antara restriksi di dalam (internal restriction)
yang ditentangnya, dan perlindungan dari luar (external protection)
yang direkomendasikannya.
Fase
ketiga debat tentang hak minoritas adalah yang terjadi dalam konteks
nation-building. Dalam fase ini perdebatannya lebih diarahkan kepada
upaya-upaya untuk mempromosikan integrasi ke dalam apa yang oleh
Kymlicka disebut sebuah societal culture. Berangkat dari penolakan
terhadap gagasan bahwa negara demokrasi liberal harus menyikapi
persoalan etnis/budaya sama dengan sikapnya terhadap agama, Kymlicka
berargumen bahwa model agama sama sekali tidak tepat dipakai sebagai
pijakan untuk menetapkan relasi antara negara demokrasi-liberal
dengan kelompok-kelompok ethnocultural. Sebaliknya, negara justru
harus bisa mempromosikan bahasa dan institusi-institusi sosial
bersama (common language and social institutions), dan bukan
kepercayaan agama bersama (common religious belief) bagi seluruh
warga negara, baik mayoritas maupun minoritas. Dalam prakteknya,
pemerintah bisa mempromosikan bukan hanya satu melainkan bisa pula
dua atau lebih societal culture dalam sebuah negeri. Negara-negara
multibangsa seperti Kanada, Switzerland, Belgia dan Spanyol adalah
contohnya.
Kymlicka
kemudian secara prematur menyatakan bahwa perdebatan tentang apakah
hak minoritas itu perlu atau tidak sudah berakhir. Pengakuan atas hak
minoritas, menurutnya, sama sekali tidak bertentangan dengan
liberalisme dan demokrasi liberal melainkan justru bisa
memperkuatnya. Pernyataan Kymlicka bahwa perdebatan tentang hak
minoritas sudah berakhir, tentu saja, sudah disanggah oleh banyak
pihak, tapi saya tidak ingin membicarakannya secara lebih mendetail
dalam tulisan ini. Untuk forum diskusi ini, ada beberapa hal yang
penting dicatat dari beberapa argumen Kymlicka di atas. Pertama,
perdebatan antara multikulturalisme dan liberalisme sudah tidak
terlalu relevan saat ini. Kalau multikulturalisme diperlakukan
sebagai kebijakan politik yang diambil oleh sebuah pemerintah untuk
mengelola diversitas warganya, atau diperlakukan sebagai deskripsi
tentang realitas, multikulturalisme adalah sebuah soal tentang
bagaimana demografi sosial yang meliputi beberapa komunitas kultural
yang berbeda bisa hidup bersama dalam sebuah teritori tertentu.
Kedua, problem krusial yang harus dihadapi saat ini adalah memutuskan
pilihan antara asimilasi, separasi, dan integrasi. Multikulturalisme
sebagai gagasan maupun sebagai kebijakan dan gerakan sosial jelas
merupakan antitesa dari asimilasi. Tapi apakah jika demikian berarti
ia lebih cenderung ke arah separatisme? Kymlicka memberi jawaban
negatif. Tapi kalau kita melihat perkembangan kasus-kasus yang
terjadi di beberapa negara di Eropa seperti Inggris dan Jerman,
misalnya, implementasi multikulturalisme sering lebih menyerupai
praktek segregasioanisme.
Ketiga,
dan saya kira ini yang boleh jadi paling relevan bagi kita sekarang,
meletakkan debat tentang hak minoritas ke dalam konteks pembentukan
budaya politik (Kymlicka menyebutnya societal culture) melalui
penemuan bahasa dan institusi-institusi bersama bagi upaya
pembentukan bangsa. Kalau kita menempatkan gagasan Kymlicka ke dalam
perspektif sejarah pembentukan bangsa Indonesia, lebih setengah abad
setelah Sukarno nation building kembali ditawarkan sebagai salah satu
alternatif solusi menghadapi tantangan-tantangan masyarakat
kontemporer. Plus
ça change plus c’est la même chose.
Menara
Babel
Beberapa
persoalan yang timbul dalam konteks diversitas identitas, budaya,
nilai, etnis dan agama dalam sebuah teritori mungkin memang mirip
kisah biblikal tentang menara Babel (Tower of Babel).ii
Dalam kajian-kajian politik, diversitas pada dasarnya adalah sebutan
lain untuk masalah atau rintangan dalam kaitannya dengan pengembangan
demokrasi di sebuah negeri. Salah satu studi awal yang memberi
impresi tentang kutukan Babel kepada masyarakat Indonesia tentu saja
adalah karya Furnival tentang masyarakat majemuk di Asia Tenggara.
Menurut Furnivall, kecuali bisa ditemukan sebuah common social will
di antara kelompok-kelompok tersebut, masyarakat plural Asia Tenggara
hanya akan berakhir pada mimpi buruk anarkisme. Frase “masyarakat
Indonesia”, dengan demikian, hanya bisa diperlakukan sebagai
sebutan yang mengandaikan bahwa di antara ragam dan beda tersebut ada
beberapa hal yang dibagi bersama sehingga paling tidak secara
konseptual kita bisa melakukan identifikasi umum tentang penduduk di
wilayah Negara kesatuan republik Indonesia ini. Karya Mochtar Lubis,
Manusia Indonesia, misalnya, hanya bisa dipahami dalam konteks sebuah
pencarian sekaligus pengandaian tentang ciri-ciri umum yang bisa
menjadi penyebut bersama semacam itu.
Perdebatan-perdebatan
awal tentang pendirian Indonesia memperlihatkan bagaimana kutukan
Babel ini dihindari dari dua jurusan: pertama melalui penciptaan
sebuah nation yang mencoba melepaskan diri dari etnis, dan; kedua,
melalui pemilihan bahasa Indonesia sebagai lingua franca. Fiksi
tentang “bangsa Indonesia” dibangun di atas latarbelakang nasib
sejarah yang sama dalam menghadapi kolonialisme dan dengan itu para
leluhur kita memperjuangkan Indonesia sebagai sebuah komunitas besar
yang memiliki kapasitas melakukan tindakan politik. Dalam pidato
pertama tentang Pancasila, tgl. 1 juni 1945, Sukarno, misalnya,
antara lain mengatakan:
Pendek
kata, bangsa Indonesia, Natie
Indonesia, bukanlah sekedar satucgolongan orang yang hidup dengan
”désir
d’être ensemble”
di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau
Jogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh
manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh
Allah s.w.t., tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari
ujung utara Sumatera sampai ke Irian!iii
Sukarno
menggunakan ungkapan ”Natie” untuk memberi penekanan bahwa konsep
bangsa yang dipakai dalam frase ”bangsa Indonesia” berbeda dengan
konsep bangsa yang dipakai untuk merujuk kesatuan-kesatuan teritorial
dan kultural sebelum Indonesia. Pada bagian lain Sukarno lebih jauh
mengemukakan konsepnya tentang negara-kebangsaan dalam kalimatkalimat
berikut:
Demikian
pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di
zaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami
nationale staat, yaitu di zaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di
luar itu kita tidak mengalami nationale
staat.
Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu,
saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung
Hanjokrokesumo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale
staat.
Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya
berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan
hormat kepada Prabu Sultan Ageng Tirtayasa, saya berkata, bahwa
kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale
staat.
Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang
telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang
merdeka itu bukan nationale
staat (Sukarno,
h. 23).
Gagasan
Sukarno tentang sebuah nationale staat dalam dua kutipan di atas
mengandaikan sebuah negara kebangsaan yang melampaui bentuk-bentuk
bangsa merdeka yang pernah ada sekaligus mengintegrasikan
bangsabangsa tersebut ke dalamnya. Kalau ”golongan orang yang hidup
dengan ’désir d’être ensemble’ di atas daerah yang kecil”
tadi memang bisa disebut sebagai bangsa-bangsa (tua), Indonesia
modern pada dasarnya adalah negara-multibangsa. Konsepsi tentang
Indonesia sebagai kesatuan sebuah bangsa, dengan demikian,
mengalahkan kepentingan-kepentingan ”bangsa-bangsa subnasional”
tersebut dan menurunkan status mereka hanya menjadi, dalam bahasa
Sukarno, ”sebahagian kecil” dari kesatuan itu atau, dalam bahasa
Antropologi, menjadi suku bangsa-suku bangsa (ethnics). Tidaklah
mengherankan jika Sukarno mengusulkan ”kebangsaan Indonesia”
sebagai sila pertama Pancasila.iv
Kalau
Pancasila memberi landasan abstrak filosofis tentang integrasi
bangsa-bangsa tua itu ke dalam nasion Indonesia, pada level praktek
komunikasi sehari-hari bangsa Indonesia memilih bahasa Indonesia.
Upacara penerimaan bahasa Indonesia memang baru terjadi pada bulan
oktober 1928 dalam Kongres Pemuda II, tapi penggunaannya sebagai
lingua franca sudah berlangsung jauh sebelum itu. Kalau kita merujuk
kembali argumen Kymlicka tentang nation building diatas, penemuan
bahasa Indonesia adalah bagian dari pembentukan societal culture yang
bia dibagi bersama di antara penutur ratusan bahasa yang berbeda, dan
yang diambil tidak dari bahasa etnik dominan, melainkan dari bahasa
Melayu yang jumlah penuturnya pasti lebih kecil daripada penutur
bahasa Jawa atau bahasa Sunda. Sampai tahun 1928, misalnya, hanya ada
sekitar 4 juta penduduk Nusantara yang menggunakan bahasa Melayu.
Padahal bahkan Charles Taylor sendiri seperti sedang membuat diktum
ketika ia menyatakan bahwa sebuah negara yang harus membentuk sebuah
bahasa nasional cenderung akan memilih bahasa dari kelompok
mayoritas.
Joshua
Fishman (1978:333) menyebut pengembangan bahasa Indonesia menjadi
satu-satunya bahasa nasional sebagai keajaiban karena dapat
meyakinkan populasi Indonesia bahwa “a
particular outside language should become their own integrarive,
inter-ethnic, unifying tounge”.
Mengutip William Liddle, Errington (1998: 4) menganggap bahasa
Indonesia mungkin merupakan satu-satunya bahan terpenting dalam
pembentukan kebudayaan Indonesia modern. Penemuan bahasa Indonesia
melepaskan kita dari persoalan yang sampai hari ini masih belum
tuntas di Kanada dalam kasus warga provinsi Quebek yang mayoritas
berbahasa Prancis berhadapan dengan mayoritas penduduk di
provinsi-provinsi lain yang berbahasa Inggris. Dua daerah istimewa
yang paling tua di Indonesia, dan memiliki bahasa lokalnya sendiri,
Aceh dan Yogyakarta, misalnya, tidak satu pun yang menolak penggunaan
bahasa Indonesia atau mengajukan bahasa daerahnya masing-masing
menjadi bahasa pengantar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik.
Namun
penekanan pada pencarian commonality paling tidak menyisakan tiga
pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, dari mana common denominator
itu diturunkan. Dalam banyak kasus, penyebut bersama itu sering
diambil dari kelompok budaya dominan; Kedua, apakah pencarian pada
commonality tidak menjebak kita ke dalam proses asimilasi. Kalau
penyebut bersama tadi memang diturunkan dari nilai-nilai dominan,
kelompokkelompok minoritas kemungkinan besar akan menghadapi paksaan
asimilasi ke dalam yang dominan tersebut, dan; Ketiga, bagaimana
dengan nasib kelompok-kelompok yang tetap tidak bisa menerima common
denominator tersebut? Kelompok-kelompok ini mungkin masih dibiarkan
tetap berbeda, tapi mereka akan mengalami beberapa kondisi yang
membuat mereka secara praktis tidak bisa berbeda. Parekh (2000: 241)
melihat ada jarak antara tawaran formal tentang persamaan kesempatan
(equality of opportunity) dengan bagaimana menjadikan persamaan
tersebut bermakna. Politics of equal respect, menurut Taylor (1994:
60), cenderung memusuhi perbedaan karena: (1) ia berkeras
menyeragamkan pemberlakuan aturan-aturan tentang hak-hak warga tanpa
pengecualian; (2) ia selalu menaruh curiga terhadap tujuan-tujuan
kolektif.
Politik
kesatuan menampilkan implementasi paling menakutkan ketika ia
ditopang oleh represi militeristik di zaman Suharto. Ketika itu,
kesatuan (unity) identik dengan keseragaman (uniformity) dan
persamaan (equality) dalam prakteknya bisa berarti keserbasamaan
(homogenity). Gagasan tentang nasion Indonesia cenderung ditarik
mundur menjadi perluasan imposisi nilai-nilai budaya dominan Jawa ke
dalam institusi-institusi sosial bersama bahkan dalam penggunaan
bahasa Indonesia para pemangku pemerintahan. Ungkapan “Jawanisasi”
merujuk baik pada proses imposisi kutluralnya maupun kepada penolakan
kelompok-kelompok non-Jawa terhadap proses tersebut. Dari pengalaman
zaman Orde Baru, kalau untuk mengelola diversitas harus diupayakan
adanya keumuman-keumuman (commonalities), lantas di mana tempat bagi
segala hal yang tidak umum (uncommon) atau partikular? Dalam cara
lain pertanyaannya kemudian adalah, kalau penekanannya lebih
diletakkan pada pencarian kesamaan di antara perbedaan lantas di mana
tempat untuk yang berbeda? Bahkan sejak Suharto masih berkuasa sudah
banyak dibicarakan bahwa semboyan bhinneka tunggal ika dalam
prakteknya cenderung menyempit pada upaya-upaya mewujudkan prinsip
tunggal ika dengan konsekwensi pengabaian prinsip bhinneka.
Habermas
(1994:116-22) mengelompokkan perjuangan bagi pengakuan atas identitas
kolektif ke dalam beberapa level: Feminisme, multikulturalisme,
nasionalisme dan perlawanan terhadap dominasi budaya Barat atau
Eropasentrisme. Tulisan ini tidak akan membahas keempat model gerakan
yang didiskusikan Habermas, dan cukup dibatasi pada pembicaraan
tentang gerakan multikulturalisme (etnik dan minoritas kultural) yang
dikelompokkan Habermas ke dalam dua kategori: minoritas endogen
(endogenous minorities) yang kemudian menjadi sadar atas identitas
kolektif mereka, dan minoritas-minoritas baru yang muncul akibat
imigrasi. Dalam konteks minoritas endogen, meskipun banyak identitas
yang bisa diatributkan kepada kelompok sosial tertentu, tapi yang
paling dominan dalam diskursus politik identitas di Indonesia dalam
satu dekade belakangan adalah yang berbasis etnis dan/ atau agama.
Penting pula dicatat bahwa etnik dan agama sering tidak dapat
dibedakan dalam praktek mungkin karena agama pada dasarnya justru
merupakan unsur konstitutif etnik. Di luar persoalan gender dan
preferensi seksual, etnis dan agama pula yang banyak mendasari
dikotomi antara mayoritas dan minoritas. Selama sepuluh tahun setelah
kuasa formal Suharto dihentikan, dan praktis sejak pemerintah Habibie
mengeluarkan regulasi tentang otonomi daerah dan desentralisasi
administrasi pada tahun 2001 yang lalu, dua basis inilah yang
dianggap banyak memicu konflik sosial antar kelompok warga termasuk
kasus penyiksaan kaum Ahmadi di Cikeusik, Banten, dan perusakan
rumah-rumah ibadah di Temanggung Jawa Tengah baru-baru ini. Sering
diasumsikan bahwa proses modernisasi, pembangunan ekonomi nasional,
interaksi antar etnik yang makin luas, dan politik integrasi nasional
ke dalam sebuah negara kesatuan akan mengakibatkan aspek-aspek
komunal dan ikatan-ikatan warga dengan kelompok etnokulturalnya dalam
masyarakat Indonesia akan semakin berkurang. Tapi pengalaman selepas
otorianisme Orde Baru membuktikan bahwa alih-alih mengurangi sentimen
etnis, politik kesatuan di era Suharto justru semakin menyuburkannya.
Imposisi nilainilai kultural Jawa ke dalam politik kesatuan tadi
justru membuat orang-orang non-Jawa semakin merasa perlu untuk
mengartikulasikan sentiment etnisnya ketika kekuasaan penindasnya
telah runtuh. Pemaksaan nilai-nilai Islam melalui produksi
Perda-perda syariat di beberapa daerah di Indonesia belakangan ini,
bukan hanya akan terus menghadapi tantangan dari kelompok yang
mempromosikan kebebasan beragama versi liberal, melainkan juga akan
meneguhkan ikatan tradisional kelompok-kelompok etnis/agama lain
untuk terus melawannya.v
Beberapa
konflik dalam skala besar seperti konflik Ambon, Poso, Dayak-Madura,
dan GAM-TNI berhasil diakhiri dengan upaya-upaya perdamaian baik yang
dilakukan oleh negara/pemerintah maupun oleh elemen-elemen masyarakat
sipil. Tapi kekerasan terhadap beberapa kelompok minoritas terus saja
terjadi, dan tidak hampir tidak ada jaminan bahwa hal tersebut akan
bisa segera diakhiri. Sampai kasus penyiksaan jamaah Ahmadiyah di
Cikeusik, Banten, kita bisa melihat bagaimana Negara masih berpijak
pada pemahaman usang tentang identitas sebagai sebuah unit yang
dibayangkan utuh dan solid. Kebijakan negara, dengan demikian,
seringkali didasarkan pada distingsi antara identitas yang diakui
oleh mayoritas dan yang tidak diakui. Dalam cara pandang seperti
itu, kelompokkelompok kultural atau keagamaan yang tidak diakui atau
berbeda dengan mayoritas diperlakukan sebagai gangguan atau musuh
bagi identitas yang diakui.
Politik
identitas terjadi ketika sekumpulan orang yang merasa membagi bersama
sebuah identitas kelompok tertentu mengartikulasikan kepentingan
kelompoknya untuk mempengaruhi kebijakan politik dan arah perubahan
sosial.vi
Ia muncul dalam konteks adanya pengalaman bersama menghadapi
penindasan, eksklusi, dan bentuk-bentuk ketidakadilan lain. Basis
pengelompokan sosialnya bisa etnis, agama, gender, kebangsaan bahkan
isu seputar difable. Aktivitasnya bukan hanya berupa aktivitas
politik praktis, melainkan juga meliputi upaya teoritisasi untuk
memberi legitimasi pada apa yang sedang diperjuangkannya. Dasarnya
bukan karena selalu ada “persamaan” di tengah perbedaan,
melainkan justru karena dalam perbedaan memang tidak perlu dicari
persamaan. Singkatnya, politik identitas menuntut pengakuan atas
soal-soal yang sebelumnya diingkari: soal perempuan, kulit hitam,
masyarkat adat, lesbian, gay, biseksual, transeksual, dan kelompok
minoritas kultural/agama. Tuntutannya bukan inklusi ke dalam pangkuan
“universalisme” yang didasari asumsi tentang kesamaan
atribut-atribut kemanusiaan, bukan pula tuntutan atas sikap hormat
meskipun kepada kelompok yang berbeda, melainkan pengakuan dan hormat
kepada diri sendiri sebagai yang berbeda (not in spite of but as
different) (Sonia Kruks, 2000: 85).
Dalam
konteks diskusi tentang hak minoritas, politik idenitas tentu saja
adalah upaya untuk mengangkat yang minor meraih signifikansi dan
keutamaan sosial vis a vis kelompok yang lebih besar, tanpa harus
menjadi bagian dari kelompok mayoritas. Kalau konsep minoritas
menyembunyikan kenyataan bahwa yang minor adalah ciptaan sosial dan
direpresentasikan oleh politik yang mayor, politik identitas
mendorong yang minor, yang tertekan, subultern, berbicara dengan
suara-suara mereka sendiri (Spivak, 1996), dan dengan cara itu
kelompok-kelompok ini berusaha mendapatkan jaminan kebebasan politik
dan meraih pemahaman atas perbedaan yang mereka miliki. Politik
identitas tidak berusaha mencari persamaan di dalam perbedaan
melainkan meraih rekognisi untuk tetap berbeda. Politik
multikulturalisme tidak berhenti hanya menuntut pengakuan dalam
bentuk equal respect, melainkan, seperti didedahkan oleh Charles
Taylor bahwa, “the furhter demand we are looking at here is that we
all recognize the equal value of different cultures; that we not only
let them survive, but acknowledge their worth (Taylor, 1994: 64,
cetak miring dari Taylor).
Dalam
prakteknya, paling tidak di Indonesia, politik identitas yang
diartikulasikan oleh satu kelompok seringkali bertabrakan dengan
politik identitas kelompok lain. Konkretnya, kelompok Islam tertentu
yang mengklaim jadi korban kezaliman Orde Baru, misalnya, akan
berhadaphadapan dengan kelompok-kelompok lain yang menuntut rekognisi
atas identitas partikularnya masing-masing. Bukan hanya identitas
tapi perbedaan juga dianggap sebagai sesuatu yang statis dan tidak
bisa dijembatani (insurmountable). Tapi tidakah jika demikian kita
tetap berpusing pada labirin kutukan nasib yang sama? Hampir delapan
dekade setelah bahasa Indonesia ditemukan, kita seperti terjerumus
kembali ke dalam kutukan menara Babel. Penekanan pada beda membuat
kita seperti kehilangan “the unifying tounge” satu sama lain.
Salah
satu pertanyaan yang bisa dikemukakan adalah, kalau penekanan
multikulturalisme pada upaya mempertahankan perbedaan, resiko apa
yang mungkin atau bahkan sudah timbul dari penekanan semacam itu.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kalau perbedaan mengalami
representasi yang kebablasan (exagerated representation) seperti yang
dapat dilihat dalam ledakan polilitik identarian selama satu dekade
belakangan ini. Apakah, misalnya, kasus penganiyaan terus menerus
terhadap pengikut Ahmadiyah terjadi karena identitas Ahmadiyah belum
direpresentasikan secara memadai ataukah justru karena terjadi
representasi kelewat batas dari beberapa kelompok di luarnya yang
juga berkepentingan dengan politik identitas?
Posisi
Negara
Secara
sederhana solusi untuk mengelola perbedaan dapat dibedakan menjadi
tiga model, yakni asimilasi, separasi/pemisahan, dan integrasi.
Meskipun sering dianggap identik dengan komunitarianisme, tapi
multikulturalisme tentu saja tidak harus selalu dihadapi sebagai
kontraposisi liberalisme. Berpijak kepada dua bentuk liberalisme yang
dijelaskan dalam esai panjang Charles Taylor, The Politics of
Recognition (Taylor, 1994: 25-98), Michael Walzer (1994: 99-103 ),
misalnya, menggolongkan liberalism menjadi dua: Liberalisme 1 dan
Liberalisme 2. Yang pertama memberi penekanan sangat kuat pada
hak-hak individu. Dalam konteks peran negara, Liberalisme 1 menyokong
posisi netral dalam arti bahwa negara sama sekali tidak boleh
memiliki kepentingan atau proyek kultural dan religious atau
bentuk-bentuk tujuan kolektif apa pun di luar kebebasan personal,
keamanan fisik, kesejahteraan, dan rasa aman individu warga negara.
Bentuk liberalisme kedua (Liberalisme 2), yang disukai Taylor,
menyokong Negara memiliki komitmen pada keberlangsungan hidup dan
perkembangan sebuah budaya, etnis, dan agama partikular sejauh
hak-hak dasar warga Negara yang memiliki komitmen berbeda atau sama
sekali tidak memiliki komitmen seperti itu tetap dilindungi.
Kebijakan multikulturalisme di Inggris dan Jerman boleh jadi
merupakan contoh implementasi dari gagasan Liberalisme 2, dan kita
sudah mengetahui bagaimana Perdana Menteri di kedua Negara tersebut
berbalik mengecam dan mengakhiri politik multikulturalisme.
Rekognisi
kultural terhadap kelompok-kelompok minoritas tidak harus dipahami
hanya dalam bentuk proyek-proyek politik besar seperti pemberian
otonomi politik atau hak-hak istimewa kepada satu teritori politik
tertentu, melainkan bisa pula dalam bentuk-bentuk yang lebih
sederhana seperti perayaan hari besar keagamaan, pergantian tahun,
pencantuman agama dalam KTP dan sebagainya. Sejak era Abdurrahman
Wahid, misalnya, perayaan pergantian kalender syamsiah yang digunakan
warga Cina-Indonesia, Imlek, sudah secara resmi ditetapkan sebagai
hari libur nasional. Atraksi Barongsay juga sudah bebas dipertunjukan
di tempat-tempat umum dan ditonton warga non Cina. Dengan
pertimbangan ekonomi, salah satu TV swasta bahkan berinisiatif
menyiarkan sebuah program yang secara eksklusif menggunakan bahasa
China-Mandarin. Di zaman Orde Baru TVRI memiliki acara hiburan Taman
Bhinneka Tunggal Ika dan Pelangi Antar Nusa. Untuk kelompok difabel,
TVRI menyediakan layanan bahasa isyarat dalam acara-acara warta
berita. Tentu saja dengan mudah kita bisa melihat semua itu sebagai
parade diveristas kultural yang hanya melayani kepentingan agenda
pemerintah sendiri, tapi walau bagaimana itu adalah praktek nyata
dari rekognisi terhadap kelompok-kelompok di luar yang dominan. Bahwa
praktek-praktek rekognisi semacam itu dianggap tidak cukup, boleh
jadi justru karena pada dasarnya problem politik di Indonesia memang
tidak bisa hanya didefinisikan melalui terminologi-terminologi
kultural.
Pada
sisi yang lain, sambil secara formal tetap mempromosikan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, negara pada dasarnya masih saja berusaha
meneruskan program-program asimilasi kelompok-kelompok minoritas ke
dalam kelompok mayoritas. Orang-orang Cina di kota-kota besar mungkin
sudah tidak lagi dipaksa berasimilasi dengan etnis non-Cina, tapi
kasuskasus seperti yang terjadi pada etnis Ta’ (To Wana), Wetutelu,
Buda Lombok, dan Orang Sakai, memperlihatkan bahwa asimilasi dianggap
sebagai cara terbaik untuk “memajukan” kelompok-kelompok
tersebut.vii
Salah satu opsi yang ditawarkan oleh negara dalam penyelesaian kasus
jamaah Ahmadiyah, misalnya, adalah masuknya Ahmadiyah ke dalam agama
Islam versi MUI dan meninggalkan ajaran Ahmadiyah yang dituding
sesat, dan itu artinya asimilasi Ahmadiyah ke dalam Islam mainstream.
Kalau
kita mengikuti logika politik multikulturalisme seperti yang
direkomendasikan Taylor di atas, itu artinya negara harus aktif bukan
hanya melindungi tapi juga mempromosikan dan melestarikan
kelompokkelompok minoritas sebagai bentuk komitmen negara kepada
keadilan bagi seluruh warganya. Tapi salah satu problem mendasar
dalam pendekatan semacam itu adalah berlangsungnya reifikasi
kelompok, dan seolah-olah bangsa bisa digantikan dengan penjumlahan
kelompok-kelompok tersebut. Dengan cara itu bukan saja negara
mengabaikan kritik bahwa pemberian group-specific rights cenderung
melegitimasi penindasan di dalam kelompok, melainkan juga membatasi
hak baik pada level individu maupun kumpulan beberapa individu di
dalam masing-masing kelompok untuk berubah. Selamanya. Sebab dalam
prakteknya, sulit ditentukan kapan komitmen kepada kelompok berakhir
dan komitmen pada hak-hak dasar individu bermula. Dalam kasus
Ahmadiyah, misalnya, negara bukan hanya wajib melindungi para
pengikutnya dari ancaman kekerasan dari luar, tapi juga sering
diasumsikan harus bisa memberi jaminan bahwa jamaah Ahmadiyah akan
lestari eksistensinya di Indonesia. Padahal bertahan hidup atau
tidaknya Ahmadiyah, seperti juga agama-agama lain, seharusnya bukan
domain negara melainkan para pemeluknya sendiri. Hal yang sama juga
berlaku untuk kelompok-kelompok etnis.
Saya
ingin mengulangi posisi perspektif yang pernah saya tulis sebelumnya,
yakni bahwa yang perlu dipikirkan ke depan bukan semakin banyak
menuntut negara untuk mengurusi kelestarian kelompok mana pun,
melainkan lebih kepada upaya-upaya mengembangkan sebuah, katakanlah,
kultur politik bersama yang memungkinkan jembatan antar ragam dan
beda itu dibangun melalui keikutsertaan seluruh warga dalam membentuk
tatanan politik demokratis.viii
Setelah mengalami ledakan politik identitas di banyak tempat,
proposal yang paling masuk akal adalah menempatkan diskursus tentang
hak minoritas ke dalam kerangka integrasi. Separasi Pakistan dari
India adalah salah satu pelajaran yang baik bahwa persoalan dan
kekerasan antar kelompok tidak lantas selesai setelah batas pemisah
didirikan tinggi-tinggi antara kelompok Muslim dan Hindu. Hans
Vermeulan (1997) membedakan dua bentuk integrasi. Yang pertama adalah
structural integration, yang mencakup dimensi politik dan ekonomi dan
bisa dijelaskan sebagai partisipasi penuh dan imparsial dalam
institusi-institusi sebuah masyarakat. Contohnya adalah pengakuan
tentang nasionalitas atau hak memilih dalam pemilu. Yang kedua,
sociocultural integration, lebih berhubungan dengan pembentukan
relasi-relasi sosial dengan masyarakat di sekitarnya dan, sampai
taraf tertentu, adaptasi dengan budaya masyarakat setempat. Dalam
kalimat lain, ini adalah sebuah pencarian atas keseimbangan yang
paling mungkin antara diversitas dan konsensus tentang beberapa nilai
utama (core values). Contohnya adalah akses pada institusiinstitusi
publik, pemukiman dan pendidikan.
Saya
selalu tergoda untuk kembali menempatkan Bahasa Indonesia sebagai
contoh terbaik ketika jembatan penghubung antar perbedaan ditemukan
dari bahasa kelompok kecil dan relatif tidak mengalami penentangan
dari kelompok-kelompok lain. Sementara banyak negara multikultur
kesulitan memutuskan bahasa standar yang bisa digunakan dalam sistem
pendidikan nasional, misalnya, bahasa Indonesia sudah cukup lama
menjadi bahasa standar dalam sistem pendidikan kita. Bahasa Indonesia
telah memelihara bangsa Indonesia bahkan ketika sebagian kalangan
mengalami fetishme kelompok dan perbedaan.
Saya
membayangkan bahwa apa yang bisa dicapai melalui bahasa Indonesia
sampai taraf tertentu bisa dicoba pada bidang-bidang kehidupan lain.
Daripada hanya mengakui hari-hari besar keagamaan yang menampilkan
pemihakan kepada kelompok-kelompok mayoritas, misalnya, dalam
kerangka kultur politik bersama di atas kita bisa mendorong
perayaan-perayaan yang berbasis pada tradisi kultural lokal, sehingga
pesta rakyat Dayak, Batak, dan Papua, misalnya, menjadi bagian dari
selebrasi seluruh warga Indonesia seperti kita merayakan hari
kemerdekaan 17 Agustus atau seperti perayaan Imlek. Indonesia adalah
negeri dengan jutaan petani di seluruh pelosok negeri, tapi kita
tidak punya selebrasi nasional yang menandai kapan biji disemai dan
kemakmuran dipanen. Hal-hal sederhana semacam ini bukan hanya penting
dalam konteks politik rekognisi kultural tapi juga dalam konteks
menciptakan keseimbangan pada tendensi-tendensi imposisi agama
sebagai identitas bersama. Daripada dana-dana publik yang diperoleh
melalui pajak warga negara digunakan untuk lembaga-lembaga seperti
MUI, misalnya, negara bisa mengalihkannya untuk mendorong dan
memfasilitasi lahirnya inisiatif-inisiatif warga membangun dialog
terbuka tentang isu-isu publik.
Dalam
konteks semacam itu, kewajiban negara adalah mengakui keberadaan dan
hak hidup setiap kelompok yang berbeda, dan melindungi
kelompok-kelompok tersebut dari ancaman kekerasan pihak-pihak di
luarnya, tapi negara tidak wajib melindungi keberadaan mereka dari
dinamik internalnya yang mendorong perubahan atau dari interaksi
dengan pihak lain yang berlangsung secara damai yang dalam jangka
panjang bisa saja menimbulkan perubahan mendasar bagi
kelompok-kelompok tersebut. Dengan kalimat lain, negara wajib
melindungi keselamatan para pengikut Ahmadiyah, etnis Dayak, Jawa,
Batak, dst., tapi negara tidak memiliki hak untuk membubabarkan dan
tidak perlu pula memiliki komitmen untuk melindungi kelompok tersebut
dari kepunahan.
Penutup
Ada
sebuah pengalaman menarik yang diceritakan kepada saya oleh sutradara
film dokumenter To Mompalivu Bure (Kisah Orang-Orang Pencari Garam)
yang diproduksi oleh Yayasan Interseksi tahun 2008 yang lalu.
Dimaksudkan sebagai tahapan awal kami belajar ethnografi visual,
pengambilan gambar untuk film dokumenter ini dilakukan langsung di
kawasan hutan cagar alam Morowali, Sulawesi Tengah selama 30 hari
siang dan malam. Ketika tim pembuat film (kami memberinya julukan
megah sebagai “peneliti audio-visual” waktu itu) pertama kali
memasuki wilayah cagar alam Morowali, di kabupaten Morowali, Sulawesi
Tengah, tempat mukim salah satu komunitas suku Ta’, yang juga
dikenal dengan sebutan To Wana, setelah berjalan kaki hampir setengah
hari, mereka tiba di tepian sungai Morowali.
Meledak
oleh kegembiraan khas para pelancong dari kota, pada hamparan pasir
di tepi sungai itu, sang sutradara langsung merundukkan tubuhnya,
berlutut dan lantas menempelkan batok keningnya, bersujud takjim.
Dalam bayangannya, itu adalah salah satu karunia terbesar dalam
hidupnya karena ia bisa memasuki sebuah kawasan yang masih murni.
Tapi sejurus kemudian dia merasa kecewa karena ketika ia mengangkat
kepalanya, persis di dahinya menempel bungkus roko Malboro yang sudah
lusuh. Ia kemudian mendeskripsikan pengalaman perjumpaannya dengan
komunitas To Wana selama 30 hari tadi dalam ungkapan “seperti masuk
gedung bioskop ketika filmnya sudah setengah main”.ix
Cerita
di atas mungkin merupakan cara panjang dan berliku yang saya pakai
untuk mengakhiri diskusi ini. Kita sering berangkat dengan sejumlah
pengandaian tertentu yang cenderung melahirkan konstruksi imajiner di
kepala kita tentang sebuah lokasi spasial dan setting kultural
tertentu. Konstruksi pikiran kita tentang realitas mendahului bahkan
kadang melampaui realitasnya itu sendiri, menjadi semacam peta dengan
apa kita bukan hanya ingin mencocokkan realitas dengan informasi
dalam peta tapi bahwa realitas tersebut harus sesuai dengan petanya,
dan bukan sebaliknya. Untuk analogi tersebut saya tentu saja
berhutang kepada Baudrillard, tapi ratusan tahun setelah Amerigo
Vespucci, sebagian cukup besar dari kita memang cenderung masih
mengandaikan “purity” baik natural dan terutama kultural benar-
benar ada, dan bukan hasil konstruksi sebuah sistem ilmu pengetahuan
modern belaka. Ketika realitas yang ada berbeda bahkan bertolak
belakang dengan bayangan tersebut, kawasan atau kelompok itu lantas
dianggap sudah tidak “murni” atau tidak “asli” lagi atau,
dalam bahasa yang tipikal palugosentris, tidak “perawan” lagi.
Dalam
konteks sang sutradara di atas, kata “murni” mungkin merujuk pada
konotasi tentang sebuah kawasan yang belum (banyak) terjamah oleh
orangorang dari luar kawasan tersebut, dan bungkus rokok Malboro
adalah ikon untuk sebuah proses globalisasi ekonomi dan segala bentuk
derivasi sosio kulturalnya. Tapi ungkapan “murni”, termasuk dalam
konteks diskusi tentang kelompok-kelompok etnis, secara konseptual
juga paling sering dikontraskan dengan dunia modern (yang “tidak
murni” lagi). Dikotomi “murni” vs “tidak murni” muncul
paralel dengan dualisme lain seperti “tradisional vs modern”,
“tertinggal vs maju” dst, “Barat vs Timur”, dst.
Saya
hanya ingin mengatakan bahwa baik diskusi tentang hak minoritas mau
pun tentang problematik multikulturalisme tidak bisa diletakkan ke
dalam bingkai-bingkai nostalgia tentang keaslian, homogenitas, relasi
social yang niscaya stabil, dan konsepsi-konsepsi identitas yang
uniter. Diskusi tentang Hak minoritas dan multkulturalisme, dengan
demikian, perlu memperhitungkan bahwa baik kelompok maupun perbedaan
bukanlah sebuah entitas yang solid tanpa rongga untuk berubah. Salah
satu jebakan politik identitas, paling tidak dalam prakteknya di
Indonesia, adalah sementara secara diskursif ia cukup meyakinkan kita
tentang keutamaan perjuangan untuk melawan ketimpangan representasi,
ia tidak cukup meyakinkan bisa memberi solusi ketika yang terjadi
adalah eksperimen-eksperimen politik untuk menghidupkan suvenir
sejarah menjadi komoditas politik dalam pasar suara politik demokrasi
lokal, yang justru membekukan kembali identitas menjadi konkret
seperti beton—hal yang dari awal justru hendak dilawan melalui
gerakan-gerakan politik identitas.
Seperti
di banyak tempat lain di dunia, problematik multikulturalisme di
Indonesia adalah tari tolak antara commonality dan difference. Di era
Suharto kita pernah mengalami kondisi ketika partikularitas dan
perbedaan harus selalu ditundukkan di bawah keharusan mengutamakan
kesatuan dengan commonality yang secara sepihak ditentukan oleh
kekuasaan negara. Setelah Suharto mundur kita persis sedang mengalami
kondisi ketika partikularitas dan perbedaan menggeser dan menegasikan
upayaupaya pencarian commonality, sehingga beberapa kalangan yang
cenderung pesimistik melihat Indonesia tengah berada di tubir
disintegrasi. Bagi kalangan ini, bahwa Indonesia masih bisa relatif
utuh sebagai bangsa dan negara teritorial adalah perkara nasib baik
belaka. Saya termasuk orang yang masih percaya bahwa kita masih punya
kekuatan untuk menghindari bahaya tersebut. Satu dekade lebih kita
sudah bisa menghindari Balkanisasi pasti bukan semata perkara nasib
(sosiologis) belaka, melainkan karena banyak kekuatan yang bekerja
mempertahankan bayangan tentang Indonesiaan yang lebih baik.
*
Makalah untuk diskusi Hak
Minoritas dan Peran Negara: Menguji Argumen Multikulturalisme di
Komunitas Salihara, Jakarta, tgl. 17 Februari 2011.
Rujukan
Bertrand,
Jacques. Nationalism
and ethnic conflict in Indonesia.
Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
Brubaker,
Rogers. “Ethnicity
Without Groups”.
European Jurnal of Sociology 43, No. 3(2002), h. 164.
Budiman,
Hikmat (ed). Hak
Minoritas. Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme.
Jakarta: The Interseksi Foundation, 2009.
Noorsalim,
Mashudi, M. Nurkhoiron, et al. Hak Minoritas. Multikulturalisme
dan Dilema Negara Bangsa.
Jakarta: The Interseksi Foundation, 2007.
Errington,
J. Joseph, Shifting Languages: Interaction
and Identity in Javanese Indonesia.
Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Fishman,
Joshua A. “The
Indonesian Language Planning Experience: What Does It Teach Us?”
Dalam Spectrum: Essays
Presented to Sutan Takdir Alisjahbana on his Seventieth Birthday.
Disunting oleh S Udin. Jakarta: Dian Rakyat, 1978, h. 333–39.
Habermas,
Jürgen. “Struggles
for Recognition in the Democratic Constitutional State”.
Diterjemahkan oleh Shierry Weber Nicholsen. Dalam Multiculturalism.
Examining the Politics of Recognition.
Disunting oleh Amy Gutmann. New Jersey: Princeton University Press,
1994, h. 107-48.
Kymlicka,
Will. Politics
in the Vernacular. Nationalism, Multiculturalism, and Citizenship.
New York: Oxford University Press, 2001.
Philips,
Anne. Multiculturalism
Without Culture.
Princeton dan New York: Princeton Univerity Press, 2007.
Sukarno,
“Pidato Lahirnja Pantja Sila”. Dalam Lahirnja
Pantja – Sila.
Pidato
pertama tentang Panca sila yang diucapkan pada tanggal 1 Juni 1945
oleh Bung Karno.
Jakarta: Yayasan 17-8-45, tanpa tahun terbit.
Taylor,
Charles. “The
Politics of Recognition”.
Dalam Multiculturalism.
Examining the Politics of Recognition.
Disunting oleh Amy Gutmann. New Jersey: Princeton University Press,
1994, h. 25-73.
Vermeulen,
Hans. Immigrant
Policy for A Multicultural Society. A Comparative Study of
Integration, Language and Religious Policy in Five European
countries.
Brussels: Migration Policy Group, 1997.
Walzer,
Michael. “Comment”.
Dalam Multiculturalism.
Examining the Politics of Recognition.
Disunting oleh Amy Gutmann. New Jersey, Princeton University Press,
1994, h. 99-103.
----------------------------------------------------------------
i
Kutipan diambil dari James Kirkup, “Muslims must embrace our
British values, David Cameron says”, The
Telegraph <http://
http://www.telegraph.co.uk/news/newstopics/politics/david-cameron/8305346/Muslimsmust-
embrace-our-British-values-David-Cameron-says.html> (diakses tgl.
6 februari 2011, jam 23.43).
ii
Lihat, Lambert Dolphin, “The Tower Of Babel and the Confusion Of
Languages” <http://ldolphin.org/babel.html> (diakses tgl. 12
Februari 2011, jam, 23.43 WIB).
iii
Sukarno, “Pidato Lahirnja Pantja Sila” dalam Lahirnja
Pantja – Sila. Pidato pertama tentang Panca sila yang diucapkan
pada tanggal 1 Juni 1945 oleh Bung Karno, (Jakarta:
Yayasan 17-8-45, tanpa tahun terbit), p. 22. Cetak miring yang saya
tambahkan pada kutipan di atas tidak untuk memberi penekanan pada
bagian kalimat tertentu, melainkan sebatas membedakan bagian yang
dicetak miring tersebut sebagai ungkapan asing dalam khasanah kosa
kata bahasa Indonesia.
iv
Redaksi teks Pancasila yang dirumuskan Sukarno sedikit berbeda
dengan apa yang kemudian secara resmi diterima sebagai dasar Negara
Republik Indonesia. Dalam rumusan Sukarno, Pancasila meliputi: (1)
Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan;
(3) Mufakat atau demokrasi; (4) Kesejahteraan sosial, dan; (5)
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara teks Pancasila yang resmi sampai
saat ini berbunyi: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang
adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang
dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
dan; (5) Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
v
Salah satu sisi gelap perkembangan politik sejak tahun 1998 tentu
saja adalah rentetan panjang kekerasan dalam berbagai konflik
sosial: Antara tahun 1997 dan 2002, paling tidak sekitar 10.000
orang terbunuh dalam kekerasan antar etnis. Tahun 1996-1997 dan
tahun 2001, dua gelombang kekerasan bertumbukan antara Dayak dan
Madura di di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, dan memakan
korban sekurang-kurangnya 1000 orang warga, dan mengakibatkan
ratusan ribu orang Madura mengalami kehilangan tempat tinggal karena
diusir dari Kalimantan. Di Maluku, sekitar 5000 orang terbunuh dalam
perang antara Islam dan Kristen sejak tahun 1999 - 2003. Di Timor
Timur, kuranglebih 1000 orang terbunuh dan 200.000 orang kehilangan
tempat tinggal dalam kekerasan pasca referendum bulan Agustus 1999
(Bertrand, 20004: 2). Di Papua, korban-korban juga terus berjatuhan
dalam konflik antara gerakan warga dengan militer dan Brimob
kepolisian.
vi
Stuart Hall (1996:4) membagi cara pandang tentang identitas menjadi
dua kelompok besar. Pertama, pandangan esensialis: mengsumsikan
sebuah “diri yang sebenarnya” (
a true self), yang
penekanannya diletakkan pada identitas sebagai sebuah penemuan
kembali, dan bukan sebagai produksi kultural. Ini menghasilkan
pandangan tentang identitas sebagai sesuatu yang solid dan keras,
dan yang terbatas pada sesuatu yang diakui atau ditolak oleh
institusi-institusi dominan dalam masyarakat. Kedua, pandangan
produksi kultural: identitas kultural dipahami sebagai sesuatu yang
semakin mengalami fragmentasi dan terpecah-pecah. Identitas tidak
pernah tunggal melainkan bersifat jamak pada konteks wacana, praktek
dan posisi-posisi yang berbeda, bersilangtindih dan bahkan
antagonistik satu dengan lainnya. Identitas tidak pernah tetap dan
selesai, melainkan selalu dikonstruksi melalui sumber-sumber bahasa
dan budaya yang beragam.
vii
Periksa serial publikasi tentang Hak Minoritas yang diterbitkan oleh
Yayasan Interseksi dari tahun 2005-2009, yang terdiri dari tiga
volume buku masing-masing berjudul Hak
Minoritas. Dilema Multikulturalisme di Indonesia (2005
& 2007); Hak
Minoritas. Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa (2007),
dan; Hak
Minortas. Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme (2009).
viii
Lihat, Hikmat Budiman, “Batas-batas Multikulturalisme. Sebuah
Postskripsi untuk Penelitian Hak-hak Minoritas di Indonesia”.
Dalam Hak
Minoritas. Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme.
Jakarta: The Interseksi Foundation, 2009, h. 262.
ix
Pernyataan ini bisa ditemukan dalam narasi film dokumenter To
Mompalivu Bure (Kisah Orang- orang Pencari Garam),
Jakarta: The Interseksi Foundation, 2008.
Related Posts:
Politik Sosial-Budaya
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
This is a wonderful website
BalasHapusQassim & QU
main juga ke blog saya
BalasHapushttp:/kampustujuan.blospot.co.id/
This blog is awesome I really love to read your articles. You see, a lot of people are looking for this info, you can really help them. Visit so on this website. Thank you
BalasHapus