Kamis, 25 April 2013
Intelektual dan Sosialisme*
F.A.
Hayek
Di semua
negara yang demokratis, terutama di Amerika Serikat, ada keyakinan yang kuat
dan mengemuka bahwa pengaruh kelompok intelektual terhadap politik tidak
signifikan. Tanpa keraguan, memang benar, begitulah kekuatan kelompok
intelektual dalam mempengaruhi berbagai keputusan melalui opini-opini mereka
yang asing pada suatu momen, dan memang sejauh itulah tingkat pengaruh mereka
pada suara populer terhadap pertanyaan-pertanyaan di mana pandangan mereka
berbeda dari pandangan massa. Namun dalam periode yang lebih panjang pengaruh
kelompok intelektual di negara-negara tersebut mungkin belum pernah sebesar
saat ini. Kekuatan ini mereka kerahkan melalui pembentukan opini publik.
Yang cukup
menarik dari sudut pandang sejarah saat ini adalah bahwa kekuatan yang
menentukan dari para dealer profesional pemasar gagasan-bekas ini masih
belum disadari secara umum. Selama seratus tahun terakhir perkembangan politik
di Dunia Barat memberi contoh yang paling jelas. Sosialisme tidak pernah, di
manapun, bermula sebagai gerakan kelas pekerja. Dia tentu saja bukan obat yang
jelas bagi keburukan yang gamblang yang harus dituntut oleh kepentingan kelas
tersebut. Dia adalah hasil konstruksi para teoris, yang telah menurunkannya
dari kecenderungan tertentu dari pikiran abstrak yang telah sejak lama hanya
dikenal oleh kelompok intelektual; dan perlu upaya panjang dari kelompok
intelektual tersebut sebelum kelas-kelas pekerja dapat terbujuk untuk
mengadopsinya sebagai program mereka.
Di setiap
negara yang telah bergerak menuju sosialisme, fase pembangunan di mana pengaruh
sosialisme menentukan politik, telah didahului bertahun-tahun sebelumnya oleh
periode di mana ideal-ideal sosialis mengatur pemikiran kelompok intelektual
yang lebih aktif. Di Jerman tahap ini telah tercapai menjelang akhir abad lalu;
di Inggris dan Prancis, pada sekitar Perang Dunia pertama. Bagi pengamat yang
kasual akan tampak sepertinya Amerika Serikat telah mencapai tahap tersebut
setelah Perang Dunia kedua dan bahwa daya tarik sistem ekonomi terencana dan
terarah kini sama kuatnya di antara kelompok intelektual Amerika dengan sesama
sejawat mereka di Jerman atau Inggris. Pengalaman menunjukkan bahwa, begitu
fase ini dicapai, hanya masalah waktu saja hingga pandangan-pandangan yang kini
dianut kelompok intelektual akan menjadi kekuatan yang mengendalikan politik.
Karakter
dari proses bagaimana pandangan kelompok intelektual mempengaruhi politik hari
esok oleh karena itu menjadi lebih dari sekadar kepentingan akademis. Apakah
kita hendak meramalkan saja atau ingin mempengaruhi jalanannya suatu peristiwa,
ini adalah sebuah faktor yang nilai pentingnya jauh lebih besar daripada yang
umumnya dipahami. Apa yang bagi pengamat kontemporer terlihat seperti
pergumulan konflik berbagai kepentingan seringkali telah diputuskan jauh
sebelumnya dalam pertarungan ide-ide yang terbatas pada sejumlah lingkaran
sempit saja. Namun demikian, secara cukup paradoks, umumnya hanya partai-partai
Kiri saja yang telah melakukan hampir segala hal dalam menyebarkan keyakinan
mereka bahwa kekuatan numerikal dari kepentingan material yang bertentangan-lah
yang menentukan isu-isu politik, sementara dalam praktiknya partai-partai yang
sama ini telah secara teratur dapat bertindak seolah mereka memahami posisi
kunci yang dimainkan kelompok intelektual. Apakah sesuai rancangan ataukah
digerakkan oleh kekuatan keadaan, mereka selalu mengarahkan daya-upaya utama
mereka untuk mendapatkan dukungan dari “elit” ini, sedangkan kelompok-kelompok
yang lebih konservatif juga telah bertindak, meski secara teratur namun gagal,
berdasarkan pandangan yang lebih naif mengenai demokrasi massa dan biasanya
gagal dalam upaya mereka yang diarahkan secara langsung untuk merangkul dan
membujuk pemilih individual.
Namun
demikian, istilah “kelompok intelektual” tidak seketika menyampaikan gambaran
yang benar tentang satu kelas besar yang sedang kita acu ini; kenyataan bahwa
kita tidak memiliki istilah lain yang dengan lebih baik dapat memerikan mereka
yang kita sebut sebagai para dealers ide-ide bekas sama sekali bukanlah
alasan mengapa kekuasaan mereka tidak dipahami. Bahkan mereka yang memakai kata
“intelektual” terutama untuk tujuan abusif masih cenderung menahan diri di
hadapan banyak orang yang, tidak diragukan lagi, menjalankan fungsi
karakteristik tersebut. Yang dianggap kelompok intelektual di sini bukanlah
para pemikir orisinil, para ilmuwan ataupun para pakar di bidang pemikiran
tertentu. Seorang intelektual biasanya tidak perlu menjadi salah satu dari
mereka: seorang intelektual tidak perlu memiliki pengetahuan khusus, juga
bahkan tidak perlu cerdas, untuk dapat menjalankan perannya sebagai perantara
dalam hal penyebaran gagasan. Kualifikasi yang diperlukan untuk tugasnya adalah
sekisaran luas permasalahan yang dapat ia kemukakan atau tuliskan, serta
dimilikinya posisi atau kebiasaan yang membuatnya dapat berkenalan dengan
gagasan-gagasan baru lebih awal daripada mereka yang menjadi target pembicaraannya.
Hingga
semua profesi dan aktivitas kelompok ini mulai dituliskan ke dalam sebuah
daftar, tidak mudah untuk menyadari betapa panjangnya daftar tersebut, betapa
cakupan kegiatan mereka telah meningkat secara konstan dalam masyarakat modern,
dan betapa tergantungnya kita semua pada daftar semacam itu. Sebagai kelas atau
kelompok tersendiri, mereka tidak cuma terdiri atas para jurnalis, guru,
menteri, dosen, penerbit, komentator radio, penulis fiksi, kartunis, dan artis
yang semuanya mungkin merupakan maestro dalam hal penguasaan teknik penyampaian
gagasan namun biasanya amatir dalam hal substansi yang mereka sampaikan. Kelas
ini juga mencakup banyak profesional dan teknisi lain, seperti ilmuwan dan
dokter, yang oleh karena kebiasaan bergaul dengan teks telah membuat mereka
menjadi pembawa gagasan baru ke luar bidang mereka sendiri, dan yang karena
pengetahuan keahlian mereka di bidangnya masing-masing, didengar dengan penuh
hormat oleh kebanyakan orang. Tidak banyak yang dipelajari oleh orang awam dewasa
ini tentang suatu peristiwa atau gagasan kecuali melalui medium kelas ini; dan
di luar bidang-bidang khusus pekerjaan kita, dalam hal ini hampir semuanya kita
tergolong khalayak awam, yang untuk berbagai informasi dan instruksi,
tergantung pada mereka yang telah memilih pekerjaan mereka sebagai penyambung
lidah. Dalam hal ini kelompok intelektual-lah yang menentukan pandangan atau
opini apa saja yang akan mencapai kita, fakta mana yang cukup penting untuk
disampaikan kepada kita, serta dalam bentuk dan sudut apa presentasinya harus
disajikan. Akankah kita pernah memahami karya pakar atau pemikir orisinilnya,
hal ini tergantung terutama pada keputusan mereka.
Orang awam,
barangkali, bahkan tidak sepenuhnya menyadari sejauh mana popularitas ilmuwan
dan sarjana*)
dibentuk oleh kelas tersebut dan dipengaruhi, tanpa terhindarkan, oleh
pandangan kelas tersebut mengenai hal-hal yang tidak banyak kaitannya dengan
sumbangsih pencapaian sejati mereka. Dan hal ini terutama signifikan bagi
persoalan kita bahwa setiap sarjana mungkin dapat menyebut beberapa peristiwa
dalam bidang masing-masing tentang orang-orang yang memperoleh reputasi atau popularitas
sebagai ilmuwan besar, meski tidak layak mendapatkannya, semata-mata karena
mereka memiliki apa yang dianggap oleh kelompok intelektual sebagai pandangan
politik yang “progresif”; tetapi hingga kini saya belum pernah menemukan satu
contoh di mana reputasi-palsu semacam itu pernah diberikan atas alasan politis
terhadap seorang sarjana yang memiliki kecenderungan lebih konservatif.
Penciptaan reputasi semacam itu oleh kelompok intelektual terutama penting
dalam bidang-bidang tertentu di mana hasil-hasil kajian pakar tidak
dipergunakan oleh para spesialis lainnya melainkan tergantung kepada keputusan
politis masyarakat luas pada umumnya. Jarang ada ilustrasi yang lebih baik
mengenai hal ini daripada sikap yang diambil para ekonom profesional terhadap pertumbuhan
doktrin-doktrin semacam sosialisme atau proteksionisme. Dalam waktu singkat
saja, mungkin, mayoritas ekonom, yang dianggap intelektual oleh rekan sejawat,
mendukung sosialisme (atau proteksionisme). Bahkan benar dan tidak meragukan
untuk mengatakan bahwa tidak ada kelompok mahasiswa dengan proporsi anggota
yang begitu tinggi yang memutuskan menentang sosialisme (atau proteksionsisme).
Hal ini lebih signifikan sebab di jaman sekarang, tidak diragukan, minat awal
terhadap skema sosialis bagi reformasi membawa seseorang untuk memilih ilmu
ekonomi sebagai profesinya. Namun hal ini bukanlah pandangan dominan para
pakar, melainkan pandangan sekelompok minoritas, meski reputasi mereka dalam
profesi masing-masing dianggap meragukan, yang diambil dan disebarkan oleh
kelompok intelektual.
Pengaruh
pervasif-menyeluruh kelompok intelektual dalam masyarakat kontemporer semakin
diperkuat lagi dengan meningkatnya arti penting “organisasi”. Meningkatnya
organisasi diyakini secara umum, tetapi mungkin saja keliru, sebagai
peningkatan daya pengaruh pakar atau spesialis. Ini mungkin berlaku bagi pakar
administrator atau organisator, jika ada orang-orang seperti itu, namun tidak
demikian bagi pakar dalam bidang pengetahuan tertentu. [Justru yang berperan]
adalah orang yang dengan pengetahuan umumnya membuatnya berkualifikasi untuk
mengapresiasikan testimoni pakar, dan untuk menilai kepakaran seseorang, dari
berbagai bidang yang berbeda, yang kekuatannya meningkat. Namun demikian, hal
yang penting bagi kita adalah bahwa ketika seorang sarjana menjadi presiden
sebuah universitas, ketika seorang ilmuwan memikul tanggung-jawab terhadap
sebuah institut atau yayasan, atau seorang sarjana menjadi editor atau promotor
aktif dari sebuah organisasi yang bergerak demi tujuan tertentu, mereka semua
dengan cepat berhenti menjadi sarjana atau pakar, dan berubah menjadi
intelektual, semata-mata dalam kaitannya dengan gagasan-gagasan umum tertentu
yang tengah mengemuka. Jumlah institusi semacam itu yang memultiplikasikan
intelektual serta meningkatkan jumlah serta kekuatan mereka, sehingga setiap
hari semakin tumbuh besar. Hampir semua ”pakar” dalam hal teknik perolehan
pengetahuan, dalam kaitannya dengan bidang yang mereka tangani, adalah
intelektual dan bukan pakar.
Dalam
pengertian istilah sebagaimana yang sedang kita pakai di sini, kelompok
intelektual pada kenyataannya merupakan fenomena yang cukup baru dalam sejarah.
Meski tidak seorangpun menyesali kenyataan bahwa pendidikan tidak lagi menjadi
hak istimewa kelas-kelas pemilik properti, kenyataan bahwa mereka yang berasal
dari kelas-kelas ini tidak lagi merupakan kelompok paling terdidik, dan
kenyataan bahwa sejumlah besar orang yang berutang posisi semata-mata kepada
pendidikan umum mereka tidak memiliki pengalaman tentang cara kerja sistem
ekonomi seputar pengadministrasian properti, merupakan hal yang penting untuk
memahami peran kelompok intelektual. Professor Schumpeter, yang telah
mendedikasikan sebuah bab yang mencerahkan dalam bukunya, Capitalism,
Socialism, and Democracy, dalam beberapa aspek permasalahan kita, telah
menekankan secara cukup fair bahwa absennya tanggungjawab terhadap
persoalan-persoalan praktis dan juga, sebagai akibatnya, absennya pengetahuan
langsung (dari tangan pertama) tentang mereka, telah membedakan kebanyakan
intelektual dari orang-orang lainnya yang juga memanfaatkan kekuatan dunia
kata-kata melalui ucapan dan tulisan. Namun demikian, mungkin terlalu
tendensius jika dikatakan bahwa kita harus mengkaji lebih lanjut perkembangan
kelas ini dan klaim yang menarik yang akhir-akhir ini telah disampaikan oleh
salah seorang teoris bahwa intelektual adalah satu-satunya agen yang
pandangannya dipastikan tidak dipengaruhi oleh kepentingan ekonominya sendiri.
Salah satu poin terpenting yang akan perlu diperiksa dalam diskusi semacam itu
adalah seberapa jauh pertumbuhan kelas ini telah secara artifisial distimulasi
oleh hukum hak cipta.
Tidak
mengherankan jika para sarjana atau pakar asli serta orang yang awam seringkali
meremehkan kelompok intelektual, enggan mengiyakan kekuatan mereka, dan merasa
sebal jika dalam hal ini ternyata pandangan tersebut disadari keliru. Secara
individu, mereka mendapati bahwa kebanyakan kelompok intelektual ternyata
adalah orang-orang yang tidak mengetahui apa-apa dengan baik atau istimewa dan
yang penilaian mereka terhadap persoalan yang mereka sendiri juga cukup paham,
memperlihatkan sedikit saja tanda-tanda kebijaksanaan khusus. Tetapi meremehkan
kekuatan kelompok intelektual untuk alasan ini dapat menjadi kesalahan fatal.
Meskipun pengetahuan mereka seringkali superfisial dan intelijensia mereka
terbatas, hal ini tidak mengubah fakta bahwa penilaian merekalah yang terutama
menentukan pandangan-pandangan di mana masyarakat akan beraksi di masa depan
yang tidak terlalu jauh. Tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa, begitu
bagian yang lebih aktif dari para intelektual telah terkonversi ke dalam
seperangkat keyakinan, proses di mana hal-hal ini menjadi diterima secara umum
terjadi secara hampir otomatis dan tidak tertahankan. Para intelektual adalah
organ-organ masyarakat modern yang telah dikembangkan oleh masyarakat modern
untuk menyebarkan pengetahuan dan gagasan, dan keyakinan dan opini merekalah
yang berfungsi sebagai penyaring dan semua konsepsi baru harus melalui mereka
terlebih dahulu sebelum mencapai massa.
Adalah
sifat pekerjaan seorang intelektual bahwa ia harus memanfaatkan pengetahuan dan
keyakinannya dalam tugasnya sehari-hari. Ia menjabat posisinya karena memiliki,
atau harus berurusan dari hari ke hari dengan, pengetahuan yang umumnya tidak
dimiliki pihak yang mempekerjakannya, dan kegiatan-kegiatan intelektual oleh
karena itu diarahkan oleh orang-orang lain hanya pada tingkat tertentu. Dan
hanya karena kelompok intelektual biasanya secara intelektual jujur, maka tidak
terhindarkan bahwa mereka harus mengikuti keyakinan mereka sendiri bilamana
mereka memiliki wewenang dan bahwa mereka harus memberikan penekanan tertentu
yang sesuai terhadap segalanya yang mengalir dari tangan mereka. Meskipun arah
kebijakan berada di tangan orang lain yang memiliki pandangan berbeda, eksekusi
kebijakan umumnya dilakukan oleh tangan intelektual, dan biasanya keputusan
terhadap detilnya yang akan menentukan efek keseluruhan secara netto. Kita
menemukan hal ini terilustrasikan dengan baik dalam hampir semua bidang dalam
masyarakat kontemporer. Surat-surat kabar milik seorang kapitalis, universitas
yang dikepalai oleh badan-badan pengelola “reaksioner”, sistem penyiaran yang
dimiliki pemerintah konservatif, semuanya telah diketahui memberi pengaruh
terhadap opini publik ke arah sosialisme, karena hal ini merupakan keyakinan
para personnelnya. Ini seringkali terjadi tidak saja meskipun, tetapi mungkin
karena, upaya mereka di tingkat atas berupaya mengendalikan opini dan
memaksakan prinsip ortodoksi mereka.
Efek
penyaringan gagasan melalui keyakinan sebuah kelas yang secara konstitusional
cenderung kepada pandangan-pandangan tertentu, tentu saja tidak terbatas pada
massa belaka. Di luar bidang khusus ini pakar biasanya tidak kurang
tergantungnya pada kelas yang satu ini dan tidak jarang dipengaruhi oleh
seleksi mereka. Hasilnya adalah bahwa kini di kebanyakan belahan di Dunia Barat
bahkan oponen terkukuh sosialisme menghasilkan dari sumber-sumber sosialis
pengetahuan mereka mengenai hampir semua subyek di mana mereka tidak memiliki
informasi langsung. Dengan banyaknya prekonsepsi umum tentang pemikrian
sosialis, koneksi dari proposal yang lebih prakstis tentunya tidak seketika
menjadi jelas; dalam konsekuensinya terhadap sistem pemikiran sebenarnya menjadi
penyebar gagasannya yang efektif. Siapa yang tidak mengenal seorang yang
praktis yang di bidangnya sendiri menolak sosialisme sebagai “kebusukan yang
buruk” namun begitu melangkah ke luar subyeknya langsung mengumandangkan
sosialisme seperti jurnalis kiri lainnya manapun? Tak ada bidang lain di mana
pengaruh dominan intelektual sosialis terasakan lebih kuat selama ratusan tahun
terakhir daripada dalam kontrak-kontrak antara berbagai peradaban-peradaban
nasional yang berbeda-beda. Kita akan menyimpang jauh dari batas-batas artikel
ini jika mencoba menelusuri penyebab dan signifikansi dari fakta yang amat
penting bahwa dalam dunia modern kelompok intelektual menyediakan hampir
satu-satunya pendekatan terhadap komunitas internasional. Inilah yang terutama
menjelaskan spectable luar biasa bahwa selama beberapa generasie Barat yang
seharusnya ”kapitalistis: telah meminjamkan dukungan moral dan material secara
nyaris eksklusif terhadap pergerakan-pergerakan ideologis itu di negara-negara
timur jauh yang ditujukan untuk mengganggu peradaban Barat dan bahwa, di saat
yang sama, informasi yang telah diperoleh masyarakat Barat tentang
peristiwa-peristiwa di Eropa Tengah dan Timur hampir tidak dapat terelakkan
diwarnai oleh bias sosialis. Banyak dari kegiatan ”edukatif” dari tentara
Amerika yang menduduki Jerman telah memberikan contoh-contoh terkini dari
kecenderungan ini.
Pemahaman
yang selayaknya terhadap berbagai alasan yang cenderung membuat banyak
intelektual cenderung ke sosialisme dengan demikian sangat penting. Hal pertama
di sini yang harus dihadapi secara jujur oleh mereka yang bebas-prasangka
adalah bahwa faktor yang menentukan pandangan seorang intelektual bukanlah
kepentingan egois atau maksud buruknya, melainkan kebanyakan adalah keyakinan
yang jujur dan niat baiknya. Pada kenyataannya, penting untuk dikenali bahwa
secara keseluruhan kebanyakan intelektual dewasa ini, semakin mereka dipandu
oleh niat baik dan intelejensi, semakin besar kemungkinan mereka menjadi
sosialis, dan bahwa dalam hal argumentasi murni secara intelektual mereka pada
umumnya lebih mampu menyampaikan pandangan secara lebih baik daripada mayoritas
lawan-lawan mereka dalam kelas [intelektual] tersebut. Jika kita masih
menganggap mereka salah, kita harus memahami bahwa mungkin kesalahan yang
murnilah yang membawa orang-orang cerdas, dan berniat baik serta memiliki
posisi-posisi penting dalam masyarakat tersebut untuk menyebarkan
pandangan-pandangan yang bagi kita tampak bagai ancaman terhadap peradaban
kita.[i]
Tidak ada yang lebih penting daripada berusaha untuk mencoba memahami
sumber-sumber kesalahan ini agar kita dapat menepisnya. Namun demikian, mereka
yang umumnya dianggap sebagai wakil- wakil dari tatanan yang ada dan yang
percaya bahwa mereka memahami bahaya-bahaya sosialisme biasanya sangat jauh
dari pemahaman itu. Mereka cenderung menganggap para intelektual sosialis tidak
lebih daripada gerombolan cecunguk radikal intelektual tanpa menghargai
pengaruh mereka dan, karena sikap bulat terhadap mereka, cenderung mendorong
para sosialis bahkan kian jauh kepada oposisi terhadap tatanan yang ada.
Jika kita
ingin memahami prasangka tertentu yang diidap sebagian besar intelektual, kita
harus jelas tentang dua hal. Pertama, kelompok intelektual umumnya menilai
isu–isu tertentu secara eksklusif berdasarkan ide-ide umum tertentu; kedua,
kesalahan khas yang terjadi pada setiap jaman seringkali berasal dari kebenaran
baru dan murni yang ditemukan jaman tersebut, dan mereka adalah
penerapan-penerapan yang keliru atas sejumlah generalisasi baru yang nilainya
telah dibuktikan di bidang-bidang lain. Kesimpulan yang kita tuju dengan
berbekal bimbingan berupa pertimbangan penuh terhadap fakta-fakta ini, adalah
bahwa penyangkalan efektif terhadap kesalahan-kesalahan semacam itu seringkali
memerlukan adanya kemajuan intelektual lanjutan, dan seringkali meluas ke
hal-hal yang sangat abstrak dan mungkin terasa teramat jauh dari isu-isu
praktis.
Mungkin
ciri paling khas dari seorang intelektual adalah bahwa ia menilai gagasan baru
bukan berdasarkan kelebihan tertentu melainkan berdasarkan seberapa siap dan
cocok gagasan tersebut dengan konsepsi umum yang dianutnya, dengan gambaran
dunia yang ia anggap sebagai modern atau maju. Melalui pengaruh gagasan
tersebut terhadap dirinya dan terhadap pilihannya terhadap opini tentang isu
tertentu bahwa kekuatan ide untuk kebaikan atau kejahatan tumbuh dalam
proporsinya terhadap generalitas, keabstrakan, dan bahkan kekaburannya. Karena
ia [hanya] mengetahui sedikit tentang isu tertentu, kriterianya haruslah berupa
konsistensi dengan pandangan-pandangannya yang lain dan kecocokannya untuk
bergabung membentuk pandangan yang koheren tentang dunia. Namun, seleksi
terhadap gagasan-gagasan baru, yang menyeruak di setiap waktu, menciptakan
iklim opini atau Weltanschauung yang khas, terhadap periode tersebut, yang akan
menguntungkan bagi penerimaan opini tertentu dan penolakan bagi opini lain, dan
yang akan membuat kelompok intelektual semakin siap menerima satu kesimpulan
dan menolak yang lain tanpa benar-benar memahami isunya.
Dalam
beberapa hal seorang intelektual memang lebih menyerupai filsuf ketimbang
spesialis lain, dan seorang filsuf dalam banyak pengertian ibarat seorang
pangeran di antara kelompok intelektual. Meskipun pengaruh filsuf semakin jauh
dari isu-isu praktis dan sebagai konsekuensinya menjadi lebih lambat dan lebih
sulit untuk ditelusuri jika dibandingkan dengan pengaruh intelektual biasa,
pengaruhnya tersebut sama jenisnya dan dalam jangka panjang pengaruh bahkan
akan lebih kuat daripada pengaruh intelektual. Pengaruh [seorang filsuf]
adalah: usaha yang sama menuju sintesis yang dikejar secara lebih metodis;
penilaian yang sama terhadap pandangan tertentu sejauh pandangan tersebut dianggap
sesuai dengan sistem umum pemikiran ketimbang dinilai berdasarkan
kontribusinya; dan pengejaran yang sama akan sebuah pandangan terhadap dunia
yang konsisten, yang bagi filsuf maupun intelektual sama-sama membentuk basis
utama dalam menerima atau menolak suatu gagasan. Atas dasar alasan ini pengaruh
filsuf biasanya mungkin lebih besar terhadap seorang intelektual daripada
terhadap seorang sarjana atau ilmuwan lain, dan lebih dari siapapun, menentukan
cara seorang intelektual dalam menjalankan fungsinya sebagai penyensor [ide].
Pengaruh populer seorang spesialis ilmiah akan menandingi pengaruh filsuf hanya
bila ia berhenti menjadi spesialis dan mulai berfilsafat tentang kemajuan
subyeknya dan biasanya [hal ini terjadi] hanya setelah ia “diangkat” oleh kelompok
intelektual atas alasan-alasan yang tidak banyak terkait dengan reputasi
ilmiahnya.
“Iklim
opini” dalam setiap kurun dengan demikian secara esensial merupakan seperangkat
prakonsepsi umum yang dipakai oleh seorang intelektual untuk menilai
penting-tidaknya fakta dan opini baru. Prakonsepsi semacam ini terutama
[berupa] aplikasi terhadap apa yang tampak bagi sang intelektual sebagai aspek
yang paling signifikan dalam pencapaian ilmiah, sebuah transfer ke
bidang-bidang lain terhadap apa yang paling mengesankan sang intelektual dari
pencapaian seorang spesialis. Orang dapat membuat daftar panjang trend-trend
intelektual dan kata-kata kunci semacam itu yang dalam perjalanan selama dua
atau tiga generasi secara bergantian mendominasi pemikiran kelompok intelektual.
Baik berupa ”pendekatan historis” ataupun teori evolusi, determinisme dan
keyakinan di abad ke-19 terhadap pengaruh [faktor] lingkungan yang dianggap
lebih dominan daripada [faktor-faktor] keturunan, teori relativitas, ataupun
keyakinan pada kekuatan alam bawah sadar—semua prakonsepsi umum ini telah
dijadikan kriteria untuk menguji inovasi-inovasi dalam berbagai bidang.
Sepertinya, semakin tidak spesifik dan semakin tidak akuratnya (atau semakin
tidak terpahaminya) sebuah gagasan, maka akan semakin luas pengaruhnya.
Kadang-kadang, impresi yang samar, yang hampir tidak ternyatakan dalam
kata-kata, akan memberi pengaruh yang mendalam. Keyakinan-keyakinan semacam
kontrol yang disengaja atau organisasi secara sadar–yang selalu dianggap lebih
superior daripada hasil-hasil proses spontan yang tidak diarahkan oleh pikiran
manusia, atau bahwa tatanan lain atas dasar rencana yang sudah disiapkan di
awal dianggap pasti lebih baik daripada tatanan yang dibentuk oleh perimbangan
kekuatan-kekuatan yang saling beroposisi–telah mempengaruhi perkembangan
politik dengan sangat dalam dengan cara tersebut.
Yang
tampaknya berbeda hanyalah peran kelompok intelektual ketika melibatkan
perkembangan gagasan sosial yang lebih layak. Di sini propensitas mereka yang
khas terwujud pada saat mereka membuat mantera berupa abstraksi-abstraksi,
serta ketika mereka merasionalisasikan dan membawa ke titik-titik ekstrim
ambisi-ambisi tertentu yang mencuat dari pergaulan normal manusia. Karena
demokrasi adalah sesuatu yang baik, maka semakin meluas prinsip demokrasi dapat
diteruskan, semakin baik tampaknya bagi mereka. Dari gagasan-gagasan umum yang
telah membentuk perkembangan politik dalam kurun belakangan ini, yang paling
kuat adalah ideal tentang kesamaan materi. Ideal ini, biasanya, bukan salah
satu keyakinan moral yang tumbuh secara spontan dan yang mula-mula
diaplikasikan dalam relasi antara individu-individu tertentu, melainkan sebuah
konstruksi intelektual yang pada mulanya digagas dalam makna atau aplikasi yang
abstrak dan meragukan pada suatu peristiwa tertentu. Namun demikian, ideal
tersebut telah menjadi prinsip seleksi yang kuat di dantara berbagai arah
alternatif yang dituju kebijakan sosial, dan terus menerus memberikan tekanan
terhadap arah penyelenggaraan affairs sosial yang tidak seorangpun dapat
menangkapnya dengan jelas. Bahwa ada tindakan tertentu yang cenderung
menghasilkan kesamaan yang lebih besar, telah dianggap sebagai rekomendasi yang
kuat dan tidak banyak hal lain yang dijadikan butir pertimbangan. Mengingat pada
setiap isu tertentu satu aspek ini dijadikan panduan oleh mereka yang memiliki
keyakinan kuat terhadapnya, kesamaan (equality) telah menentukan
perubahan sosial bahkan lebih kuat daripada yang dikehendaki para pendukungnya.
Namun, yang
bertingkah seperti ini bukan hanya ideal moral saja. Kadang, sikap kelompok
intelektual terhadap persoalan seputar tatanan sosial dapat muncul sebagai
konsekuensi dari kemajuan dalam pengetahuan ilmiah murni, dan dalam peristiwa
semacam inilah kekeliruan pandangan mereka terhadap isu tertentu mungkin untuk
beberapa saat tampak seperti sesuatu pencapaian ilmiah terkini yang dianggap
hebat di belakang mereka. Tidaklah mengejutkan jika proses perkembangan
pengetahuan murni dalam cara ini seringkali menjadi sumber kesalahan baru. Jika
sebuah generalisasi tidak diikuti dengan kesimpulan yang salah, maka
generalisasi tersebut akan menjadi kebenaran final yang [dianggap] tidak pernah
perlu direvisi lagi. Meskipun biasanya, sesuai aturannya, generalisasi baru
semacam itu hanyalah berbagi konsekuensi-konsekuensi yang keliru yang dapat
ditarik darinya melalui pandangan terdahulu yang dianut, dan dengan demikian
tidak membawa kepada kesalahan baru, mungkin saja terjadi bahwa sebuah teori
yang baru, sebagaimana nilainya diperlihatkan oleh kesimpulan-kesimpulan baru
yang sahih serta berasal darinya sendiri, akan menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang akan menunjukkan telah terjadinya
kesalahan. Tetapi dalam perisitiwa semacam ini keyakinan yang salah akan
dilihat bersama-sama dengan segala prestise pengetahuan ilmiah terbaru yang
mendukungnya. Meskipun di bidang tertentu di mana keyakinan ini diterapkan
semua bukti ilmiah terbukti menentangnya, maka di depan tribunal para
intelektual dan dalam pengertian gagasan-gagasan yang mengatur pemikiran
mereka, pandangan tersebut tetap akan dipilih sebagai yang paling sesuai untuk
semangat jaman. Para spesialis yang kemudian mendapat kemasyhuran publik dan
berpengaruh secara luas bukanlah mereka yang mendapat pengakuan dari sejawat
mereka, melainkan seringkali tokoh-tokoh lain yang oleh para pakar lain
dianggap sebagai orang-orang bejat, amatiran, atau bahkan penipu, tetapi yang
di mata publik tetap dianggap sebagai eksponen paling terkenal di bidangnya.
Secara
khusus, hanya ada sedikit keraguan saja bahwa cara di manusia telah belajar
mengorganisir kekuatan-kekuatan alam selama seratus tahun terakhir telah
berkontribusi besar terhadap penciptaan keyakinan bahwa kendali serupa terhadap
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat juga akan menghasilkan perbaikan-perbaikan
yang sebanding dalam kondisi manusia. Bahwa, melalui teknik-teknik rekayasa,
arah semua bentuk kegiatan manusia berdasarkan sebuah rencana tunggal yang
koheren akan terbukti sukses pula dalam masyarakat sebagaimana halnya dalam
tugas-tugas rekayasa lain yang tak terhitung jumlahnya, merupakan sebuah
kesimpulan yang terlalu masuk akal untuk tidak menggoda kebanyakan dari mereka
yang kepayang dengan pencapaian ilmu pengetahuan alam. Memang harus sama-sama
diakui bahwa: argumen-argumen yang kuat diperlukan untuk melawan pra-asumsi
kuat yang mendukung kesimpulan semacam itu; dan bahwa argumen-argumen seperti
itu belum pernah disampaikan secara memadai. Semata memperlihatkan kekurangan
dalam proposal tertentu dengan pemikiran semacam ini, tidaklah memadai.
Argumennya tidak akan kehilangan daya kekuatannya sebelum diperlihatkan secara
tuntas mengapa hal yang terbukti amat sukses dalam menghasilkan kemajuan di
berbagai bidang hanya memiliki manfaat yang terbatas saja dan justru secara
positif akan menjadi berbahaya jika diperluas ke luar batas-batasnya. Ini
adalah tugas yang belum dilakukan secara memuaskan dan masih harus dicapai
sebelum impulsi ke arah denyut sosialisme semacam ini dapat dihilangkan.
Tentunya,
hal di atas hanyalah satu dari sekian banyak contoh di mana
kemajuan-intelektual lanjutan diperlukan agar dapat menepis gagasan-gagasan
terkini yang dianggap membahayakan, dan di mana jalur yang kita lewati pada
akhirnya akan diputuskan lewat diskusi tentang isu-isu yang amat abstrak. Bagi
seorang man of affairs tidaklah cukup untuk merasa yakin, berdasarkan
pengetahuan intimnya [semata] dalam bidang tertentu, bahwa teori-teori
sosialisme yang diturunkan dari gagasan-gagasan yang lebih umum, ternyata
terbukti tidak dapat dipraktikkan. Orang tersebut mungkin sepenuhnya benar,
akan tetapi resistensinya akan tergerus dan segala konsekuensi buruk yang ia
bayangkan akan terwujud jika ia tidak didukung oleh argumen penyangkalan yang
efektif terhadap ides meres tersebut. Sejauh kelompok intelektual memenangkan
argumentasi secara umum, keberatan yang paling sahih terhadap isu tertentu ini
akan tersisih.
Namun, ini
bukan keseluruhan cerita. Kekuatan yang mempengaruhi rekruitmen kelompok
intelektual dalam berbagai tingkatan beroperasi dalam arah yang sama dan dapat
membantu menjelaskan mengapa begitu banyak orang yang paling cakap di bidangnya
tertarik pada sosialisme. Tentu ada perbedaan pendapat di antara para
intelektual sebagaimana di antara orang-orang lainnya; namun, secara
keseluruhan tampaknya benar adanya bahwa intelektual-intelektual yang paling
aktif, cerdas dan orisinil di antara sejawat mereka, seringkali paling
cenderung terhadap sosialisme, sementara oponen-oponen mereka seringkali
berkaliber lebih rendah. Ini benar terutama di tahap awal proses infiltrasi
ide-ide sosialis; kelak, meski di luar lingkaran intelektual hal semacam ini
masih memerlukan keberanian untuk menyatakan keyakinan-keyakinan sosialis,
tekanan opini yang pro-sosialisme di antara sesama intelektual seringkali
menjadi semakin kuat sehingga membutuhkan kekuatan dan kemandirian ekstra bagi
[siapa saja] yang memilih bertahan daripada mengekor sejawatnya dalam hal
pandangan-pandangan modern. Dari semua orang yang mengenal banyak fakultas di
universitas-universitas (dan dari sudut pandang ini, mayoritas pengajar
universtias mungkin harus dikelompokkan sebagai intelektual daripada sebagai
pakar), tidak seorangpun yang tidak mengetahui fakta bahwa pengajar yang paling
brilian dan sukses dewasa ini kemungkinan besar [tergolong] sosialis, sementara
mereka yang pandangan politisnya konservatif biasanya hanyalah orang-orang
berkualitas rendahan. Dengan sendirinya ini merupakan faktor penting yang
menggiring generasi muda ke kamp sosialis.
Kelompok
sosialis, tentu saja, akan semata-mata melihat hal ini sebagai bukti bahwa
semakin cerdas seseorang di jaman ini, semakin sosialis kecenderungannya.
Tetapi penjelasan ini jauh dari keharusan atau bahkan kemungkinan. Alasan utama
terjadinya situasi seperti ini mungkin adalah bahwa, bagi orang yang cakap
luar-biasa yang menerima tatanan masyarakat yang ada saat ini, terbuka berbagai
jalan raya lain menuju pengaruh dan kekuasaan, sementara mereka yang tidak
terpengaruh atau tidak puas dengan hal-hal tersebut, sebuah karir intelektual
adalah jalan yang paling menjanjikan terhadap pengaruh maupun kekuasan untuk
berkontribusi/menyumbangkan terhadap pencapaian ideal-idealnya. Bahkan lebih
dari itu: semakin konservatif kecenderungan seseorang yang kemampuannya kelas
satu, umumnya ia akan memilih pekerjaan intelektual (dan mengorbankan ganjaran
materi untuk pilihannya tersebut) hanya jika ia menikmatinya bagi dirinya
sendiri. Sebagai konsekuensinya, ia lebih mungkin menjadi seorang sarjana ahli
daripada intelektual dalam pengertian khusus terhadap kata tersebut; sementara
bagi mereka yang lebih radikal, pengejaran intelektual seringkali merupakan
cara, dan bukan tujuan, tepatnya jalan menuju pengaruh luas yang dilakukan oleh
intelektual profesional. Dengan begitu, faktanya bukanlah bahwa orang yang
cerdas umumnya sosialis, melainkan bahwa sejumlah proporsi yang lebih tinggi
dari sosialis di antara mereka yang cerdas mendedikasikan dirinya kepada
pengejaran intelektual yang dalam masyarakat modern memberi mereka pengaruh
yang menentukan terhadap opini publik.[ii]
Seleksi
personel dalam kelompok intelektual juga terkait erat dengan kepentingan yang
predominan yang ditunjukkan para intelektual dalam gagasan-gagasan umum dan
abstrak mereka. Spekulasi tentang seluruh rekonstruksi yang mungkin dilakukan
pada masyarakat memberi kelompok intelektual keleluasaan sesuai selera mereka
yang lebih besar daripada sekadar pertimbangan jangka pendek orang-orang yang
ingin memperbaiki tatanan yang ada secara sedikit demi sedikit. Secara khusus,
pemikiran sosialis memiliki daya tarik bagi kelompok muda karena karakternya
yang visioner. Keberanian untuk menggumuli gagasan yang Utopia adalah sumber
kekuatan kelompok sosialis yang sayangnya tidak dimiliki liberalisme
tradisional. Perbedaan ini menguntungkan sosialisme, tidak saja karena
spekulasi tentang prinsip-prinsip umum memberi peluang untuk bermainnya
imajinasi mereka yang tidak banyak terbebani oleh pengetahuan tentang
fakta-fakta kehidupan sehari-hari, tetapi juga karena hal itu memuaskan hasrat
yang sah (legitimate) untuk memahami basis rasional setiap tatanan
sosial dan memberi cakupan untuk menjalankan dorongan konstruktif yang oleh
liberalisme, setelah memeroleh kemenangan besarnya, tidak diberikan salurannya.
Seorang intelektual, atas disposisinya yang bulat, tidak tertarik pada
detil-detil teknis atau persoalan-persoalan praktis. Yang menarik baginya
adalah visi luas tersebut, pemahaman yang besar terhadap keseluruhan tatanan
sosial yang dijanjikan oleh sebuah sistem yang terencana.
Fakta bahwa
cita rasa intelektual ini lebih dapat dipuaskan oleh spekulasi kelompok
sosialis terbukti fatal bagi pengaruh tradisi liberal. Begitu tuntutan-tuntutan
dasar program liberal terpenuhi, para pemikir liberal berpaling ke detil-detil
pesoalan dan cenderung mengabaikan perkembangan filsafat liberalismenya secara
umum, sehingga tidak lagi menjadi isu hidup yang menawarkan cakupan spekulasi
umum. Dengan demikian, selama lebih dari setengah abad hanya kelompok
sosialislah yang menawarkan sesuatu, misalnya melalui program eksplisit
pengembangan sosial, gambaran masyarakat masa depan yang dituju, serta
seperangkat prinsip umum pemandu pengambilan keputusan terhadap isu-isu tertentu.
Meskipun ideal-ideal sosialis, jika pandangan saya benar, memiliki banyak
kontradiksi yang inheren dan setiap upaya untuk mempraktikkannya pasti akan
menghasilkan sesuatu yang lain sama sekali dari yang mereka harapkan, hal ini
tidak mengubah kenyataan bahwa program perubahan yang mereka ajukan merupakan
satu-satunya yang telah memengaruhi perkembangan institusi-institusi sosial.
Karena filsafat umum mereka telah menjadi filsafat umum yang dianut sebuah
kelompok yang besar, satu-satunya sistem atau teori yang mengangkat isu-isu
baru dan membuka wawasan baru, bahwa mereka telah berhasil menginspirasi
imajinasi para intelektual.
Perkembangan
aktual masyarakat selama periode ini ditentukan bukan oleh pertarungan
ideal-ideal yang saling berkonflik, melainkan oleh kontras antara keadaan dunia
yang ada dengan kemungkinan masyarakat ideal yang dijunjung di hadapan publik
hanya oleh kelompok sosialis. Sedikit sekali program lain yang menawarkan
kepada publik alternatif-alternatif murni. Kebanyakan alternatif tersebut
hanyalah sejumlah kompromi atau “rumah-rumah separuh jadi” di antara tipe-tipe
ekstrim sosialisme ekstrim dan tatanan yang ada. Hal yang diperlukan orang agar
sebuah proposal sosialis terlihat masuk akal bagi pikiran-pikiran yang “bijak”
yang secara konstitusional percaya bahwa kebenaran harus selalu berada di
tengah dua ekstrim, adalah dengan mengadvokasikan proposal yang sedikit lebih
ekstrim. Tampaknya hanya ada satu arah yang dapat kita tuju, dan satu-satunya
pertanyaannya sepertinya adalah: seberapa cepat dan seberapa jauh gerakan
tersebut harus berlangsung.
Seberapa
penting daya tarik yang istimewa ini bagi para intelektual yang diderivasikan
oleh sosialisme dari sifat spekulatifnya akan terlihat lebih jelas jika kita
mengontraskan lebih jauh posisi seorang teoris sosialis dengan posisi lawannya,
yaitu teoris liberal dalam pengertian klasik kata tersebut. Perbandingan ini
juga akan membawa kita kepada pelajaran apapun yang dapat ditarik dari
apresiasi yang memadai terhadap kekuatan-kekuatan intelektual yang menggoyahkan
landasan sebuah masyarakat yang bebas.
Yang terasa
cukup paradoksial, salah satu hambatan utama yang menghilangkan pengaruh
populer pemikir liberal terkait erat dengan fakta bahwa, hingga munculnya
sosialisme, ia lebih berpeluang untuk memengaruhi keputusan secara langsung
terhadap kebijakan yang ada dan, sebagai konsekuensinya ia tidak saja tergoda
ke dalam spekulasi jangka-panjang itu yang menjadi kekuatan kelompok sosialis,
melainkan juga pada kenyataannya menjadi patah-semangat karena setiap upaya
semacam ini sangat mungkin akan mengurangi segala manfaat-seketika yang dapat
ia berikan. Kekuatan apapun yang dimilikinya untuk memengaruhi keputusan
praktis berpulang pada posisinya di mata wakil-wakil tatanan yang ada, dan
posisi ini akan berada dalam bahaya jika ia memusatkan dirinya sendiri pada
spekulasi yang menarik minat intelektual dan yang melaluinya dapat memengaruhi
perkembangan dalam periode lebih panjang. Agar dapat berbagi beban dengan
penguasa, ia harus menjadi “praktis”, “sensible” dan “realistis.”
Apabila ia menyibukkan diri dengan isu-isu yang sifatnya seketika, ia akan
mendapat ganjaran berupa pengaruh, sukses secara materi, dan akan populer di
antara mereka yang hingga titik tertentu secara umum memiliki kesamaan pandangan
dengannya. Tetapi orang-orang ini memiliki sedikit rasa hormat terhadap
spekulasi-spekulasi seputar prinsip-prinsip umum yang membentuk iklim
intelektual. Tentu, jika ia mendalami spekulasi jangka panjang secara serius,
ia akan memperoleh reputasinya sebagai orang yang “payah” atau bahkan separuh
sosialis saja, sebab ia tidak bersedia mengidentifikasi tatanan yang ada
sebagai sistem bebas yang ditujunya.[iii]
Jika,
terlepas dari hal ini, ia terus melanjutkan usahanya ke arah spekulasi umum
tersebut, ia akan segera menyadari betapa tidak amannya mengasosiasikan diri
terlalu dekat dengan orang-orang yang tampaknya berbagi hampir seluruh
keyakinan dengannya, dan ia pun segera akan terdorong ke dalam isolasi. Tentu
ada banyak tugas lain yang kurang dihargai saat ini daripada yang sifatnya
esensial, seperti mengembangkan landasan filosofis sebagai dasar bagi
perkembangan lanjutan masyarakat yang bebas. Karena seseorang yang melakukannya
harus menerima sejumlah besar kerangka tatanan yang ada, ia juga akan terlihat
bagi banyak intelektual yang berpikiran spekulatif sebagai seorang apologis
yang menguatirkan keadaan. Di saat yang sama ia akan diabaikan oleh orang-orang
penting sebagai seorang teoris yang tidak praktis. Ia tidak cukup radikal bagi
mereka yang hanya mengenal dunia di mana “pemikiran-pemikiran dapat hidup
nyaman bersama” dan terlalu radikal bagi mereka yang hanya melihat “ruang di
mana segala sesuatu bertabrakan”. Jika ia memanfaatkan dukungan dari
orang-orang penting tersebut, ia hampir pasti akan mendiskreditkan dirinya
sendiri di hadapan mereka tempatnya bergantung dalam menyebarkan ide-idenya. Di
saat yang sama ia akan harus ekstra hati-hati untuk menghindari apapun yang menyerupai
ekstravaganza atau pernyataan yang terlalu berlebihan. Sementara tidak ada
teoris-sosialis yang pernah mendiskreditkan dirinya sendiri di hadapan
sejawatnya bahkan melalui proposal-proposal yang paling bodoh sekalipun,
seorang liberal yang kuno akan mengutuk dirinya sendiri jika ia menyampaikan
usulan yang tidak dapat dipraktikkan. Namun, bagi para intelektual, ia tetap
tidak cukup spekulatif atau berani, dan perubahan serta perbaikan dalam
struktur sosial yang akan ditawarkannya akan tampak terbatas jika dibandingkan
dengan apa yang ditangkap oleh imajinasi mereka yang tidak terlalu terkekang.
Setidaknya
dalam sebuah masyarakat di mana syarat-syarat utama bagi kebebasan telah
dimenangkan dan perbaikan-perbaikan lanjutan harus melibatkan butir-butir detil
komparatif, program liberal tidak memiliki daya tarik untuk menghasilkan temuan
baru. Apresiasi terhadap perbaikan-perbaikan yang harus ditawarkan oleh program
liberal memerlukan lebih banyak pengetahuan seputar cara kerja masyarakat yang
ada daripada yang dimiliki rata-rata intelektual. Diskusi tentang
perbaikan-perbaikan tersebut harus berlanjut di tingkat yang lebih praktis
ketimbang di tingkat program-program revolusioner, sehingga memberikan warna
yang kurang menarik bagi kelompok intelektual dan cenderung memperkenalkan
elemen-elemen yang langsung menimbulkan antagonistik seorang intelektual.
Mereka yang paling mengenal cara kerja masyarakat dewasa ini juga biasanya
tertarik dengan upaya untuk mempertahankan fitur-fitur tertentu dalam masyarakat
tersebut yang mungkin tidak dapat dipertahankan oleh prinsip-prinsip yang umum.
Berbeda dari orang yang mencari tatanan masa depan yang sama sekali baru dan
yang untuk itu secara alamiah akan memerlukan panduan dari [seorang] teoris,
mereka yang percaya pada tananan yang ada biasanya menganggap diri telah
memahami secara lebih baik daripada teoris manapun dan sebagai kosekuensinya
mungkin akan menolak segala hal yang tidak mereka kenal atau yang sifatnya
teoretis.
Sulitnya
menemukan dukungan tulen yang tidak memihak terhadap kebijakan sistematis yang
mendukung kebebasan bukanlah hal baru. Dalam sebuah paragraf dimana penerimaan
terhadap buku terbaru saya sering mengingatkan saya, Lord Acton pernah
mengatakan bahwa “dalam setiap kurun waktu jarang dapat ditemukan sahabat
sejati kebebasan, dan kejayaan kebebasan tercapai atas jasa kelompok minoritas,
yang berjaya atas dasar mengasosiasikan diri dengan unsur-unsur pendukung yang
obyeknya berbeda dari diri mereka sendiri; dan dalam asosiasi ini, yang selalu
berbahaya, kadang-kadang menjadi bencana, ketika pihak lawan mendapat alasan
yang adil untuk oposisi…”[iv]
Belum lama berselang, salah seorang ekonom Amerika yang masih hidup dan paling
ternama mengeluhkan dengan cara serupa bahwa tugas bagi mereka yang percaya
pada prinsip-prinsip dasar sistem kapitalis seringkali harus melakukan
pembelaan bagi sistem tersebut dari para kapitalis sendiri—tentunya para ekonom
liberal, dari Adam Smith hingga yang dikenal sekarang, selalu menyadari hal
ini.
Hambatan paling serius yang memisahkan orang-orang yang berpikiran
praktis yang memperjuangkan kebebasan secara murni dari hati dari
kekuatan-kekuatan yang dalam dunia gagasan menentukan arah perkembangan adalah
ketidakpercayaan mereka yang mendalam terhadap spekulasi teoritis dan
kecenderungan mereka terhadap ortodoksi; ini, lebih dari apapun, menciptakan
rintangan yang hampir tak tertembus di antara mereka dan para intelektual yang
menmperjuangkan hal yang sama dan yang dukungannya tidak terpisahkan jika
perjuangan tersebut ingin berjaya. Meskipun kecenderungan ini mungkin bersifat
alamiah di antara orang-orang yang mempertahankan sebuah sistem karena sistem
tersebut sudah menjustifikasikan dirinya, dan kepada siapa justifikasi
intelektual tampaknya immaterial, maka [hal tersebut akan menjadi] fatal bagi
kelangsungan sistem tersebut karena hal tersebut meniadakan dukungan yang amat
diperlukannya. Ortodoksi dalam jenis apapun, [atau] pretensi bahwa sistem ide
secara keseluruhan merupakan hal yang final dan harus diterima tanpa
pertanyaan, merupakan satu pandangan yang niscaya akan mengantogoniskan semua
intelektual, apapun pandangan mereka terhadap suatu isu. Setiap sistem yang
menghakimi manusia berdasarkan kelengkapan konformitas mereka terhadap
seperangkat opini yang sudah dipastikan, melalui “keandalan” atau sejauh mana
mereka dapat diandalkan untuk mempertahankan pandangan yang makan terhadap
semua hal, meniadakan bagi dirinya sendiri dukungan penting, yang tanpanya
gagasan tidak akan mampu mempertahankan pengaruhnya dalam masyarakat modern.
Kemampuan untuk mengkritik pandangan yang mapan, untuk mengeksplorasikan
vista-vista baru dan untuk memeroleh pengalaman dengan konsepsi baru,
menyediakan atmosfer yang diperlukan, yang tanpanya intelektual tidak dapat
bernapas. Tujuan yang tidak menawarkan cakupan bagi ciri-ciri tersebut tidak
akan mendapat dukungan intelektual dan dengan demikian ditardirkan akan gagal
di masyarakat manapun yang, seperti masyarakat kita, tergantung pada
jasa-jasanya.
Mungkin
saja benar, sebagaimana masyarakat bebas yang kita kenal membawa dalam dirinya
sendiri kekuatan-kekuatan bagi kehancuran masyarakat itu sendiri, bahwa begitu
kebebasan tercapai dia akan terabaikan dan tidak lagi dihargai, dan bahwa
pertumbuhan gagasan secara bebas yang merupakan esensi masyarakat bebas akan
menghancurkan fondasi pijakannya. Tidak diragukan lagi, di negara-negara
seperti Amerika Serikat ideal kebebasan kini kurang menarik anak muda di
bandingkan di negara-negara di mana para pemudanya mempelajari makna dari
kebebasan yang hilang. Di sisi lain, ada berbagai macam sinyal yang menandakan
bahwa di Jerman dan di tempat lain, bagi orang-orang muda yang tidak pernah
mengenal masyarakat bebas, tugas untuk merekonstruksikannya dapat menjadi
semenarik dan sememesona sebagaimana skema sosialis yang telah muncul selama
seratus tahun terakhir. Adalah fakta yang luar biasa, meski fakta ini telah
dialami oleh banyak pengunjung, bahwa ketika berbicara kepada mahasiswa Jerman
mengenai prinsip-prinsip masyarakat yang bebas, orang akan mendapati audiensi
yang lebih responsif dan antusias daripada yang dapat dibayangkan di
negara-negara demokrasi Barat lainnya. Di Inggris juga telah muncul di antara
para pemuda minat baru terhadap prinsip-prinsip liberalisme sejati yang
tentunya tidak ditemukan beberapa tahun yang lalu.
Apakah ini
berarti bahwa kebebasan bernilai hanya ketika dia hilang, bahwa dunia di semua
tempat harus melalui fase totalitarianisme sosialis sebelum daya kebebasan
dapat mengumpulkan kekuatan barunya? Mungkin begitu, tetapi semoga tidak perlu
demikian. Namun, sejauh orang yang pada periode panjang yang menentukan opini
publik terus tertarik dengan ideal-ideal sosialisme, kecenderungan seperti ini
akan terus berlangsung. Jika kita ingin menghindari perkembangan seperti itu,
kita harus mampu menawarkan sebuah program liberal yang menggugah imajinasi.
Kita harus membuat bangunan masyarakat bebas menjadi, sekali lagi, sebuah
petualangan intelektual, sebuah aksi keberanian. Yang tidak kita miliki adalah
sebuah Utopia liberal, sebuah program yang tampak bukan sebagai pertahanan diri
terhadap hal-hal sebagaimana adanya, dan bukan pula semacam sosialisme yang
tercemar, melainkan sebuah radikalisme liberal sejati yang tidak mengecualikan
pihak-pihak penguasa yang rentan (termasuk serikat-serikat pekerja), yang tidak
terlalu berpikiran praktis, dan yang tidak membatasi diri sendiri pada apa yang
dewasa ini tampak memungkinkan secara politis. Kita memerlukan para pemimpin
intelektual yang bersedia bekerja untuk sebuah ideal, betapapun kecilnya
prospek realisasi awalnya. Mereka harus orang-orang yang bersedia berpegang
pada prinsip dan bertarung untuk merealisasikan diri secara penuh, meskipun
kecil peluangnya. Kompromi-kompromi praktis harus mereka serahkan kepada para
politisi. Perdagangan bebas dan kebebasan bagi kesempatan adalah ideal-ideal
yang masih dapat membangkitkan imajinasi banyak orang, tetapi “perdagangan yang
cukup bebas” semata atau “pengenduran kontrak” belaka tidaklah terhormat secara
intelektual dan tidak memungkinkan untuk menginspirasikan antusiasme.
Pelajaran
utama yang harus dipelajari seorang liberal sejati dari kesuksesan kelompok
sosialis adalah keberanian mereka untuk menjadi Utopian sehingga mendapat
dukungan dari kelompok intelektual dan, dengan demikian, juga dukungan pengaruh
opini publik yang sehari-hari memungkinkan apa yang belum lama berselang masih
terlihat seperti sesuatu yang jauh sekali. Mereka yang secara ekslusif
berurusan dengan apa yang dulu tampaknya bisa dipraktikkan dalam kondisi opini
saat itu senantiasa mendapati bahwa bahkan hal inipun secara politik mustahil
tercapai sebagai akibat dari perubahan-perubahan dalam opini publik yang selama
ini tidak pernah sedikitpun mereka pandu. Kecuali jika kita berhasil membuat
landasan filosofis untuk menghidupkan kembali isu intelektual tentang
masyarakat yang bebas, dan mengupayakan agar implementasinya menjadi tugas yang
menantang kecerdikan dan imajinasi pikiran-pikiran kita yang paling bergairah.
Tetapi jika kita dapat memeroleh kembali keyakinan tersebut dalam kekuatan
gagasan yang merupakan tanda liberalisme dalam kondisi terbaiknya, artinya kita
tidak kalah dalam pertempuran. Kebangkitan-intelektual liberalisme sudah
dimulai di banyak negara di dunia. Masih ada waktukah? (§)
* [Diterjemahkan
oleh Sukasah Syahdan, dari sumber The University of Chicago Law Review
(Spring 1949), hal. 417-420, 421-423, 425-433, by permission of the author and
the publisher, The University of Chicago Press; George B. de Huszar ed., The
Intellectuals: A Controversial Portrait (Glencoe, Illinois: the Free Press,
1960) pp. 371-84.Hak cipta versi Indonesia © 2007, Jurnal Kebebasan: Akal dan
Kehendak dan CV. Sançtuary Publishing.]
*)
Dalam artikel ini dipakai sebagai padanan”scholar”. –Penerj.
Sumber : Jurnal
Kebebasan: Akal dan Kehendak Vol. I, Edisi 4, 03 Mei 2007
[i] Dengan demikian bukanlah
“kesantunan terhadap kesalahan” (sebagaimana disiratkan oleh seorang penimbang
buku The Road to Serfdom, Professor J. Schumpeter), melainkan
keyakinan mendalam terhadap pentingnya hal ini yang membuat saya, dalam
perkataan Professor Schumpeter, “hampir tidak pernah mengatributkannya kepada
lawan-lawan lain di luar kekeliruan intelektual.”
[ii] Terkait dengan hal ini adalah
fenomena lain yang cukup dikenal: ada sedikit saja alasan untuk meyakini bahwa
kemampuan intelektual kelas-satu dalam menciptakan karya-karya yang orisinil
lebih jarang ditemui di antara orang-orang bangsa Gentiles daripada
orang-orang Yahudi. Tetapi tidak diragukan bahwa orang-orang Yahudi hampir di
semua tempat secara disproporsional membentuk sekelompok besar intelektual,
dalam pengertian makna yang kita acu di sini, dengan peringkat sebagai
penerjemah profesional terhadap gagasan. Hal ini mungkin bakat khusus dan tentunya
merupakan peluang utama di negara-negara di mana prasangka mengendala sepak
terjang mereka di bidang lain. Barangkali hal ini lebih disebabkan oleh karena
mereka membentuk sejumlah proporsi besar intelektual daripada bahwa mereka
tampaknya begitu reseptif terhadap gagasan sosialis daripada orang-orang dari
ras lain.
[iii] Contoh paling jelas baru-baru
ini seputar penghujatan tulisan liberal non-ortodoks semacam itu sebagai karya
yang “sosialis” dapat dilihat dalam komentar terhadap buku almarhum Henry
Simons, Economic Policy for a Free Society (1948). Orang tidak perlu sepenuhnya
setuju dengan karya ini dan mungkin bahwkan akan menganggap beberapa usulannya
tidak kompatibel dengan masyarakat bebas; namun, karya ini dinilai sebagai
salah satu kontribusi terpenting di jaman ini bagi persoalan kita, dan
diperlukan untuk memulai diskusi tentang isu-isu fundamental. Bahkan mereka
yang murka dan tidak setuju dengan usulan-usulan tersebut menerimanya sebagai
kontribusi yang telah berani mengemukakan secara jelas persoalan-persoalan
sentral di jaman kita.
[iv] Acton, The History of
Freedom, I (1922).
Related Posts:
Politik Sosial-Budaya
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :