Jumat, 26 April 2013
Proses Internalisasi Nilai-Nilai Budaya *
Resminawaty
dan Atik Triratnawati
Program Studi Antropologi
Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Pendahuluan
Beberapa
tahun belakangan ini bermunculan berbagai literatur yang membahas remaja dan
penyimpangan perilaku seksual. Di antaranya hasil penelitian Mudjijono
(2000:43) mengenai remaja yang memasuki dunia pelacuran sebagai pekerja seks
banyak terjadi di Pasar Kembang, Yogyakarta. Mereka ada yang berusia remaja.
Penelitian lainnya oleh Iskandar (2001:94-97) mengenai lingkungan pergaulan “anak
gaul” di Bandung yang kebanyakan ke kafe-kafe, pub, karaoke, dan
diskotek. Tempat-tempat seperti itu ditengarai sebagai tempat yang memungkinkan
terjadinya tindak kriminalitas.
Maraknya
tindakan kriminalitas dan penyimpangan perilaku seksual yang berkembang di
kalangan remaja ini disebabkan salah satunya oleh minimnya pendidikan seksual
yang diberikan oleh orang tua kepada anak, khususnya yang berusia remaja.
Selain itu, masyarakat masih menganggap “tabu” untuk membicarakan masalah seksualitas.
Adanya rasa keingintahuan remaja di satu sisi sementara di sisi lainnya tidak
dipenuhi oleh orang tua, menyebabkan mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi
lainnya, seperti teman atau media massa. Teman-teman, terutama teman
sepergaulan remaja, merasa sangat bebas membicarakan masalah seksualitas. Media
massa, baik cetak maupun elektronik, menyediakan banyak informasi yang juga bisa
diakses oleh remaja, kapan saja, dan di mana saja. Ketersedia informasi
tersebut, sementara pendidikan seks dari orang tua kurang, mengakibatkan remaja
dapat terjerumus ke pergaulan bebas dan pelanggaran hukum lainnya.
Dalam
setiap masyarakat seorang individu senantiasa dituntut oleh lingkungan sosialnya
agar berbuat dan bertingkah laku sesuai dengan adat dan kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku di masyarakat. Sejak lahir ia dibimbing dan diarahkan oleh orang
di sekelilingnya (terutama keluarganya) agar berbuat dan bertingkah laku sesuai
dengan keinginan dan aturan-aturan yang berlaku. Bimbingan dan arahan yang
dimaksud dalam ilmu keguruan dikenal dengan istilah “pendidikan” dan dalam
antropologi dan sosiologi dikenal dengan istilah “sosialisasi” (Mahid, 2002:2).
Untuk itulah pengetahuan dan pendidikan mengenai seks hendaknya diberikan
kepada anak. Penjelasan tentang seks tersebut hendaknya jelas dan tegas agar
anak-anak tidak salah kaprah dalam menangkap setiap informasi yang
diberikan.
Proses
internalisasi berpangkal dari hasrat-hasrat biologis dan bakatbakat naluri yang
sudah ada dari warisan dalam organisme tiap individu yang dilahirkan. Akan
tetapi, yang mempunyai peranan terpenting dalam hal membangun manusia
kemasyarakatan itu adalah situasi-situasi sekitar, macam-macam individu lain di
tiap-tiap tingkat dalam proses sosialisasi dan enkulturasinya
(Koentjaraningrat, 1980:229). Kelompok pertama yang mengenalkan nilai-nilai
kebudayaan kepada anak adalah keluarga dan di sinilah terjadi interaksi dan pendisiplinan
pertama yang dikenalkan kepadanya dalam kehidupan social (Khairuddin,
1997:163). Geertz (1973:7) mengatakan bahwa peranan keluarga bagi orang Jawa
merupakan wadah dalam memberikan bimbingan moral, mendidik anggota keluarga
dari masa kanak-kanak menuju masa tua dengan mempelajari nilai-nilai budaya
Jawa.
Salah
satu fungsi keluarga adalah sebagai lembaga sosialisasi nilai-nilai budaya yang
berlaku di suatu masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Keesing (1992:23)
bahwa keluarga merupakan pusat seluruh kehidupan sosial seorang anak, di situ
ia diasuh, dibesarkan, dan dididik tentang kebudayaannya, hubungan seksual dan reproduksi.
Karena itu, kelestarian masyarakat terpusat pada keluarga.
Melalui
internalisasi inilah anak-anak akan diajarkan oleh orang tua dan anggota
keluarga lainnya aturanaturan atau norma-norma yang harus mereka patuhi. Dalam
pelaksanaan sosialisasi banyak komponen terkait di dalamnya antara lain: cara,
peran, nilai, dan media yang digunakan. Semua ini mempunyai dampak dan pengaruh
terhadap proses maupun keberhasilan sosialisasi, baik di lingkungan keluarga
maupun di lingkungan masyarakat.
Dalam
kaitannya dengan masalah seksualitas, norma yang dimaksudkan di sini adalah
norma seksualitas yang sesuai dengan tradisi atau adat yang berlaku pada suatu
kelompok masyarakat. Bagaimana
keluarga Bugis- Bone mensosialisasikan norma seksual kepada anaknya yang
berusia remaja, selanjutnya dijabarkan dalam artikel ini?
Kerangka
berpikir “interaksionisme simbolik” dari Herbert Blumer akan digunakan dalam
tulisan ini dalam menganalisis internalisasi nilainilai budaya dalam kaitannya
dengan hubungan seksual pra-nikah pada remaja Bugis-Bone di Makassar. Teori ini
digunakan karena teori ini bertumpu pada tiga premis utama, yakni: manusia
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu
bagi mereka; makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan
dengan orang lain; dan makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses
interaksi sosial sedang berlangsung (Soeprapto, 2002:120-121). Ketiga premis
tersebut sangat berkaitan erat dengan kehidupan remaja masa kini, yang
senantiasa memiliki pemaknaan tersendiri terhadap simbol dan interaksi sosial
yang mereka ciptakan sendiri.
Dalam
analisis “interaksionisme simbolik”, interaksi manusia dalam masyarakat
ditandai penggunaan simbol, penafsiran, dan kepastian makna dari tindakan orang
lain. Hal ini individu tidak disosialisasikan, tetapi selalu dalam proses
sosialisasi. Individu tidak dibentuk oleh baku, tetapi melakukan perubahan
secara konstan dalam proses interaksi. Dengan demikian, “interaksionisme simbolik”
melibatkan unsur sosialisasi di dalamnya.
Kehidupan
sehari-hari orang Bugis (Bone) umumnya masih terikat oleh sistem norma dan
aturan adat. Keseluruhan sistem norma dan aturan adat itu disebut pangaderreng.
Pangaderreng dapat diartikan sebagai keseluruhan norma yang meliputi
bagaimana seseorang harus bertingkah-laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata-pranata
sosialnya (Mattulada, 1995:54-55). Keluarga, bagi orang Bugis (Bone) juga
merupakan suatu unit terpenting dalam pelaksanaan internalisasi nilai-nilai
budaya. Rumah tangga menurut orang Bugis disebut onro-sikalabineang,
terdiri atas keluarga batih ditambah dengan penghuni lainnya yang tinggal di keluarga
itu. Sebuah keluarga memegang peran dan tanggung-jawab dalam pendidikan anak
-terutama ayah sebagai kepala rumah tangga.
Selain
“interaksionisme simbolik” dari Herbert Blumer, dalam tulisan ini juga
digunakan model of (model dari) dan model for (model untuk) dari
Clifford-Geertz dalam menganalisis permasalahan. Menurut Geertz (1973:93)
pola-pola kebudayaan merupakan sebuah model. Ia membentuk simbol-simbol yang
menghubungkan tiap-tiap model relasi di antara kesatuan proses yang terjadi
secara alamiah, biologis, sosial, dan psikologis melalui penyamaan atau
peniruan.
Model
ini terdiri dari dua, yakni: model of dan model for. Model of adalah
terbentuknya proses-proses dan relasirelasi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat.
Adapun model for adalah pola-pola kebudayaan yang terbentuk dari adanya
proses-proses dan relasirelasi sosial itu.
Selain
Geertz, Sairin (2002:36-37) juga pernah mengemukakan mengenai ’model untuk’ dan
’model dari’ yang diartikan sebagai alat untuk memahami kehidupan suatu
masyarakat yang diteliti. ‘Model untuk’ yaitu model yang berupa pola dari
sistem pengetahuan, gagasan, dan cita-cita dari suatu masyarakat tentang
bagaimana seharusnya dan sebaiknya. Model ini menjadi acuan yang relatif baku,
mengandung unsur yang dianggap agung oleh masyarakat sehingga dijadikan blue
print dari tingkah-laku manusia yang diharapkan. Adapun ‘model dari’ adalah
pola kehidupan yang hidup dalam realitas masyarakat. Ia menjadi pedoman dan
pengaruh dalam bertingkah-laku. Model ini tumbuh, berkembang, dan berpola dari
hasil interaksi warga suatu masyarakat. Kedua model ini saling bertentangan.
‘Model dari’ sering berubah bentuk, sedangkan ‘model untuk’ relatif stabil
disebabkan oleh adanya pengaruh lingkungan dan sistem berpikir manusia.
Masyarakat
Bugis-Bone memiliki karakteristik budaya yang berbeda dengan masyarakat
lainnya, baik di Indonesia maupun khusus di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu,
mereka pun memiliki cara tersendiri dalam menginternalisasikan nilai-nilai
budaya kepada para anggota keluarganya. Namun,
karena tulisan ini terfokus pada kaum remaja, kajian pun dipersempit hanya
pada: (1) bagaimana proses internalisasi nilai-nilai budaya dalam kaitannya
dengan hubungan seksual pra-nikah yang diterapkan pada remaja Bugis-Bone di
Makassar? (2) siapa saja dan media apa saja yang terlibat dalam proses
internalisasi itu?, dan (3) bagaimana remaja Bugis-Bone di Makassar
menginterpretasikan internalisasi nilai-nilai budaya tersebut yang diterapkan
kepada mereka?
Metode
Penelitian
tentang internalisasi nilai-nilai budaya dalam kaitannya dengan hubungan
seksual pra-nikah pada remaja Bugis-Bone ini dilaksanakan di Kotamadya Makassar
Sulawesi Selatan. Alasan memilih lokasi ini salah satunya karena maraknya masalah
seksualitas terutama di kalangan remaja khususnya mahasiswa, kemungkinan juga
telah terjadi pada masyarakat Bugis, apalagi orang orang Bugis terutama Orang
Bugis- Bone banyak yang sudah tinggal menetap di daerah rantauan (Makassar). Dalam
hal ini tentu saja terdapat nilainilai budaya orang Bugis-Bone yang mengalami
perubahan karena adanya interaksi orang Bugis-Bone ini dengan berbagai etnis
lain yang tinggal di Makassar.
Namun
demikian, masih ada sejumlah nilai-nilai budaya yang masih dipegang teguh oleh
mereka. Untuk menggali keaslian nilai-nilai budaya (yang masih dipegang teguh) etnis
tersebut, khususnya mengenai internalisasi nilai-nilai budaya dalam kaitannya
dengan hubungan seksual pra-nikah pada remaja, maka penelitian ini
dilaksanakan.
Data
dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode penelitian kualitatif. Metode
dalam penelitian kualitatif terdiri atas tiga bagian, yakni : (1) in-depth,
open-ended interview (wawancara); (2) direct observation (pengamatan);
dan (3) written documents (dokumen tertulis). Dalam penelitian ini
digunakan ketiga metode tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pengamatan, dalam tahap ini dilakukan pengamatan dan dalam beberapa kesempatan
peneliti juga ikut serta dalam aktivitas remaja (mahasiswa) di rumah, di
kampus, dan di tempat-tempat yang kerap kali mereka datangi untuk bergaul dan mencari
teman bermain. Wawancara, pada tahap ini dilakukan wawancara terhadap sebelas
orang informan sesuai dengan topik penelitian dengan mengacu pada pedoman
wawancara. Informan ini terdiri dari remaja itu sendiri, orang tua mereka, dan
anggota keluarga lainnya yang tinggal di keluarga tersebut. Dokumen tertulis, di
sini diamati beberapa dokumen yang dijadikan media internalisasi nilai-nilai
budaya dalam kaitannya dengan hubungan seksual pra-nikah oleh remaja Bugis-Bone
di Makassar. Dokumen yang berhasil diamati adalah media cetak yang kerap kali
remaja dan para orang tua konsumsi, seperti majalah, surat kabar/tabloid, dan buku-buku
populer/novel. Selain itu, telah diamati bebe-rapa program televisi nasional
yang juga sering kali mereka tonton dan mendapatkan informasi seksual dari
stasiun televise tersebut.
Hasil
dan Pembahasan
Salah
satu hal yang menjadi penting dalam perkembangan diri remaja adalah sumber
pengetahuan seksual yang mereka peroleh pertama kalinya. Pada umumnya informan remaja
dan orang tua mengenal seks pertama kalinya di usia SD kelas VI hingga SMP
kelas I, sekitar usia 12 hingga 13 tahun. Mereka memperoleh pengetahuan tentang
seks dari pelajaran IPA/Biologi di sekolah, khususnya mengenai reproduksi,
organ kelamin manusia dan binatang, perbedaan laki-laki dan perempuan, serta
hubungan laki-laki dan perempuan baik secara fisik maupun non-fisik. Selain itu,
informan remaja memperoleh pengetahuan tentang seks dari media informasi, baik
cetak maupun elektronika. Media-media tersebut adalah majalah, surat kabar,
internet, televisi, radio, film/VCD, dan buku-buku.
Mengenai
media massa sebagai sumber informasi seksual ini, juga dipertegas oleh Friedan
(2000:41) yang mengatakan bahwa media, terutama televisi dan majalah telah
dijadikan sarana menjual berbagai komoditas seks yang banyak dijumpai
belakangan ini. Para remaja juga memperoleh sumber informasi dari teman-teman, saudara,
dan orang tua mereka. Pengetahuan seks yang mereka peroleh dari media-media
beserta orang-orang dekat tadi pun beragam. Seperti salah seorang informan,
Adam (21 tahun) yang mengaku mendapatkan pengetahuan tentang seks dari
film-film yang diputar di Studio 21 Makassar. Film-film tersebut antara lain: Eiffell...
I’m in Love dan Ada Apa dengan Cinta. Sumber pengetahuan seksual yang didapat
informan, dikelompokkan sebagai berikut.
Majalah
Majalah
yang banyak memberikan sumbangan pengetahuan seks kepada remaja adalah Liberty,
Femina, Kosmopolitan, Fakta, Gadis, Aneka, Kartini, Liberty, dan
majalah-majalah tentang hal-hal yang mistik. Remaja lebih banyak mendapatkan
informasi mengenai berbagai gaya dan variasi bersetubuh, akan tetapi media ini
tidak hanya mengulas masalah tersebut, tetapi juga memberikan pengetahuan mengenai
tips-tips kecantikan dan gaya hidup. Dari sini pula remaja memperoleh informasi
mengenai kriminalitas serta pergaulan remaja dan gosip-gosip.
Surat
kabar
Surat
kabar yang mengambil peran dalam hal ini adalah FAJAR (koran lokal di
Makkassar), Wanita Indonesia, Nyata, dan Nova. Media ini tidak
hanya menyajikan berita-berita hangat seputar kota Makassar, tetapi juga
menyediakan rubrik mengenai konsultasi keluarga yang berisi ulasan dan
tanya-jawab seputar masalah keluarga dan problema remaja.
Internet
Internet
kini bukan lagi hanya milik anak-anak metropolitan, melainkan milik anak-anak
daerah pun telah dapat menikmati fasilitas ini, terutama dari
universitas-universitas negeri yang menyediakan rental internet dengan harga
yang murah bagi para mahasiswanya. Mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar juga
banyak memanfaatkan fasilitas kampus untuk mengakses berbagai informasi dari
internet. Bukan hanya informasi ilmu dan pengetahuan yang mereka akses dari
media ini, melainkan juga materi tentang seks. Informasi tentang seks dari
internet diakses melalui situs geoggle.net, kemudian ditelusuri lebih
lanjut melalui foto-foto, gambar, dan berita seputar masalah seks sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Televisi
Stasiun
televisi nasional yang ada di Indonesia hingga saat ini telah berjumlah sebelas
stasiun yang kesemuanya menayangkan berbagai program acara yang berbeda-beda.
Televisi pun tidak lepas dari perhatian publik karena televisi memiliki
acaraacara yang berbau seks atau pornografi.
Para
informan menemukan beberapa program acara televisi yang menyajikan informasi
dan pengetahuan tentang seks dari programprogram seperti: “Jakarta
Underground”, “Desah Malam”, “Bincang Pagi”, dialog mengenai agama, sinetron, bincang-bincang
di TV swasta, acara-acara keluarga, berita-berita kriminal (di antaranya
mengenai kenakalan remaja, seperti obat-obatan terlarang, pelecehan seksual,
inses, dan mabuk-mabukan), serta beritaberita tentang kehidupan perempuan malam/WTS.
Selain stasiun TV nasional, mereka juga memperoleh pengetahuan seks dari
saluran-saluran TV parabola.
Radio
Bukan
saja stasiun televisi yang semakin banyak jumlahnya di Indonesia, tetapi juga
stasiun radio yang semakin menjamur. Pertumbuhannya yang semakin banyak dan
semakin mudah menyebabkan banyak stasiun radio yang tidak memiliki izin mengudara.
Terlepas dari semua itu, radio pun menjadi agen dalam menyebarkan informasi
seksual. Stasiun radio tersebut di antaranya adalah ABC di Australia, FOA di
Amerika, BBC di Inggris, Deutschwelle di Jerman, RSI di Singapura, dan
Ranesi di Belanda.
Film
dan VCD
Saat
ini bukan hanya film nasional yang ditayangkan di bioskopbioskop di tanah air,
melainkan juga film-film asing terutama Amerika, Cina, dan India, bahkan
film-fim asing tersebut terutama Hollywood lebih banyak menarik perhatian
penikmat film bila dibandingkan dengan film- film garapan sineas Indonesia. Hal
ini terbukti dengan semakin banyaknya VCD asing, baik asli maupun bajakan bisa
ditemukan di penyewaan VCD. Remaja pun tidak luput dari masalah ini. Mereka
lebih memilih tontonan film dari VCD daripada bioskop karena selain alasan
ekonomis juga kemudaan mendapatkannya. Dengan demikian, film/VCD pun men-jadi
sumber pengetahuan seks mereka. Film/VCD tersebut di antaranya yang bertema drama
keluarga, VCD blue, film-film Amerika, dan film-film yang diputar di Studio
21 Makassar. Jenis-jenis film ini merupakan film yang digemari oleh remaja.
Buku-buku
Sejalan
dengan perkembangan informasi, berkembang pula percetakan buku-buku yang ada di
Indonesia. Bukan saja buku-buku pelajaran sekolah yang diterbitkan, melainkan
juga buku-buku populer semakin banyak dipasarkan. Buku-buku tersebut antara lain:
buku-buku agama, buku-buku tuntunan suami-istri, dan novel-novel untuk orang
dewasa, misalnya karangan Fredi S. Dari sinilah informan juga memperoleh
pengetahuan tentang seks.
Teman-teman
Bukan
hanya media cetak dan elektronik yang berperan serta dalam menyebarkan
pengetahuan seks pada remaja, melainkan juga orang-orang yang ada di sekitar
remaja tersebut. Mereka di antaranya adalah temanteman dari remaja itu sendiri.
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah teman-teman di sekolah, teman-teman bergaul
di luar sekolah, dan pacar/ kekasih. Di sini remaja seringkali berbincang-bincang
tentang seks dengan teman-teman di sekolah/ kampus. Topik yang biasanya menjadi
bahan pembicaraan mereka di antaranya gambar-gambar atau foto-foto porno/ bugil
yang ditemukan di surat kabar dan majalah atau internet. Mengenai perbincangan
seputar masalah seks tidak hanya diminati oleh kaum remaja, tetapi orang tua
pun “tertarik” dengan masalah tersebut. Akan tetapi, ketertarikan orang tua
terhadap seks tidak saja dianggap sebagai hal yang serius tetapi juga sebagai
hal yang lucu.
Orang
tua
Orang
tua yang dimaksudkan di sini adalah ayah-ibu dan kerabat lainnya yang lebih tua
dari informan remaja. Informasi seks yang remaja peroleh dari orang tuanya di
antaranya pengetahuan mengenai akil baliq, mestruasi, dan mimpi basah.
Informasi seksual diberikan secara turun-temurun. Para orang tua pun pernah
mendapatkan informasi seks dari orang tuanya di masa yang lalu. Informasi tersebut
berupa anjuran untuk menggunakan dudu1 ketika pertama kali mendapat
haid.
Saudara
Saudara
baik yang lebih muda, anri’ (adik) ataupun yang lebih tua, daeng (kakak)
juga berperan dalam menyebarkan pengetahuan seks. Informasi yang didapatkan
berupa pengetahuan tentang periode menstruasi setiap bulannya yang akan dialami
oleh setiap perempuan. Terhadap saudara terkadang juga didiskusikan masalah- masalah
yang para orang tua alami dengan suami atau istrinya.
Dengan
melihat pemaparan di atas dapatlah dikatakan bahwa keluarga sangat berperan
dalam memberikan pengetahuan seks kepada anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
Demikian halnya yang dikatakan oleh Naka (1980:48) bahwa begitu besarnya
peranan keluarga, terutama saudara dan orang tua dalam membentuk diri seseorang
sehingga bukan hanya nilai-nilai positif yang diserap oleh individu, tetapi
juga nilai-nilai negatif yang terkadang tidak disadari.
Masalah
seksualitas yang dipahami oleh seseorang atau sekelompok masyarakat akan
mempengaruhi perilaku seksual mereka. Oleh karena itu, para orang tua dalam
mendidik anak mengenai seksualitas didasarkan pula pada pengetahuan mereka mengenai
seksualitas tadi. Para orang tua membiasakan anak-anak mereka sejak memasuki
usia remaja untuk selalu tidak “bercampur” antara anak laki-laki dengan anak
perempuan, meskipun saudara sekandung. Hal ini tercermin dalam hal pembagian
peran dan tugas yang dibebankan kepada anak laki-laki yang berbeda dengan peran
dan tugas anak perempuan. Anak laki-laki ditugaskan mengerjakan pekerjaan yang
membutuhkan tenaga yang banyak, antara lain: angkat air, mengecat rumah,
memperbaiki kerusakan listrik, membersihkan kamar mandi, membersihkan halaman,
mencangkul, berkebun, mencabut rumput, mencuci, mengepel, menimba air, dan
menguras bak mandi. Adapun anak perempuan diberikan pekerjaan yang ringan,
antara lain: menyapu, mencuci piring, dan memasak.
Pemisahan kamar juga dilakukan demi mencegah terjadinya inses. Perbedaan
jenis kelamin yang tegas antara laki-laki dan perempuan sedini mungkin
diperhatikan oleh masyrakat Bugis-Bone. Mereka ditekankan agar tidak saling
pinjam-meminjam pakaian karena terdapat mitos pada masyarakat yang bersangkutan
bahwa “kejantanan” tidak dapat terwujud apabila laki-laki pernah mengenakan celana
bekas dipakai peremuan, demikian pula sebaliknya.
Selain pakaian dan permainan, kebiasaan anak sejak kecil juga mencerminkan
jenis kelamin si anak kelak di masa dewasa. Masalah tersebut penting untuk
diperhatikan sebab menurut Freud (2003:125) kecenderungan watak pria dan wanita
telah bisa dikenali dengan sangat jelas di usia kanak-kanak, perbedaan mencolok
di antara keduanya akan terbentuk pada masa puber yang secara tegas akan
mempengaruhi perekembangan diri manusia. Dengan demikian, anak perempuan hanya
dibolehkan memainkan permainan untuk perempuan, seperti: ma’bola-bola (main
rumah-rumahan), mannasunasu (main masak-masak), mabbinta’ (lompat
tali), ma’dato’-dato’ (main boneka), ma’bongkar-pasang (main puzzle),
dan mammode-mode (merias wajah); dan anak laki-laki diperbolehkan memainkan
permainan untuk anak laki-laki, seperti: ma’golo’ (main sepak bola), mappagoli’
(main kelereng), mangoto-oto (main mobilmobilan), mattar-tar (main
perangperangan), marrobo’-robo’ (main robotrobotan), dan mattakro (main
takrow). Namun demikian, ada juga
beberapa permainan yang boleh mereka permainkan secara bersama-sama, yakni: ma’boi
(main kasti) dan mattingko’ (main petak-umpet).
Pemisahan peran dan tugas laki-laki dan perempuan seperti yang dikemukakan
di atas menunjukkan adanya struktur patriarkhi pada masyarakat Bugis-Bone dalam
melihat kekuasaan laki-laki atas perempuan. Hal ini diperjelas oleh Abdullah
(2001: 73-74) yang mengemukakan bahwa sejak kecil seorang anak perempuan telah
diharuskan untuk mengatur tingkah-laku tubuhnya, berbeda dengan anak laki-laki.
Produksi dan reproduksi posisi wanita sebagai “ibu rumah tangga” begitu
intensif sehingga wanita menjadi pasif terhadap dunia luar rumah tangga.
Dalam mendidik anak-anak mengenai seksualitas para orang tua juga
memberlakukan sejumlah aturan yang harus dipatuhi oleh anak remaja mereka.
Aturan tersebut berkaitan dengan hal-hal yang dianggap wajar atau boleh saja
dilakukan atau dikerjakan oleh anak-anak terutama remaja, tetapi selain itu
terdapat hal-hal yang harus mereka hindari. Hal pertama yang perlu mereka
perhatikan adalah izin dari orang tua untuk bepergian terutama di malam hari;
kedua adalah gaya berpakaian; dan yang ketiga adalah cara berbicara. Ketiga hal
ini menjadi penting sebab sangat berpengaruh terhadap pergaulan anak-anak di
luar rumah. Anak-anak yang mematuhi perintah orang tua dianggap anakanak yang
patuh dan bisa dijadikan kebanggaan keluarga karena sikap seorang anak mencerminkan
sikap orang tuanya.
Perilaku
seksual remaja terbetuk berdasarkan pengetahuan seks yang mereka peroleh sejak
kecil. Pengetahuan tersebut bersumber dari orang tua, saudara, kerabat,
teman-teman, dan media massa. Pengetahuan ini akhirnya membentuk persepsi
remaja tentang seks. Orang tua, saudara, kerabat, teman-teman, dan media massa tersebut
merupakan agen-agen internalisasi. Agen-agen tersebut saling terkait satu sama
lain dan saling memberikan sumbangan dalam proses internalisasi.
Internalisasi
pada keluarga inti berlangsung pada tataran sistem social dan sistem
kepribadian. Internalisasi berfungsi sebagai tanggung-jawab utama dari keluarga
inti. Keluarga inti sebagai suatu kelompok kecil kemungkinan bentuk
internalisasinya akan berbeda dengan keluarga yang lebih besar. Sebagai suatu
sistem keseluruhan, keluarga bukanlah suatu unit yang terisolasi terutama
terhadap anak. Keluarga bukanlah suatu entitas yang statis, melainkan
senantiasa mengalami perubahan melalui waktu (Morgan,1975:30-31).
Internalisasi
nilai-nilai budaya dalam kaitannya dengan hubungan seksual pra-nikah yang
diberikan kepada remaja tidak hanya sebagai alat untuk mengendalikan diri,
tetapi juga sebagai penyaring “mana yang baik” dan “mana yang tidak”.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa media massa juga turut serta
dalam menyebarkan pengetahuan seks, terutama bagi remaja. Banyaknya
informasi-informasi seksual yang bertebaran di media massa, mau tidak mau harus
remaja dapatkan, sementara mereka sendiri tidak mampu menyaring mana informasi yang
baik bagi mereka dan mana yang tidak. Dilematis pun menimpa remaja masa kini.
Semakin suburnya media informasi yang berkembang, mereka pun terpengaruh yang
ditimbulkannya. Remaja terutama tidak mampu menghindar karena adanya trend yang
berkembang di kalangan mereka, bahwa tidak mengikuti perkembangan sekarang,
berarti ketinggalan zaman alias kampungan.
Namun
demikian, terlepas dari adanya trend atau tidak, Kodiran (2000:4)
mengatakan bahwa persebaran kebudayaan khususnya lewat media audio-visual,
seperti film, televisi, video kaset, dan peralatan multi-media lainnya, baik
berupa unsur-unsur kebudayaan, gerakan, tingkah- laku, maupun berupa
sikap-sikap tertentu, semuanya dapat membawa pengaruh positif dan negatif
terhadap kehidupan masyarakat. Terutama pengaruh negatif atau yang berakibat buruk
karena bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan (culture crash), perusakan
moral (demoralization), timbulnya tindak kekerasan, dan bentuk- bentuk
kejahatan sosial lain pada kelompok-kelompk warga masyarakat setempat.
Sementara itu, sebagian besar informan remaja mengatakan bahwa pemahaman mereka
tentang seks lebih banyak disumbangkan oleh media massa dan teman-teman yang sering
kali diajak bertukar-pikiran mengenai masalah seks. Hal ini relevan dengan
tulisan Valentina (2004:19) yang mengatakan bahwa di masa remajanya, yang
paling berpengaruh dalam hidupnya adalah teman-teman terdekat. Pengetahuan
pertama tentang seksualitas juga diperoleh dari teman-teman. Adapun dengan
orang tua, sangat terbatas. Ini disebabkan oleh adanya “kesalah-pahaman” antara
orang tua dengan anak mengenai masalah seks. “Kesalahpahaman” tersebut dapat
dilihat salah satunya dalam hal penerapan batasan-batasan dan aturan-aturan
tertentu dalam pergaulan anak dengan lawan jenis oleh orang tua di rumahnya,
seperti pemisahan kamar tidur dan lain-lain, namun bagi anak-anak hal ini tidak
dianggap sebagai pendidikan seks.
Simpulan
Informasi
seksual diperoleh remaja tidak hanya dari media massa, tetapi juga dari orang
yang ada di sekitarnya, seperti: orang tua, saudara, kerabat dekat, dan teman
sepergaulan. Informasi seksual yang mereka peroleh dari orang tua berupa
larangan dan anjuran. Orang tua memberlakukan aturan-aturan tertentu di rumah yang
harus dipatuhi oleh anak remajanya. Aturan tersebut berupa: larangan keluar di
malam hari, berpakaian yang baik —sopan dan tertutup, berbicara dengan baik dan
benar, serta bersikap yang baik pada orang lain. Aturan lain adalah pemisahan kamar
antara anak laki-laki dengan anak perempuan ketika mereka memasuki usia remaja,
pakaian anak laki-laki dengan anak perempuan yang tidak boleh saling
pinjam-meminjam, mendidik anak mandiri dan tidak boros, serta pemisahan tugas
dan wewenang untuk anak laki-laki dengan anak perempuan di rumah.
Media
massa seperti: majalah, surat kabat, internet, televisi, radio, film dan VCD,
serta buku-buku menyajikan informasi tentang seksualitas, khususnya mengenai
tips-tips kecantikan, pengetahuan tentang akil-balik, gaya dan variasi
bersetubuh, gaya hidup, berita para tokoh-tokoh terkenal yang terkadang
dijadikan sebagai tokoh idola, berita kriminalitas, diskusi masalah keluarga,
foto dan gambar porno, serta pengetahuan mengenai tuntunan suami-istri.
Bersama
dengan teman-teman sepergaulan, baik di kampus mapun di luar kampus, remaja
kerap kali saling bertukar-pikiran mengenai masalah seks. Pembicaraan tersebut
dapat menambah perbendaharaan pengetahuan remaja tentang seks. Bersama dengan
kerabat dekat, terutama dengan sesama jenis kelamin, remaja berbagi pengetahuan
yang selain menambah pengetahuan mereka tentang seks juga, terkadang dijadikan sebagai
“acuan” bagi remaja dalam bergaul baik dengan pacar maupun dengan lawan jenis.
Orang
tua mendidik anak-anak remaja mereka tentang seks tidak secara terang-terangan
karena masih terikat tradisi “seks itu tabu”. Orang tua menanamkan nilai
keagamaan dalam keluarga dan mengarahkan anak agar bersekolah dengan baik agar anak
mereka siap menempuh masa depan dan terhindar dari ber-bagai godaan seksualitas
yang dapat menjerumuskan remaja ke tindak kriminalitas.
Adanya
sejumlah aturan adat dalam Pangaderreng dan siri’ na pesse yang
membedakan etnis Bugis dengan atnis lainnya di Sulawesi Selatan pada umumnya,
dan terkhusus Bugis-Bone membuat kaum remajanya turut “mengikatkan” diri mereka
pada ade’ yang senantiasa diperteguh penerapannya. Harkat, martabat, dan
harga diri sebagai puncak dari Pangaderreng dan Siri’ na Pesse selalu
dipertahankan agar pribadi “orang Bone yang beradat” senantiasa tercermin dalam
setiap perilaku dan aktivitas hidup remaja sehari-hari.
Namun
demikian, meskipun aturan adat masih dipegang teguh remaja hingga kini, tetap
saja terjadi pergeseran nilai di dalamnya. Pergeseran nilai, seperti: kissing,
pelukan, sentuhan, dan pegangan dengan pasangan dianggap sah-sah saja oleh sejumlah
remaja. Dengan ketentuan tindakan tersebut tidak melebihi batas hingga pasangan
wanita hamil di luar nikah. Hal ini sangat dicegah karena dapat menjatuhkan
nama baik keluarga dari kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan.
Kehadiran
keluarga sebagai lembaga internalisasi nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan
hubungan seksual pra-nikah, turut berperan dalam mendidik anak mengenai masalah
seksualitas. Terutama orang tua yang selalu memberikan sanksi bagi anak- anak mereka
yang melanggar aturan yang telah ditetapkan. Namun demikian, karena semakin
banyaknya informasi seksual yang diperoleh dari media massa, sementara
pengawasan dari orang tua tidak total diberikan, mengakibatkan remaja menyerap informasi
seks sesuai dengan interest mereka masing-masing. Informasi yang mereka
serap itu belum tentu baik ataupun tidak bila mereka terapkan sebelum waktunya.
Nilai-nilai
budaya yang berkaitan dengan hubungan seksual pra-nikah tidak hanya terbentuk
dari cara bertingkah laku dalam keluarga, tetapi juga dalam lingkungan
masyarakat. Seks masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan
secara vulgar atau dieksploitasi secara besarbesaran bagi masyarakat setempat. Rasa
tabu ini ikut berperan dalam mengendalikan perilaku seks bebas remaja. Masih
ada sejumlah pantangan dan mitos yang berhubungan masalah seksualitas juga
turut mengendalikan perilaku seks bebas remaja. Pantangan dan mitos tersebut
dipercayai oleh para orang tua dan remaja sehingga menjadi bagian dalam
aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikin, turut berperan dalam
mengendalikan perilaku hidup mereka.
* AKADEMIKA,
Jurnal Kebudayaan Vol. 4, No. 2, Oktober 2006 (judul asli Proses Internalisasi Nilai-Nilai Budaya Dalam Kaitannya Dengan Hubungan Seksual Pra-Nikah Pada Remaja Bugis-Bone Di Makassar)
Daftar
Pustaka
Abdullah, Irwan. 2001. “Tubuh dan Kebudayaan” dalam Kolong
Budaya,Patologi Seks, Seni (Tradisi), 01 Agustus-Desember, hlm. 67-74.
Magelang: Yayasan Indonesiatera.
Freud, Sigmund. 2003. Teori Seks. Yogyakarta:
Jendela.
Friedan, Betty. 2000 “The Sexual Sell” dalam The
Consumer Society Reader. Hlm.26-46. New York: The New Press.
Geertz, Clifford. 1973.The Interpretation of
Cultures. New York: Basic Books Inc. Publishers.
Iskandar, Faizal R. 2001.Gaya Hidup “Anak Gaul”:
Sebuah Studi tentang Kehidupan Remaja di Kota Bandung, Jawa Barat. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya, Suatu
Perspektif Kontemporer. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Kodiran. 2000. Perkembangan Kebudayaan dan
Implikasinya terhadap Perubahan Sosial di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar pada Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Mahid, Syakir. 2002. “Sosialisasi Nilai
Budaya dalam Keluarga di Lingkungan Etnis Bungku”. Tesis. Yogyakarta:
Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
Mattulada. 1995. Latoa, Suatu Lukisan Analitis
terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press.
Morgan, D.H.J. 1975. Social Theory and The Family.
London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Mudjijono. 2000. “Pasar Kembang Balokan (Reproduksi
Sosial di Tempat Pelacuran)”, Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada.
Naka, Hisao. 1980. Kaum Muda Jepang dalam Masa
Perubahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat
Indonesia, Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme
Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Valentina, R. 2003. “Jika Saya Diberi Kesempatan
(Selalu) Menjadi Remaja dan Perempuan Muda” dalam Jurnal Perempuan, Remeja
Melek Media No.37. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Related Posts:
Sosial-Budaya
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
sangat membantu :)
BalasHapus