Jumat, 26 April 2013
Beberapa Catatan Tentang Sastra (Indonesia) Dalam Perspektif Interkulturalisme*
Aprinus Salam
Pengantar
Sastra
(Indonesia) merupakan hasil dari satu proses panjang interkulturalisasi
berbagai budaya di Indonesia, secara khusus termasuk di dalamnya pilihan
terhadap sastra berbahasa Indonesia. Berbagai budaya yang dimaksud meliputi
kompleksitas dan level genre budaya di dalam masyarakat yang dikemas ke dalam
karya sastra. Dalam konteks ini sastra dapat dijadikan ajang representasi
bagaimana proses-proses budaya yang telah dan sedang terjadi, dan bahkan
kemungkinan proses ke arah mana kebudayaan akan berlangsung di masa depan.
Sementara
itu, hal yang dimaksud dengan interkulturalisme dalam karya sastra adalah
bagaimana berbagai (asal) budaya yang berbeda dipahami, dinilai, diterima, atau
dikeluarkan (ditolak) dalam satu perspektif dan tindakan budaya tertentu
(penulisan sastra) sehingga dalam proses tersebut secara imajinatif menuju dan
menjadi satu bentuk cara kehidupan tertentu yang berbeda dengan kenyataan
sesungguhnya. Dalam hal ini sastra menjadi sebuah atau sistem model kehidupan
kedua (Lotman, 1977), suatu alternatif. Sementara itu, varian-varian parole dan
genre sastra merupakan variasi-variasi bagaimana proses interkulturalisasi itu
telah dan sedang terjadi.
Dalam
berbagai proses pewadahan imajinatif tersebut, sastra Indonesia memperlihatkan
beberapa gejala dan pengelolaan yang berbeda bergantung konteks dan formasi
diskursif, ataupun peristiwa-peristiwa sosial dan empiric yang mengondisikan
keberadaan sastra.
Namun,
terdapat beberapa sudut pandang tentang interkulturalisasi dan interkulturalisme
tersebut. Pertama, seperti telah disinggung, bahwa pada ujungujungnya, sastra
Indonesia merupakan proses interkulturalisasi berbagai budaya, dan cara kehidupan
dipraktikkan. Hal ini berangkat dari satu asumsi bahwa manusia (pengarang),
dalam pengertian terbatas pun, merupakan proses panjang hasil
interkulturalisasi sehingga karya sastra secara inheren merupakan produk interkultur.
Kedua,
jika diandaikan teks sastra sebagai sesuatu yang mandiri maka karya sastra
dapat ditempatkan sebagai medan tekstual bagaimana secara intrinsic budaya-budaya
yang berbeda diposisikan, dikelola, dinilai, dan kemudian dinarasikan. Hal
tersebut terjadi jika dalam karya sastra tersebut terdapat berbagai karakter
(tokoh-tokoh) yang berasal dari budaya ataupun setting yang berbeda. Suatu
kajian tentang posisi, pengelolaan, penilaian, dan kontekstualisasi fakta cerita
dalam karya sastra tersebut merupakan kajian yang penting untuk mengetahui
bagaimana kultur yang berbeda saling dipertemukan, saling mengisi, atau
dipertentangkan.
Ketiga,
dalam konteks ini bisa pula karya sastra dapat ditempatkan sebagai satu karya
”etnografis” tertentu, sebagai satu tulisan persentuhan antarbudaya, antara
pengarang dengan budaya tertentu. Sebagai misal, seorang pengarang dari Batak
menulis tentang masyarakat Sumbawa. Cara pandang, narasi-narasi, dan artikulasi
merupakan masalah yang penting untuk dikaji karena karya sastra menjadi wadah
negosiasi antara dua kultur (atau lebih) yang berbeda. Kajian terhadap karya
sastra itu menjadi penting untuk mengetahui bagaimana kebudayaan yang berbeda
dipahami, dinilai, atau bahkan untuk ”tidak disukai” dalam satu perspektif
budaya tertentu yang berbeda.
Keempat,
sangat mungkin mekanisme sastra dan interkultur yang dimaksud adalah upaya
mengkaji dan menafsirkan karya sastra dalam perspektif budaya penafsir.
Misalnya, bagaimana orang Jawa membaca karya sastra Bugis atau Sunda, dan
sebagainya. Artinya, terdapat persentuhan budaya yang berbeda dalam berbagai
level, sudut pandang, dan genre yang memungkinkan karya sastra ditafsirkan
dalam cara-cara sesuai dengan konteks yang mempertemukan antara pengarang,
sastra, dan penafsir (pembaca).
Dari
berbagai perspektif tersebut, sejauh ini hal yang cukup dianggap dominan (arus
utama) adalah asumsi pertama, yakni karya sastra sebagai wadah interkulturalisme
(Bdk. Pavis, 1992). Dalam pengertian yang lebih luas asumsi tersebut juga
digunakan untuk karya seni lainnya seperti film, teater, dan tari, Artinya,
sebuah karya seni pada akhirnya merupakan terminal dari sebuah proses panjang
berbagai pertemuan, gesekan, saling mengisi dan menolak berbagai budaya. Secara
sederhana hal tersebut mengingatkan kita bahwa tidak ada karya seni (sastra)
yang lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1985). Seorang panafsir juga tidak
menafsirkan karya sastra dengan kekosongan, tetapi berdasarkan asumsi, storage,
tujuan, dan kepentingan tertentu.
Di
Balik Interkulturalitas: Mancari Faktor
Masalahnya
adalah hal-hal apa yang ingin dicari (atau dijawab) dalam kajian sastra dalam
perspektif interkulturalisme. Persoalan ini berkaitan dengan kemungkinan
bagaimana menjelaskan tujuan dan manfaat suatu analisis dalam perspektif
interkulturalisme. Memang, kajian interkulturalisme seolah bertumpang-tindih
dibandingkan perspektif multikulturalisme. Hal itu tidak perlu terjadi karena
asumsi-asumsi yang dibangun dalam dari dua perspektif tersebut sudah berbeda
dari awalnya.
Multikulturalisme
lebih sebagai satu gerakan politik kebudayaan untuk mengandaikan bahwa entitas
budaya itu dalam posisi sederajat dan selayaknya saling menghormati dan
menghargai. Multikulturalisme merupakan sebuah pandangan yang mengupayakan
untuk mengakui kesederajatan kelompokkelompok yang berbeda baik secara
individual, kemasyarakatan, maupun
secara
kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model
multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dipandang mempunyai kebudayaan yang
berlaku umum dengan corak seperti mosaik yang mencakup kebudayaan-kebudayaan
kecil di dalamnya (Reed, ed. 1997).
Sementara
itu, dalam perspektif pembicaraan di sini, interkulturalisme justru menjelaskan
faktor-faktor, proses dan mekanisme, atau ke arah mana proses interkulturalitas
dalam karya sastra. Artinya, sudut pandang interkulturalisme adalah suatu upaya
yang mencoba menjelaskan relasi-relasi antarbudaya, proses-proses negosiasi,
dan hal-hal apa saja yang berpengaruh terhadap relasi dan negosiasi tersebut,
dan mengapa hal tersebut terjadi.
Berdasarkan
pembacaaan terhadap sejumlah karya sastra (dalam hal ini novel) maka
diperkirakan terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap relasi-relasi
antarbudaya tersebut. Hal-hal itu antara lain faktor politik, ekonomi, pendidikan,
agama, teknologi, seksualitas, tradisi, dan gender. Dalam kesempatan ini tidak
semua faktor dibicarakan, tetapi hanya membicarakan faktor agama, politik, dan
ekonomi.
Boleh
dikata, berdasarkan sejumlah novel, faktor politik merupakan factor paling
penting dalam proses pergesekan antarbudaya. Keinginan manusia untuk berkelompok,
atau bermasyarakat, atau bahkan berbangsa dan bernegara berdasarkan unsur
etnis, ras, agama, daerah, atau kebahasaan, merupakan factor politik yang layak
diperhitungkan sehingga faktor tersebut memisahkan atau mempertemukan
individu-individu. Persoalannya adalah bagaimana manusia mempraktikkan politik
dalam mengelola kelompok, masyarakat, bangsa, atau negara tersebut.
Sebagai
misal, di dalam novel-novel pada masa Orde Baru, peristiwa 1965 merupakan
peristiwa yang, di balik itu, faktor politik merupakan faktor utama yang banyak
mendapat sorotan, dan kelak secara kultural berpengaruh terhadap perkembangan
kebudayaan Indonesia. Berkat peristiwa 1965, negara Orde Baru mengembangkan
satu politik kebudayaan, yang di dalamnya termaklumatkan dalam apa yang biasa
disebut dengan sensivitas SARA. Sebagai konsekuensinya, novel-novel Orde Baru
melakukan kompromi dan keberpihakan yang ”sederhana” untuk menempatkan SARA
dalam batas-batas interkulutralitas secara aman.
Sebagai
akibatnya, novel-novel Indonesia pada masa Orde Baru tidak secara eksploratif
berupaya menelanjangi perbedaan atau penerimaan antar- SARA secara terbuka
sehingga pembaca tidak mendapat refleksi yang cukup berharga tentang relasi
antar-SARA secara signifikan. Proses-proses interkulturalitas yang terjadi
lebih pada ”wilayah tidak sakral” yang tidak berhubungan dengan SARA, yakni
persentuhan dan pergaulan internal antarbudaya, misalnya perbedaan budaya dan
upaya saling memahami antara budaya orang tua dan budaya anak muda, atau
lelucon-lelucon perbedaan antara budaya kota dan budaya desa. Hal tersebut
terlihat menjadi sebuah gejala umum tidak hanya dalam novel, tetapi juga
menjadi gejala dalam film-film Indonesia.
Di
samping faktor politik, ekonomi juga merupakan faktor utama dalam proses
perjumpaan antarbudaya. Faktor ekonomi jauh lebih aman daripada factor politik.
Sebagai misal, dalam beberapa novel, karena seseorang miskin, mereka melakukan
migrasi (ke kota) untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Karena mereka
migrasi, seseorang bersentuhan dengan budaya yang berbeda dari tempat asalnya.
Boleh dikata, sebagian besar novel menceritakan bagaimana para tokoh berpindah
dari tempat asalnya, dan dalam proses itu tokoh mendapat pengalaman kultural
yang berbeda, dan menyebabkan tokoh tersebut menjadi sesuatu yang berbeda
berkat proses interkultralisasi.
Agama
formal merupakan sesuatu yang dianggap sebagai motor atau sumber inspirasi bagi
berbagai tindakan sosial dan ekonomi, atau sebagai konsep filosofi dan etik
yang berpengaruh terhadap masyarakat (Weber, 1958). Agama berperan sangat
penting dalam berbagai kebudayaan sehingga agama dianggap salah satu pemicu
berbagai tindakan kultural, dalam berbagai tujuan dan kepentingan. Berdasarkan
pembacaan terhadap sejumlah novel-novel pada masa Orde Baru, maka agama formal
perlu diperhitungkan sebagai salah satu factor penting bagi proses
interkulturalisasi, tetapi dalam pengertian terbatas. (Dalam konteks yang
berbeda, bandingkan juga dengan tesis Leur, 1955).
Hal
tersebut dimungkinkan karena hal itu masih berkaitan dengan terjadinya semacam
kesungkanan untuk menjadikan agama sebagai satu system nilai yang membedakan
orang per orang dan hal itu masih berkaitan dengan politik SARA yang diterapkan
oleh negara (Orde Baru) dalam mengelola masyarakat Indonesia, termasuk dalam
mengelola atau mengontrol imajinasi para pengarang Indonesia. Paling tidak
novel terkenal karya Umar Kayam, Para Priyayi, memperlihatkan
kecenderungan tersebut. Beberapa novel Kuntowijoyo dan Ahmad Tohari memang
menyinggung persoalan dan peranan agama dalam proses interkulturalitas. Akan
tetapi, posisi agama dalam beberapa novel tersebut ditempatkan sebagai suatu
agama yang tidak formal, yakni berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan
individu yang bersifat kultural.
Di
balik faktor-faktor di atas, secara kultural terdapat sejumlah kekuatan diskursif
lain sebagai pembentuk kebudayaan yang ikut menentukan perbedaan dan persamaan
budaya sehingga faktor-faktor tersebut menjadi berbeda atau sama dalam
aktualisasinya. Hal-hal itu antara lain; pandangan dunia, kepercayaan, nilai-nilai,
pengalaman sejarah, mitos(logi), dan berimplikasi terhadap otoritas status
(struktur sosial) dalam masyarakat bersangkutan (Asante, 1980). Berbagai kekuatan
diskursif pembentuk tersebut yang menyebabkan berbagai perbedaan dan kesamaan
setiap individu sebagai anggota masyarakat.
Hal
yang Memasukkan dan Mengeluarkan
Berdasarkan
hal itu, dalam praktiknya, terdapat nilai yang bersifat menyamakan dan
membedakan cara hidup dan identitas kultural seseorang. Sebagai misal, nilai
kultur modern dan tradisional, atau kultur kota dan desa, tidak saling
mengeluarkan. Artinya, seseorang bisa keluar masuk untuk menerima dan menjadi
orang modern atau orang kota, tetapi ia tidak harus kehilangan identitas
tradisional dan (atau desa) nya. Hal itu dimungkinkan karena nilai-nilai
modern
dan tradisional tidak secara ketat memiliki ”syariah” yang baku untuk menerima
atau mengeluarkan.
Di
samping itu, walaupun dalam banyak hal modernitas atau tradisionalitas
memberikan nilai kultural yang berbeda, tetapi nilai-nilai modernitas dan
tradisionalitas tidak memiliki kepentingan untuk dipertentangan, bahkan secara
individual bisa ”harmonis” dalam diri seseorang, atau pada tataran kemasyarakatan
nilai-nilai tersebut dapat hidup berdampingan. Tokoh Lasi dalam Bekisar
Merah, tidak pernah kehilangan identitas sebagai orang desa, walau dia di belakang
hari ia hidup di kota besar dan terliaht modern. Tokoh Kanjat juga tidak hilang
tradisionalitasnya walau ia seorang Insinyur Pertanian yang berpikir sangat modern.
Dalam
batas-batas tertentu nilai-nilai ras dan etnisitas dapat dipertemukan dengan
adanya proses asimilasi atau akulturasi. Asimilasi adalah suatu kepercayaan
bahwa kebudayaan bisa bercampur dan menimbulkan kebudayaan baru. Biasanya
kebudayaan lama bisa menghilang dan masyarakat memperbarui budayanya sesuai
dengan perkembangan, konteks yang menentukan ke arah mana
perkembangan
itu harus dibawa. Sementara itu, akulturasi adalah suatu proses sosial
bertemunya dua kebudayaan atau lebih. Biasanya kebudayaan asli orang tersebut
tidak hilang, tetapi seolah mengalami “modifikasi”.
Proses
asimilasi dan akulturasi tersebut tentu tidak dapat dipetakan dalam kategori-kategori
dan proses yang sederhana. Hal itu dikarenakan variabel yang dimungkinkan
bercampur aduk dengan konteks aktual yang terjadi, seperti tingkat pendidikan,
kelas/status sosial dan ekonomi, usia dan pengalaman hidup, gender, lingkungan
dan sejarah sosial, dan sebagainya. Dalam beberapa hal proses akulturasi cukup
berjalan baik di Indonesia, tetapi proses asimilasi masih diaggap bermasalah
berkaitan dengan politik SARA yang dijalankan pemerintah colonial ataupun
pemerintah Orde Baru.
Dalam
karya sastra potret representasi asimilasi dan akulturasi dapat diandaikan
sebagai satu model alternatif terhadap dan berhadapan dengan realitas kultural
yang terjadi di masyarakat. Tokoh Boy Saputra, seorang keturunan Cina, dalam Jalan
Menikung karya Umar Kayam, bahkan dihadirkan sebagai orang yang halus,
sopan, dan baik hati, yang kesannya ”lebih Jawa” daripada orang Jawa. Artinya,
Boy Saputra diasumsikan mengalami proses terlanjur kelewatan
menjadi
Jawa. Masih di novel yang sama, tokoh Eko dan Claire, merupakan representasi
bagaimana proses akulturasi dihadirkan secara mesra, tanpa Eko dan Claire harus
kehilangan nilai-nilai kultural dari budaya mana mereka berasal.
Bahasa,
sebagai salah satu situs penting interkulturalisasi, termasuk tidak mengeluarkan
seseorang dari basis kulturalnya. Seseorang yang berasal dari Gunung Kidul,
kemudian bekerja beberapa tahun di Jakarta, bahasanya akan berubah menjadi
sesuatu yang lain. Sangat mungkin ia bergaya orang Gunung Kidul dengan beberapa
diksi dan dialek Jakarta. Sangat mungkin pula orang tersebut mencampurkan
bahasanya dengan Bahasa Inggris sebagai symbol kemoderan. Akan tetapi, dengan
menggunakan bahasa ”tiga dimensi” tersebut, ia tidak keluar dari identitas
asalnya sebagai Gunung Kidul. Tidak ada nilai suci dalam berbahasa yang
menyebabkan seseorang dikeluarkan dari basis asal kulturalnya.
Hal
yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana bahasa ”tiga dimensi” tersebut
dikelola dan menjadi aktualisasi diri tokoh kita dari Gunung Kidul tersebut.
Pada umumnya bahasa ”tiga dimensi” tersebut adalah kosa kata yang paling sering
muncul dan populer dipakai banyak orang, mungkin media massa seperti televisi.
Dengan demikian, dalam berbahasa dapat diketahui apakah seseorang mengalami
popularisasi budaya atau tidak, dan ke arah mana perkembangan bahasa populer
masyarakat.
Hal
tersebut berbeda dengan nilai-nilai kultural berdasarkan keyakinan agama
”formal”. Karena agama memiliki kriteria nilai dan syariah yang relative baku,
maka proses dan mekanisme interkulturalisasinya, dalam prosesnya, bisa saling
mengeluarkan. Seseorang secara kultural akan mengalami kesulitan jika memodifikasi
di antara dua nilai tersebut karena nilai-nilai yang ditawarkan agama akan
mengeluarkan di satu identitas nilai tertentu, dan memasukkan ke identitas
tertentu yang lain.
Memang,
Emha Ainun Nadjib dan Kyai Kanjeng bisa saja menyanyikan lagu-lagu Kristen
(atau Katholik) dengan cara bersalawat (atau seolah di- Islamkan). Akan tetapi,
itu tidak mengeluarkan Emha dan Kyai Kanjeng sebagai orang Islam. Hal itu
terjadi karena Emha tidak ”mempermainkan” syariah yang baku. Ia hanya
memodifikasi produk kebudayaan yang bersifat parsial, yang tidak bisa diklaim
sebagai milik khas satu hasil identitas budaya beragama tertentu.
Irama
lagu tidak bisa dikaitkan sebagai sesuatu yang suci sehingga tidak boleh diganggu-gugat,
apalagi dimodifikasi. Hal yang ditawarkan Emha dan Kyai Kanjeng adalah sebagai
upaya kreatif bahwa agama tidak selayaknya menjadi sesuatu yang menutup
interkulturalisasi kebudayaan.
Emha
menawarkan bahwa tidak selayaknya agama menjadi satu stigma budaya. Karena
stigma budaya dapat menjadi suatu upaya menggeneralisasi atau mengidentifikasi
ciri-ciri budaya tertentu. Dalam generalisasi atau identifikasi tersebut
terjadi reduksi, atau bahkan disalahartikan, sehingga menjadi ciri yang negatif,
menjadi stereotip budaya lain yang berbeda karena latar agama yang berbeda.
Perbedaan dan penilaian negatif tersebut seolah menjadi mitos dan lambat laun
terkesan sebagai sesuatu yang alamiah.
Hal
itu dikondisikan oleh negara Orde Baru dengan politik kebudayaannya yang
membangun kebudayaan berdasarkan struktur dan oposisioposisi biner. Negara
melakukan pengkotak-kotakan identitas dalam dua posisi yang berhadapan. Hal itu
menjadikan sulitnya relasi terbuka antarbudaya. Dalam struktur oposisi biner
tersebut seseorang mengalami penyederhanaan identitas dalam politisasi
tertentu. Dalam kondisi itu, munculnya ketidakharmonisan dan konflik baik atas
nama ideologi tertentu, atau atas nama identitas tertentu yang saling
berhadapan.
Berkaitan
dengan kekuatan diskursif pembentuk kultur tersebut, memang negara memiliki
kemampuan umum dalam mengelola kebudayaan warganya sejauh itu berkaitan dalam
kepentingan politik, ekonomi, bahkan agama. Akan tetapi, negara tidak perlu
menjangkau nilai-nilai kultural yang telah tertanam jauh dalam diri
masyarakat/individu terutama berkaitan dengan nilai-nilai lokal, dan nilai-nilai
itu tidak bertentangan dengan budaya yang dibangun negara. Dalam konteks
tersebutlah novel-novel pada masa Orde Baru cukup leluasa mengelola perbedaan
dan persamaan dan relasi antarbudaya lokal.
Persoalannya
adalah bahwa karya sastra tidak sekadar dimaksudnya sebagai karya sastra tanpa
memiliki pretensi dan tujuan tertentu. Sebuah cerita tentang proses
interkulturalitas bukan makna, pesan, dan tujuan dari keberadaan karya sastra.
Karya sastra justru bagian dari upaya pemaknaan itu sendiri sehingga
keberadaannya perlu dimaknai (makna atas makna) sebagai satu cara manusia atau
masyarakat untuk memikirkan berbagai kemungkinan tentang kehidupan. Dari berbagai
kemungkinan tersebut, manusia atau masyarakat mendapat informasi dan
pengetahuan tentang hakikat kehidupan.
Interkulturalisme
Sebagai Strategi
Proses
dan mekanisme interkulturalisasi di Indonesia memperlihatkan gejala yang
berbeda untuk setiap lokalitas dan konteksnya. Pada masa-masa dulu, proses
interkulturasi berjalan lambat. Hal ini berkaitan dengan sarana dan mekanisme
pertemuan antarbudaya yang belum memadai seperti transportasi dan sistem
komunikasi yang belum berkembang. Itulah sebabnya, lokalisme budaya
masih
sangat tinggi karena masyarakat secara kultural masih terikat dengan kepentingan
lokalitasnya (nilai-nilai, norma-norma, adat istiadat, agama, kepercayaan-kepercayaan
lokal). Segala hal yang berbau lokalitas dijadikan identitas oleh masyarakatnya
karena masyarakat juga tidak memiliki banyak pilihan.
Di
lokasi sosial tertentu tempat orang sering bertemu dari berbagai asal, misalnya
daerah pelabuhan (pantai), memperlihatkan gejala kultural yang lebih beragam
dibanding lokasi sosial tertentu yang tidak banyak dikunjungi. Di Indonesia,
gejala bahwa lokasi sosial daerah pantai lebih memperlihatkan keragaman budaya
bukan merupakan kisah yang baru (Wertheim, 1999). Daerah Aceh sebagai pelabuhan
paling ujung utara Indonesia, atau pun daerah sepanjang pantai utara pulau
Jawa, hingga sepanjang pantai Maluku dan Ambon, lebih memperlihatkan keragaman
kultural dibanding daerah Yogya atau Solo.
Memasuki
abad ke-20, Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan yang cukup
signifikan. Dimungkinkan oleh perkembangan transportasi dan komunikasi (darat
dan udara), pertemuan dan pergesekan antarbudaya semakin cepat. Novel Umar
Kayam Para Priyayi hingga Jalan Menikung, secara ”kronologis”
memperlihatkan perkembangan bagaimana proses perkembangan interkulutral itu
terjadi dari waktu ke waktu di Jawa dan Indonesia. Pada tahun
1910-an
hingga 1930-an, pada waktu itu orang menempuh satu lokasi yang berbeda bisa
berjam-jam karena hanya naik dokar/delman. Akan tetapi, mulai tahun 1960-an,
terlebih setelah tahun 1980-an (Jalan Menikung) jarak berbagai kota di
dunia bisa ditempuh hanya dalam waktu beberapa jam.
Memang,
dalam sejumlah novel Indonesia, mulai dan setelah tahun 1960- an digambarkan
sebagai tahun-tahun perkembangan dan perubahan yang cepat, walaupun perkembangan
dan perubahan tersebut tidak berjalan secara merata di bebagai wilayah
Indonesia. Dalam novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo, misalnya,
beberapa desa di Jawa tidak mengalami perkembangan yang merata. Antara desa
Tegalkemuning dan desa Tegalpandan, dua lokasi setingkat kecamatan yang tidak
berjauhan, tidak sama perkembangnnya hanya karena di Tegalkemuning ada beberapa
pabrik sehingga orang berdatangan ke daerah itu. Diceritakan pula dalam novel
tersebut bagamana di Tegalkemuning itu pada tahun-tahun itu telah mulai
dimasuki radio, televisi, dan sebagainya.
Hal
yang menarik adalah bagaimana novel-novel menggambarkan mekanisme dan proses
interkultural. Berdasarkan perhitungan alur dan perkembangan cerita, yakni
ketika terdapat sejumlah identifikasi perubahan di dalam peristiwa cerita, baik
mengenai kejadian tertentu atau kewacanaan tertentu, maka paling tidak terdapat
tujuh kategori mekanisme interkulturalisasi, yaitu mekanisme (1) nasihat dan
ideologisasi, (2) migrasi, akulturasi, dan asimilasi, (3) pelatihan dan
pendisiplinan, (4) teknologisasi dan industrialisasi, (5) bertambahnya
pengalaman, (6) konflik dan kekerasan, dan (7) persuasi ke-senian.
Sebagai
misal mekanisme migrasi. Di dalam novel banyak tokoh mengalami pengalaman
interkultural setelah migrasi dari tempat tinggalnya. Rasus, dalam Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, mengalami banyak perubahan setelah migrasi
dari rumahnya, kemudian tinggal di Pasar Dawuan, dan kemudian bertemu dengan
Siti yang membuatnya menjadi ”Islami” daripada sebelumnya yang abangan. Lasi
dalam Bekisar Merah, setelah tanpa sengaja migrasi ke kota besar, ia
menjadi wanita desa yang modern daripada sebelumnya.
Hampir
sebagian besar novel mengandalkan mekanisme nasihat untuk proses-proses
pembentukan kepribadian dan kultural. Sastrodarsono dalam Para Priyayi,
atau atau Pak Bei dalam Canting karya Atmowiloto adalah ”juru bicara” bagaimana
berbagai nilai dan kepentingan sosial atau politik diperbincangkan atau
disuarakan. Hal itu dimungkinkan karena Sastrodarsono dan Pak Bei, berdasarkan
pengalamannya yang banyak, merupakan ujung dari simpul interkultur. Sebagai
ujung dari simpul interkultur, mereka ingin memperpanjang simpul itu dengan
cara yang baru yang berbeda dengan diri mereka.
Itulah
sebabnya, pada akhirnya, cara dan tujuan cerita menjadi satu strategi tersediri
bagaimana interkulutralistas kebudayaan dibayangkan, dan dengan berbagai cara
dan lapis sudut pandang penafsiran, kesusastraan dimaksudkan sebagai sarana
berkomunikasi untuk mempersoalkan masyarakat dan kebudayaan secara lebih
universal. Cerita yang terdapat di dalam novel bukan
makna
atau maksud itu sendiri, tetapi suatu pembayangan terhadap harapanharapan tersembunyi,
bahkan bersifat ideologis. Itulah sebabnya, diperlukan satu tafsir yang
kondusif dan relevan berkaitan dengan bagaimana persoalan kebudayaan dapat
menjadi salah satu isu strategis dalam proses-proses pengembangan kebubdayaan.
Imajinasi
dan Persepsi: Mencari Arah
Persoalan
berktunya adalah imajinasi interkulturalitas seperti apa yang terjadi dalam
novel-novel Indonesia. Apakah imajinasi tersebut lebih sebagai bagian dari satu
konstruksi persepsi individu, atau konstruksi sosial, atau konstruksi wacana
dominan, atau suatu resistensi kultural, atau lebih sebagai semacam harapan
kultural. Mengapa hal tersebut terjadi.
Persoalan
tersebut mau tidak mau perlu melihat sejarah keberadaan dan karakter
novel-novel Indonesia. Pada masa pendudukan kolonial, novel-novel Indonesia
tidak tampil dalam karakter aslinya karena mendapat kontrol yang cukup ketat
dari pemerintahan kolonial. Novel-novel pun tampil dengan dan dalam wajah yang
“normatif” mempersoalkan dan merepresentasikan interkulturalitas dalam wilayah
yang tidak saling mengeluarkan atau memasukkan frame budaya yang
dibangun oleh pemerintah kolonial. Novel-novel yang secara terbuka melakukan
resistensi kultural dianggap sebagai bacaan liar. Kebiasaan itu berjalan hingga
masa pendudukan Jepang, walaupun Jepang cukup singkat menduduki Indonesia.
Pada
masa revolusi, novel-novel Indonesia memperlihatkan kesibukan yang cukup
sensitif dalam membangun nasionalisme. Itu artinya, novel-novel pada masa
revolusi, walau tidak banyak, berjalan dalam aras yang sama dengan kehendak
negara untuk membangun satu nation berdasarkan Indonesia yang majemuk.
Akan tetapi, seperti diketahui, masa revolusi juga gagal untuk membangun
sesuatu yang dianggap Indonesia sebagai proses panjang interkulturalisasi.
Konflik dan perang-perang lokal ataupun politis cukup banyak terjadi, dan
berujung pada suatu konflik politis dan ideologis, yakni peristiwa 1965.
Bangkitnya
masa Orde Baru ternyata membawa karakter yang sama seperti dijalankan
pemerintahan kolonial. Orde Baru tampil dalam satu manejemen politik dan
ekonomi yang canggih sehingga semua hal justru sangat terkontrol, dengan adanya
istilah waskat, pengawasan melekat. Manajemen politik dan sosial seperti
dijalankan Orde Baru sangat berpengaruh terhadap
keberadaan
dan karakter novel-novel Indonesia seperti telah disinggung di depan.
Artinya,
memang, novel merupakan persepsi individu atau sosial, atau konstruksi sosial
pada umumnya sebagai satu sistem yang terintegrasi dengan sistem sosial
lainnya. Akan tetapi, dalam sikap-sikap yang kompromistis terhadap tekanan
wacana dominan manajemen politik Orde Baru, novel Indonesia tetap berusaha
mencari satu representasi interkulturalitas yang bebas dari berbagai tekanan
politik atau ekonomi. Hal ini dimaksudkan bahwa sastra Indonesia dalam karakternya
menempatkan dirinya sebagai satu resistensi dan sekaligus sebagai harapan
kultural. Bagaimana dan ke mana resistensi ataupun harapan kultural itu berhembus,
mari kita kaji kembali secara cermat kesusastraan Indonesia. * * *
*Paper
pendek ini direpresentasikan pada kuliah Sastra dan Interkulturalisme,
Program Studi S2
Sastra
Pascasarjana FIB UGM, Yogyakarta, 2010.
Daftar
Pustaka
Asante,
M.K., Newark, E. & Blake, C., (Eds). 1979. Hanbook of Interculture Communication.
Sage: Baverly Hill.
Atmowiloto,
Arswendo. 1986. Canting. Jakarta: Gramedia.
Fay,
Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural
Approach. Oxford: Blackwell
Jary,
David dan Julia Jary, 1991, "Multiculturalism". Hal.319. Dictionary
of Sociology. New York: Harper.
Kayam,
Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Gramedia.
Kayam,
Umar. 2002 (1999). Jalan Menikung (Para Priyayi 2). Jakarta: Grafiti.
Kuntowijoyo.
2000. Mantra Pejinak Ular. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Leur,
J.C. van. 1955. Indonesian Trade and Society, Essays in Asia Social and Economic
History. Den Haag: van Hoeve.
Lotman,
Jurij. 1977. The Structure of the Artistic Text. Michigan: University of
Michigan.
Pavis,
Patrice. 1992. The Theatre of the Crossroads. Routeledge: London and New
York.
Reed,
Ishmed (ed). Multi America: Essays on Culture Wars and Peace. Penguin.
Teeuw,
A. 1985. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Tohari,
Ahmad. 1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia.
Tohari,
Ahmad. 1985. Lintang Kemukus Dini Hari. Jakarta: Gramedia.
Tohari,
Ahmad. 1986. Jantera Bianglala. Jakarta: Gramedia.
Tohari,
Ahmad. 1993. Bekisar Merah. Jakarta: Gramedia.
Watson,
C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University
Press.
Weber,
Max. 1958. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York: Charles
Scribner’s Son.
Wertheim,
W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Related Posts:
Sastra
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :