Jumat, 26 April 2013
Kontruksi Teori-Teori Dalam Perspektif ”Kajian Budaya Dan Media”
S. Arifianto
Pendahuluan
Kajian
budaya dan media (cultural studies and media) sering disebut sebagai wilayah
kajian multi-disiplin. Artinya kajian
yang dimaksud lebih mengakar pada lintas disiplin ilmu humaniora. Kajian
tersebut merupakan sebuah fenomena pascamodern dalam dunia akademis tentang
mengaburnya batas-batas antar-disiplin ilmu.Jika dilihat dari sudut pandang
nominalis disiplin’sebenarnya konsep ini hanyalah merupakan istilah untuk melegitimasi
metode dan teori-teori dalam kajian yang bersangkutan.Kajian ini lebih melihat
berbagai persoalan media dari perspektif budaya. Tetapi yang sering luput dalam
perbincangan tentang lintas-disiplin dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora bahwa
gagasan lintas-disiplin dalam kajian budaya dan media itu sendiri masih juga
melibatkan gagasan tentang perlintasan antara teori dengan tindakan. Inilah
persoalan pokok yang di anggap mampu membedakan antara kajian budaya dan media
dengan displin lainnya.
Relasi
kajian budaya dan media dengan kekuasaan dan politik, dengan keinginan akan
perubahan lebih banyak merepresentasikan kondisi kelompok-kelompok sosial
masyarakat yang terpinggirkan. Terutama kelompok kelas, gender dan ras (tapi
juga kelompok usia, kecacatan, kebangsaan, dsb) pada kultur tertentu. Kajian
budaya dan media (cultural studies and media) merupakan sebuah bangunan
teori yang dihasilkan para pemikir yang menganggap produksi pengetahuan
teoritis sebagai suatu praktik politis. Pada konstelasi ini pengetahuan tidak
pernah dipandang sebagai sebuah fenomena yang bersifat netral atau objektif.
Setiap fenomena senantiasa di lihat sebagai persoalan posisional, yaitu
persoalan dari mana, kepada siapa dan dengan tujuan apa seseorang bicara.
Ciri
kajian budaya dan media yang di anggap menonjol, di antaranya persoalan
diskursif yang selalu mengedepan di lingkungan masyarakat kontemporer. Apa yang
dimaksud dengan kajian budaya dan media adalah sebuah medan nyata di mana
praktik dan representasi ”media” selalu di lihat dari sudut pandang perspektif
budaya popular. Budaya itu sendiri merupakan bentukbentuk kontradiktif akal
sehat yang sudah mengakar pada dan ikut membentuk kehidupan sehari-hari (Hall,
1996: 439). Budaya berkaitan dengan makna-makna sosial, yaitu beragam
cara yang lazim di gunakan untuk memahami dunia. Meski demikian, maknamakna sosial
itu tidak dengan sendirinya berada di luar konteksnya. Melainkan maknamakna itu
muncul lewat tanda,maupun petanda dalam bahasa.
Dalam
kajian budaya dan media selalu berargumen bahwa bahasa bukan sebuah medium yang
netral tempat dibentuknya makna yang bersifat objektif dan independen. Bahasa
justru terlibat dalam pembentukan makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi
makna pada objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak.
Dari bahasa tersebut bisa kita pahami berbagai istilah-istilah dan simbol symbol
lainnya guna mereproduksi makna makna.
Proses-proses
produksi makna ini disebut praktik-praktik penandaan (signifying practices),
mempelajari kajian budaya dan media sama halnya dengan meneliti bagaimana makna
diproduksi secara simbolik dalam bahasa sebagai ‘sistem penandaan’ dalam budaya
popular. Media sebagai sebuah industri budaya modern yang di dalamnya
mengandung makna komodifikasi ekonomi komersial sudah memenuhi katagori sebagai
budaya popular pada lazimnya. Sebagai budaya popular, yang mendapat perhatian
lebih dalam kajian budaya dan media, maka ”media” merupakan salah satu medan di
mana budaya popular itu terbentuk. Untuk memahami kekuasaan dan kesadaran
terbentuknya budaya media, ada dua konsep yang sering digunakan dalam teksteks kajian
budaya dan media. Kedua konsep yang sudah sering di gunakan itu adalah konsep
ideologi dan hegemoni. Konsep ideologi lebih cenderung bertautan dengan
petapeta makna yang berpretensi mengandung nilai kebenaran yang bersifat
universal.
Sebenarnya
konsep ini lebih merupakan pengertian-pengertian yang spesifik yang menopengi
atau melanggengkan kekuasaan. Misalnya, ”konstrusi berita media televise yang
bermakna menjelaskan dunia dalam kerangka bangsa-bangsa, dan dianggap sebagai objek
secara ‘alami’, dengan mengaburkan pembagian-pembagian kelas dalam formasi sosial
dan ketidak alamian kebangsaan (Barker, 2000: 10). Representasi gender dalam iklan
yang menggambarkan perempuan sebagai tubuh-tubuh seksi. Mereduksi perempuan kedalam
kategori-kategori itu, bermakna merampok mereka dari tempatnya sebagai manusia
dan warga negara. Proses pembuatan, memperta hankan dan reproduksi makna dan
praktik-praktik kekuasaan seperti itu disebut sebagai hegemoni. Hegemoni
berkait dengan suatu situasi dimana ‘blok historis’ suatu kelompok yang
berkuasa mendapatkan kewenangan dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok
subordinat dengan cara merebut dan memenangkan kesadaran di antara subordinat
tersebut.
Teori Kajian Budaya dan Media
Ada
sejumlah besar karya dalam kajian budaya dan media yang teoretis dan tidak empiris.
Teori dipahami sebagai narasi yang bertujuan memilah-milah dan menguraikan ciri-ciri
umum yang mendeskripsikan, mendefinisikan dan menjelaskan kejadian-kejadian yang
terus-menerus muncul. Teori tidak bisa memotret dunia realitas secara
akurat,teori hanyalah sebuah alat, instrumen atau logika untuk mengatasi dunia
realitas melalui mekanisme deskripsi, definisi, prediksi dan kontrol.
Konstruksi
teori adalah usaha diskursif yang sadar-diri (self-reflexive) yang
bertujuan menafsirkan dan mengintervensi dunia realitas. Konstruksi teori
melibatkan pengkajian konsep dan argumen-argumen, seringkali juga pendefinisian-ulang
dan mengkritik hasil kerja sebelumnya, untuk mencari alat-alat baru yang
digunakan untuk berpikir/memahami dunia realitas. Hal ini mendapat tempat yang
tinggi dalam kajian budaya dan media. Pengkajian teoretis bisa dianggap sebagai
peta-peta kultural yang menjadi panduan kita. Kajian budaya dan media menolak
klaim para empirisis bahwa pengetahuan hanyalah masalah mengumpulkan fakta yang
digunakan untuk mendeduksi atau menguji teori. Teori dipandang sudah selalu
implisit dalam penelitian empiris melalui pemilihan topik, fokus riset dan
konsep-konsep yang dipakai untuk mendiskusikan dan menafsirkannya. Dengan kata
lain, ‘fakta’ tidaklah netral dan tidak ada tumpukan ‘fakta’ yang bisa
menghasilkan kisah tentang hidup kita tanpa teori.
Bahkan,
teori adalah kisah tentang kemanusiaan yang punya implikasi untuk tindakan dan penilaian-penilaian
tentang konsekuensi. Kajian budaya dan media ingin memainkan peran demistifikasi,
untuk menunjukkan karakter terkonstruksi teks-teks kebudayaan yang terkomodifikasi
media dan berbagai mitos dan ideologi yang tertanam di dalamnya. Hal tersebut
di harapan bisa melahirkan posisi-posisi subjek, dan subjek-subjek sungguhan, yang
mampu melawan subordinasi.
Sebagai
sebuah teori yang politis, kajian budaya dan media berharap dapat mengorganisir
kelompok-kelompok oposisi yang berserak menjadi suatu aliansi politik
kebudayaan. Meski demikian, Bennet (1992) mengatakan bahwa kebanyakan politik
tekstual yang dihasilkan kajian budaya (a) tidak berkaitan dengan banyak orang
dan (b) mengabaikan dimensi institusional kekuasaan kultural. Maka dari itu ia
mendorong kajian budaya dan media untuk mengadopsi pendekatan yang lebih pragmatis
dan bekerja dengan para produser industri kebudayaan dalam konstruksi dan penerepan
kebijakan kultural. Pekerjaan itu tidak akan menjadi populis tanpa terkomodifikasi
oleh media.
Metode Kajian Budaya dan Media
Meski
ada perdebatan tentang epistemologi, kita bisa menunjuk dengan jelas metode-metode
mana yang paling banyak dipakai dalam kajian budaya dan media. Bahkan para
peneliti akan berbeda dalam melihat keunggulan masing-masing metode. Kita bisa mulai
dengan pembedaan metodologis standar antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Dimana metode-metode kuantitatif lebih terpusat pada angka-angka dan penghitungan
(seperti statistik dan survey). Sedangkan metode-metode kualitatif lebih berkonsentrasi
pada pemaknaan yang dihasilkan atau dikumpulkan melalui observasi partisipan,
wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah dan analisis tekstual. Secara keseluruhan,
kajian budaya dan media lebih menyukai memadukan metode-metode kualitatif
dengan perhatiannya pada makna kebudayaan. Misalnya kajian etnografi, kajian tekstual,
kajian resepsi dan sejenisnya. Beberapa kajian tersebut lebih mengedepankan pandangan
kritis terhadap berbagai teori terdahulu.Teori-teori tersebut ada yang masih bertahan,
tetapi juga banyak di antara teori-teori yang gugur dengan munculnya
teori-teori baru yang menggantikannya.
Kajian Etnografi
Etnografi
merupakan pendekatan empiris dan teoritis yang bertujuan mendapatkan deskripsi
dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork)
yang intensif. Menurut Geertz (1973) etnograf bertugas membuat thick descriptions
(pelukisan mendalam) yang dianggap mampu menggambarkan ”kejamakan struktur-struktur
konseptual yang kompleks”, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan taken-for-granted
(yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan social budaya
masyarakat. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil-detil kehidupan
lokal dan meng hubungkannya dengan proses-proses sosial budaya yang lebih luas
dan dinamis.
Kajian
etnografis memusatkan diri pada penjelajahan kualitatif tentang nilai dan makna
dalam konteks ‘keseluruhan cara hidup’, yaitu dengan persoalan kebudayaan,
dunia-kehidupan (life-worlds) dan identitas. Dalam kajian budaya dan
media, etnografi menjadi ”kata yang dianggap mewakili” beberapa metode
kualitatif, termasuk pengamatan pelibatan, wawancara mendalam dan kelompok
diskusi terarah. Tetapi, ada beberapa kritik pada etnografi yang patut
diperhatikan: Pertama, data yang dipresentasikan oleh seorang etnografer
selalu sudah merupakan sebuah interpretasi yang dilakukan melalui mata
seseorang [sumber data], dan dengan demikian selalu bersifat posisional. Tapi
ini adalah argumen-argumen yang bisa diajukan pada segala bentuk penelitian.
Meski argumen ini hanya menunjuk pada ”etnografi interpretatif”.
Kedua,
etnografi dianggap hanya sebagai sebuah genre penulisan yang menggunakan
alat-alat retorika. Bahkan etnografi seringkali disamarkan hanya untuk mempertahankan
klaim-klaim realisnya (Clifford dan Marcus, 1986). Argumen tersebut lebih
cenderung mengarah pada konsep pemeriksaan teks-teks etnografis untuk mencari alat-alat
retorikanya. Namun demikian pendekatan etnografi menuntut seorang penulis untuk
memaparkan asumsi, pandangan dan posisi-posisi mereka. Dalam penulisan etnografi
konsultasi dengan ”para subjek” etnografi perlu dilakukan. Tindakan ini dilakukan
agar etnografi tidak sekedar menjadi ekspedisi pencarian fakta-fakta. Artinya fakta-fakta
yang hanya dipersepsikan sebagai diskripsi percakapan antara mereka yang terlibat
dalam proses penelitian etnografi itu sendiri. Realitasnya penulisan etnografi
masih mendatangkan berbagai kritik yang bersifat dinamis terhadap
eksistensinya. Walaupun demikian kritik terhadap klaim epistemologis etnografi
tidak lantas membuatnya tidak bernilai atau harus ditinggalkan.
Para
aliran kritis melihat bahwa tidak ada perbedaan epistemologis yang mendasar
antara etnografi dan sebuah novel. Etnografi lebih sebagai diskripsi
berlapis-lapis yang tujuannya bukanlah untuk menghasilkan gambaran yang ”benar”
tentang dunia realitas. Etnografi hanya untuk melahirkan empati dan melebarkan lingkaran
solidaritas manusia (Rorty, 1989). Maka, seorang etnografer biasanya memiliki justifikasi
personal, puitis dan politis ketimbang epistemologis. Menurut pandangan yang demikian,
data etnografis memberi eskpresi puitis pada suara-suara dari budaya-budaya lain
atau dari budaya lokal (local cultural) kita sendiri. Menulis tentang
model-model semacam itu tidak lagi dianggap sebagai suatu laporan ”ilmiah”.
Tetapi ia hanya sekedar ekspresi dan narasi puitis yang memunculkan suara-suara
baru untuk bergabung, yang oleh disebut Rorty (1989) dianggap sebagai
percakapan kosmopolitan umat manusia. Dengan konsep tersebut data etnografis
bisa menjadi jalan keluar dimana budaya kita sendiri dibuat menjadi asing.
Bahkan dianggap sangat memungkinkan memicu lahirnya deskripsi deskripsi baru
tentang dunia realitas ini.
Pendekatan
etnografi dalam antropologi dapat dikatagorikan pendekatan dengan metoda baru.
Meski dasar pendekatan ini dianggap tidak identik dengan baru. Salah satu
diantara kelemahan bidang kajian antropologi adalah minimnya data etnografi.
Bahkan menurut Goodenough (1964:7-9) terdapat tiga permasalahan yang dianggap
paling pokok,yakni : (1).ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh
perbedaan minat dikalangan ahli antropologi sendiri, (2).mengenai sifat data
itu sendiri dan (3). menyangkut masalah klasifikasi data etnografi.
Untuk
mencari jalan keluar pemecahan masalah ahli antropologi telah menempuh berbagai
cara pelukisan kebudayaan dengan berbagai model. Salah satu model yang sering dipakai
adalah model dari linguistik yaitu “fonologi”. Penggunaan model tersebut
menuntut penulis berangkat dari dalam, yakni dari sudut pandang orang yang
diteliti. Karena model penggunaan linguistik lebih di tekankan pada pemberian
“makna” terhadap obyek yang menjadi kajiannya. Ini berarti peneliti harus
menguasai bahasa masyarakat yang ditelitinya. Kemudian merumuskannya sesuai
dengan kerangka berfikir mereka.
Dalam
konteks ini peneliti barpandangan apa yang mereka diskripsikan dalam etnografi marupakan
makna-makna yang hidup dalam masyarakat yang diteliti. Makna hidup yang dimaksud
adalah makna yang diberikan oleh orang-orang yang diteliti. Meski biasanya para
ahli antropologi menggunakan istilah yang beragan tetapi dalam hal metode penelitian,
mereka menerapkan prosedur yang sama. Namun jika ada perbedaan tidak begitu
mencolok. Konsep dasar etnografi tersebut kemudian digunakan sebagai alat untuk
pengumpulan data penelitian berbagai bidang.Misalnya bidang ilmu sosiologi,
komunikasi, media, hukum, psikologi, ekonomi dan sekarang telah berkembang
secara dinamis di berbagai perguruan tinggi terkenal di luar negeri.
Kajian Tekstual
Meski
kajian tekstual punya ragam penampilan, ada dua corak analisis yang paling banyak
dipakai dalam kajian budaya dan media, yaitu semiotika dan teori narasi. Teks sebagai
tanda dan simbol banyak dikaji dalam pendekatan simiotika. Pendekatan semiotika
mempelajari bagaimana makna dari sebuah teks dan simbol bisa diperoleh melalui pengaturan
tertentu tanda-tanda dan penerapan kode-kode kultural. Analisis ini menaruh perhatian
pada ideologi atau mitos-mitos dari teks yang bersangkutan. Misalnya analisis semiotik
tentang media ádalah “menggambarkan bagaimana berita televisi itu representasi yang
dikonstruksi dan bukan sebuah cermin realitas”. Representasi-representasi media
yang sarat nilai dan selektif bukanlah gambaran yang “akurat” tentang dunia
realitas.
Melainkan
medan-medan pertempuran untuk memperebutkan apa yang akan dianggap sebagai
makna dan kebenaran. Televisi memang tampak seolah “realistik” karena ia penyuntingannya
yang halus dan potongan-potongannya yang tak kentara. Tetapi realism ini
dibentuk oleh sekumpulan konvensi estetis, dan bukan refleksi “dunia realitas”.
Reproduksi media televisi semacam ini disebut sebagai realitas semu (Theodoro
Adorno, 1992). Teks sebagai narasi, akan dilihat bahwa semua teks pasti
mempunyai kisah tertentu, baik sebagai teori atau naskah pidato. Karena itu
teori narasi juga memainkan peran penting dalam ranah kajian budaya dan media.
Narasi adalah penuturan yang tertata dan urut (sekuensial). Ia mengklaim
dirinya sebagai rekaman suatu peristiwa. Narasi adalah bentuk terstruktur yang
biasanya digunakan suatu cerita/kisah untuk mengajukan penjelasan tentang
tata-cara dunia realitas. Narasi memberi kita kerangka pemahaman dan aturan
mengenai bagaimana tatanan sosial dan budaya itu dibentuk.
Hampir
semua “penelitian kualitatif” mengandalkan dari bagaimana kemampuan peneliti
menarasikan fakta dan data lapangan yang mereka peroleh di lokasi penelitian.
Meski teks narasi bisa mengambil ragam bentuk, karakter, dan struktur, teori
strukturalis lebih menaruh perhatian pada ciri-ciri umum pada bagaimana
pembentukan cerita. Menurut Thodorov (1977), sebuah narasi setidaknya berkaitan
dengan goncangan terhadap suatu titik ekuilibrium dan pelacakan atas goncangan
yang terucapkan sampai tercapai suatu ekuilibrium baru. Misalnya, “pasangan
opera sabun” yang ditampilkan dalam pelukan penuh cinta sebagai pendahuluan
atas pengungkapan bahwa salah satunya sedang berselingkuh. Maka pertanyaannya
khalayak umumnya, apakah ini akan menjadi akhir hubungan tersebut?
Banyak
percakapan, emosi dan penjelasan yang terjadi sebelum kedua karakter itu rujuk kembali
atau malah berpisah. Opera sabun adalah nama sebuah genre dalam banyak kajian tentang
film. Genre menstrukturkan dan mengekang proses narasi; genre meregulasi dengan
cara tertentu, menggunakan elemen-elemen tertentu dan kombinasi antar elemen, untuk
menghasilkan koherensi dan kredibilitas. Dengan demikian, genre merepresentasi sistematisasi
dan pengulangan masalah dan solusi-solusi dalam sebuah narasi (Neale, 1980).
Dalam banyak kajian budaya dan media konstruksi sebuah narasi harus bersifat rigit,
mendalam dan terstruktur. Relasi antara satu genre dengan lainnya mempunyai koherensi
yang mengikat. Hubungan itu dikonstruksi menjadi sebuah data kualitatif dalam penelitian,
dimana keabsyahannya mempunyai derajat yang sama dengan data kuantitatif.
Kajian resepsi
Para
ahli kajian resepsi atau konsumsi sering berpretensi bahwa analisis tekstual atas
makna yang dilakukan seorang penulis, masih belum bisa dipastikan. Makna-makna yang
manakah, ”kalau memang ada”,yang bisa diambil manfaatnya oleh pembaca/consumen/khalayak
yang sesungguhnya. Artinya khalayak adalah merupakan pencipta makna yang aktif
dalam hubungannya dengan teks. Mereka menerapkan berbagai kompetensi kultural
yang diperoleh sebelumnya untuk membaca berbagai teks, sehingga khalayak dengan
konstruksi yang berbeda akan memahami makna-makna yang beragam itu.
Di
garis depan teoretis, model ‘encoding-decoding’ dari Hall (1981)
terbukti mempunyai pengaruh yang sangat penting dan dominan. Hall (1981)
melihat bahwa produksi makna tidak menjamin dikonsumsinya makna tersebut sesuai
yang dimaksudkan oleh enkodernya. Karena pesan-pesan (televisi), yang
dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan berbagai komponen yang multi-accentuated,
hanya bersifat polisemik. Artinya mereka memiliki lebih dari satu rangkaian
makna potensial. Dari konsepsi tersebut sampai khalayak turut terlibat dalam
kerangka kultural bersama para produser. Seakan akan khalayak menjadi bagian
dari realitas yang dikonstrusi media. Maka konsekuensinya pembacaan oleh
khalayak tidak jauh berbeda dengan produksi tekstual aslinya. Namun demikian
ketika anggota khalayak betempat pada posisi social dan budaya yang berbeda (dalam
hal kelas atau gender,) dari para produsen teksnya, maka mereka akan membaca program-program
semacam seperti itu sebagai pilihan alternatif.
Kajian Budaya dan Media
Identitas
: Dalam kajian budaya dan media
identitas lebih bersifat kultural dan tidak punya keberadaan di luar
representasinya sebagai wacana kultural. Identitas bukanlah sesuatu yang tetap
dan bisa di simpan. Melainkan sebagai suatu proses untuk menjadi. Identitas
juga dapat dimaknai sebagai genre pada entitas tertentu. Misalkan, pada
etnisitas ras dan nasionalitas adalah konstruksi-konstruksi
diskursif-performatif yang tidak mengacu pada “benda-benda” yang sudah ada.
Artinya, etnisitas, ras dan nasionalitas merupakan kategori-kategori kultural
yang kontingen. Ia bukanlah ”fakta” biologis yang bersifat universal. Sebagai
konsep, etnisitas mengacu pada pembentukan dan pelanggengan batasbatas kultural
yang mempunyai keunggulan tersendiri.
Dalam
konteks tulisan ini penekanannya lebih dikonsentrasikan pada kajian-kajian
sejarah, budaya, komunikasi, media, sosiologi dan bahasa. Ras dilihat sebagai
sebuah gagasan yang problematis karena asosiasinya dengan wacana biologis
tentang superioritas dan subordinasi kultural sangat kental. Relasi di antara
keduanya sangat intrinsik bahkan tidak mungkin bisa dihindari. Meski demikian,
konsep rasialisasi atau semacam pembentukan ras mempunyai kegunaan. Karena
dapat menekankan pada kekuasaan, kontrol dan dominasi. Gagasan tentang identitas,
ras, etnisitas dan bangsa mesti dilihat dalam kerangka saling ketergantungan yang
satu dengan etnisitas yang lainnya.
Seperti
terlihat dalam konteks kemurnian etnis suatu bangsa yang dihipo tesiskan oleh
wacana nasionalis. Peran yang dimainkan metafora gender dalam konstruksi
tentang bangsa, ibu pertiwi, dsb. Misalnya: studi Buttler (1993) tentang
konstruksi identitas seksual, studi Gilroy (dalam Woodward, 1987) dan Hall
(1992) tentang identitas orang kulit hitam di Inggris, studi Ben Anderson
(1991) tentang bangsa sebagai komunitas terbayangkan, studi Brah (1996) tentang
masyarakat diaspora, dan lainnya yang sealiran. Studi-studi tersebut umumnya
memberikan kritik tajam terhadap teori-teori yang berkembang pada zamannya.
Semua ideologi yang tertuang dalam teori-teori tersebut terkomodifikasi,
sehingga menjadi sebuah diskusi publik bagi para pengamat di akademisi dan
komunitas lainnya.
Seks,
Subjek,dan Representasi : Dalam kajian budaya
dan media, seks dan gender dilihat sebagai konstruksi sosial dan budaya yang
secara intrinsik terimplikasi oleh persoalan-persoalan representasi. Seks dan
gender lebih merupakan persoalan kultural ketimbang alam. Meski ada juga
pemikiran-pemikiran feminis yang menekankan pada perbedaan esensial antara
maskulin dan peminin. Kajian budaya dan media cenderung mengeksplorasi gagasan
tentang karakter identitas seksual yang spesifik secara historis, tidak stabil,
plastis dan dinamis. Tapi bukan berarti kita bisa dengan mudah membuang identitas
seksual dan menggantinya dengan yang lain. Kendatipun seks merupakan suatu konstruksi
sosial, ia adalah konstruksi sosial yang mengkonstitusi melalui tekanan-tekanan
kekuasaan dan identifikasi-identifikasi dalam psikis kita. Konstruksi sosial
yang dibentuk adalah sesuatu yang diregulasi serta memiliki konsekuensi
tertentu di dalamnya. Identitas seksual dilihat bukan sebagai masalah esensi
biologis yang universal, tetapi lebih sebagai persoalan bagaimana feminitas dan
maskulinitas dinegosiasikan. Maka itu kajian budaya dan media sudah seharusnya
memberi perhatian pada masalah-masalah seks dan representasi. Misalnya fokus
kajian budaya dan media terhadap representasi perempuan dalam budaya populer,
atau sastra. Sampai sekarang perempuan masih cenderung dikonstruksi dan sebagai
kelamin yang kedua. Perempuan selalu tersubordinasi dibawah laki-laki.
Dalam
persoalan tersebut posisi-posisi subjek yang dikonstruksi untuk perempuan
cenderung menempatkan mereka dalam tatanan kerja patriarkis domestifikasi. Artinya
sebuah tatanan kerja yang menjadikan perempuan sebagai ibu dan berkarir serta mengeksplorasi
individualitasnya untuk bisa tampil anggun dan menarik. Perempuan di era pasca
kolonial lebih banyak mengusung beban ganda karena tersubordinasi oleh kolonialisme
sekaligus kaum laki-laki pribuminya. Meski demikian, ada kemungkinan untuk
menggoyang stabilitas representasi-representasi tubuh yang terkelaminkan ini
(kasus Madonna,Inul, Dewi Persik),dan lainnya. Karena meski teks memang
mengkonstruksi posisi subjek, bukan berarti semua lelaki atau perempuan mengambil
posisi-posisi yang ditawarkan. Kajian-kajian resepsi lebih cenderung menekankan
pada negosiasi yang terjadi antara subjek dengan teks. Termasuk kemungkinan
melakukan resistensi terhadap makna tekstual yang posisinya selalu
tersubordinasi itu. Kajian-kajian inilah yang sering merayakan ”nilai-nilai dan
budaya menonton” bagi perempuan. Contoh: studi Giddens tentang keintiman
(1992), studi psikoanalisisnya Irigaray (1985) dan Mitchell (1974), studi Khrisnan
dan Dighe (1990) representasi perempuan di televisi India, studi Bordo (1993) tentang
tubuh, studi-studi representasi identitas dalam Woodward (1997). Kajian-kajian tersebut
memberikan gambaran bahwa posisi perempuan di dunia cenderung tersubordinasi oleh
kekuasaan.
Televisi,
Teks, dan Audience : Sudah sekian dekade
ini televisi mendapat perhatian dalam kajian budaya dan media. Karena televisi
memiliki kedudukan sentral dalam praktik komunikasi masyarakat modern.
Perhatian ini menjadi semakin kuat seiring dengan pergeseran televisi global
dari jasa penyiaran publik menjadi televisi komersial. Realitasnya televisi
komersial tersebut didominasi perusahaan multimedia yang bersinergi dan
konvergensi. Mengglobalnya institusi-institusi televisi yang di ikuti oleh
penyiaran global narasi dan genre-genre utama televisi. Genre utama media
televisi itu di representasikan dalam programnya seperti ( berita, sinetron,
televisi musik, olahraga dan ragam permainan) .Program televisi tersebut
dikonstruksi dalam kerangka konsep budaya‘promosional’ dan postmodern. Konstruksi
itu juga ditandai dengan adanya intertekstualitas dan kaburnya genre pada media
televisi yang bersangkutan. Kajian budaya dan media dalam konteks ini juga
menaruh perhatian khusus terhadap konstruksi ideologis program-program
televisi. Seperti versi-versi hegemonik berita dunia global yang di anggap
menyingkirkan perspektif-perspektif berita-berita alternatif dikomunitas lokal.
Meski
demikian, program-program televisi pada saat ini lebih cenderung bersifat polisemik.
Yakni berita-berita yang memuat berbagai makna yang biasanya bersifat kontradiktif.
Ini memungkinkan audiens mengeksplorasi keragaman makna potensial yang dikonstruksinya.
Audiens adalah pencipta makna yang aktif dan tidak begitu saja mengambil
makna-makna tekstual yang ditemukan di televisi. Pentingnya televisi tidak bisa
dibatasi pada makna-makna tekstual, karena televisi ditempatkan dan dialami
dalam aktivitas hidup sehari-hari. Meski ekonomi, politik dan arus program
televisi lebih banyak bersifat global, aktivitas menonton televisi tetap saja
tersituasikan dalam praktik-praktik domestik sehari-hari dalam kehidupan
masyarakat. Contoh: studi Ang tentang penonton serial Dallas (1985),
studi Widodo tentang sinetron (2003), studi Lull (1991) tentang penonton
televisi di Cina, studi Kurniawan Adi tentang penonton film Indonesia (2002), studi
Budiman (2002) tentang keluarga dan televisi di Yogyakarta.
Ruang
Publik, Kota : Ruang selalu dikonotasikan dengan
antar hubungan social tentang kelas, gender, etnisitas, dan sejenisnya. Ruang
di berikan lebel sebagai tempattempat kekuasaan yang dicirikan dengan adanya
persaingan dalam makna-maknanya. Sementara kota tidak pernah dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat tunggal. Melainkan selalu termanifestasi dan dibaca
sebagai serangkaian ruang dan representasi yang diperebutkan. Dari perspektif
ekonomi politik kita mencatat kemunculan kota-kota global sebagai titik-titik
komando ekonomi dunia. Penstrukturan ulang kota adalah salah satu aspek
reorganisasi ekonomi global. Contoh: studi Abidin Kusno (2000) tentang politik arsitektur
dan tata ruang di Indonesia, studi Zukin (1996) tentang Disney World, studi Massey
(1994) tentang ruang yang tergenderkan, studi Nzegwu (1996) tentang kota postkolonial
(Lagos, Nigeria).
Remaja,Gaya,dan
Perlawanan : Meskipun lebih jarang dibahas
bila dibandingkan dengan kelas, gender dan ras, usia adalah patokan klasifikasi
dan stratifikasi sosial yang penting. Gambaran-gambaran tentang masa anak-anak,
remaja, dewasa, lanjut usia, pensiunan, dst., merupakan kategori-kategori
identitas yang mengandung berbagai konotasi mengenai kemampuan dan tanggung
jawab. Remaja adalah klasifikasi kultural dari suatu rentang usia yang elastis
yang dikodekan secara ambigu oleh orang dewasa sebagai indikasi ‘masalah’ dan
‘kesenangan’. Orang muda mengusung harapan-harapan orang dewasa untuk masa
depan sekaligus menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Karya-karya awal kajian
budaya Inggris melihat subkultur muda yang spektakuler sebagai manifestasi
perlawanan simbolik terhadap tatanan kelas yang berkuasa.
Subkultur
dianggap menawarkan solusi-solusi magis bagi persoalan-persoalan struktural
kelas. Ada tiga alat analitik penting: (a) konsep homologi, di mana benda-benda
simbolik subcultural dianggap sebagai ekspresi dari kepriha tinan dan
posisi-posisi struktural tersembunyi kelompok-kelompok muda; (b) brikolase, di
mana simbol-simbol yang sebelumnya tidak terkait kemudian dipadu kan untuk
menciptakan makna-makna baru; dan (c) gaya, suatu brikolase simbol yang
membentuk suatu ekspresi yang koheren dan bermakna. Contoh: studi Willis
tentang buruh remaja (1977), gang motor besar (1978), studi Hebdige
tentang subkultur punk (1979) dan skuter (1988), studi McRobbie tentang
subkultur remaja perempuan (1991), studi Mercer tentang rambut (1994).
Politik
Kebudayaan : Politik kebudayaan merupakan
kekuasaan untuk menamai dan merepresentasi dunia, di mana bahasa bersifat
konstitutif bagi dunia dan menjadi panduan untuk bertindak. Politik kebudayaan
bisa dipahami sebagai serangkaian pergulatan kolektif yang diorganisir di
seputar kelas, gender, ras, seksualitas, usia, dan lain-lain, yang hendak
mendeskripsikan ulang dunia sosial berdasar nilai-nilai tertentu dan untuk
mencapai konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan. Contoh: studi Bennet (1992) dan
Cunningham (1992) tentang keterlibatan kajian budaya dalam politik
institusional dan birokrasi.Cultural studies dan media merupakan bidang
multi disiplin yang juga mengaburkan sekat-sekat antara dirinya dengan disiplin
ilmu pengetahuan lainnya. Dalam konteks yang lebih luas kita bisa melihat
politik kebudayaan terkait dengan,:kekuasaan untuk menamai, kekuasaan untuk
merepresentasikan, kekuasaan untuk menciptakan dan kekuasaan untuk
merepresentasikan dunia sosial yang legitimate ( Yordan & Weedon,1995 :13).
Secara
lebih spesifik makna dan kebenaran dalam domain budaya dibangun di dalam pola
kekuasaan. Konsep kekuasaan itu tidak bisa terpisahkan dengan Gramscian dalam hegemoni
(Gramsci,1971).Hegemoni kekuasaan yang dibangun adalah melalui penciptaan makna.
Dimana representasi dan praktik dominan dan otoritatif diproduksi dan tetap dilestarikan.
Menurut Gramsci hegemoni ideologis merupakan proses dimana cara pemahaman
tentang dunia realitas menjadi begitu nyata dan alami, sehingga memandang alternatif
sebagai sesuatu yang tidak masuk akal serta tidak dapat terpikirkan. Bagi Gramsci
pengetahuan dan budaya popular telah menjadi arena penting bagi tempat
pertarungan ideologi kekuasaan itu. Salah satu teks Gramscian dalam cultural
studies adalah”Resistance Trough Ritual” (Hall & Jefferson,1976)
yang isinya merangkum pengaruh Gramscian pada tema cultural studies. Dalam teks
tersebut subkultur pemuda diekspresikan sebagai bentuk bergaya perlawanan
terhadap budaya hegemonik. Gaya dibaca sebagai bentuk perlawanan simbolik yang
dibangun di atas wilayah perjuangan hegemonik dan kontra hegemonik. Meski gaya
perlawanan yang dibangunnya hanya sebatas pada sumberdaya simbolis, yang tidak
mampu mengatasi posisi kelas structural pekerja saat itu.
Dari
berbagai pandangan yang elah di paparkan tersebut kita mencatat sejumlah
tantangan terhadap politik perbedaan budaya yang cenderung memusatkan sebagian
besar perhatiannya pada konsep Bennet (1992) terhadap cultural studies dan media
untuk terlibat lebih produktif dalam pembentukan implementasi kebijakan
studi budaya dan media dimasa mendatang. Argumen ini saya kemukakan atas dasar
interpretasi konsep Foucault (1991) tentang ”governmentalitas”dimana
konsep-konsep kebudayaan merupakan kepanjangan tangan pemerintah, serta
reformis bergagai perkembangan ilmu pengetahuan. Tetapi pada saat yang sama
kita dihadapkan pada suatu logika dimana seruan dan kebijakan terhadap kajian
budaya dan media cenderung bersifat pragmatis, dan mengabaikan nilai-nilai
kajian yang bersifat kritis.
Akhirnya
pragmatisme sebagai suatu filsafat mungkin bisa menawarkan solusi untuk
menyatukan politik perbedaan dan representasi kebijakan kajian budaya dan media
itu sendiri. Sebagaimana telah di paparkan dalam tulisan ini kajian budaya dan
media masih bersifat umum. Ia hidup dalam hutan belantara diantara ilmu
pengetahuan humaniora lainnya. Namun kajian ini berupaya menggabungkan
teori-teori budaya dan media. Membahas media dalam perspektif budaya, secara
spesifik adalah memahami caracara produksi budaya dalam pertarungan ideologi.
Sebagai kajian lintas disiplin dan bertolak dari perspektif ideologis, maka
kajian budaya dan media (cultural studies and media) secara kritis akan
mengkaji proses-proses budaya alternatif pada media dalam menghadapi arus budaya,
untuk memahami apa yang menyebabkan budaya alternatif itu tumbuh dan
berkembang.
Sebaliknya
atas ketidak berdayaan dalam menerima arus budaya global, dari kemajuan
teknologi informasi (TIK). Kajian budaya dan media lebih cenderung menonjolkan
kritik terhadap budaya popular yang termediasi.Ketika budaya telah bergeser menjadi
sebuah industri maka budaya yang bersangkutan akan lebih dominan merepresentasikan
modernitasnya. Sementara konsep-konsep budaya modernitas itu sendiri tidak bisa
menolak hadirnya ideologi kapitalisme liberal. Dalam konteks ini budaya kapitalisme
liberal lebih di maknai atas nilai materialnya ketimbang nilai spiritualnya. Maka
dari itu tidak heran jika teori-teori yang di pakai untuk menganalisis lebih
banyak menggunakan teori-teori post modern. Namun demikian keberadaan
teori-teori tersebut toh tidak mampu menyatukan budaya tinggi dan budaya rendah
(popular) dalam perspektif kajian budaya dan media seperti fenomena yang
terjadi selama ini.
Penutup
Dari
pemaparan teori-teori budaya dan humaniora tersebut memberikan gambaran bahwa
kajian budaya dan media masih bersifat umum.Kajian ini bagaikan masuk di hutan belantara
diantara disiplin ilmu lainnya. Meski ia ingin mencari ruang yang lebih
spesifik dan kritis, toh masih belum mampu menjebatani antara budaya dan media
itu sendiri. Meski dalam praktiknya ia berusaha mengkaji media dari perspektif
budaya popular. Membahas media dalam perspektif budaya, adalah memahami
cara-cara produksi budaya dalam pertarungan ideologi. Sebagai kajian lintas
disiplin dan bertolak dari perspektif ideologis, maka kajian budaya dan media (cultural
studies and media) secara kritis akan mengkaji proses-proses budaya
alternatif pada media dalam menghadapi arus budaya.
Secara
lebih spesifik adalah untuk memahami apa yang menyebabkan budaya alternatif itu
tumbuh atau atas ketidak berdayaan dalam menerima arus budaya global, dari
kemajuan teknologi informasi. Esensi ideologis tersebut menjadi ruang negosiasi
yang dianggap paling diskursif dalam kajian ini. Maka dari itu tidak salah jika
banyak pihak melihat bahwa disiplin, kajian budaya dan media ini masih dalam
rangka mencari bentuk, atau identitas baru *** .
Daftar Pustaka
Alasuutari, P., 1995, Researching Culture:
Qualitative Method and Cultural Studies, London: Sage.
Anderson, Bennedict, 1991, Imagined Communities:
Reflections ob the Origins and Spread of Nationalism, London: Verso.
Ang, Ien, 1985, Watching Dallas: Soap Opera and
the Melodramatic Imagination, London: Metheun.
Antariksa, 2003, “Ke Bioskop: Yogyakarta,
1916-1960”, Jurnal Kritik Film Clea, (3) 2003, Yogyakarta: Rumah
Sinema.
Barker, Chris, 2000, Cultural Studies: Theory and
Practice, London: Sage
Bennet, Tonny, 1992, “Putting policy into Cultural
Studies”, dalam L. Grossberg, C. Nelson & P. Treichler (eds.), Cultural
Studies, London-New York: Routledge.
Bordo, S., 1993, Unbearable Weight: Feminism
Western Culture and the Body, Berkeley: Univ. of California Press.
Brah, A., 1996, Cartographies of Diaspora,
London: Routledge.
Budiman, Kris, 2002, Di depan Kotak Ajaib:
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsi, Yogyakarta: Galang Press.
Buttler, Judith., 1993, Bodies That Matter,
London-New York: Routledge.
Clifford, J. dan Marcus, G. (eds.), 1986, Writing
Culture, Berkeley: Univ. of California Press.
Cunningham, S. 1992, “The Cultural Policy Debate
Revisited”, Meanjin, 51 (3).
Foucault ,1991,Governmentality in
G.Burchill.C.Gordon and P.Miller (eds) The Foucoult Effect :Studies in
Governmentality, Hemel Hempstead : Harvester Wheatsheaf.
Geertz, C., (1973), The Interpretation of Culture,
New York: Basic Books.
Giddens, Anthony, 1992, The Transformatins of
Intimacy, Cambridge: Polity Press.
Gramsci,A.1971,Selection from the Prison
Notebooks,eds Q,Hoare and G.Nowell Smith.London : Lawrence & Wishart.
Hall, Stuart, 1981, “Encoding/Decoding”, dalam
Stuart Hall, A. Lowe, dan Paul Willis (eds.), Culture, Media, Language, London:
Hutchinson.
Hall, Stuart, 1992, “The Questions of Cultural
Identity”, dalam S. Hall, D. Held & T. McGrew (eds.), Modernity and Its
Futures, London: Edward Arnold.
Hall, Stuart, 1996, “On Postmodernism and
Articulation: An Interview with Stuart Hall”, dalam David Morley dan
Kuan-Hsing Chen (eds.), Stuart Hall, London: Routledge.
Hebdige, Dick, 1979, Subculture: The Meaning of
Style, London: Routledge.
Hebdige, Dick, 1988, Hiding in the Light, London:
Routledge.
Irigaray, L., 1985, The Sex Which Is Not One,
Ithaca: Cornell Univ. Press.
Jordan & Wedoon,1995,Cultural Politic
:Class,Gender,Race and the Postmodern World.Oxford : Blackwell.
Khrisnan, P dan Dighe, A., 1990, Affirmation and
Denial: The Construction of Feminity on Indian Television, London: Sage.
Kurniawan Adi, 2002, “Rule, Ruly and Unruly: a case
study of ‘Ada Apa dengan Cinta?’ audience”, kertas kerja dalam workshop Asian
Studying Asia: Cultural Studies for Asia Context, 14-17 Mei 2002,
Yogyakarta: KUNCI Cultural Studies Center. Tersedia di internet: <http://kunci.or.id/asia/inong.htm>
Kusno, Abidin, 2000, Behind the Postcolonial:
Architecture, urban space and colonial culture in Indonesia, London-New
York: Routledge.
Lull, J., 1991, China Turned On: Television,
Reform and Resistance, London: Routledge.
Massey, D., 1994, Space, Place and Gender, Cambridge:
Polity Press.
McGuigan, Jim (ed.), 1997, Cultural Methodologies,
London: Sage.
McRobbie, Angela, 1991, Feminism and Youth
Culture, London: Macmillan.
Mercer, K., 1994, Welcome to the Jungle: New
Positions in Black Cultural Studies, London-New York: Routledge.
Mitchell, J., 1974, Psychoanalysis and Feminism, London:
Allen Lane.
Nzegwu, N., 1996, “Bypassing New York in
Re-presenting Eko: Production of Space in Nigerian City”, dalam A. D. King
(ed.), Re-presenting the City, London: Macmillan.
Rorty, Richard, 1989, Contingency, Irony and
Solidarity, Cambridge: Cambridge Univ. Press.
Todorov, T, 1977, The Poetics of Prose,
Ithaca: Cornell Univ. Press.
Widodo, Amrih, 2003, “Sinetron:
Feeling/Mourning Modernities in Indonesian Television Drama”, kertas kerja
(monograf, belum diterbitkan).
Willis, Paul, 1977, Learning to Labour, Farnborough:
Saxon House.
Willis, Paul, 1978, Profane Culture, London:
Routledge.
Woodward, K. (ed.), 1997, Identity and Difference,
London: Sage.
Zukin, S., 1996, The Culture of Cities, Oxford:
Blackwell.
Related Posts:
Sosial-Budaya
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :