Senin, 22 April 2013
PKBI: Aktor Intermediary dan Gerakan Sosial Baru
Abubakar Mangun, Siti Mauliana Hairini & Haryanto
Pendahuluan
Tulisan ini dimaksudkan
untuk menjelaskan peran aktor intermediary dalam ranah politik.Bagaimana
strategi yang dilakukan dalam menyikapi kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah.Melalui pendekatan gerakan sosial, tulisan ini menjelaskan
peran LSM sebagai aktor intermediary dalam melakukan gugatan terhadap Peraturan
Daerah.Akan tetapi,studi ini meletakkan batasan dengan mendeskripsikan pola
relasi antar aktor intermediary dilihat sebagai hubungan horisontal dan
proses-proses yang terjadi didalamnya.Studi tentang politik intermediary
di Indonesia akhir-akhir ini semakin berkembang.Hadir dan banyaknya aktor-aktor
yang secara terbuka memposisikan dirinya sebagai jembatan penghubung antara
masyarakat dan Negara.Dalam hal bagaimana peran dan strategi mereka dalam
memperjuangkan hak-hak masyarakat semakin menambah daya tarik untuk diteliti.
Menurut Noeleen Heyzer,
terdapat tiga jenis peranan yang dapat dimainkan oleh berbagai aktor intermediaryyaitu:
pertama, mendukung dan memberdayakan
masyarakat pada tingkat grassroots,
yang sangat esensial dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua, meningkatkan pengaruh politik
secara meluas, melalui jaringan kerja sama, baik dalam suatu Negara ataupun
dengan lembaga-lembaga internasional lainnya. Ketiga, ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda
pembangunan (Afan Gaffar, 2006:203).
Dalam ranah
non-ektoral, biasanya wadah yang digunakan berbentuk LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang didirikan atas dasar tujuan tertentu.Kehadiran LSM dalam
sebuah masyarakat merupakan kenyataan yang tidak dapat dinafikan.Hal ini
dikarenakan keterbatasan pemerintah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan warga
masyarakat dan atau keterbatasan masyarakat dalam memenuhi tuntutannya kepada
negara.Hingga yang terjadi biasanya adalah peran itu kemudian diambil alih oleh
kelompok LSM atau aktor-aktor intermediary. Disisi lain fenomena pembentukan
norma dan tatanan sosial yang dilakukan oleh Negara menciptakan ketegangan
dengan masyarakat sehingga peran-peran dari aktor intermediary akan sering
terlihat.
Terkait dengan
ketegangan yang terjadi antara Negara dan masyarakat dan peran aktor intermediary
didalamnya ditemukan pada pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007
tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul.Hal ini menarik untuk diteliti
dikarenakan bahwa Perda tersebut telah digugat ke Mahkamah Agung oleh sebagian
masyarakat Bantul. Proses judicial review
terhadap Perda tersebut ternyata banyak dimobilisasi oleh PKBI (Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia) Yogyakarta. Mencuatnya gerakan yang dilakukan
oleh PKBI terkait dengan pengajuan judicial
review tersebut dapat dikategorisasikan sebagai bagian dari gerakan sosial
yang dilakukan oleh masyarakat untuk melawan negara melalui aktor intermediary.
Olehnya itu dalam penelitian ini, kami ingin menjelaskan
bagaimana strategi PKBI dalam memperjuangkan gugatan terhadap Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul dilihat dari perspektif gerakan
sosial. Sehingga, dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana peran aktor intermediary
dalam ranah gerakan sosial.
Konsep
Gerakan Sosial Baru
The
Blackwell Companion to Social Movements (van Klinken, 2007: 11)
mendefinisikan dengan komprehensif bahwa gerakan sosial sebagai: “...kolektivitas-kolektivitas
yang dengan organisasi dan kontinuitas tertentu bertindak di luar
saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan menggugat atau
mempertahankan otoritas, entah yang didasarkan secara institusional atau
kultural dan berlaku dalam kelompok, organisasi, masyarakat, kebudayaan atau
tatanan dunia di mana mereka merupakan salah satu bagiannya.”
Konseptualisasi ini
melibatkan lima hal agar bisa dianggap sebagai gerakan sosial. Kelima konsep
itu adalah tindakan kolektif atau gabungan, tujuan-tujuan atau klaim-klaim yang
berorientasi pada perubahan; sesuatu tindakan kolektif yang bersifat ekstra-institusional
atau non institusional; organisasi sampai tingkat tertentu (relasi); dan keberlanjutan
dalam hal waktu, sampai tingkat tertentu.
Studi tentang gerakan
sosial adalah salah satu dari bagian terbesar dan paling luas dipahami dalam
disiplin ilmu sosiologi. Beberapa peneliti mempelajari bangkitnya organisasi
gerakan sosial yang lebih spesifik pada titik-titik tertentu dalam sejarah,
sementara peneliti lain melihat pada tren dan peristiwa pada tingkat makro
dalam upaya untuk menghubungkan berbagai macam demografis dalam skala besar,
transformasi ekonomi dan politik terhadap munculnya secara regional, nasional,
dan bahkan global dari sebuah gerakan sosial (de Fay, tth). Keragaman
pendekatan yang digunakan untuk mempelajari berbagai bentuk tindakan kolektif
juga sangat bervariasi. Beberapa peneliti memusatkan perhatian mereka pada
media dan dampaknya terhadap para aktor gerakan sosial, sementara yang lain
melihat dampak dari kemiskinan dan kelas sosial pada munculnya gerakan sosial.
Terdapat lagi sarjana lain, dipelopori oleh ilmuan kontemporer yang
mengeksplorasi faktor identitas dan munculnya rangkaian baru dari kepentingan
bersama yang menyatukan masyarakat yang berbeda melintasi jarak fisik yang
besar dan dari berbagai budaya dan sistem politik(de Fay, tth).
Sebelum menjelasakan
lebih lanjut, terlebih dahulu kami mengemukakan pendekatan yang kami gunakan
dalam melihat kerangka kerja PKBI yaitu pendekatan gerakan sosial baru (GSB) yang
dikemukakan oleh para ilmuan kontemporer.Gerakan sosial baru dipahami berbeda
dengan gerakan sosial lama (klasik) yang melibatkan wacana ideologis yang lebih
meneriakkan anti kapitalisme, revolusi kelas dan perjuangan kelas.Karekteristik
GSB sifatnya plural, diantaranya seputar isu yang berhubungan dengan anti
rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata, feminisme, lingkungan hidup,
kebebasan sipil sampai pada isu-isu Perdamaian (Singh, 2007: 122).
Dalam konteks utama
itulah studi ini melihat dengan perspektif GSB.Asumsinya bahwa dalam kasus yang
terjadi di kabupaten Bantul, walaupun ditemukan adanya ketegangan yang sifatnya
strukturalis antara pemerintah dan masyarakat, tetapi ide dasar gerakan
berdasarkan isu seputar feminisme dan identitas gender.Mobilisasi yang
dilakukan oleh LSM PKBI menciptakan berbagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan
Perda tentang pelacuran adalah alasan mendasar dari penggunaan konsepsi GSB
dalama tulisan ini.
Kembali kepada
persoalan teoritis, selanjutnya untuk membedakan dengan konsep klasik, beberapa
ciri dari GSB yang dapat dikenali antara lain sebagai berikut (Singh, 2007:
124-134). Pertama, GSB menaruh konsepsi ideologis pada asumsi bahwa masyarakat
sipil berada pada titik nadir; ruang sosialnya mengalami penciutan dikarenakan
kontrol negara yang berlebihan.Selain negara, pasar juga menerobos masuk
kedalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Kedua, perjuangan
seperti anti rasisme, gerakan feminis dan lingkungan hidup bukanlah persoalan
perjuangan kelas. Pengelompokan mereka adalah lintas kelas, sehingga paradigma
marxisme menjadi model yang tidak cocok. Karenanya kebanyakan GSB didefinisikan
sebagai gerakan non kleas dan non materialistik.
Ketiga, GSB umumnya
melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi akar rumput yang kerap memprakarsai
gerakan mikro.Mereka melahirkan secara horisontal asosiasi demokratis
terorganisir yang terjalin dalam federasi longgar pada tingkat nasional sebuah
negara maupun dalam tingkat global.GSB secara umum merespon isu seputar
demoralisasi struktur kehidupan sehari-hari dan memusatkan perhatian pada
bentuk-bentuk komunikasi dan identitas kolektif dibandingkan membidik domain
perekonomian dan negara.Sehingga diharapkan untuk menata kembali relasi negara,
masyarakat dan pasar untuk menciptakan ruang publik yang berisi kebebasan
individu, kolektivitas dan identitas selalu bisa didiskusikan dan diawasi.
Keempat, lain halnya
dengan teori klasik, struktur GSB didefinisikan oleh pluralitas cita-cita,
tujuan, kehendak, orientasi oleh heterogenitasbasis sosial mereka.Sesuai dengan
esensinya, maka GSB umumnya bersifat global dan tidak tersegmentasi. Wilayah
aksi, strategi dan cara mobilisasi mereka transnasional meyeberangi batas-batas
bangsa dan masyarakat. Aktor-aktor yang beroprasi dalam GSB bukan karena
kepentingan kelas mereka tetapi dengan alasan kemanusiaan.Aktor GSB seperti feminis,
ekolog, dan aktivis perdamaian, memiliki pemahaman diri berupa identitas,
tujuan, dan cara-cara berasosiasi mereka ditinjau secara historis adalah baru.
Secara teoritis
mengenai GSB sebagai analisis, maka tulisan ini meminjam konsep framing. Pendekatan framing dalam gerakan sosial paling erat terkait dengan karya David
Snow, William Gamson dan Todd Gitlin (McAdam et.al, 2007: 12; de Fay, tth).
Istilah frame dipinjam dari Erving
Goffman yang mengacu pada skema penafsiran bahwa individu mengadopsi untuk
memahami dunia di sekitar mereka dan menempatkan diri di dalamnya. Menurut
Snow, frame memberikan makna pada
peristiwa dan “berfungsi untuk mengatur pengalaman dan panduan tindakan
(kolektif dan individual).”
Untuk menarik massa,
gerakan sosial harus membangun frame
yang sangat mirip dengan frame dari
individu-individu yang sedang berusaha untuk dimobilisasi. Proses ini disebut “kerangka
berpihak” dan tergantung pada seberapa sukses pemimpin gerakan yang
menjembatani kerangka aksi gerakan mereka sendiri dengan frame tindakan kolektif dari simpatisan. Sehingga mereka akan mampu
memobilisasi berbagai individu.
Dalam rangka untuk
menjelajahi bagaimana orang bisa membangun frame
tindakan kolektif, Gamson menganalisa kelas pekerja. Gamson memeriksa tiga frame tindakan kolektif yang berbeda
yang ia sebut, ketidakadilan, lembaga dan identitas. Sehubungan dengan frame ketidakadilan, Gamson menemukan
bahwa orang yang bekerja tidak menyederhanakan menerima penggambaran frame ketidakadilan tanpa terlebih
dahulu mereka memproses melalui kerangka interpretif dan pengalaman mereka. Seperti
teori framing lainnya, Gitlin juga
memulai dengan definisi Irving Goffman tentang frame, tapi dia berfokus pada dampak cara media terhadap frame gerakan sosial bukannya
pembangunan frame individu. Sementara
Gamson menentang gagasan bahwa media memiliki pengaruh langsung pada individu
terhadap frame tindakan kolektif,
Gitlin menyatakan bahwa media massa itu sendiri memainkan peran penting dalam
membentuk persepsi publik, dan gerakan sosial tertentu. Gitlin menyatakan bahwa
media memiliki dampak langsung dan signifikan terhadap keberhasilan, atau
kegagalan, gerakan sosial modern.
Framing
(pembingkaian) memusatkan perhatian pada peranan usaha menguasai ide-ide dan
identitas-identitas baru dalam membentuk gerakan-gerakan sosial. Para
organisator gerakan melakukan mobilisasi dengan jalan melukiskan isu-isu untuk
para calon peserta gerakan dengan cara memberikan makna bagi mereka (van
Klinken, 2007: 14).Framing
menurut Todd Gitlin adalah strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan
disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca.
Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan
menarik perhatian khalayak pembaca. Proses itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan
presentasi aspek tertentu dari realitas. Maka dalam konsep framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi,
penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan dalam
kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.
Selain itu, konsep
kedua yang dipakai dalam tulisan ini adalah mekanisme relasi (relational mechanisms) yang diambil
dalam teori contentious politics (McAdam
et.al: 2004). Secara umum mekanisme didefinisikan sebagai sebuah kejadian yang
mengubah hubungan-hubungan di antara elemen-elemen tertentu dan cara-cara
serupa.Sebuah contoh sentral tentang mekanisme relasional adalah brokerage(perantara), dimana dua unit
sosial dibawa memasuki sesuatu hubungan dengan satu sama lain oleh unit ketiga(van
Klinken, 2007: 17).Mekanisme relasional mengubah hubungan antara orang-orang,
kelompok, dan jaringan interpersonal.Brokerage
menghubungkan dua atau lebih situs sosial yang sebelumnya tidak terhubung oleh
sebuah unit yang menengahi hubungan mereka dengan satu sama lain dan atau tanpaagen
lain. Mekanisme berkaitan dengan kelompok dan individu satu sama lain yang termobilisasi
selama periode politik perdebatan(contentious
politics) sebagai kelompok baru yang disatukan oleh interaksi yang
meningkat dan situasi ketidakpastian, sehingga menemukan kepentinganbersama
mereka (McAdam et.al, 2004: 26).
Contentious
politics itu sendiri oleh McAdam, Tilly dan Tarrow didefinisikan sebagai
peristiwa yang terjadi secara episodik atau tiba-tiba daripada reguler.
Definisi contentious politics yang dimaksud oleh berdasarkan pada dua alasan
yaitu: pertama, banyak contoh
ketegangan transgresiftumbuh diluar dari kebiasaan yang ada; kedua, perubahan dalam jangka waktu
singkat sebuah ketegangan politik dan perubahan sosial sering muncul dari transgresif
yang memiliki kecenderungan lebih sering memproduksi rezim-rezim yang ada.
Gambaran
Umum PKBI[i]
PKBI didirikan pada tanggal 23 Desember 1957 di Jakarta,
sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).Perkumpulan ini berdiri dilandasi
kepedulian terhadap keselamatan ibu dan anak.Gagasan ini muncul, karena para
pendiri perkumpulan yaitu Dr. R Soeharto (dokter pribadi Bung Karno) bersama
kawan-kawannya pada saat itu (1957) melihat angka kematian ibu dan anak sangat
tinggi. Kematian ibu yang cukup tinggi tersebut, pada umumnya karena pendarahan
akibat seringnya melahirkan dan kematian anak juga tinggi antara lain karena
proses kelahiran bayi yang kurang sehat dari akibat kehamilan yang tidak sehat,
kekurangan gizi dan kurangnya perawatan pada masa kehamilan. Untuk
merealisasikan cita-cita yang luhur itu maka para pendiri perkumpulan sepakat
mendirikan suatu Lembaga Swadaya Masyarakat dengan nama Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia (PKBI).
Kemudian pada tahun 1967 PKBI menjadi anggota Federasi
Keluarga Berencana Internasional yaitu IPPF (International Planned Parenthood
Federation) yang berkantor pusat di London.Pada tahun ini juga merupakan awal
berdirinya PKBI Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).Awalnya PKBI DIY
hanya sebagai tempat pelatihan dari PKBI pusat tetapi dalam perkembangannya
PKBI DIY mampu mengembangkan program baik remaja maupun para pasangan keluarga,
dan perempuan yang belum menikah.Setelah itu berkembang lagi dengan menjangkau
komunitas seperti waria, gay, pembantu rumah tangga, pekerja seks, buruh
gendong, tukang becak dan lain sebagainya.
Dengan Visi terwujudnya masyarakat yang dapat
memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksi (kespro) dan seksual serta hak-hak
kespro dan seksual yang berkesetaraan dan berkeadilan gender, PKBI kemudian menjalankan program antara
lain:
- Memberdayakan anak dan remaja
agar mampu mengambil keputusan dan berperilaku bertanggungjawab dalam hal
Kespro dan Seksual serta hak-hak Kespro dan Seksual.
- Mendorong partisipasi
masyarakat, terutama masyarakat miskin, marginal, tidak terlayani, untuk
memperoleh akses, informasi, pelayanan, dan hak-hak Kespro dan Seksual
yang berkualitas serta berkesetaraan dan berkeadilan jender.
- Berperan aktif dalam mengurangi
prevalensi IMS dan menanggulangi HIV/AIDS, serta mengurangi stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA dan OHIDA.
- Memperjuangkan agar hak-hak
reproduksi dan seksual perempuan diakui dan dihargai terutama berkaitan
dengan berbagai alternatif penanganan kehamilan tidak diinginkan.
- Mendapatkan dukungan dari
pengambil kebijakan, stakeholder, media dan masyarakat terhadap program
Kespro dan Seksual.
- Mempertahankan peran PKBI
sebagai LSM pelopor, profesional, kridibel, berkelanjutan dan mandiri
dalam bidang Kespro dan Seksual serta hak-hak Kespro dan Seksual dengan
dukungan relawan dan staf yang profesional.
Selain itu, beberapa strategi yang
dilakukan untuk mewujudkan program tersebut diantaranya pemberdayaan anak dan remaja;
memperluas akses informasi, pendidikan dan pelayanan yang berkualitas;
mengembangkan upaya pencegahan dan penanggulangan IMS, HIV & AIDS;
mengembangkan upaya penanganan KTD; dan advokasi.
Advokasi
Peraturan Daerah di Bantul
Lahirnya Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul,
menuai reaksi dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Yogyakarta,
terutama reaksi yang ditunjukkan oleh PKBI. Pemerintah daerah Bantul ketika
mengeluarkan Perda pelarangan pelacuran tersebut mempertimbangan bahwa pertama, pelacuran merupakan perbuatan yang
merendahkan harkat dan martabat manusia, bertentangan dengan agama, ideology
Pancasila dan kesusilaan, serta visi Kabupaten Bantul Projotamansari,
Sejahtera, Demokratis dan Agamis. Kedua,pelacuran akan berdampakpada timbulnya
gangguan kesehatan, keamanan, ketertiban,serta meresahkan kehidupan masyarakat,
sehingga harus dilarang di seluruh wilayah kabupaten Bantul.[ii]Perda
ini menurut PKBI adalah asumsi yang hanya di dasari atas pendekatan seksualitas
dan mengabaikan fakta bahwa penyebab pelacuran adalah kemiskinan,sehingga
pelacuran menjadi pilihan yang ditempuh oleh para pekerja seks.[iii]
PKBI dengan nilai-nilai
yang mereka yakini berkaitan dengan hak asasi manusia, menganggap bahwa
perempuan sebagai manusia berdaulat atas tubuh mereka (Gunawan, wawancara, 14
Desember 2012).Hingga pilihan-pilihan hidup yang mereka tempuh adalah hak yang
harus di hargai.
Beberapa peristiwa yang
terjadi di Kabupaten Bantul terutama di daerah Parangkusumo pasca ditetapkannyaPerda
tersebut, dimana sering terjadi razia dan bahkan biasanya berujung pada salah
tangkap.Selain itu, kesan bahwa pekerja seks sering dijadikan sebagai ATM
berjalan oleh petugas di lapangan, “biasanya pekerja seks diminta uangnya jika
dirazia”(Gunawan,2012).
Kehadiran Perda
pelarangan pelacuran di Bantul telah memberikan pengaruh terhadap kebiasaan
masyarakat khususnya di Parangkusumo.Apa lagi setelah gencarnya razia yang
dilakukan oleh pihak berwajib di daerah tersebut dengan sendirinya memberikan
rasa trauma bagi sebagian orang khususnya kaum perempuan. Pola-pola seperti
itu, memberikan ketegangan walaupun pada batas-batas tertentu.
Untuk kasus Bantul,
ketegangan yang terjadi kemudian diwacanakan sebagai pembatasan atas hak-hak
pekerja seks serta Perda yang tidak solutif dalam menyelesaikan persoalan
sesungguhnya.PKBI mengaggap bahwa Perda yang ditetapkan oleh pemerintah
kabupaten Bantul tersebut telah mengabaikan fakta bahwa praktek-praktek
pelacuran disebabkan oleh kemiskinan.Sehingga yang mesti dilakukan oleh
pemerintah Bantul lebih mengarah pada perbaikan kondisi ekonomi.Hingga PKBI
dengan tegas mengatakan menolak Perda tersebut.
PKBI dalam melihat
kasus di Parangkusumo, selalu menyandarkan pada nilai yang mereka yakini
tentang hak dan kebebasan individu untuk memilih pilihan-pilihan yang
ada.Seperti pekerja seks yang memilih untuk menempuh ‘jalan’tersebut merupakan
hak yang dimilikinya.Hingga ketika Perda itu ditetapkan dan adanya gejolak dari
para pekerja seks, maka menjadi keharusan PKBI untuk melakukan sebuah gerakan.Tatanan
nilai universal yang di yakini oleh PKBI merupakan konsep yang selalu
direproduksi dan diperjuangkan. Beberapa cara yang mereka tempuh seperti forum
diskusi, pendampingan serta membangun network
sesama penggiat isu-isu yang sama seperti LSM-LSM lainnya.
Proses penolakan yang
dilakukan oleh PKBI dilakukan dengan beberapa strategi. Diantaranya memperkuat
wacana larangan pelacuran dengan membenturkan hak-hak individu yang mesti di
hormati. Proses ini dilakukan melalui serangkaian diskusi-diskusi baik sifatnya
internal maupun eksternal. Awalnya,diskusi hanya dilakukan dalam lingkungan
PKBI sendiri namun kemudian dalam perkembangannya melibatkan LSM lain yang memiliki
fokus pendampingan pada masalah yang sama.
Selanjutnya PKBI
membangun network dengan kelompok
atau LSM yang ada di Yogyakarta. Diantaranya SP. Kinasih, Mitra Wacana, PBHI,
IDEA, LBH Apik,Bunga Seroja, Kamis Sehat, Dasa Bumi, PSB, Yasanti, SAPDA, Forum
LSM, Jari Mulia, LBH Yogyakarta, Rifka Annisa dan KPI DIY. Kumpulan LSM
kemudian mengatasnamakan dirinya sebagaiAliansi Tolak Perda Larangan Pelacuran
Kabupaten Bantul. Perluasan jaringan yang kuat, dapat memungkinkan gerakan
kolektif yang dimaksud oleh para ilmuan gerakan sosial akan dapat berjalan
dengan baik. Pola inilah yang dimaksudkan sebagai mekanisme relasi, dimana
mekanisme ini beroperasi dengan cara menjembatani organisasi, individu dan
masyarakat.
Setelah aliansi ini
dianggap kuat, maka mereka melakukan audience
dengan pihak DPRD kabupaten Bantul dan mendesak untuk mencabut Perda pelarangan
itu.Namun jawaban yang diberikan oleh pihak DPRD tidak menyentuh pada subtansi
persoalan. Karena dianggap bahwa proses desakan seperti ini terhadap lembaga politik
tidak terlalu efektif, maka langkah selanjutnya adalah melakukan tuntutan lewat
jalur hukum.
Ketidakseriusan pihak
DPRD dalam merespon tuntutan aliansi, disinyalir bahwa ada kepentingan besar
yang bermain dalam proses penetapan Perda ini yang kemungkinan melibatkan
pihak- pihak tertentu di DPRD. “Perda ini diciptakan untuk mengamankan
pembangunan resort di Parangkusumo
dengan jalan menggusur PSK”, sekalipun tidak dijelaskan siapa saja aktor yang
bermain dalam kasus tersebut (Gunawan, 2012).Ketidakseriusan inilah,membuat
PKBI dan Aliansi mengambil langkah judicial
review lewat Mahkamah Agung, namun ditolak karena dianggap batal demi hukum
(Ulya dan Nilam, dalam Majalah Embrio, 2010:11-13).
Usaha-usaha yang
dilakukan PKBI dalam melakukan penolakan terhadap Perda tersebuttidak berhenti sampai
disitu.Akan tetapi PKBI dan aliansi telah mengajukanan gugatan kembali dengan
melibatkan masyarakat Parangkusumo sebagai penggugat.Jika awalnya yang menjadi
pihak penggugat adalah LSM tersebut maka pada persiapan ini yang menjadi
penggugat adalah masyarakat itu sendiri. Sampai tulisan ini selesai disusun
proses peninjauan kembali di Mahkamah Agung masih berjalan.
Terkait dengan melibatkan
masyarakat Parangkusumo sebagai penggugat, PKBI membentuk paguyuban dimana
beranggotakan sedikitnya minimal berjumlah sepuluh orang warga
Parangkusumo.Jumlah minimal anggota paguyuban dimaksudkan sebagai pemenuhan
syarat judicial review ke Mahkamah
Agung.Setiap minggunya para anggota PKBI terus melakukan pendampingan melalui
diskusi informal secara kontinu.Reproduksi wacana, nampaknya sebagai alasan
pendampingan tersebut.
Selanjutnya, sejalan
dengan teoritis gerakan-gerakan sosial yang mengemukakanbahwa adanya kerjasama antara
agen dengan agen yang lebih berpengaruh, bersama-sama menggalang kekuatan dalam
konfrontasi kolektif mereka melawan kelompok elit, pemegang otoritas dan
musuh-musuh politik adalah bentuk paling modern dari politik perseteruan (contentious politics) (Ali dan Mujani,
2009: 8; McAdam et.al, 2004: 26). Pola ini juga digunakan oleh PKBI dalam
melakukan advokasi terhadap Perda pelarangan tersebut.Dimana mereka melibatkan
lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM dan Komisi Perlindungan Aids
dalam memperjuangkan gugatannya.Ini dimaksudkan agar posisi tawar mereka
menjadi kuat dalam hal menggiring wacana Parangkusumo.
Media:
Strategi yang Lain
PKBI
memiliki divisi pusat studi seksualitas, divisi ini merupakan
program yang bergerak dibidang penelitian, pengembangan dan sumber informasi
(Clearing House) mengenai isu-isu dan wacana kesehatan reproduksi. Kegiatannya
meliputi pelayanan perpustakaan, penelitian, penerbitan dan sistem informasi
kesehatan reproduksi.Penelitian bertanggung jawab merawat isu seksualitas berdasarkan dengan kajian ilmiah
namun tetap berhubungan
dengan kebutuhan kelompok dampingan PKBI DIY.Penelitian ini kemudian
dikembangkan dalam bentuk diseminasi penelitian dengan mengundang perbagai
pihak, termasuk masyarakat, pakar dan pengambil kebijakan.Harapannya agar
penelitian menjadi kepentingan bersama dan disikapi oleh seluruh lapisan
masyakarat.
Bentuk-bentuk
informasi
penelitian yang di
publikasikan oleh PKBI adalah pertama, informasi-informasi dikemas
dalam sebuah Jurnal Bening agar capaian informasi lebih luas. Jurnal ini
diharapkan dapat digunakan sebagai penyeimbang wacana masyarakat yang terlanjur
homogen dengan social construction
tertentu.Kedua, media
publikasiyang dilakukan dituangkan lewat Buletin Embrio. Media ini diharapkan
dapat menjadi media penggagas wacana masyarakat dan mengarah pada perubahan
kebijakan publik tertentu yang tidak mendukung maupun tidak berempati pada
kelompok-kelompok terpinggirkan berhubungan dengan isu kesehatan reproduksi dan
perempuan.Terakhir, kajian-kajian
dan diskusi sesuai isu dan informasi yang sedang hangat berhubungan dengan isu
kesehatan reproduksi dan perempuan diimplementasikan dalam diskusi bulanan dan
juga seminar.
Melalui
ketiga media tersebut PKBI dapat menyajikan hasil dari interpretasi mereka
terhadap suatu masalah. Langkah pertama yang di sajikan oleh media-media
tersebut adalah pendefinisian masalah dengan menunjukkan aksi protesnya terhadap Perda pelarangan
pelacuran di Bantul. Menurut merekaPerda tersebut telah melukai dan melanggar hak asasi
perempuan terutama pekerja seks. Maka dari itu Perda ini telah di anggap
mendiskriminasikan perempuan dan tidak memihak kepada masyarakat sekitar yang
terkena dampak dari Perda tersebut.
Langkah
kedua, memetakan sumber dari masalah tersebut dan apa penyebab dari masalah
itu. PKBI menganggap bahwa sebenarnya pemerintah melalui Perda tersebut telah
mengabaikan fakta bahwa praktek-praktek pelacuran disebabkan oleh kemiskinan. Karena itu yang semestinya dilakukan oleh pemerintah
Bantul adalah melakukan perbaikan kondisi ekonomi pada masyarakat Bantul terutama perempuan. Maka disini
PKBI menetapkan bahwa sebenarnya kesalahan yang terjadi ada pada Pemerintah Bantul yang dianggap tidak
solutif dalam menyelesaikan persoalan sesungguhnya.
Langkah
yang ketiga yaitu memberikan argumen pembenaran dan moral judgementdengan peristiwa yang terjadi
pasca ditetapkannya Perda tersebut.Para
petugas melakukan razia secara membabi buta sehingga tidak sedikit ditemukan kasus salah tangkap. Kejadian tersebut mengakibatkan trauma baik pada penduduk
di daerah Parang Kusumo maupun wisatawan yang berkunjung kesana khususnya
perempuan. Kejadian-kejadian inilah yang menjadi dasar argumen PKBI.
Langkah
keempat, memutuskan penyelesaian dan solusi yang ditawarkan oleh pihak PKBI.
Dengan keteguhan hati yang bedasarkan pada argumen-argumen dan nilai-nilai yang
dianutnya, PKBI
secara tegas mengatakan untuk menolak Perda tersebut. karena itu melalui media
ini mereka menggalang jaringan dengan para LSM dan Masyarakat untuk
bersinergi bersama menolak Perda pelarangan pelacuran di Bantul.
Berdasarkan
dari keempat konsep analisis media framing
tersebut faktor yang paling menentukan adalah bagaimana para tim redaksi
mengemas tulisan tersebut agar dapat mempengaruhi dan mengajak pembaca untuk
mengikuti jalan berpikirnya penulis. Sehingga melalui media tersebut dapat
menggerakkan pembaca untuk ikut bergerak dan menolak Perda pelarangan pelacuran
di Bantul.
Mengenai wacana universalitas
dan pengaruhnya terhadap budaya dan perilaku masyarakat Indonesia khususnya
masyarakat Bantul dengan nilai-nilai lokal dan religius yang dimilikinya,
tentunya memerlukan studi yang lebih spesifik untuk menguraikannya.Inilah salah
satu hal yang menjadi kritik terhadap tulisan ini.Dimana tidak secara eksplisit
menjelaskan bagaiamana framing wacana
dan media mempengaruhi tingkah laku masyarakat Parangkusumo.Nampaknya, bagian
ini merupakan wilayah alam teoritis sosiologi dengan konsepsi practice (tindakan sosial)atau habitus
milik Bourdieu.
Penutup
PKBI mendasari dirinya
pada nilai-nilai universal tentang hak-hak manusia, melihat para pekerja seks
memiliki hak yang sama dengan warga Negara lain. Olehnya itu mereka berhak
untuk dibela dan diperjuangkan.Sebagai aktor intermediarykehadiran PKBI
diperlukan untuk menembus celah-celah kekuasaan dominan negara untuk mencairkan
dan memengaruhi proses pengambilan keputusan terkait publik dalam fase
pendalaman demokrasi seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.Aktor intermediarylah
yang berperan melakukan mobilisasi relasi dan media framing untuk perjuangan
politiknya agar konsisten dan berkelanjutan (durable) (Nugroho: 2012).Sehingga dapat disimpulkan koneksitas aktor
intermediary dapat dijamin keberlangsungannya dan kebermanfaatannya hanya jika
dua hal ini terpenuhi. Pertama, kuatnya fondasi frameideologi politik tentang apa yang hendak diperjuangkan. Kedua,
jejaring sosial yang luas mampu memelihara dan memperkuat komitmennya sebagai
agensi gerakan sosial.
Beberapa upaya yang di
tempuh oleh PKBI sebagai aktor intermediary dalam melakukan advokasi.Pertama, melakukan pengkajian mendalam (framing) terkait dengan esensi dari Perda
terhadap penindasan hak-hak universal melalui forum kajian formal daninformal
dengan melibatkan masyarakat, jaringan organisasi dan media.Kedua, membangun network dengan LSM lain yang memiliiki cara pandang yang sama
terkait universalitas. Ketiga, pendampingan
secara langsung di lapangan, pada kawasan Parangkusumo yang bertujuan untuk
terus mereproduksi wacana.Keempat, lewat
jalur uji materil di Mahkamah Agung setelah negosiasi di DPRD tidak berhasil
merupakan wujud dari strategi yang dilakukan setelah melalui proses yang
panjang.
Terkait dengan gerakan
sosial, perkembangan kontemporer ternyata telah menyebar dalam lingkup
global.Gerakan Sosial Baru dalam konteks politik bukan hanya dapat ditemukan di
wilayah Eropa dan Amerika, namun juga bisa ditemukan pada tingkat lokal di Indonesia.Hal
ini dimungkinkan karena pengaruh globalisasi di propinsi DIY banyak merubah mainstream para agensi sosial. Sejalan
dengan pergesaran dari kapitalisme ke post-kapitalisme, dari modernis ke
post-modernis yang menjadi dasar pergeseran konsepsi masyarakat dewasa ini.
***
Referensi
Ali-Fauzi,
Ihsan & Saiful Mujani (eds). 2009. Gerakan
Kebebasan Sipil: Studi dan advokasi kritis atas Perda syari’ah. Jakarta:
Nalar dan Freedom Institute.
DeFay,
J.B. The Sociology of Social Movements,
A field examination paper submitted in partial fulfillment of the requirements
for advancement to candidacy for the degree of Doctor of Philosophy in
Sociology, University of California.
Gaffar,
Afan. 2006. Politik Indonesia: Transisi
Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jamson,
Ulya Niami Efrina & Nilam Hamiddani Syaiful. 2010. Perempuan Dalam Kebijakan Publik. Majalah Embrio edisi 31,
Yogyakarta: PKBI.
Klinken,
Gerry van.2007. Perang Kota Kecil.Jakarta:
KITLV-Yayasan Obor Indonesia.
McAdam,
Doug, Sidney Tarrow & Charles Tilly. 2004. Dynamics of Contention. Cambridge: Cambridge University Press.
McAdam,
Doug, Sidney Tarrow & Charles Tilly. 2007. Comparative Perspectives on Contentious Politics. Chapter for
revised edition of Mark Lichbach and Alan Zuckerman (eds.), Comparative
Politics: Rationality, Culture, and Structure: Advancing Theory in Comparative
Politics. Cambridge: Cambridge University Press.
Singh,
Rajendra. 2010. Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta:
Resist Book.
Nugroho,
Wisnu. 2012. Disiplinkan Negara dengan
Gerakan. Kompas.com, 22 September 2012. diakses tanggal 13 Januari 2013.
Wawancara&
Lainnya
Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul.Pemerintah
Kabupaten Bantul.
Lembaran
Pernyataan Sikap Aliansi tolak Perda Larangan Pelacuran Kabupaten Bantul.
Http://Www.Pkbi-Diy.Info
Diakses tanggal 15 Januari 2013
Gunawan
(Ketua PKBI Yogyakarta), wawancara tanggal 14 Desember 2012.
Ulya
Niami Elfira Jamson (Eks Anggota PKBI Yogyakarta), wawancara tanggal 10
Desember 2012.
[i]Dapat dilihat dari situs resmi
PKBI.Profil PKBI, diakses
tanggal 15 Januari 2013 dari http://www.pkbi-diy.info/index.php?lang=id&cid=4&sid=18
[ii]Peraturan Daerah Kabupaten Bantul
Nomor 5 Tahun 2007.
[iii]Lembaran Pernyataan Sikap Aliansi
Tolak Perda Larangan Pelacuran Kabupaten Bantul.
Related Posts:
Politik
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :