Selasa, 23 April 2013
Dialog Kristen-Islam Suatu Tanggapan Terhadap Hans Kung
Seyyed
Hossein Nasr
George Washington University, Washington D.C.
George Washington University, Washington D.C.
SUNGGUH
merupakan kebahagiaan bagi saya untuk dapat menanggapi makalah Professor Hans
Kung tentang hubungan-hubungan Islam Kristen. Sudah barang tentu sangat
terlambat sekali di masa sejarah manusia ini semata-mata mengabaikan
penyajiannya yang sarat dengan kata-kata basi dan diplomasi ini. Saya ingin,
oleh karenanya, mencermati isu-isu penting sekali yang telah dikemukakan dengan
penuh kesadaran pada kesulitan-kesulitan yang ada di wilayah ini dan dengan
keberanian yang dibutuhkan untuk secara langsung mengkonfrontasikan
halangan-halangan yang ada dan yang telah digarisbawahi Kung. Betapapun juga,
ada perbedaan-perbedaan amat penting yang terdapat di dalam interpretasi Islam
tentang beberapa hal ini. Hans Kung telah memulai pagi hari ini dengan suatu
silogisme Aristotelian, bahwa tidak mungkin ada kedamaian tanpa kedamaian di
antara agama-agama, bahwa kedamaian tidak mungkin ada tanpa dialog, dan bahwa
dialog tidak mungkin ada tanpa pemahaman. Dan karena itu, saya akan mulai
catatan-catatan saya dengan mengupas hal ini.
Jika
kedamaian merupakan tujuan dialog keagamaan --sebuah tesis yang tentu saja
dapat diperdebatkan karena kebenaran datang sebelum kedamaian dan kedamaian
mengikuti kebenaran-- maka kita harus membicarakan Islam apa adanya,
sebagaimana yang diterima oleh hampir satu milyar pemeluknya, bukan sebagaimana
yang kita maui agar kita meneruskan dialog dengannya.
Saya
menempatkan diri saya pada posisi ini hari ini sebagaimana saya selalu dan
berbicara dari perspektif Islam tradisional. Seluruh pertanyaan yang akan saya
jawab, yakni pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan al-Qur'an, tabiat Nabi
Muhammad dan sebagainya, akan dijawab dengan cara seperti itu yang merupakan
tanggapan-tanggapan saya yang telah disampaikan di Lahore, Kairo, Marakesy,
atau beberapa tempat lain di dunia Muslim. Jawaban-jawaban tersebut cukup
menarik perhatian orang-orang terpelajar di kota-kota tersebut dan kebanyakan
mereka membela posisi-posisi yang ditawarkan di dalam tanggapan-tanggapan ini.
Tidak
diragukan bahwa Kung telah mengambil sebuah langkah menuju pemahaman tentang
Islam. Langkah Kung ini jauh dari posisi yang menunjukkan sikap-sikap Katolik
dan sebagian besar Protestan terhadap Islam sejak John dari Segovia dan
Nicholas Cusanus, kardinal-kardinal besar abad kelima belas, yang dibalas
(dijawab) dengan kekecewaan menyusul Konsili Florensa. Sikap itu tidak lain
dari semacam diplomasi yang santun vis-a-vis (berhadapan dengan) Islam, sebuah
sikap yang terus dijalankan selama hampir lima ratus tahun, dan meski
menghasilkan persahabatan-persahabatan, toh tidak pernah memecahkan
problema-problema teologis mendalam yang diciptakan oleh pertemuan Kristen dan
Islam. Saya teringat bahwa persis sembilan tahun lalu di musim gugur yang
indah, saya berbahagia sekali memimpin sekelompok teolog Muslim ke Roma untuk
sebuah dialog Kristen-Islam. Kami bahkan saat itu dibawa ke Assisi. Saya
diperkenankan menunaikan shalat zhuhur dengan dua orang lain di tempat St.
Francis yang agung itu memperoleh stigmata (tanda yang ditorehkan dengan paku
ke badan orang-orang suci-pen.). Itu adalah tindakan yang luar biasa dari tuan
rumah kami, tetapi tetap tidak memecahkan masalah-masalah teologis
Kristen-Islam. Dan masalah-masalah yang tidak terpecahkan itu adalah
masalah-masalah yang sebenarnya disinggung Kung sekarang ini.
Perkenankan
saya memulai, pertama-pertama, dengan menyatakan bahwa sebagai seorang Muslim
saya senang Kung telah menampilkan Islam dengan serius secara teologis. Tetapi
dengan mengemukakan fakta ini tentang perhatiannya terhadap realitas Islam,
saya memiliki beberapa kritik terhadap upayanya yang sejak awal mendefinisikan
Islam sebagai "suatu unsur yang terus menerus berubah sepanjang
abad." Adalah sangat penting untuk tidak menyamakan pengertian dewasa ini
tenting perubahan menurut orang-orang Kristen dalam tradisi mereka sendiri
dengan cara orang-orang Muslim membayangkan Islam yang sesungguhnya, tidak jadi
soal bagaimana para sarjana Barat modern memandang sejarah Islam.
Apa yang
dibayangkan kesarjanaan Barat mengenai dunia Islam yang sesungguhnya tidaklah
sepenuhnya sama dengan konsepsi orang-orang Muslim sendiri tentang tradisi
mereka dan perkembangan historisnya, dan karena itu demikian pula dengan apa
yang menjadi landasan penting untuk sebuah dialog yang berhasil. Bagi Islam,
bukti kuat adalah bukti kepermanenan, yang meliputi realitas pusat Islam.
Ka'bah masih tetap Ka'bah, haji adalah apa yang ditunaikan Nabi Muhammad, salat
lima kali sehari ya seperti yang dilakukan Sang Nabi, dan syari'ah sebagaimana
dikodifikasi atas dasar al-Qur'an dan Sunnah Nabi masih menentukan realitas
kehidupan keagamaan orang-orang Muslim. Malah rincian-rincian lebih kecil
tentang kehidupan sehari-hari yang diatur oleh Hukum Suci, yang lebih sentral
daripada formulasi-formulasi teologis dalam Islam, tetap ada untuk sebagian
besar sepanjang zaman. Saya tidak ingin menyatakan bahwa ada suatu Islam
monolitik; tesis yang selalu saya tentang. Semakin banyak kita mempelajari
interpretasi-interpretasi dan madzhab-madzhab yang aneka ragam semakin baik,
sehingga setidaknya kita tidak akan melakukan lagi kesalahan seorang mahasiswa
tingkat sarjana dari Sekolah Tinggi Teologi ini lima tahun lalu, yang terbang
ke Teheran tiap dua pekan dan kembali dengan "pengetahuan yang
mendalam" mengenai Syi'ah dan kesatuan Islam revivalis. Saya tidak
mengatakan bahwa ada sebuah Islam monolitik, melainkan apa yang ingin saya
katakan adalah bahwa ide kepermanenan dalam Islam merembes ke seantero
kesadaran Islam tentang dirinya sendiri, meskipun terdapat keanekaan
interpretasi. Inilah yang harus dihadapi setiap orang dan bukan semata-mata
mengharap agar orang-orang Muslim secara berangsur-angsur akan memperoleh
sebuah konsep historis atau historistik tenting perkembangan teologia dan
keagamaan mereka sendiri dari sudut pandang Barat modern supaya memungkinkan
dialog. Kalaulah hal seperti ini yang dilakukan, maka sama dengan membiarkan
dialog mati sejak permulaan karena kesalahan.
Saya
gembira Kung menegaskan bahwa Islam adalah sebuah cara hidup yang total.
Pernyataan ini lagi-lagi sudah terlalu terlambat untuk diulang-ulang dan pada
dasarnya merupakan semacam tautologi [penambahan kata-kata tetapi tak memberi
arti yang baru, alias pengulangan saja] yang kosong bagi banyak orang Muslim.
Bahkan orang-orang yang tidak begitu taat dan tidak tahu tradisi mereka sendiri
dengan baik mempertegas pernyataan tersebut yang fundamental bagi pemahaman
tentang Islam. Kritik Kung terhadap extra ecclesiam nulla salus [tak ada
keselamatan di luar Gereja], yang kini menjadi perdebatan sejumlah teolog
Kristen, sangat penting, tetapi manakala ia memasuki persoalan jalan-jalan
keselamatan yang biasa dan luar biasa kita pun tenggelam di dalam air yang
sangat dalam. Saya pikir bahwa sejak Jacques Maritain, salah seorang pemikir
Katolik yang lebih kontemporer, mulai berusaha menerima Islam dan agama-agama
non-Kristen lain "dengan serius" dengan menyebutkan mistisisme
natural dan super-natural (mystique naturelle et mystique supernaturelle) dan
juga mengenai keselamatan biasa dan luar biasa, sebuah jenis baru
"diplomasi" yang mungkin cocok bagi orang-orang yang disibukkan
dengan urusan-urusan luar tetapi bukan bagi para teolog bergerak pelan-pelan
kepada diskusi-diskusi ekumenis. Saya pikir kita harus menyingkirkan jenis
"diplomasi" sopan-santun ini yang sebenarnya justru mengelak dari
isu-isu dasariah tentang kebenaran dan kepalsuan jika memang ada perjalanan
menuju suatu dialog serius. Baik lelaki maupun perempuan diselamatkan Tuhan dan
itu adalah luar biasa --dalam semua hal menjadi manusia sebenarnya adalah luar
biasa-- atau mereka tidak diselamatkan sama sekali. Islam, sudah barang tentu,
menolak dalam suatu bentuk kategoris perlawanan antara cara-cara keselamatan
biasa dan luar biasa.
Untungnya,
Hans Kung mempunyai keberanian untuk mengajukan persoalan kepribadian Nabi
Muhammad. Apa yang dalam jantung kesalahpahaman Islam-Kristen bukan hanya
doktrin-doktrin, yang secara teologis dan metafisis, dapat diperhatikan, adalah
warisan kebencian ribuan tahun dari orang-orang Kristen terhadap pendiri Islam
ini. Seseorang dari negeri yang sama dengan Kung, Enrico dari Meinz, yang pada
tahun 1142 menulis Vita Mahometi dalam bahasa Latin, sebuah karya yang sudah
dibaca di seluruh Eropa, menampilkan semacam sikap polemis yang menyerang Nabi
Muhammad, yang dominan di Barat selama sembilan ratus tahun. Malah sekarang, dengan
segala kata-kata hambar dan deklarasi-deklarasi diplomatik, dan bahkan
isyarat-isyarat kemanusiaan terhadap Islam, dan bahkan di dalam deklarasi
Vatikan 1962, Nabi Islam tetap saja selalu dipinggirkan, sebagaimana telah
ditegaskan oleh Kung tadi. Bagaimanapun juga tidak ada kemungkinan bagi dialog
jika kepribadian Nabi Muhammad tidak dimengerti. Di bagian pertama esainya,
Kung rnembuka pintu, tetapi di bagian kedua ia menutupnya bagi orang-orang
Muslim.
Sebelum
mengupas masalah tersebut, izinkan saya kembali sejenak kepada al-Qur'an dan
lalu kepada Nabi Muhammad. Kung mengatakan bahwa al-Qur'an sama sekali tidak
menentukan lebih dahulu perkembangan Islam. Saya katakan bahwa al-Qur'an
menentukan lebih dahulu perkembangan Islam dalam setiap arah. Yaitu bagaimana
orang-orang Muslim selalu mempertimbangkan realitas Firman Ilahi. Segala hal
yang timbul dari al-Qur'an dalam bentuk ulasan-ulasan, yang barangkali dari
titik pandang sarjana Barat modern muncul menjadi tambahan-tambahan luar dan
penambahan-penambahan selanjutnya yang asing bagi nash yang diwahyukan, dilihat
dari titik pandang Islam sebagai yang tumbuh dari substansi al-Qur'an itu
sendiri, dari akar-akar wahyu al-Qur'an yang daripadanya itu adalah suatu
perluasan. Oleh sebab itu, jika kita ingin memahami peran sentral al-Qur'an,
maka penting memahami bagaimana orang-orang Muslim melihat al-Qur'an sebagai
yang menentukan seluruh kehidupan Islam. Saya kembali lagi ke isu ini: analisis
Barat non-Islam yang selama berabad-abad didasarkan pada pemisahan antara
al-Qur'an dan ulasan-ulasannya (interpretasi-interpretasinya) yang tradisional,
tidak akan menolong dialog dengan orang-orang Muslim, sebab dalam perspektif
Islam, perkembangan seluruh aspek tradisi yang berbeda selama berabad-abad
didasarkan pada al-Qur'an, Dan hal ini membawa saya pada isu lain yang sangat
signifikan dalam konteks ini, yakni: persoalan peran Nabi Muhammad dalam
hubungannya dengan al-Qur'an.
Adalah
mungkin untuk mengatakan bahwa seluruh cara dari orang-orang Syi'ah ekstrim
hingga orang-orang Hanbaliyyah di Damaskus, dari para Sufi yang paling esoterik
hingga ahli-ahli fiqh yang paling eksoterik, yang meliputi spektrum teologi dan
pemikiran Islam orthodoks, tak satu pun dari mereka itu pernah menerima
pandangan selain bahwa Nabi Islam menerima wahyu al-Qur'an kata demi kata dari
langit. Al-Qur'an adalah Firman Tuhan dan bukan firman Nabi. Ada baiknya saya
tidak menyebut nama-nama tertentu, khususnya teman dekat saya, Fazlur Rahman,
tetapi karena Kung menyebutnya, maka menjadi penting untuk menanggapi hal ini
dengan kembali kepada sarjana Muslim yang termasyhur itu. Saya kutipkan dari Kung, Bagaimanapun seseorang ingin menyelesaikan
persoalan Islam tentang asal al-Qur'an, saat ini adalah penting bahwa al-Qur'an
sebagai firman Tuhan dipandang pada saat yang sama sebagai firman Nabi yang
manusiawi. Pandangan ini juga diakui bersama oleh refleksi ilmiah Muslim
(semisal karya seorang Pakistan, Fazlur Rahman).
Sungguh
benar-benar menyedihkan untuk merujuk kepada sebuah kasus yang berdiri sendiri,
sekalipun ia seorang sarjana terkenal, dan memandang sebelah mata kepada
kepercayaan-kepercayaan satu milyar orang Muslim yang menyangkut tabiat
al-Qur'an dan hubungannya dengan Nabi. Ini menyedihkan karena hal itu
menghancurkan, sejak permulaan, kemungkinan memahami dan menciptakan kedamaian.
Pada sisi lain sebuah dialog, seseorang tidak dapat mengambil sudut pandang
yang tak bisa diterima oleh pihak yang diajak berdialog, sudut pandang yang
ganjil dan hampir tidak diterima oleh setiap otoritas yang serius di dunia
Islam, tanpa pandang bulu; apapun warna politik atau teologi yang ia punyai.
Oleh karena itu, mengambil pandangan seperti itu sebagai sebuah kemungkinan untuk
memudahkan dialog dengan dunia Kristen atau dengan dunia Barat pada umumnya
tidak memberikan jawaban kepada realitas situasi yang sesungguhnya.
Saya tidak
ingin sama sekali membawa sebuah wacana berdasarkan kata-kata hambar diplomatis
tetapi lebih baik membawa masalah-masalah teologis esensial yang berkaitan.
Saya tahu bahwa tak seorang Muslim pun, bahkan tidak juga seorang yang sudah
tak lagi tinggal di dunia Islam (dar al-Islam), yang mempunyai tulisan-tulisan
yang dapat diterima di setiap negara Islam, yang tidak menyatakan bahwa
al-Qur'an adalah Firman Tuhan. Seseorang harus mengerti dengan sangat jelas
tentang hal ini dan tentang peran Nabi dalam proses pewahyuan Teks Suci. Itu
adalah karena kepercayaan Islam pada al-Qur'an sebagai Firman Tuhan yang
langsung bahwa setiap anggapan tentang Nabi Islam sebagai yang mempelajari
pandangannya tentang sejarah suci dan Kristologi dari sumber-sumber Yahudi dan
Kristen merupakan penghujatan terbesar di mata orang-orang Muslim. Izinkanlah
saya mengupas isu ini dengan sangat jelas. Semoga hari ini menjadi saat yang
tepat untuk mengangkat kembali unsur non-Arya, Semitik, dari Kristen yang jelas
secara perlahan-lahan dipudarkan di Barat karena Kristen telah ditakdirkan
untuk menyelamatkan keseluruhan benua (Eropa) yang dikuasai orang-orang
non-Semitik. Meskipun kenyataan bahwa kita menemukan orang-orang Swedia dan
Jerman yang mempunyai nama David, Eropa Kristen jauh kurang Semitik dalam
orientasi ketimbang bagian dunia Islam non-Arab. Seorang Persia lebih dekat kepada
dunia Ibrahim daripada seorang Swedia, biarpun keduanya adalah Indo-Eropa,
keduanya juga orang Arya, dan keduanya sama-sama memiliki rumpun bahasa dan
latar belakang etnik yang sama. Kalau anda ingin menghancurkan proses
Eropanisasi Kristen, itu hal lain; hal tersebut tetap merupakan urusan para
teolog Kristen, dan saya tak akan membahasnya di sini. Tetapi itu tidak ada
hubungannya dengan merelatifkan Kristologi al-Qur'an, seakan-akan itu adalah
sebuah kebetulan historis. Ini tidak mungkin bisa diterima oleh seorang Muslim.
Harus selalu diingat bahwa menurut ajaran Islam tentang kenabian, seorang nabi
tidak berhutang-budi apa-apa kepada siapapun; Tuhan mengajar nabi-nabi-Nya
tentang segala sesuatu, dan bagi Tuhan mungkin mengajar dua versi yang berbeda
tentang realitas yang sama dalam konteks dua agama yang berbeda.
Seluruh
persoalan Kristologi yang menjadi inti makalah Hans Kung, dari sudut pandang
Muslim akan menjadi isu ini: Apakah mungkin atau tidak bagi Tuhan untuk
menginginkan dua kemanusiaan (sifat manusia) di bumi memahami sebuah peristiwa
yang sangat penting dengan dua cara yang berbeda? Itulah persoalan krusial.
Apakah Kristus disalib atau tidak? Al-Qur'an mengatakan tidak; ia mengatakan
bahwa Yesus tidak disalib. Dan dengan penolakan tersebut maka bermunculanlah
semua persoalan lain dan semua problema yang terjadi karena kepercayaan kepada
penyaliban, seperti mengenai dua tabiat Kristus sebagaimana diinterpretasikan
oleh teologi Barat dan yang semacamnya. Bila kita menerima versi al-Qur'an,
versi Kristen tentang Yesus harus ditolak. Bila kita menerima versi Kristen,
bahkan versi Kristen-Yahudi, versi al-Qur'an tidak bisa diterima. Lebih jauh,
membayangkan bahwa al-Qur'an mempunyai Kristologi yang salah sama sekali
memustahilkan dialog apapun dengan Islam. Itu sama dengan mengatakan bahwa
sebagian dari Kristus dilahirkan dari Maria sang perawan dan adalah Logos, dan
sebagian lain adalah suatu "tambahan." Perlu senantiasa diingat bahwa
bagi orang-orang Muslim al-Qur'an, keseluruhan al-Qur'an, bukan hanya
bagian-bagiannya, adalah Firman Tuhan. Orang-orang Muslim tidak akan pernah
bisa menerima pandangan bahwa bagian-bagian dari al-Qur'an diilhami secara tak
langsung dan sangat mulia, sementara bagian-bagian lain merupakan
penambahan-penambahan dari pandangan-pandangan yang lazim dalam masyarakat
Makkah atau di antara para peziarah (haji) yang datang dari utara, atau dari
Waraqah, sepupu Nabi, yang berbicara dengan Nabi.
Sangat
penting membahas isu ini, dan saya pikir di masa depan bila ada sebuah dialog yang
sungguh-sungguh tentang Islam-Kristen dalam masalah Kristologi, dialog itu
harus berkenaan dengan isu tentang apakah epistemologi modern dan filsafat
modern memperkenankan sebuah realitas tunggal dilihat dengan dua cara yang
berbeda tanpa menyebabkan apa yang tampak kepada pikiran modern sebagai
kontradiksi-kontradiksi logis. Dari sudut pandang filsafat tradisional, adalah
mungkin bahwa sebuah realitas tunggal --khususnya tatanan tujuan akhir
Kristus-- dilihat dengan dua cara oleh dua dunia yang berbeda, atau dari dua
perspektif agama yang berbeda, tanpa suatu kontradiksi inti (batini). Filsafat
Barat modern lah yang tidak memperkenankan hal seperti itu. Dengan menciptakan
suatu persesuaian yang tepat antara realitas yang dipahami dan pengetahuan
tentangnya, sementara menegasikan tingkatan-tingkatan yang terdiri dari banyak
bagian atau hirarki wujud yang bermacam-macam, filsafat Barat modern menolak
kemungkinan bahwa Tuhan didalam kekuatan dan kebijaksanaan-Nya yang tak
terbatas bisa menciptakan dua komunitas dunia besar yang memeluk dua pandangan
yang berbeda tentang tujuan duniawi Kristus. Seseorang dapat menafsirkan
Trinitas Kristen sebagai ketentuan Keesaan Ilahi, atau sebagai Nama-Nama Ilahi
dalam bentuk trinitarian, atau menawarkan interpretasi-interpretasi teologis
lain agar memuaskan orang-orang Muslim dan orang-orang Kristen, sekurangnya
orang-orang yang memahami perspektif metafisis dan yang memahami sudut pandang
esoterik. Tetapi ketika muncul pertanyaan tentang kehidupan Kristus, kehidupan
historisnya, pada tingkat fakta versi Kristen atau Islam lah yang dipegang.
Pada tingkat empiris orang tidak bisa memegang keduanya sekaligus, paling tidak
menurut kerangka epistemologi modern.
Sekarang,
Islam tidak akan pernah menerima bahwa Kristologi Islam adalah palsu. Dan
dengan mengatakan itu, orang dengan tegas menyatakan bahwa orang-orang Muslim
dengan demikian sangat berbeda dengan orang-orang Kristen anonim, yang
dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang Kristen oleh teolog-teolog Kristen
tertentu. Saya akan menjawab pertanyaan yang diajukan Hans Kung untuk orang
Muslim, jika secara rendah-hati saya dapat berbicara atas nama teman-teman yang
seagama dengan saya, dengan mengatakan bahwa teolog-teolog Kristen tertentu
menggolongkan orang-orang Muslim ke dalam orang-orang Kristen anonim tidak sama
dengan mengatakan bahwa orang-orang Muslim juga menggolongkan Kristus ke dalam
seorang Muslim anonim. jawaban Islam ialah bahwa orang-orang Muslim tidak
melakukan itu, Tuhanlah yang telah melakukannya (menjadikan Kristus sebagai
seorang Muslim). Adalah Dia yang mewahyukan kepada orang-orang Muslim sebuah
doktrin Islam tentang Kristus. jika ayat-ayat tertentu al-Qur'an seperti
ayat-ayat Surat Maryam adalah tidak benar, maka dengan kriteria apa,
orang-orang Muslim harus menerima ayat-ayat lain al-Qur'an? Jika ayat-ayat
tertentu al-Qur'an ditolak dengan cara argumen atau alasan ekstrinsik seperti
berteman dengan orang-orang Kristen, atau mencapai kedamaian dunia atau masuk
ke dalam Persatuan Bangsa-Bangsa, atau alasan-alasan duniawi lain walaupun itu
terpuji, maka sisa (ayat-ayat lain) al-Qur'an harus juga ditolak sebagai Firman
Tuhan. Saya amat keras dalam kritik ini karena hal tersebut sangat esensial.
Apa kebaikan yang akan dilakukan jika seorang pribadi seperti Hans Kung akan
menggunakan usaha-usahanya selama sepuluh tahun yang akan datang dengan mencoba
mengembangkan sebuah model untuk dialog dengan Islam yang tidak sesuai dengan
realitas apa pun pada sisi Islam?
Seluruh
persoalan tentang peranan Nabi dalam agama, oleh sebab itu, berhubungan dengan
pemahaman Islam tentang Tuhan sebagai kebenaran keagamaan langsung, yang
mengajar dan memerintah sendiri nabi-nabi-Nya. Jadi, adalah mungkin bahwa
sebuah realitas duniawi yang tunggal tidak menghabiskan seluruh realitas prototipe
Ilahi atau samawinya dan bahwa realitas duniawi yang lain dapat merefleksikan
aspek lain dari realitas model asli esensial yang tengah dipersoalkan. Di sini
saya akan menanggung risiko kritik dan ejekan sebagai seorang Muslim, dan
mengatakan bahwa manakala al-Qur'an menyatakan bahwa Kristus tidak disalib, ini
tidak harus berarti bahwa Tuhan tidak menginginkan segmen kemanusiaan lain
melihat realitas ini juga dengan suatu cara yang berbeda. Apa yang dimaksudkan
ialah bahwa cara pandang Islam terhadap Kristus meniadakan kemungkinan
penyalibannya. Fakta ini telah didiskusikan dan diperdebatkan secara teologis
selama berabad-abad. Sebuah tragedi besar bahwa tradisi Islam dalam
perbandingan agama sangat sedikit diketahui di dunia Barat. Teman saya dari India,
Veena Das, pernah menyinggung sesuatu seperti masalah ini yang berkaitan dengan
hubungan antara Islam dan Hinduisme.
Dalam
konfrontasi antara Islam dan Kristen, isu bahwa apa yang dikatakan Tuhan dalam
al-Qur'an mengenai Kristus diterima oleh orang-orang Muslim biasa sebagai
satu-satunya cara melihat Kristus, harus diberikan pertimbangan pertama,
sebagaimana fakta bahwa perkataan "Aku adalah jalan, kehidupan, dan
kebenaran" diterima oleh orang-orang Kristen biasa dengan makna bahwa
Kristus Kristen adalah satu-satunya jalan, satu-satunya kehidupan, dan
satu-satunya kebenaran. Harus disadari bahwa pandangan Islam atau Kristen tidak
menghabiskan kemungkinan-kemungkinan realitas "Kristik"
("Kekristusan") di alam semesta yang lain seperti yang dikehendaki
Tuhan. Persoalan di sini bukanlah menerima bahwa Kristologi Islam diciptakan
dari sisa-sisa pandangan dari sejumlah kecil komunitas Timur yang oleh Nabi
Muhammad dipilih, dikumpulkan dan selanjutnya dibuat sebagai Kristologi
al-Qur'an. Kristologi al-Qur'an, sebagaimana dikatakan Kung dengan cukup benar,
sesuai. sepenuhnya dengan seluruh teologi Islam dan itu sebenarnya adalah
bagaimana Tuhan menginginkan orang-orang Muslim melihat Kristus. jadi,
sederhana saja. Apakah lalu Kristologi al-Qur'an ini menghabiskan realitas
Kristus atau tidak, al-Qur'an tidak menerangkan-nya, tetapi al-Qur'an
meninggalkan pintu terbuka sedemikian rupa agar memungkinkan suatu persesuaian
antara dua agama ini tanpa merusak arti teks pesan tertulis al-Qur'an itu.
Ini sama
dengan persoalan al-Qur'an sebagai Firman Tuhan. Artikel terkenal Wilfred
Cantwell Smith, "Is the Koran the Word of God?", tentu saja merupakan
esei yang sangat menantang bagi standar karya akademis Barat dan bagi para
teolog Barat yang menyibukkan diri dengan isu utama ini. Tetapi sebenarnya
persoalan ini adalah bahwa orang tidak dapat menyamakan dua sisi keseimbangan.
Cantwell Smith mengatakan bahwa sarjana Barat harus memberi sedikit dan sarjana
Muslim harus memberi sedikit, sehingga dalam suatu keadaan mereka berdua bisa
bertemu. Sarjana Barat akan mengatakan bahwa al-Qur'an boleh jadi merupakan
Firman Tuhan, dan orang Muslim akan mengatakan bahwa al-Qur'an diilhami tanpa
semuanya merupakan Firman Tuhan kata demi kata. Ini bukanlah cara yang akan
dilakukan. Persoalannya adalah apakah al-Qur'an itu Firman Tuhan atau bukan
Firman Tuhan. Dalam dialog yang manapun saya pikir sungguh penting membawa
sikap Muslim kepada persoalan ini. Apakah seseorang adalah Sunni atau Syi'i,
Wahhabi atau Sufi, atau bahkan anggota kelompok kecil seperti cabang
Isma'iliyah, tentang isu ini sebenarnya tidak ada perbedaan di antara
orang-orang Muslim sama sekali.
Sekarang
izinkan saya kembali kepada pembicaraan Kung tentang unsur-unsur yang sama
antara Islam dan Kristen. Meskipun tidak sepenuhnya menuruti susunan yang
logis, saya harus kembali pada persoalan Kristus dan Qur'an karena persoalan
ini sesuai dengan apa yang telah saya katakan mengenal al-Qur'an. Kung menyebut
empat hal dasar. Pertama, ia mengatakan bahwa Islam dan Kristen sama-sama mempunyai
ide keesaan Tuhan. Saya sepenuhnya setuju, terlepas dari fakta masih ada
teolog-teolog Islam, bahkan pembawaan agung al-Ghazali dalam sebuah bukunya
yang termasyhur tentang Injil-Injil, yang telah menginterpretasikan Trinitas
Kristen sebagai tiga tuhan Orang-orang Muslim biasanya tidak mempercayai bahwa
Tuhan Kristen terdiri dari Tuhan, Maria dan Kristus. Saya tidak tahu siapa di
antara para sarjana Muslim yang bilang begitu itu pada Kung. Bagaimanapun juga,
ini sebenarnya adalah pendapat minoritas tentang tatslits atau Trinitas, ini
bukanlah interpretasi Muslim yang umum tentang Trinitas Kristen dan bukan
begitu secara historis. Tetapi Trinitas Kristen sebagaimana biasanya dipahami,
yang terdiri dari Bapak, Anak dan Roh Kudus, meski dikritik oleh seorang
manusia seperti al-Ghazali yang adalah teolog dan Sufi, dipahami oleh banyak
ahli metafisika Sufi sebagai tiga hipostasis yang tidak merusak keesaan Tuhan.
Isu ini, bagaimanapun juga, bukan problema besar antara Islam dan Kristen.
Banyak sekali rujukan yang bisa diperoleh dari pemikir-pemikir terbesar baik
madzhab Sunni maupun Syi'i yang berhubungan dengan isu ini. Dan banyak puisi
berbahasa Persia dan Arab yang menunjukkan, lewat bahasa puitik yang indah,
fakta bahwa Trinitas Kristen selamanya sama dengan tiga aspek ilahi yang
berbeda. Saya tidak mengatakan bahwa penjelasan-penjelasan ini tentang Trinitas
secara sempurna sesuai dengan, katakan saja, interpretasi-interpretasi
Augustinian maupun Thomistik tentang Trinitas. Tetapi saya setuju dengan Kung
bahwa pendapat mengenai Tuhan yang esa merupakan titik persesuaian yang
mendominasi dan sentral antara kedua agama ini, Islam dan Kristen.
Terhadap
klaim Kung bahwa orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim percaya kepada
Tuhan sebagai Tuhan historis, saya tanggapi dengan ungkapan negatif. Banyak
sarjana Barat terus menulis bahwa Islam, seperti Yahudi dan Kristen, adalah
sebuah agama historis. jika seseorang memaksudkan hal tersebut adalah bahwa
Islam mempunyai permulaan dalam sejarah, ya; bahwa Islam sendiri tertarik pada
sejarah keagamaan, ya; bahwa apa yang kita lakukan dalam sejarah mempengaruhi
entelechry kita, tujuan akhir kita, ya; karena setiap orang Muslim meyakini
bahwa apa pun yang kita lakukan di sini akan mempengaruhi kita di saat kematian,
dan di akhirat.
Tapi,
tentang semua yang telah dikatakan tadi, harus diingat bahwa masih terdapat
perbedaan yang sangat besar. Pertama, di dalam Islam, sejarah tidak dipandang
sebagai yang mempengaruhi sifat Tuhan. Tuhan tidak menginkarnasi dalam sejarah.
Allah tidak berubah. Apa yang terjadi dalam sejarah adalah karena Kehendak
Tuhan dan tidak mempengaruhi Sifat-Nya. Dengan begitu, makna sejarah dalam
Islam sama sekali tidak sama dengan makna sejarah sebagaimana dalam Kristen.
Bahkan sejarah suci yang lazim dalam Islam, Kristen dan Yahudi, diperlakukan
dengan cara yang sepenuhnya berbeda di dalam al-Qur'an. Al-Qur'an lebih tidak
peduli pada signifikansi historis sejarah suci ketimbang Bibel, dan lebih
tertarik pada signifikansi moral peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam
sejarah. Al-Qur'an menceritakan kisah-kisah para nabi agar kita memetik
pelajaran moral. Ia amat tidak tertarik pada persoalan siapa yang datang
sebelum siapa, atau siapa yang datang sesudah siapa. Ini adalah sebuah hal
penting dalam dialog sekarang ini antara Islam dan Kristen. Sementara Kristen,
paling tidak Kristen Barat sekarang, mempunyai sebuah kesadaran kuat terhadap
momen tertentu dalam sejarahnya sendiri, dan mengambil "waktunya"
dengan serius sekali, Islam sama sekali tidak mengambil hal itu dengan serius,
sejauh menyangkut signifikansi teologis sejarah. Inilah salah satu alasan
kenapa begitu banyak prediksi yang dibuat di universitas [Harvard] yang
termasyhur ini tiga puluh tahun lalu saat saya sebagai mahasiswa di sini dengan
beberapa sarjana Islam lain yang terkemuka di dunia Barat yang tertarik pada
masa depan Islam semuanya menjadi salah, masing-masingnya salah.
Prediksi-prediksi seperti itu didasarkan pada semacam penjelasan historis yang
sama sekali tidak bertalian dengan realitas waktu dan sejarah bagi dunia Islam.
Oleh sebab itu, saya harus menyatakan dengan tegas berkenaan dengan isu kedua
ini bahwa terdapat perbedaan-perbedaan besar dalam arti "historis" di
dalam konteks Islam dan Kristen Barat.
Menyangkut
hal ketiga, yaitu bahwa baik dalam Islam maupun Kristen, Tuhan adalah wujud
yang kepadanya manusia berdo'a (tentu saja di sini dengan "manusia"
saya maksudkan homo dan bukan vir [lelaki], karena itu, lelaki atau perempuan
berdo'a), saya sependapat sepenuhnya dengan Kung dengan satu kualifikasi. Dalam
konteks sekarang dua agama ini, mengingat adanya fakta bahwa orang-orang Muslim
dan orang-orang Kristen berdo'a, jika anda, bertanya pada saya apakah perbedaan
dalam sikap, saya akan menjawab bahwa pada tingkat do'a individual mereka
(orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim) adalah sama. Orang-orang Kristen
dan orang-orang Muslim berdo'a dan kedua agama ini menekankan do'a individual
kepada Tuhan sebagai Tuhan yang mendengar do'a kita. Mengenai do'a Kanonikal
(resmi, menurut undang-undang gereja), ia mempunyai peranan yang sama bagi
orang-orang Muslim sebagaimana misa bagi orang-orang Kristen. Sebenarnya kedua
do'a itu adalah upacara keagamaan ekstra individual yang melampaui tingkat do'a
individual terhadap Tuhan. Bagaimanapun, ada sebuah tipe do'a yang tidak
sama-sama dimiliki oleh kedua agama ini pada momen sekarang dari sejarah
keduanya, meskipun pada suatu waktu (di masa lalu) tipe do'a itu adalah lazim
baik di Barat maupun di Timur. Itulah yang disebut do'a interior, do'a hati,
atau do'a inti yang penting dalam Islam. Itulah.yang membuat banyak perbedaan
dalam sikap terhadap do'a, dan arah do'a diintegrasikan ke dalam kehidupan
sehari-hari. Saya hanya ingin mengatakan hal ini sambil lalu saja.
Akhirnya,
ada isu tentang Tuhan sebagai kasih, dan saya senang sekali Kung telah
mengungkap isu ini. Penting diingat bahwa Tuhan dalam Islam bukan hanya Tuhan
keadilan, sebagaimana cukup kerap dikatakan, tetapi juga Tuhan kasih. Dalam
konteks ini, hal yang telah disebut, yaitu bahwa orang-orang Kristen yang
berbahasa Arab juga menggunakan nama Allah, adalah penting. Nama Allah adalah
nama yang disucikan oleh wahyu al-Qur'an, tetapi tidak mentiadakan konsepsi
Kristen tentang Tuhan, seperti diceritakan oleh setiap orang Arab Kristen
kepada anda. Buku-buku tebal penuh pengetahuan yang telah ditulis dalam
bahasa-bahasa Eropa tentang Islam mengakui bahwa Islam hanya menekankan
keadilan Tuhan. Sebenarnya orang-orang Muslim menekankan bahwa Allah adalah
kasih dan bahkan pengasih sebelum menjadi adil, dan Dia adalah sumber semua
cinta sehingga orang-orang Kristen dapat mengatakan "Allah" dan
memikirkan ajaran-ajaran Kristus tentang Tuhan.
Sebelum
mengakhiri pembicaraan ini, saya ingin kembali pada isu penting lain. Ada
banyak hal menjelang akhir esai Kung yang menurut hemat saya tak ada orang
Muslim yang pernah menerimanya, dan karena saya telah berjanji menjadi seksama,
maka saya harus menyebut hanya beberapa saja. Salah satu dari hal ini perlu
ditekankan secara khusus, dan itu adalah persoalan tentang al-Qur'an yang
mengandung tradisi-tradisi yang menyesatkan. Dari sudut pandang apa yang saya
katakan tentang makna al-Qur'an bagi orang-orang Muslim, tak seorang Muslim pun
akan menerima pernyataan seperti itu dan dapat mengadakan sebuah dialog.
Seseorang mungkin menginterpretasikan suatu bagian tertentu al-Qur'an dengan
cara-cara yang berbeda. Al-Qur'an mempunyai banyak tingkat makna. Itulah kenapa
menjadi mungkin bagi filsuf Peripatetik terbesar pada Abad Pertengahan, yaitu
Ibn Sina, menulis sebuah tafsir tentang ayat yang sama (Ayat Cahaya [ayat
al-Nur] yang pertama kali ditafsirkan oleh Ibn Sina) seperti al-Ghazali,
pengkritik Ibn Sina yang mengikuti model Ibn Sina tapi menentangnya. Realitas
yang mereka miliki bersama adalah ayat al-Qur'an tadi (Ayat Cahaya). Persoalan
tentang tradisi-tradisi yang menyesatkan dalam al-Qur'an adalah palsu dan tidak
ada orang Muslim, apa pun madzhabnya, yang akan menerima pernyataan seperti
itu.
Hal kedua
berkaitan dengan ide penolakan terhadap Kristus yang telah ada sejak azali dan
keseluruhan ide Logos yang telah ada sejak azali dalam Injil Keempat Johanes.
Itu hanyalah menafsirkan aspek-aspek tertentu dari pemikiran Islam. Doktrin
bahwa segala sesuatu telah ada sejak azali di "tangan" Tuhan
diteguhkan oleh ayat al-Qur'an bi yadih-i malakut-u kulh syay' (di tangan Tuhan
realitas arketipal segala sesuatu), bagaimanapun anda ingin menterjemahkan
malakut sebagai arketip-arketip, akar-akar, atau asal-usul segala sesuatu.
Doktrin ini diambil alih kemudian oleh metafisika Islam seperti dikembangkan
khususnya oleh Sufisme yang menekankan ide tentang Logos yang telah ada sejak
azali. Tentu saja ide ini tidak asing bagi pemikiran Islam, secara tulus
ikhlas. Kung menekankan unsur-unsur Kristen-Yahudi dalam Kristen perlu dalam
dialog mana saja dengan bentuk Arab-Semitik-Ibrahimiyah dalam Islam. Tetapi
keseluruhan perkembangan Kristen Eropa, baik Jerman maupun Latin, dan teologi
yang jelas-jelas mesti bersesuaian dengan suatu kebutuhan (bagi yang lain, ia
tidak berkembang dan orang-orang Kristen tidak menerimanya selama dua ribu
tahun) mempunyai kesesuaian dengan perkembangan teologis Islam yang luas pada
kasus orang-orang Arab dan Indo-Eropa lain. Secara khusus itu jelas pada kasus
orang-orang Persia dan India yang termasuk keturunan etnik yang sama dengan
orang-orang Eropa, dan mempunyai jenis kekuatan-kekuatan spekulatif sama yang
terlihat dalam filsafat dan teologi Islam. Kita menginginkan separuh lain dari
Kristen yang diidentifikasi Kung dengan dirinya dapat sebenarnya berdialog
dengan Islam, termasuk dialog tentang pra-eksistensi (keazalian) Kristus
sebagai Logos dan juga Realitas Muhammad (al-haqiqah al-muhammadiyyah) dari
para Sufi.
Akhirnya,
saya ingin mengakhiri pembicaraan ini dengan persoalan legalisme dan hukum yang
dibicarakan Kung. Islam telah mengakui Kristus sebagai nabi cinta, seorang nabi
yang menentang legalisme. Ini bukanlah tidak diketahui dalam Islam. Siapa pun
yang mempunyai sedikit saja kontak dengan, misalnya, Diwan Hafiz yang dimiliki
oleh setiap ahli pidato Persia di setiap rumah, mengetahui semua ayat Diwan
tentang Kristus sebagai nabi Spirit (Roh), sebagai nabi Jalan (Tarekat,
Tasawuf), karena ia memecahkan cetakan legal (hukum). Ini bukan sesuatu yang
asing bagi orang-orang Muslim. Bagaimanapun juga, kebenaran itu di mata Muslim
tidak meniadakan signifikansi hukum pada tingkatnya sendiri. Salah satu
problema utama dialog antara Kristen dan Islam tepatnya adalah kesulitan besar
yang dimiliki oleh banyak sarjana Kristen dalam memahami fakta bahwa hukum
tidak hanya formalisme yang diserang Kristus dan bahwa dalam suatu pengertian
Islam memadukan (menggabungkan) formalisme Musa terhadap hukum dengan sikap
"Kristik" ("Kekristusan") dalam menghancurkan kerangka
hukum "dari atas" ketika memuji-muji hukum sebagai yang amat suci dan
abadi pada tingkatnya sendiri. Kemungkinan-kemungkinan dialog sangat dirasakan
di sini. Tetapi serangan melawan syari'ah , melawan formalismenya, bahkan
melawan keputusan-keputusannya, adalah benar-benar sulit diterima oleh seorang
Muslim sebagaimana sulit diterima oleh seorang Yahudi ortodoks bila seorang
menyerang keputusan-keputusan hukum yang dia anggap suci. Sebenarnya ketiadaan
pemahaman tentang realitas Taurat sebagai Taurat abadi dan tentang hukum abadi
Yahudi ortodoks hampir sama besarnya (seperti) dengan yang terjadi bagi Islam.
Waktu saya
habis. Seluruh kritik ini telah dikemukakan, namun saya ingin berterima kasih
pada Hans Kung, meskipun masih banyak ketidaksetujuan saya dengan dia, atas
isu-isu krusial yang dikemukakannya. Saya berharap pertemuan ini menjadi
langkah awal yang diambil untuk keluar dari formalisme pertukaran-pertukaran
dan kata-kata hambar diplomatis dan untuk mempunyai pertukaran-pertukaran
serius yang saya harap akan membawa isu-isu yang harus dihadapi secara terbuka
dan dipecahkan. Saya ingin mengakhiri pembicaraan ini dengan pernyataan yang
saya dengar dari seorang teman Kristen yang terhormat, ketika gerakan ekumenis
sekarang ini dimulai. Ia mengatakan, "Mari kita berkumpul dan membuat
motto 'Wahai, seluruh kekuatan dunia anti-ekumenis, bersatulah'."
Satu-satunya dialog keagamaan yang berharga di mata Tuhan ialah dialog yang
tidak mengorbankan atas nama kebijakan pada tingkat kemanusiaan, meskipun itu
kedamaian duniawi, yang dinyatakan-Nya dalam setiap agama.
Related Posts:
Agama
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :