Selasa, 23 April 2013
Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan
Nurcholish Madjid
A. Mukadimah
Untuk
kesekian kalinya kita akan coba bahas hubungan agama dan politik dalam Islam.
Ibaratkan menimba air Zamzam di Tanah Suci, pembicaraan tentang masalah ini
tidak akan ada habis-habisnya. Pertama, disebabkan kekayaan sumber bahasan,
sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam
membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga
setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa
pintu pendekatan yang terbatas. Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak
saja kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan
diri terjerembab ke dalam reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan
persoalan. Ketiga, pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya
akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau-tak-mau melibatkan
pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum
Muslim sendiri.
Sekali
pun begitu, dorongan untuk terus melakukan pembahasan tentang masalah ini tetap
dirasakan penting dan punya relevansi dengan perkembangan zaman. Tidak saja
Dunia Islam sekarang mengenal berbagai sistem politik yang berbeda-beda, jika
tidak malah bertentangan, satu sama lain. Lebih penting lagi, seperti tercermin
dalam berbagai tema pembicaraan pertemuan internasional Islam, baik swasta
maupun pemerintah, kaum Muslim kini semakin sadar diri tentang perlunya memberi
jawaban yang benar dan konstruktif terhadap tantangan zaman mutakhir. Harapan
untuk dapat melakukannya dengan baik antara lain akan tumbuh jika ada kejelasan
tentang persoalan yang amat prinsipil, yaitu persoalan hubungan yang benar
antara agama dan politik dalam Islam.
Kebanyakan
masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara
agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya
terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis
dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shahib al-syari'ah (pemilik
syari'ah), yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya
dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang kemanusiaan,
khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan
prosedural. Dalam hal ini, besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia.
Persoalan
penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang kehidupan
"duniawi" mana pun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya segi tujuan
yang merupakan jawaban atau pertanyaan "untuk apa" tidak dibenarkan
lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya pertimbangan
nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik bermoral tinggi
atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari
agama. Tetapi dalam hal susunan formal atau strukturnya serta segi-segi praktis
dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya
(yang dapat dipandang sebagai suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik
dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik
itu, Dunia Islam sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa
dan dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara
doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).
Hubungan
antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu dengan jelas sekali
terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad s.a.w. selama sekitar sepuluh tahun
di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci (sebagai
Nabi) dan seorang pemimpin masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam
menjalankan peran sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak
boleh dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci.
Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau
melakukan musyawarah --sesuai dengan perintah Allah-- yang dalam musyawarah itu
beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapat
pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat
itu pada dasarnya beliau melakukan ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad
beliau hampir selamanya merupakan yang terbaik di antara para anggota
masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi
keunggulan kemampuan pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan
memang banyak diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam,
bahwa beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan
tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di pihak
lain telah membuat Nabi Muhammad s.a.w. seorang tokoh yang paling berhasil dalam
sejarah umat manusia.[i]
B. Tinjauan Sekilas atas Masyarakat Madinah
Pembicaraan
tentang agama dan politik dalam Islam tidak sepenuhnya absah tanpa pembicaraan
tentang masyarakat Madinah, khususnya di masa Nabi. Ini pun bukanlah suatu
pembicaraan baru, meskipun di sini akan dicoba tekankan segi-segi tertentu yang
dirasa paling relevan dengan persoalan kontemporer Islam dan politik.
Sejarah
mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur
sekitar empatratus kilometer sebelah utara Makkah. Kota itu dihuni orang-orang
Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan orang-orang
Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-suku utama Bani Nazhir, Bani Qaynuqa' dan
Bani Qurayzhah. Kota oase itu agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup
jauh, dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Ptolemius, Yethroba.
Yang
sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan Nabi
s.a.w. untuk mengganti nama kota itu menjadi Madinah. Tindakan Nabi itu
bukanlah perkara kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan
mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik jazirah Arabia
dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara peristilahan atau
semantis, perkataan Arab "madinah" berarti kota. Pengertian itu tidak
jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat ditelusuri
kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu "d-y-n" (dal-ya'-nun),
dengan makna dasar "patuh", sebagaimana dinyatakan dalam tasrif
dana-yadinu. Dan situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk
"agama" ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan
atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut
"agama" itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada
sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup. Agama
dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang benar dan yang palsu.
Sebagian manusia menganut agama yang benar, sebagian lagi tidak.[ii]
Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha
Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa.
Kepatuhan penuh pasrah kepada-Nya itu disebut,
dalam Bahasa Arab, Islam, yang makna asasinya terkait dengan kata-kata salam
(damai), salamah atau salamat-un (selamat) dan salim (utuh, integral, sound).
Karena itu kepatuhan atau dan yang benar ialah Islam, dan yang merupakan pola
hidup (mode of life) penghuni seluruh alam raya,[iii]
bahkan alam raya itu sendiri juga,[iv]
yang seharusnya juga merupakan sikap hidup yang benar-benar bagi manusia
sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul sepanjang masa.[v]
Karena kepatuhan serupa itu merupakan "hukum alam" (lebih tepatnya,
ketentuan atau taqdir Tuhan bagi seluruh alam, ciptaan-Nya), maka tidak
melaksanakan islam adalah sikap tidak alamiah dan tidak wajar dengan segala
akibatnya atas orang bersangkutan. Karena itu dengan sendirinya tertolak.[vi]
Sekali
pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab "din" itu sama
prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta "agama". Sebab kalangan
ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian "a-gama"
yang berarti. "tidak kacau", yakni, teratur atau berperaturan.
("Agama" dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara
lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal, Negara Kertagama).
Kembali
ke perkataan "madinah" yang digunakan Nabi s.a.w. untuk menukar nama
kota hijrah beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam
proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu
masyarakat teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat.
Maka sebuah konsep, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang
ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan
atau hukum.
Karena
itu perkataan Arab untuk peradaban ialah madaniyah, yang memiliki dasar
pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun
bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae (juga "polisi").
Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang
disebut "kota" (city, polis). Dalam konteks jazirah Arabia, konsep
peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu
tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadlarah) di
tempat itu. Maka, masih dalam peristilahan Arab, tsaqafah menjadi berarti
"kebudayaan", dan hadlarah menjadi berarti "peradaban",
sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah dan hadlarah ialah badawah yang mempunyai
makna peristilahan "hidup berpindah-pindah" (nomadism) dan makna
kebahasaan "(tingkat) permulaan" (bidayah, alis "primitif'').
Karena itu "orang kota" disebut ahl al-hadlar atau hadlari dan
"orang kampung" disebut ahl al-badawah atau badawi, juga badwi (badui).
Kaum "badui" Juga sering disebut al-A'rab yang secara semantis
berbeda makna dari perkataan al-'Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata
yang sama. Dalam al-Qur'an mereka yang disebut al-A'rab itu digambarkan sebagai
golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan.[vii]
Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi s.a.w.
hanya sampai kepada batas kepatuhan lahiriah, tanpa kedalaman iman. Dalam
al-Qur'an terbaca firman yang memerintahkan Nabi untuk mengingatkan bahwa
mereka itu baru "berislam" (secara lahiriah), karena iman belum masuk
ke dalam hati mereka.[viii]
C. Hukum dan Keadilan sebagai Sokoguru Peradaban
Pendekatan
kebahasaan yang cukup jauh di atas itu kiranya dapat membantu memperjelas
pandangan-pandangan dasar masyarakat yang dijiwai oleh semangat ajaran agama.
Sebab banyak sekali kejelasan tentang suatu sistem konsepsual yang dapat
diperoleh dari pemahaman yang tepat terhadap kata-kata kunci jaringan
peristilahannya. Pengetahuan tentang sesuatu didapatkan antara lain dengan
memahami secara baik deretan nomenklaturnya.
Dari
uraian di atas itu telah tampak hubungan antara agama dan politik, yaitu
hubungan pengawasan dari atas oleh agama terhadap wilayah kehidupan
sosial-politik di bawahnya, sehingga tetap dibimbing oleh pertimbangan akhlak
yang mulia. Dengan demikian kegiatan duniawi itu memiliki pijakan etis yang
kukuh, karena dikaitkan dengan pandangan hidup yang paling mendasar, yaitu
keimanan.
Pembahasan
kebahasaan di atas juga menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada
hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat beradab. Manusia adalah
makhluk sosial (zoon politicon, al-insanu madaniyun bi al-thab'i), sehingga
tidak mungkin hidup dengan baik dalam isolasi. Dan persyaratan kehidupan sosial
ialah adanya peraturan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Peraturan itu dapat
berupa ajaran keagamaan yang bersumber dari wahyu Ilahi, dapat pula dari hasil
perjanjian antara sesama anggota masyarakat. Masyarakat beradab harus
menghormati dan menaati perjanjian-perjanjian itu,[ix] sama dengan keharusan menghormati dan mentaati perjanjian
antara manusia dengan Tuhan, yaitu ajaran agama.[x]
Itu sebabnya dalam al-Qur'an ada peringatan bahwa kezhaliman tiranik akan
muncul dari orang yang gaya hidupnya egoistis, kehilangan kesadaran sosial
karena merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak perlu kepada orang lain.[xi]
Sikap-sikap mengabaikan dan melanggar hukum serta aturan adalah tiranisme
(thughyan) yang dalam berbagai kisah dalam al-Qur'an digambarkan sebagai
permusuhan kepadaAllah.[xii]
Dalam
hal keteguhan berpegang kepada hukum dan aturan itu masyarakat Madinah pimpinan
Nabi s.a.w. telah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah
Allah kepada siapa pun agar menunaikan amanat-amanat yang diterima dan
menjalankan hukum aturan manusia dengan asli,[xiii]
masyarakat Madinah adalah masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat
kepastian yang sangat tinggi. Kepastian itu melahirkan rasa aman pada
masyarakat, sehingga masing-masing warga dapat menjalankan tugasnya dengan
tenang dan mantap, tanpa kuatir akan berakhir dengan hasil yang berbeda dari
harapan secara merugikan. Kepastian hukum itu pangkal dari paham yang amat teguh
bahwa semua orang adalah sama dalam kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan
keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu,
satu dari yang lain.
Ajaran
tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil "tanpa pandang bulu"
banyak ditegaskan dalam Kitab Suci, bahkan, disebutkan sekali pun harus menimpa
kedua orang tua sendiri dan karib kerabat.[xiv]
Dan Nabi juga menegaskan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena
jika "orang kecil" melanggar pasti dihukum, sedangkan bila yang
melanggar itu "orang penting" maka dibiarkan berlalu.[xv]
Dalam
rangka menegakkan aturan dan hukum atas semua warga masyarakat Madinah itu,
Nabi s.a.w. juga diperintahkan Allah untuk mendorong dan mewajibkan
kelompok-kelompok non-Muslim melaksanakan ajaran hukum mereka, sesuai dengan
prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial yang beliau kembangkan.
Maka kaum Yahudi warga Madinah diwajibkan menegakkan hukum Taurat, demikian
pula kaum Nasrani dengan Injil mereka, disertai penegasan bahwa jika mereka
tidak melakukan hal itu, mereka tidaklah beriman (kepada agama mereka sendiri).[xvi]
Berkenaan dengan ini menurut Ibn Taymiyah, kaum Salaf bahkan berpendapat bahwa
ketentuan hukum dan ajaran dalam kitab-kitab suci yang terdahulu tetap berlaku
untuk umat Islam, selama tidak jelas-jelas ketentuan-ketentuan itu telah
diganti atau dihapus oleh ajaran berikutnya.[xvii]
Bahkan konsep tentang "hapus-menghapuskan" ini, menurut Ibn Taymiyah,
tidak hanya terjadi dalam konteks deretan datangnya agama-agama, tapi juga
dalam konteks perkembangan dalam agama itu sendiri.
D. Islam dan Politik Modern
Salah
satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara
hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat).
Dalam konteks pengalaman negara-negara Eropa, ide itu merupakan pembalikan dan
perlawanan terhadap kecenderungan dan pola yang sangat umum di sana sebelum
zaman modern, berupa kekuasaan absolut raja-raja dan para penguasa agama.
Seperti halnya dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan yang lebih rasional
dan manusiawi (seperti ilmu pengetahuan dan wawasan kemanusiaan atau
humanisme), bangsa-bangsa Barat baru mulai benar-benar mengenal ide dan praktek
tentang negara hukum dari pengetahuan mereka tentang Dunia Islam. Saat
akhir-akhir ini bermunculan berbagai tulisan hasil kajian ilmiah yang
menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban Islam merembes dan mempengaruhi
Barat, yang kemudian berhasil menerobos zaman, memasuki sejarah modern.
Beberapa
kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan perbedaan antara
"modernisme" dan "modernitas". Yang pertama berkonotasi
kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir ini sebagai "kebijakan
final" umat manusia, perwujudan terakhir proses panjang sejarah
pertumbuhan dan perkembangan peradaban. jadi "modernisme", sebagai
"isme", mendekati ketentuan tentang sebuah ideologi tertutup, sama
dengan sekularisme, rasionalisme, dan lain-lairi.
Sedangkan
"modernitas" adalah suatu ungkapan tentang kenyataan mengenai hidup
zaman mutakhir ini, dalam pengertian positif dan negatif yang campur aduk,
dengan pendekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik. Misalnya, dalam bidang-bidang
yang menyangkut masalah teknikalitas, pengorganisasian, pengelolaan dan
produksi, zaman sekarang adalah benar-benar puncak kemampuan umat manusia yang
tingkat peradabannya dengan zaman-zaman sebelumnya tidak lagi terlukiskan
menurut deret hitung, melainkan menurut deret ukur dengan angka faktor yang
sangat besar. Tetapi, tentang kesadaran moral dan rasa kesucian yang benar
(yang bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak menunjukkan
tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman sebelumnya. Kesadaran moral dan rasa
kesucian, dalam maknanya yang paling hakiki, merupakan masalah kemanusiaan yang
abadi dan perennial. Dalam beberapa hal, zaman modern sekarang menunjukkan
segi-segi pelaksanaan yang lebih baik daripada zaman sebelumnya, tapi dalam
beberapa hal lain justru lebih buruk. Penampilan kemanusiaan yang paling kejam
dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa modern (Barat),
berupa pemerosotan harkat dan martabat kemanusiaan orang-orang Afrika menjadi
budak-budak yang hanya sedikit sekali berada di atas binatang (Portugis punya
peranan besar sekali di bidang ini), pemburuan dan pembunuhan orang-orang
Aborigines untuk kesenangan dan cendera mata orang-orang kaya Eropa (!) dan
pengisi museum antropologi mereka (Republika, 19 Maret 1998), pembersihan etnis
dan genosida oleh bangsa-bangsa ("modern") Jerman dan Serbia,
pendirian dan penegakan sebuah negara atas dasar mitos dan dongeng keagamaan
(oleh kaum Yahudi) dengan merampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan
seterusnya. Dalam masalah-masalah ini, reputasi bangsa-bangsa Muslim adalah
supreme, amat jauh mengatasi bangsa-bangsa "modern" tersebut, biar
pun dalam fase sejarah Dunia Islam yang paling rendah.
Oleh
karena itu sebenarnya posisi umat Islam menghadapi modernitas itu tidaklah
terlampau sulit. Di luar masalah kejiwaan (orang Islam cenderung merasa minder,
kemudian menutup diri dan menjadi agresif, karena secara keliru merasa
terkalahkan oleh orang Barat), yang dihadapi umat Islam tidak lain ialah,
tantangan bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai keislaman
klasik (salaf) yang murni dan menterjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu
yang ada. Sebab, seperti diamati dan telah menjadi pengakuan kesarjanaan
mutakhir, dari semua sistem ajaran, khususnya agama, yang secara sejati dilihat
dari sudut semangat dan jiwa ajaran itu sendiri, Islam adalah yang paling dekat
dengan segi-segi positif zaman modern. Ernest Gellner, misalnya, mengatakan
bahwa hanya Islamlah dari semua agama yang ada yang esensi ajarannya tetap
relevan dengan tuntutan segi positif modernitas, dan yang proses ke arah itu
tidak harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada
desakan-desakan luar, tetapi justru dengan kembali ke asal dan mengembangkan
nilai-nilai asasinya sendiri.[xviii]
Di sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi.
Wa
'l-Lah-u a'lam.
[i] Misalnya, sebagaimana ditulis
oleh Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh dunia, yang sudah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
[ii] Lihat Q., s. al-Tawbah/9:29.
[iii] Lihat Q., s. Alu' Imran/3:83.
[iv] Lihat Q., s. Fushshilat/41:11.
[v] Lihat Q., s. Alu' Imran/3:84.
[vi] Lihat Q., s. Alu' Imran/3:85.
[vii] Lihat Q., s. al-Tawbah/9:97.
[viii] Lihat Q., s. al-Hujurat/49:14.
[ix] Lihat Q., s. al-Baqarah/2:177.
[x] Lihat Q., s. al-Nahl/16:91.
[xi] Lihat Q., s. al-'Alaq/96:6-7.
[xii] Prototipe tokoh tiran (thaghut)
yang memusuhi Tuhan ialah Fir'awn, yang ceritanya dituturkan berulang kali dalam
al-Qur'an.
[xiii] Lihat Q., s. al-Nisa'/4:85.
[xiv] Lihat Q., s. al-Nis'a'/4:135.
[xv] Hadits yang artinya:
"Sebenarnya hancur mereka sebelum kamu karena mereka menegakkan hukum atas
rakyat jelata dan meninggalkan hukum atas orang besar. Demi Dia -Allah- jiwaku
ada di Tangan-Nya, seandainya Fathimah berbuat jahat maka pasti aku potong
tangannya". (Hadits Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah,
Nasa'i, Ahmad, dan Darimi).
[xvi] Prinsip pluralisme dan otonomi
kelompok-kelompok sosial keagamaan yang berbeda-beda (non-Muslim) itu
dibeberkan dalam deretan ayat-ayat suci Q., s. al-Ma'idah/5:42-49.
[xvii] Penegasan yang amat menarik dari
Ibn Taymiyah itu dapat dibaca dalam beberapa tulisannya, antara lain, dapat
dilihat dalam Ibn Taymiyah, al-Jawab al-Shahih li man Baddala Din al-Masih
(Beirut: Mathabi' al-Majd al-Tijariyah, tth.), juz 1, h. 37l-375). Lihat juga
Ibn Taymiyah, al-Furqan bayn-a 'l-Haqq wa 'l-Bathil (Damsyiq: Maktabah Dar
al-Bayan, 1405 H/1985 M), h. 67-69.
[xviii] "... Only Islam survives as
a serious faith pervading both a folk and a Great Tradition. Its great
Tradition is modernisable; and the operation can be presented, not as an
innovation or concession to outsiders, but rather as the continuation and
completion of an old dialogue within Islam ... Thus in Islam, and only in
Islam, purification/modernization on the one hand, and the reaffirmation of a
putative old local identity on the other, can be done in one and the same
language and set of symbols." (Ernest Gellner, Muslim Society, [Cambridge:
Cambridge University Press, 1981], h. 4).
Related Posts:
Agama Politik
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :