Selasa, 23 April 2013
Sebuah Model Dialog Kristen-Islam
Hans Kung
(University of Tubingen, Tubingen, Jerman Barat)
Sajian
khusus nomor perdana jurnal ini menurunkan dua artikel. Artikel pertama ditulis
oleh Hans Kung berjudul "Christianity and World Religions: The Dialogue
with Islam as One Model." Artikel kedua ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr berjudul
"Response to Hans Kung's Paper on Christian-Muslim Dialogue." Mulanya
kedua tulisan tersebut disampaikan pada pertemuan pertama Harvard Divinity
School's Jerome Hall Dialogue Series, yang diadakan pada tanggal 16 0ktober
1984, yang kemudian dimuat dalam The Muslim World Vol. LXXVII, No. 2 (April
1997), h. 80-105. Kedua artikel tersebut diterjemahkan oleh Nanang Tahqiq.
(Red.)
SETELAH penelitian sulit bertahun-tahun, panel
World Christian Encyclopaedia (Oxford, 1982) menghitung bahwa pemeluk Buddha di
dunia berjumlah 274 juta, yang hanya sedikit bermukim di India. Pemeluk Hindu
berjumlah lebih dari dua kali lipat, yakni 583 juta. Tujuh ratus dua puluh tiga
juta Muslim merupakan kelompok terbesar kedua setelah Kristen yang berjumlah
1400 juta. Ini mengungkapkan betapa besar dan pentingnya agama Islam, berbeda
dari agama-agama mistis asal India, yang harus dilihat sebagai agama profetik
bersama Yahudi dan Kristen.
Islam kini berkembang menjadi lebih dekat kepada
kita ketimbang sebelumnya, dalam pengertian yang lebih luas ketimbang
pengertian murni geografi dan mobilitas. Terdapat penambahan jumlah orang-orang
Muslim yang berada di sekitar kita secara besar-besaran, yang kita bawa ke
negara-negara kita karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Kita menginginkan
tenaga kerja dan akhirnya kita pun dipertemukan dengan orang-orang yang seperti
kita, yakni orang-orang yang secara tajam mendefinisikan keimanan mereka
seperti kita dan kehadiran mereka menjadi tantangan bagi suatu lingkungan
Kristen yang tertutup.
Saya tidak akan membicarakan sejarah abad-abad
silam yang telah dihiasi konflik dan pengetahuan mengenai Kristen dan Islam,
juga tak akan membahas secara mendalam sebuah tema tunggal seperti Islam dan
sikap kembali kepada, atau sekularisasi dalam Islam. Begitu pun saya tidak mau
mengangkat kebiasaan teror orang-orang Muslim fanatik di Iran, yang telah
meremukkan rasa simpati terhadap Islam yang barangkali masih dimiliki oleh
banyak orang di antara kita. Dalam situasi sekarang, persisnya yang saya
rasakan penting sebagai seorang teolog untuk memilih masalah-masalah teologis
yang sukar dan mengajukan sebuah pertanyaan, yakni pertanyaan lewat contoh
ketimbang menyeluruh: Bagaimana umat Kristen hari ini menanggapi klaim-klaim
keimanan Muslim? Dengan kata lain, saya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan
yang akan menolong kita untuk secara penuh menguji pendirian ekumenis (bersifat
mewakili umat Kristen sedunia) kita, yang berubah terhadap agama-agama dunia
lain secara umum, dengan pandangan lebih luas dan terbuka;
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin membantu kita membaca kembali sejarah
pemikiran teologis dan keimanan kita seperti yang diungkapkan dalam Islam.
Tak perduli dari pandangan teologis apapun kita
memandang klaim-klaim Islam, satu hal tampak pasti di mata saya: terlepas dari
Khomeini, tak akan ada lagi upaya untuk kembali ke kebiadaban Islam abad-abad
silam, atau kebal dari citra buruk. Oleh karenanya sebagaimana dalam
agama-agama yang lain, Islam kini tidak dapat lagi disepelekan oleh teologi
Kristen, melainkan sudah harus dipertimbangkan baik secara politis maupun
teologis sebagai sebuah realitas satu dunia, dimana kita hidup serta mewujudkan
upaya-upaya teologis kita.
Orang-orang Kristen masih menganggap Islam, untuk
sebagian besar, sebagai entitas yang kaku, sebagai sistem agama yang tertutup
ketimbang agama hidup yang secara ajek berubah selama berabad-abad yang
mengembangkan keanekaragaman inti yang besar dan dianut oleh sekelompok orang
dengan spektrum yang luas dari sikap-sikap dan perasaan-perasaan. Akhir-akhir
ini tentunya telah harus ada upaya berangsur-angsur untuk memahami dari dalam
mengapa orang Muslim melihat Tuhan dan dunia, pengabdian kepada Tuhan dan
kepada masyarakat, politik, hukum dan seni dengan pandangan berbeda, mengapa ia
mengalami hal-hal itu semua dengan perasaan-perasaan yang berbeda dengan
perasaan-perasaan orang-orang Kristen. Dengan memperhatikan Persia dewasa ini
di benak, kita pertama-tama harus menangkap fakta bahwa malah sekarang agama
Islam bukan sekadar "cabang lain" dalam kehidupan seorang Muslim,
"cabang" yang telah mensekularkan masyarakat sebagaimana yang terjadi
di dalam "faktor keagamaan" atau "sektor keagamaan"
bersama-sama dengan "faktor-faktor kultural" atau "sektor-sektor
kultural" yang lain. Kehidupan dan agama, agama dan budaya adalah saling
terjalin secara dinamis. Islam berusaha menampilkan diri sebagai pandangan
hidup yang serba mencakup, perspektif yang menyeluruh tentang kehidupan, dan
cara yang menentukan seluruh kehidupan --dan jalan menuju kehidupan kekal di
tengah-tengah mortalitas: sebuah jalan keselamatan. Keselamatan? Apa yang dapat
dikatakan seorang teolog Kristen untuk klaim ini?
Saya mengajukan pertanyaan ini dengan
mempertimbangkan setidaknya sikap mendua dari World Council of Churches (Dewan
Gereja-Gereja Sedunia) yang, disebabkan oleh konflik pandangan di antara
anggota-anggota gereja sendiri, memilih, bahkan hingga akhir 1977-1979 di
"Guidelines for Dialogue with People of Different Religions and Ideologies"
(Petunjuk-Petunjuk untuk Dialog dengan umat yang Berbeda Agama dan Ideologi)
untuk tidak menjawab pertanyaan apakah ada keselamatan di luar gereja-gereja
Kristen, sebuah pertanyaan yang tak diragukan lagi sangat penting akhir-akhir
ini.
Posisi Katolik tradisional, seperti dipersiapkan di
abad-abad awal gereja Kristen oleh Origen, Cyprianus dan Augustinus, terkenal
secara umum: extra ecclesiam nulla salus! (Tak ada keselamatan di luar Gereja).
Maka untuk masa depan juga: extra ecclesiam nullus propheta! (Tak ada nabi di
luar Gereja). Konsili Florensa pada 1442 mendefinisikan hal ini dengan sangat
jelas:
Gereja Suci Roma ... tegas-tegas
meyakini, bersaksi dan menyatakan bahwa tak seorang pun di luar gereja Katolik,
baik orang kafir atau Yahudi atau orang yang tidak beriman, tidak juga orang
yang terpisah dari Gereja, akan ikut bersama-sama dalam kehidupan yang kekal,
tetapi akan binasa di dalam api kekal yang disediakan untuk setan dan
antek-antek-anteknya, jika orang tersebut tidak bergabung dengannya [gereja
Katolik] sebelum mati.[i]
Bukankah hal tersebut, sekurang-kurangnya bagi
orang-orang Katolik, tidak mengukuhkan klaim Islam? Dan tampaknya hal ini telah
berjalan selama lebih dari 1200 tahun.
Adalah benar bahwa suatu teologi Katolik
dekade-dekade belakangan ini telah mencoba untuk memperoleh "pemahaman
baru" terhadap "dogma tambahan" yang tidak kompromistis tadi.
Untuk sebagian besar hal itu berarti mengubah interpretasi yang selama ini
dipegang teguh, malah pun menghasilkan sesuatu yang bertolak belakang. Walau
begitu dogma tersebut, karena kekebalannya dari kesalahan, tetap tak mungkin
dikoreksi. Akan tetapi pada abad ke- 17, Roma telah didesak oleh kaum Jansenis
ekstrim guna membuang pernyataan extra ecclesiam nulla gratia (Tak ada rahmat
di luar Gereja).[ii]
Jika akhirnya ada rahmat charis, karisma yang bisa didapat di luar Gereja,
tidakkah bisa disana juga ada kenabian, secara jelas salah satu charismata
(anugerah spiritual) di luar Gereja?
Sekarang ini, betapapun juga, posisi Katolik
tradisional tidak lagi menjadi posisi Katolik resmi. Sejak awal 1952 jemaat
Roma secara bertolak-belakang dengan mengucilkan pendeta mahasiswa Harvard,
P.L. Feeney, yang menurut para bapak gereja dan Konsili Florensa,
mempertahankan bahwa semua orang di luar gereja Katolik adalah terkutuk.
Sementara Konsili Vatikan Kedua menyatakan secara gamblang dalam undang-undang
yang berkaitan dengan Gereja bahwa: mereka yang, bukan dikarenakan kesalahan mereka
sendiri, tidak mengetahui Injil Kristus atau Gerejanya, namun mereka mencari Tuhan
dengan hati yang jujur dan, digerakkan oleh rahmat, berusaha dalam
tindakan-tindakan mereka melaksanakan kehendak-Nya sebagaimana mereka
mengetahui hal itu melalui bisikan kesadaran mereka sendiri-maka mereka pun
akan memperoleh keselamatan yang kekal (Art 16).
Maksud sebenarnya dari pernyataan di atas ditujukan
kepada mereka yang, lantaran latar belakang mereka sendiri, memiliki kesamaan
keyakinan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen dalam keesaan Tuhan
dan dalam melaksanakan kehendak-Nya: orang-orang Muslim. "Tetapi rencana
keselamatan juga berlaku bagi mereka yang mengakui Pencipta, yang utama dalam
hal ini di sini adalah orang-orang Muslim: orang-orang yang bersiteguh
mengikuti keimanan Ibrahim, dan bersama-sama kita mereka menghormati Tuhan Yang
Esa, Tuhan yang Pengasih, hakim manusia di hari akhir" (Art 16). Oleh
sebab itu, menurut Vatikan Kedua, bahkan orang-orang Muslim tidak perlu
"binasa dalam api kekal yang dipersiapkan untuk setan dan
antek-anteknya;" mereka pun bisa "memperoleh keselamatan yang
kekal." Ini berarti bahwa Islam juga dapat menjadi jalan keselamatan:
mungkin bukan jalan sebagaimana biasanya, jalan yang "biasa," tapi
barangkali jalan yang secara historis pengecualian atau jalan "luar
biasa."
Teologi Katolik kontemporer ternyata membedakan
antara jalan keselamatan yang "biasa" (yaitu jalan Kristen) dan yang
"luar biasa" (yakni jalan non-Kristen). Bukankah ini berarti, sebagai
sesuatu yang mungkin, bahwa sangatlah mungkin membedakan antara nabi-nabi yang
"biasa" (nabi-nabi Kristen) dari nabi-nabi yang "luar
biasa." Selama berabad-abad Muhammad dianggap sebagai seorang nabi
gadungan, nabi palsu, dukun, tukang sihir, pemalsu, dan yang agak mendingan,
penyair Arab. Tidakkah seharusnya kita berpikir sebaliknya, bahwa ia adalah
seorang nabi asli, bahkan seorang nabi yang sebenarnya? Tetapi kemudian, apakah
Muhammad benar-benar seorang nabi asli, sungguh-sungguh seorang nabi yang
sebenarnya?
Saya tidak dapat menerangkan sejarah yang umum
dikenal tentang Muhammad, yang sangat berbeda dengan sejarah Yesus: Muhammad
ini, putra seorang saudagar, adalah yang diminta seorang janda kaya untuk
menikahi janda tersebut, dan Muhammad bertemu janda itu saat bekerja; nabi Arab
ini menyampaikan pesan Tuhan Yang Esa serta keadilan-Nya, yang berbeda dengan
kenyataan yang politeistik saat itu di Makkah, kemudian ia hijrah ke Madinah,
sekitar 350 kilometer, tetapi pada akhirnya ia berhasil di segala hal yang ia
lakukan; dialah yang menaklukkan Makkah dan mempersatukan jazirah Arab di bawah
kekuasaannya --sehingga ia adalah nabi sekaligus politisi, panglima perang
sekaligus negarawan. Dari sudut-pandang teologi Kristen, hanya satu pertanyaan
yang relevan: Apakah ia benar-benar seorang Nabi)
Tentu saja banyak agama tak mempunyai nabi-nabi
dalam pengertian yang paling ketat. Orang-orang Hindu memiliki guru-guru dan
sadhu-sadhu, orang-orang Cina mempunyai orang-orang bijak (Inggris: sages),
orang-orang Buddha mempunyai guru-guru (Inggris: masters), tetapi tak satu pun
dari para penganut agama-agama tersebut, seperti orang-orang Yahudi,
orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim mempunyai nabi-nabi. Tak dapat
diragukan bahwa bila seseorang di dalam seluruh sejarah keagamaan disebut sang
Nabi, karena ia memang mengatakan dirinya sebagai nabi, begitu juga yang
terjadi pada Muhammad. Dan apakah Muhammad memang begitu? Malah orang Kristen
yang beriman, jika ia berkesempatan menyelidiki keadaaan tersebut, tidak dapat
untuk tidak menyetujui bahwa:
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad tidak bekerja melalui kekuatan sebuah jabatan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat (atau para penguasanya), melainkan melalui hubungan pribadi yang khusus dengan Tuhan.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad adalah seseorang yang mempunyai keinginan kuat, yang merasakan dirinya dipenuhi oleh seruan ketuhanan yang sepenuhnya ditujukan, secara eksklusif ditentukan, untuk sebuah tugas.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad berbicara tentang jantung krisis agama dan sosial, dan dengan kesalehan yang penuh gairah serta seruan revolusioner ia menentang kelompok penguasa kaya dan tradisi yang dipegang teguh.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad, yang senantiasa menyebut diri sebagai Pengingat, berusaha menunjukkan diri sebagai bukan apa-apa selain jurubicara Tuhan dan tidak mengatakan apa-apa selain kata-kata Tuhan.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad tak letih-letih menyatakan Tuhan Yang Esa yang tidak mentoleransi tuhan-tuhan selain diri-Nya, Pencipta yang baik dan Hakim yang Penyayang.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad juga menghajatkan, sebagai responsi pada Tuhan yang Satu ini, kepatuhan, penyerahan diri, ketaatan tanpa syarat, yang merupakan arti literal dari kata Islam: segala sesuatu yang meliputi syukur pada Tuhan dan kemurahan hati kepada orang-orang lain.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad menggabungkan monoteisme dengan humanisme, percaya kepada satu Tuhan dan pengadilan-Nya dengan seruan kepada keadilan sosial: maka pengadilan dipadukan dengan keselamatan, dan ancaman bagi yang tidak adil, yang akan masuk neraka, dengan janji-janji bagi orang-orang yang adil, yang diletakkan di surga-Nya.
Siapa pun yang membaca Bibel --sekurangnya
Perjanjian Lama-- dan al-Qur'an secara bersamaan akan digiring untuk
merenungkan tentang apakah ketiga agama wahyu dari asal Semitik --Yahudi,
Kristen dan Islam, dan khususnya Perjanjian Lama dan al-Qur'an-- memiliki dasar
yang sama. Bukankah Tuhan yang satu dan Tuhan yang itu-itu juga yang berbicara
secara gamblang di dalam kedua kitab tersebut? Tidakkah selaras antara "Maka
Tuhan pun berkata" dalam Perjanjian Lama dengan "Berfirman"
dalam al-Qur'an, dan antara pernyataan Perjanjian Lama "Pergi dan
nyatakan" dengan pernyataan al-Qur'an "Bangunlah dan
peringatkan." Bahkan kenyataan membuktikan bahwa jutaan orang Kristen yang
berbicara bahasa Arab tidak memiliki kata lain untuk Tuhan selain
"Allah".
Karena itu, apakah mungkin prasangka yang murni
dogmatik mengakui Amos dan Hosea, Isajah dan Jeremiah sebagai nabi-nabi, tetapi
tidak mengakui Muhammad? Apa pun yang dituduhkan seseorang terhadap Muhammad
dari sudut pandang moralitas Kristen Barat (kekerasan dengan senjata, poligami,
gaya hidup penuh nafsu), tidak dapat diperselisihkan:
- bahwa sekarang bahkan terdapat 800 juta orang di daerah yang membentang antara Maroko di barat dan Bangladesh di timur, dari hamparan padang rumput Asia Tengah di utara hingga dunia kepulauan Indonesia di selatan, yang direkatkan oleh kekuatan luar biasa dari sebuah keimanan yang, tidak seperti keimanan lain, membentuk orang-orang yang mengakuinya ke dalam sebuah tipe yang universal;
- bahwa mereka itu diikat oleh sebuah pengakuan keimanan yang sederhana (tak ada tuhan selain Tuhan, dan Muhammad adalah utusan-Nya), diikat oleh lima kewajiban dasar (pengakuan keimanan, shalat, zakat untuk orang miskin, puasa satu bulan, haji); dan diikat oleh penyerahan total pada kehendak Tuhan, yang keputusan-Nya tidak berubah, bahkan bila menderitakan pun, harus diterima;
- bahwa pada mereka itu terdapat rasa persamaan fundamental manusia di hadapan Tuhan dan rasa persaudaraan internasional yang secara dasariah mampu mengatasi persoalan ras (orang-orang Arab dan orang-orang non-Arab) dan malah kasta-kasta di India.
Saya yakin bahwa meskipun ada kekhawatiran baru
terhadap Islam, terdapat juga keyakinan yang meningkat di antara orang-orang
Kristen bahwa, sesuai dengan kenyataan Muhammad dalam sejarah, kita tidak dapat
melarikan diri dari sebuah koreksi sudut-pandang. "Momok
eksklusifitas" yang muncul dari ketidaksabaran dogmatik, yang kerap
dikutuk oleh sejarawan universal Inggris Arnold Toynbee, harus disingkirkan.
Adapun menyangkut tokoh Nabi Muhammad, harus diakui:
- bahwa masyarakat Arab di abad ke-7 mendengar dan mengikuti seruan Muhammad;
- bahwa dalam perbandingan dengan politeisme yang sangat duniawi dari agama-agama kesukuan Arab lama, agama rakyat telah dinaikkan ke tingkat yang sepenuhnya baru, tingkat suatu agama tinggi yang monoteistik;
- bahwa orang-orang Muslim menerima dari Muhammad --atau, secara lebih baik, dari al-Qur'an-- inspirasi, keberanian dan kekuatan yang tak ada habis-habisnya untuk permulaan agama baru: sebuah permulaan menuju kebenaran lebih besar dan pemahaman lebih dalam, menuju sebuah terobosan kebangkitan kembali serta pembaruan agama tradisional. Islam adalah pengilham besar bagi kehidupan.
Sesungguhnya Muhammad dulu dan kini adalah untuk
masyarakat dunia Arab dan bahkan lebih jauh adalah sang pembaru agama,
pembentuk hukum dan pemimpin: sang Nabi, per se. Secara dasariah, Muhammad,
yang tidak pernah menginginkan menjadi apa pun selain manusia biasa, bagi orang-orang
yang mengikutinya (imitatio Mohahmetis) lebih dari sekadar seorang nabi bagi
kita: ia adalah contoh dalam gaya hidup yang diajarkan Islam. Dan jika gereja
Katolik, menurut deklarasi yang berhubungan dengan agama-agama non-Kristen
versi Vatikan Kedua (1964) (saya harap anda mengizinkan saya untuk tidak hanya
menggunakan kutipan-kutipan ritual), memandang "orang-orang Muslim dengan
penuh hormat, menyembah hanya pada satu Tuhan... yang telah berbicara kepada
manusia", maka gereja tersebut, hemat saya, harus juga menghormati
--terlepas dari rasa malu-- seseorang yang namanya tidak tercantum dalam
deklarasi tadi, yang justru orang itulah yang membawa orang-orang Muslim
menyembah Tuhan yang satu ini, maka sekali lagi, justru lewat dia, Muhammad,
Sang Nabi, Tuhan ini "telah berbicara kepada manusia". Tetapi
bukankah pengakuan seperti itu mempunyai konsekuensi-konsekuensi suram dan
menggelisahkan, khususnya karena pesan yang diproklamirkan oleh Muhammad dan
tertera dalam al-Qur'an).
C. Al-Qur'an - Firman Tuhan?
Al-Qur'an
lebih dari sekedar tradisi lisan yang bisa dengan mudah diubah. Ia adalah
firman yang tertulis, yang diturunkan sekali untuk selamanya, sehingga dengan
sendirinya tidak dapat diubah. Dalam hal ini ia sama dengan Bibel. Melalui
keberadaannya yang direkam lewat tulisan, al-Qur'an memelihara suatu kekokohan
luar biasa, kendati ada perubahan dan keanekaragaman sejarah Islam dari abad ke
abad, dari generasi ke generasi, dari orang ke orang. Apa yang tertulis ya
tertulis. Meskipun terdapat penafsiran-penafsiran dan ulasan-ulasan yang
berbeda, meskipun terdapat bentuk-bentuk yang diambil oleh hukum Islam,
syari'ah, al-Qur'an tetap sebagai sebutan yang sama (the common denominator),
sesuatu seperti "benang hijau" Muhammad melintasi seluruh bentuk,
ritual, dan lembaga-lembaga Islam. Orang yang ingin tahu baik mengenai Islam
historis maupun Islam normatif, tidak dapat mengelak untuk kembali pada
asalnya, yaitu al-Qur'an abad ke-7.
Meski
al-Qur'an sama sekali tidak mentakdirkan (menetapkan terlebih dahulu)
perkembangan Islam, ia secara paling pasti memberi inspirasi terhadap
perkembangan Islam. Ia memasuki seluruh syari'ah, mencetak sistem legal (hukum)
dan mistisisme, seni, dan segenap mentalitas. Para penafsir datang dan pergi,
tapi al-Qur'an tetap utuh: ia satu-satunya yang paling konstan dalam Islam di
antara variabel-variabel lain yang tak terhitung. Ia memperlengkapi Islam
dengan kewajiban moral, dinamisme eksternal, dan kedalaman keagamaan, di
samping ajaran-ajaran abadi dan prinsip-prinsip moral yang khas: tanggung jawab
manusia di hadapan Tuhan, keadilan sosial dan solidaritas Muslim. Dengan begitu
al-Qur'an adalah Kitab Suci Islam yang, sebagaimana dipahami dari bentuk
tertulisnya, bukan firman manusia, melainkan firman Tuhan. Bagi orang-orang
Muslim, oleh sebab itu, firman Tuhan dituliskan dalam sebuah kitab. Pertanyaan
kita, betapa pun juga: Apakah kitab tersebut benar-benar firman Tuhan?
Selama
berabad-abad, pertanyaan seperti ini dilarang diajukan. Baik orang-orang Muslim
maupun orang-orang Kristen diancam pengucilan dengan segala konsekuensinya. Dan
siapa yang mampu menolak bahwa pertanyaan tersebut telah menyebabkan
perpecahan-perpecahan politik yang tajam di antara bangsa-banga di dunia, dari
abad-abad pertama penaklukan Islam hingga Perang Salib dan perebutan
Konstantinopel, hingga pengepungan Vienna dan revolusi Persia di bawah komando
Khomeini? Sebagaimana biasanya, ketika orang-orang Muslim dari Afrika Barat
sampai Asia tengah dan Indonesia memandang bahwa al-Qur'an adalah firman Tuhan
dan mengorientasikan hidup serta mati mereka sesuai dengan al-Qur'an,
orang-orang Kristen seluruh dunia mengatakan "tidak". Malah bukan
saja orang-orang Kristen, melainkan juga kemudian para sarjana agama Barat yang
sekular, yang menganggap pasti bahwa al-Qur'an bukan firman Tuhan, tetapi
sepenuhnya perkataan Muhammad.
Pada
tahun 1962, seorang sarjana agama berkebangsaan Canada, Wilfred Cantwell Smith,
menjadi orang pertama yang mengajukan pertanyaan tersebut di atas secara tajam,
yang mengancam kedua belah pihak, dan membedah secara tepat bentuk pertanyaan
itu sendiri.[iii]
Kita tidak dapat melakukan apa-apa selain menyetujui pandangannya bahwa dua
jawaban yang mungkin tersebut, yang keduanya cukup aneh, diajukan oleh
orang-orang yang cerdas, kritis dan sepenuhnya jujur, sehingga tak perlu
diragukan lagi dan telah menjadi dogmatic pre-conviction (pra-keyakinan
dogmatis). Pada masing-masingnya, penafsiran yang berlawanan dianggap sebagai
ketiadaan iman (kata orang-orang Muslim kepada orang-orang Kristen yang menolak
al-Qur'an sebagai firman Tuhan) atau takhayul (kata orang-orang Kristen kepada
orang-orang Muslim yang membenarkan al-Qur'an sebagai firman Tuhan).
Lalu,
tidakkah benar, sebagaimana diklaim kolega Smith yang berkebangsaan Kanada,
Willard Oxtoby, dalam menyusun suatu cara yang berdasarkan pengalaman, bahwa
"you get out what you put in" (anda mengeluarkan apa yang anda
simpan)? Dengan kata lain, tidakkah benar bahwa siapa pun yang menganggap
al-Qur'an sebagai perkataan Tuhan sejak permulaan akan melihat berulang-ulang
keyakinan-keyakinannya diteguhkan dengan membaca al-Qur'an, dan juga
sebaliknya?
Tetapi
dapatkah kita biarkan kontradiksi ini terus berjalan, biarpun untuk masa
panjang hal tersebut sangat tidak memuaskan secara intelektual? Tidakkah
terjadi pertambahan jumlah dari orang-orang Kristen dan bahkan mungkin
orang-orang Muslim yang kemudian mendapat informasi lebih baik mengenai
keimanan serta posisi orang lain, dan lalu membuat pertanyaan-pertanyaan kritis
terhadap diri sendiri? Saya akan mengulas secara singkat hal ini yang berkaitan
dengan kedua posisi di atas:
a.
Penyangsian kritis-diri terhadap pemahaman Kristen tentang wahyu. Bersamaan dengan semua pernyataan
negatif mengenai cara-cara keliru, kegelapan, dan kesalahan dunia non-Kristen
berikut seluruh seruan untuk bertobat, tidakkah juga kita dapatkan banyak
pernyataan positif yang menyatakan bahwa Tuhan semula menampakkan diri-Nya
kepada seluruh manusia? Sungguh, menurut Perjanjian Lama dan Baru, orang-orang
non-Kristen juga bisa mengetahui Tuhan yang satu dan benar. Teks-teks ini
sendiri menafsirkannya sebagai wahyu Tuhan dalam penciptaan.
Dengan
memperhatikan latar belakang Biblikal, dapatkah kita meniadakan kemungkinan
bahwa orang-orang yang tidak terhitung jumlahnya di masa lalu dan sekarang
telah dan tengah mengalami misteri Tuhan, dengan mendasarkan diri pada wahyu
Tuhan dalam penciptaan, dan semuanya ini pun melibatkan rahmat Tuhan dan
keimanan manusia? Dan dapatkah kita meniadakan kemungkinan bahwa beberapa orang
tertentu juga, dalam ikatan agama mereka, dianugerahi penglihatan khusus,
diberi tugas khusus, karisma khusus? Dan dengan memperhatikan semua yang telah
kita katakan, tidakkah hal itu semua bisa terjadi terhadap Muhammad, Sang Nabi?
Extra ecclesiam gratia --ada juga rahmat di luar Gereja. Kalaulah memang
begitu, jika kita mengenali Muhammad sebagai seorang nabi, maka agar konsisten
kita pun harus mengakui bahwa bagi orang-orang Muslim segala sesuatu tergantung
pada pesan Muhammad yang bukan buatannya sendiri, bukan firmannya sendiri,
tetapi firman Tuhan. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan Firman Tuhan dan
dengan wahyu?
b.
Penyangsian kritis terhadap penafsiran Islam tentang al-Qur'an. Apakah wahyu seperti yang sudah
diduga turun secara langsung dari langit, diinspirasikan tanpa salah atau
didiktekan kata per kata dari Tuhan? Perlu diingat bahwa tidak hanya
orang-orang Muslim meyakini hal ini, melainkan juga beberapa orang Kristen,
biasanya dalam hubungan dengan Bibel. Di sini kita telah sampai pada persoalan
yang penting sekali.
Bagaimanapun seseorang ingin menyelesaikan persoalan
Islam tentang asal al-Qur'an, saat ini adalah penting bahwa al-Qur'an sebagai
firman Tuhan dipandang pada waktu yang sama sebagai perkataan nabi yang
manusiawi. Pandangan ini juga diakui bersama oleh refleksi ilmiah Muslim
(semisal karya seorang Pakistan, Fazlur Rahman). Jadi al-Qur'an menyodorkan
problema yang sama dengan Bibel. Dengan kata lain, kita dihadapkan pada
pertanyaan yang janggal tetapi tidak dapat dielakkan: apabila kita mempunyai
kritik historis terhadap Bibel (untuk kepentingan keimanan Biblikal
kontemporer), kenapa pula kita tidak mempunyai kritik historis terhadap
al-Qur'an, dan hal itu untuk kepentingan keimanan Muslim yang cocok bagi masa
modern? Ketimbang menafsirkan al-Qur'an sebagai sebuah kumpulan peribahasa yang
tetap, ajaran-ajaran kaku, dan pernyataan-pernyataan yang tidak pernah berubah
mengenai hukum yang (terlepas dari kesulitan-kesulitan nyata yang ada) dengan
sangat merendahkan diri harus direproduksi dan secara harfiah ditafsirkan dalam
segala hal, bahkan mengenai aturan-aturan hukum, kenapa kita tidak menerima
al-Qur'an sebagai kesaksian kenabian yang tinggi terhadap Tuhan yang satu,
Tuhan yang paling berkuasa dan pemurah, Pencipta dan Penyempurna, dan terhadap
pengadilan serta janji-Nya?
Bagaimanapun
juga, saya tidak bisa melangkah lebih jauh menuju persoalan-persoalan
hermeneutis dalam makalah ini. Saya lebih baik kembali kepada
persoalan-persoalan isi. Sebelum saya mengulangi lagi perbedaan-perbedaan
teologis, akan saya kemukakan beberapa persoalan mendasar tentang persesuaian
antara Islam dan Kristen menyangkut penafsiran keimanan, yang mana orang-orang
Yahudi juga termasuk. Saya akan lakukan hal ini menurut baris-baris deklarasi Konsili
Vatikan Kedua tentang agama-agama non-Kristen.
D. Apa Unsur-unsur Sama yang Utama?
Hal-hal
yang sama di antara orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi dan orang-orang
Kristen dapat diringkas dalam empat aspek:
a.
Hal sama yang mendasar di antara orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi dan
orang-orang Kristen terletak dalam keimanan kepada satu dan satu-satunya Tuhan,
Tuhan yang memberikan makna dan hidup kepada segala sesuatu. Beriman kepada
satu Tuhan bagi Islam adalah kebenaran prinsip yang ditegakkan sejak masa
"Adam". Kesatuan ras manusia dan persamaan semua bangsa di muka Tuhan
didasarkan pada konsep keesaan Tuhan. Dan apa pun yang mungkin dikatakan
menyangkut doktrin Kristen tentang Trinitas, hal tersebut tidak untuk
mempertanyakan kepercayaan pada satu dan satu-satunya Tuhan, tetapi untuk
memperjelasnya secara sempurna. Ini berarti bahwa dalam menghadapi politeisme
kafir, Yahudi, Kristen dan Islam adalah sama sebagaimana ketiga agama semitik
ini menghadapi banyaknya tuhan-tuhan modern yang mengancam memperbudak rakyat
Yahudi dan sebagai akibatnya Kristen telah menyingkirkan tuhan-tuhan lama
Panteon jauh sebelum Islam.
b.
Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim menyimpan
kesamaan pandangan dalam beriman kepada Tuhan sejarah: kepada Tuhan yang bukan,
sebagaimana diyakini orang-orang Yunani, hanya arche atau prinsip pertama alam,
dasar dari segala sesuatu, tetapi yang bertindak sebagai Pencipta dunia dan
manusia dalam sejarah, Tuhan Yang Esa dari Ibrahim yang berbicara melalui para
nabi dan mewahyukan diri-Nya pada manusia, sekalipun terus-menerus urusan-Nya
tetap menjadi rahasia yang tak terpecahkan. Dalam sejarah, Tuhan sepenuhnya
transenden, tetapi pada saat yang sama juga imanen, lebih dekat daripada
"urat nadi," begitu kata perumpamaan plastik al-Qur'an, yang kemudian
dikembangkan secara mendalam di dalam mistisisme Islam.
c.
Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim adalah satu
pandangan dalam beriman kepada satu Tuhan yang --meskipun Ia gaib, mengatur dan
menguasai segala sesuatu-- adalah partner yang dapat didekati. Dia dapat disapa
saat shalat dan meditasi, dipuji dalam senang dan rasa syukur, tempat mengadu
dalam keadaan perlu dan keputusasaan: Tuhan bagi manusia yang "bersimpuh
di tumit-Nya lantaran rasa hormat dan kagum", "berdo'a dan
berkurban", "bermusik dan berjoget", mengutip kata-kata
berorientasi masa depan Martin Heidegger.
d.
Akhirnya, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim satu
pandangan dalam beriman kepada Tuhan yang pemurah dan ramah, Tuhan yang menjaga
manusia. Dalam al-Qur'an sebagaimana dalam Bibel, manusia dipandang sebagai
"hamba Tuhan," yang tidak mengekspresikan perbudakan manusia di bawah
seorang yang lalim, melainkan sifat kemakhlukan manusia yang elementer dalam
meresponsi Tuhan yang satu. Kata Arab al-Rahman, "Yang Maha
Pengasih", secara etimologis berhubungan dengan bahasa Ibrani (Hebrew,
Yahudi) rahamim yang, bersama dengan hen dan hosed menjelaskan bidang semantik
bagi kata charis dalam Perjanjian Baru, dan kata Inggris grace (gnade dalam
bahasa jerman). Menurut bagian-bagian tersendiri dalam Bibel atau dalam
al-Qur'an, Tuhan bisa menampilkan diri sebagai Tuhan yang tidak dapat diduga,
namun menurut keseluruhan kesaksian Bibel dan al-Qur'an, Tuhan adalah Tuhan
pengasih dan pemurah.
Bersama-sama
di dunia ini, Yahudi, Kristen dan Islam dengan demikian mencerminkan keimanan
kepada satu Tuhan; semuanya berbagi dalam satu gerakan dunia monoteistik yang
besar. Secara politis, keimanan kepada satu Tuhan ini seharusnya tidak dianggap
sepele; harus dijadikan perhatian manusia. Misalnya, sebagaimana keimanan ini
telah memainkan peran dalam perjanjian Camp David, tentunya ia pun penting
untuk upaya-upaya perdamaian selanjutnya di Timur Tengah. Maka jangan
sekali-kali kita lupakan keimanan ini tatkala kita mendekati
persoalan-persoalan teologis yang rumit, khususnya persoalan-persoalan mengenai
Yesus dari Nazareth, Kristus orang-orang Kristen.
E. Apakah Penggambaran al-Qur'an tentang Yesus Tepat?
Sangat
masyhur diketahui bahwa dalam beberapa hal al-Qur'an membicarakan Yesus dari
Nazareth, dan selalu dengan nada positif. Ini mengherankan ketika seseorang
memandang sejarah berabad-abad yang dipenuhi kebencian dan kutukan antara
Kristen dan Islam. Bagaimana kita bisa menilai bagian-bagian ini secara
teologis? Suatu penyelidikan yang lebih teliti terhadap "teks-teks
al-Qur'an yang relevan dengan Kristen", yang diterjemah-ulang dan
dijelaskan secara rinci oleh Claus Schedel di bawah judul Muhammad und Jesus,
menunjukkan bahwa semua bahan yang berkaitan dengan Yesus di dalam al-Qur'an
terintegrasi (terpadu) dengan suatu cara yang sepenuhnya koheren secara utuh ke
dalam seluruh konsepsi teologis al-Qur'an. Dari tradisi apa pun kesaksian
tentang Yesus ini berasal --dan kita akan menjelaskannya lebih dekat lagi--
seluruhnya secara menyolok dipenuhi dengan pengalaman profetik hebat Muhammad
dengan Tuhan Yang Esa. Dengan alasan ini, Muhammad tidak mempunyai alasan apa
pun untuk menyangkal Yesus: Seruan Yesus adalah juga seruan Muhammad. Persoalan
virgin birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dan mu'jizat-mu'jizat
diakui al-Qur'an tanpa iri hati, dengan satu pengecualian: Yesus tidak mungkin
dibuat menjadi tuhan, dan tidak mungkin diletakkan berdampingan dengan Tuhan
yang esa sebagai seorang (tuhan) yang kedua. Bagi Islam, itu adalah sesuatu
yang paling dibenci.
Posisi
Yesus dalam al-Qur'an tidak ambigius (tidak meragukan). Dialog oleh karenanya
tidak didukung secara efektif oleh orang-orang Kristen bermaksud baik masa kini
yang lebih menafsirkan al-Qur'an ketimbang apa yang dikandungnya, yang
mengklaim bahwa dalam al-Qur'an Yesus adalah firman Tuhan. Tetapi bukan Firman
Tuhan dalam pengertian pada prolog Injil Yohanes, dimana logos ketuhanan yang
pra-eksisten menjadi daging. Adapun mengenal virgin birth (kelahiran Yesus dari
seorang perawan) dalam al-Qur'an, itu adalah tanda kemahakuasaan Tuhan, bukan
justru karena ketuhanan Yesus. Dengan kata lain, menurut al-Qur'an Yesus adalah
seorang nabi, seorang nabi yang lebih besar daripada Ibrahim, Nuh dan Mus a
--tetapi tentu saja tidak lebih daripada seorang nabi. Dan persis seperti
diterangkan dalam Perjanjian Baru, Yohanes (Yahya) sang Pembaptis adalah
pendahulu (pratanda) Yesus, begitupun dalam al-Qur'an Yesus adalah pendahulu
(pratanda), dan tidak diragukan contoh yang memberi dorongan bagi, Muhammad.
Menurut al-Qur'an Yesus diciptakan langsung dari Tuhan sebagai Adam kedua
(inilah sebenarnya arti virgin birth tersebut), tak seperti Muhammad. Yesus
adalah, oleh karena itu, ciptaan Tuhan yang paling hebat.
Karena
alasan ini, orang-orang Kristen harus menyingkirkan keinginan untuk membuat
"orang-orang Kristen anonim" dari Muhammad dan orang-orang Muslim,
sebagaimana beberapa teolog, menentang keseluruhan konsepsi orang-orang Muslim
tentang diri mereka sendiri, sekali-sekali berusaha melakukan itu. Pada
gilirannya hal ini akan dengan segera memunculkan pertanyaan apakah orang-orang
Muslim harus menciptakan "seorang Muslim anonim" dari Kristus.
Apabila kita yang mewakili Kristen peduli terhadap penilaian kembali Muhammad
berdasarkan sumber-sumber Islam, khususnya al-Qur'an, kita juga berharap suatu
hari ada kesiapan Islam untuk memulai penilaian kembali Yesus dari Nazareth
berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, berdasarkan Injil-Injil itu
sendiri-sebagaimana yang telah dilakukan banyak orang dalam Yahudi. Potret
Yesus dalam al-Qur'an terlalu berat sebelah, terlalu monoton, dan untuk
sebagian besar kekurangan dalam isi, terlepas dari monoteisme, seruan untuk
bertobat, dan berbagai cerita tentang mu'jizat-mu'jizat. Pokoknya, ini berbeda
sekali dengan potret Yesus dalam sejarah, yang tidak saja menegakkan hukum,
seperti direkam al-Qur'an, tetapi cenderung menentang seluruh legalisme dengan
cinta radikal yang bahkan meluas untuk musuh-musuhnya sekalipun. Itulah
sebabnya kenapa ia dieksekusi, walaupun Qur'an gagal mengakui hal ini. Dalam
hal ini, perbedaan-perbedaan substansial muncul antara Yesus dan Muhammad.
Keliru besar menganggap sepi hal-hal ini. Walau begitu, hambatan teologis utama
terhadap sebuah pemahaman tidaklah untuk ditemukan di sini.
F. Apa Perbedaan Teologis Utama?
Perhatian
utama Yesus sendiri adalah mengatasi legalisme dengan cara melaksanakan
kehendak Tuhan dengan cinta, dengan mengingat kedatangan Kerajaan (Tuhan). Bagi
gereja Kristen, perhatian utama secara perlahan dialihkan untuk sebagian besar
kepada pribadi Yesus dan hubungannya dengan Tuhan. Perdebatan antara Kristen
dan Islam kemudian tetap sepenuhnya terfokus pada masalah ini. Hingga sekarang
keberatan Kristen terhadap Islam terletak pada bantahan Islam terhadap dua
doktrin utama Kristen yang saling berkelindan: Trinitas dan inkarnasi.
Sebenarnya, al-Qur'an berbicara kepada orang-orang Kristen sebagai berikut:
Wahai Ahl al-Kitab, janganlah kamu melampaui
batas-batas agamamu. jangan katakan apa-apa tentang Allah kecuali yang benar.
Al-Masih, Yesus putra Maria, tidak lebih dari rasul Allah dan Firman-Nya yang
Dia sampaikan kepada Maria: ruh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya dan jangan katakan (tentang Allah, bahwa Dia adalah) tiga
(dalam satu). Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Esa. Maha Suci Allah dari
mempunyai seorang anak. (Q.S. al-Nisa/4: 171)
Apakah
kenyatannya kita di sini telah, terlepas dari anggapan bahwa kita memiliki
faktor-faktor yang sama dalam memahami Tuhan dan kemanusiaan, menjadi macet
dalam berdialog? Tentu saja tak ada kebenaran di dalam pernyataan
apologis-apologis Kristen dan banyak sarjana agama bahwa para teolog Muslim
selalu keliru menafsirkan doktrin Kristen tentang Trinitas (tiga dalam satu)
sebagai doktrin triteisme (tiga tuhan). (Al-Qur'an memang memuat tradisi yang
keliru, boleh jadi didasarkan pada apokripa (tulisan-tulisan yang diragukan
pengarangnya) tertentu, bahwa Trinitas terdiri dari Tuhan Bapak, Maria Ibu
Tuhan, dan Yesus Anak Tuhan). Orang-orang Muslim semata-mata tidak dapat
memahami apa yang juga selalu gagal dipahami oleh orang-orang Yahudi: bahwa
kalau ada satu Ketuhanan, satu tabiat ilahi, maka mana mungkin ada asumsi
tentang tiga pribadi dalam satu Tuhan yang secara otomatis tidak akan
melepaskan keimanan pada satu Tuhan yang dianut Ibrahim, yang dipegang teguh
oleh Musa, Yesus dan akhirnya Muhammad. Mengapa ada pula perbedaan antara
tabiat dan pribadi dalam Tuhan?
Jelas
bahwa perbedaan antara satu dan tiga yang dibuat oleh doktrin Kristen tentang
Trinitas tidak memuaskan orang Muslim. Seluruh konsep yang berasal dari Syria,
Yunani dan Latin ini lebih memusingkan ketimbang mencerahkan bagi orang Muslim,
suatu permainan kata-kata dan konsep-konsep. Bagaimana mungkin satu dan
satu-satunya Tuhan, tanya orang Muslim, menjadi suatu pencampuran
hipostasis-hipostasis, pribadi-pribadi, prosesi-prosesi dan relasi-relasi?
Kenapa semuanya menjadi trik-trik dialektis? Tidakkah Tuhan hanya Tuhan, yang
tidak digabung dengan cara begini atau begitu?
Menurut
al-Qur'an, "orang-orang tidak beriman adalah mereka yang mengatakan, Allah
adalah salah satu dari tiga (atau berfaset-tiga dalam trinitas)."
Pandangan ini, yang mentah-mentah tidak diterima Muhammad, bulat-bulat ditolak
dengan pernyataan, "Tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa". (Q., s.
al-Maidah/5:73).
G. Bagaimana Kita Menilai
Perbedaan-perbedaan Teologis Utama?
Yang berlaku bagi doktrin Trinitas berlaku juga
bagi Kristologi. Jika orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim saat ini ingin
mencapai pemahaman lebih baik, mereka harus kembali kepada asal-usul dengan
mengambil sebuah sudut pandangan kritis terhadap seluruh perkembangan kemudian.
Pada titik asal-usul, kita --yakni orang-orang Yahudi, orang-orang, Kristen dan
orang-orang Muslim-- satu sama lain lebih dekat.
Penelitian ilmiah terhadap Perjanjian Baru mengakui
betapa besar kesenjangan antara pernyataan-pernyataan orisinal yang menyangkut
Bapak, Anak dan Roh dan doktrin gerejawi tentang Trinitas yang didogmatisasi
kemudian, juga betapa konsepsi-konsepsi Kristologis Perjanjian Baru berbeda
satu sama lain.
Sementara misalnya kemudian, Injil Yohanes yang
terpengaruhi secara Hellenistik mengutip Yesus ketika berbicara kemuliaan bahwa
ia telah bersama Tuhan sebelum dunia mulai (17: 5), yang oleh para penafsir
konservatif tidak dianggap sebagai kata-kata historis Yesus, Injil (-Injil)
pertama tidak mengetahui apa-apa tentang seluruh virgin birth. Dan sementara
dengan cerita bersemangat Injil Yohanes menggambarkan Yesus hampir secara
berlebihan sebagai "seperti-tuhan" ketika ia mengembara di bumi, Injil-Injil
sinoptik masih menampilkan Yesus sebagai Anak Manusia sepenuhnya yang
melaluinya Tuhan bertindak. Para penafsir menunjukkan khususnya kepada
monolog-monolog Kisah Para Rasul yang di dalamnya Lukas menggunakan bahan dari
suatu tradisi lama yang menempatkan Yesus secara total lebih rendah dari Tuhan.
Jelas Yesus dibicarakan sebagai hamba Tuhan, al-Masih, Kristus Tuhan, pilihan
Tuhan: Tuhan bertindak melaluinya, Tuhan bersamanya; ia dibunuh sesuai rencana
Tuhan, tetapi Tuhan mengangkatnya dari antara orang mati dan membuatnya menjadi
Tuhan dan Kristus, menunjuknya sebagai Anak Tuhan. Tidakkah seluruh pernyataan
Lukas ini, yang diwarnai perspektif "pungutan", masih punya tempat di
dalam kerangka keimanan Yahudi dan Islam yang keras kepada satu Tuhan? Sampai
sekarang, ini adalah keimanan orang-orang Kristen, orang-orang Kristen (yang)
Yahudi.
Sungguh memalukan tiada terkira bahwa, menyusul
penghancuran Yerusalem di bawah Kaisar Hadrianus pada tahun 132 dan
mengungsinya orang-orang Kristen Yahudi ke timur, Gereja yang berkembang hampir
secara sempurna tercabut dari tanah Yahudi. Gereja yang awalnya dipadati
orang-orang Yahudi menjadi Gereja orang-orang Yahudi dan Gentiles (orang-orang
non-Yahudi), dan ia kemudian menjadi Gereja Gentiles (Hellenistik). Orang-orang
Kristen Yahudi yang tidak turut serta dalam pengembangan gereja Hellenistik
dengan Kristologinya yang semakin eksesif ditolak sebagai pembuat bid'ah,
seperti kasus orang-orang Ebioni, yang menerima kelahiran Yesus dari Perawan
Suci menurut sejarawan gereja Eusebius tetapi menolak gagasan tentang
pra-eksistensinya --sebagaimana ditolak oleh al-Qur'an.
Penelitian kami ini sekali lagi tidak dimaksudkan
mencoba menelusuri jejak Islam kembali kepada Yahudi atau Kristen. Sebagai
gantinya, kami berusaha keras melihat Islam secara sungguh-sungguh sebagai
bentuk tantangan yang diperbarui bagi orang-orang Kristen, karena sejak masa
Yohanes (Yahya) dari Damaskus, yang menyangkal Islam sebagai suatu "bid'ah
Kristen", karena Islam mengingatkan orang-orang Kristen pada masa lampau
Kristen Yahudi mereka sendiri. Di sini tampaknya kita mempunyai contoh penting
interdependensi dan interaksi antara gerakan-gerakan agama yang berbeda dalam
persoalan kemanusiaan, sebagaimana ditekankan khususnya oleh W. C. Smith. Dalam
bukunya Korankunde fur Christen, Paul Schwarzenau adalah benar ketika
mengatakan bahwa "adalah unsur Yahudi dalam pesan Kristen yang secara
pasti memperlihatkan al-Qur'an beruntung. Orang-orang Kristen-Yahudi yang ingkar
[terhadap unsur Yahudi tadi --pen] sekali lagi tampil ke muka".[iv]
Schwarzenau menggunakan analisis cerdas ahli tafsir besar Protestan, Adolf
Schlatter, yang menganalisis di awal 1926 hubungan-hubungan antara Kristen
Gentile, Kristen Yahudi, dan Islam dalam buku Die Geschichte der ersten
Christenheit:
Gereja
Yahudi, bagaimanapun juga, mati hanya di Palestina bagian barat, Yordania.
Komunitas-komunitas Kristen dengan praktek Yahudi, pada sisi lain, berlanjut
ada di daerah-daerah bagian timur, di Decapolis, di Batanea, di antara
orang-orang Nabatia, di tepi gurun Syria dan ke Arabia, mereka benar-benar
terputus sama sekali dari sisa Umat Kristen dan tanpa persahabatan dengan sisa
[Umat Kristen tersebut] ... Bagi orang Kristen, orang Yahudi semata-mata musuh,
dan akhirnya pandangan Yunani pun --yang melihat sebelah mata kepada pembunuhan
oleh jenderal-jenderal Troya dan Hadrianus dan kepada takdir orang-orang Yahudi
jahat dan merendahkan-- mencapai Gereja. Bahkan orang-orang terkemuka Kristen
seperti Origen dan Eusebius, dengan sangat mencengangkan tidak peduli pada
kehancuran Yerusalem dan gereja di sana. Demikian pula informasi yang mereka
tinggalkan untuk kita mengenai gereja Yahudi dalam keberadaannya yang kemudian
hanya sedikit. Mereka, orang-orang Kristen Yahudi [sic] adalah pembawa bid'ah
lantaran tidak tunduk pada hukum yang berlaku bagi Umat Kristen yang lain dan
karena itu mereka pun terceraikan dari Umat Kristen yang lain itu. Tak satu pun
dari para pemimpin gereja Kekaisaran mengira bahwa Umat Kristen yang mereka
anggap rendah itu suatu saat akan menyaksikan betapa kehadirannya akan
mengguncangkan dunia dan membelah-belah wilayah gereja yang telah mereka
bangun. Saat itu pun tiba, yaitu ketika Muhammad mengambil alih kekayaan yang
dikembangkan oleh orang-orang Kristen Yahudi, kesadaran mereka terhadap Tuhan,
eskatologi mereka dengan pernyataannya tentang Hari Pengadilan, adat dan
legenda-legenda mereka, dan ketika Muhammad memulai kerasulan baru sebagai
orang yang dikirim Tuhan.[v]
Lalu, apakah Muhammad, kata Schlatter, adalah
seorang "rasul Judaeo Kristen" berbaju Arab? Ini merupakan bagian
pandangan mencengangkan, yang oleh Schlatter secara kebetulan diperkuat lebih
mendalam di awal 1918 lewat sebuah esei berjudul "Die Entwicklung des
judischen Christentums zum Islam."[vi]
Bagaimanapun, bahkan empat puluh tahun sebelum Schlatter, Adolf von Harnack
telah memperhatikan efek terluas dari Kristen Yahudi terhadap Islam, atau
secara lebih tepat Kristen Yahudi Gnostik, dan khususnya orang-orang Elkesi,
terlepas dari keimanan mereka, yang mempertahankan monoteisme keras dan menolak
ajaran gerejawi tentang hipostasis dan Anak Tuhan. Ini terdokumentasi di dalam
sejarah dogmatika Harnack.
Mengingat keadaan penelitian sekarang ini, segala
ketergantungan langsung Islam apa saja yang dibuktikan lewat bahan-bahan asal
akan terus menjadi perdebatan, tetapi analogi-analoginya senantiasa
mengagumkan. Muhammad menolak Kristologi Anak Tuhan (monofisitik) yang sangat
ortodoks, tapi menerima Yesus sebagai rasul yang besar, sebagai al-Masih yang
membawa Injil. Sarjana Yahudi Hans-Joachim Schoeps dengan benar mengatakan
dalam Theologie und Geschichte des Jundenchristentums (Tubingen, 1949) bahwa
Walaupun
tidak mungkin membuktikan hubungan yang pasti sekali, tentu saja ada hal yang
tidak dapat diragukan tentang ketergantungan langsung Muhammad pada Kristen
Yahudi sektarian. Dengan demikian fakta bahwa Kristen Yahudi telah lenyap dari
Gereja tetapi terpelihara di dalam Islam dan berlanjut bahkan hingga saat ini
di dalam beberapa gerakan hati Islam yang utama, merupakan sebuah paradoks yang
luar biasa besar dalam sejarah dunia.[vii]
Cukup mengherankan, bagian-bagian pandangan
historis ini hampir tidak diketahui dalam teologi Kristen sampai sekarang ini,
apalagi diterima dengan sungguh-sungguh. Banyak yang perlu diteliti dalam hal
ini, seperti sejarah sepupu istri Muhammad (sepupu Khadijah), Waraqah, yang
sebagai seorang Kristen (yang hampir tidak kena pengaruh Yunani) menarik perhatian
Muhammad mula-mula kepada hubungan antara pengalaman-pengalaman wahyu Muhammad
dan pengalaman-pengalaman wahyu Musa. Dengan kemungkinan seperti itu, siapa
yang bisa mengabaikan kenyataan bahwa di sini terdapat kemungkinan-kemungkinan
tak terbayangkan bagi dialog segitiga yang sangat penting, "trialog",
antara orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim? Apa pun
keputusan menyangkut persoalan ketergantungan genetik, dalam interpretasi
Muhammad tentang Yesus, tradisi-tradisi Kristen Yahudi yang dihapuskan,
disingkirkan dan dilupakan di dalam gereja Hellenistik muncul kembali dalam
sejarah; dan Kristen Yahudi ini untuk sebagiannya telah mempertahankan
perhatian Yahudi yang utama terhadap Kristen awal.
Harus dilupakan bahwa dalam perjuangannya untuk
tetap bertahan menolak politeisme Arab kuno, yang meyakini Allah mempunyai
anak-anak lelaki dan perempuan yang semuanya dapat dibayangkan, Muhammad tidak
mempunyai pilihan selain menolak istilah "Anak Tuhan." Pada saat yang
sama, betapapun juga, Muhammad mengambil cerita Yesus sebagaimana yang beredar
saat itu di Arab dan memberinya arti dari pikirannya sendiri. Apa yang terjadi
begitu sering di dalam Bibel sekarang terjadi juga di dalam al-Qur'an: suatu
tradisi tua tidak semata-mata diteruskan, tetapi ditafsirkan agar relevan
dengan sudut pandang pengalaman kontemporer. Ini pula yang terjadi dengan
Perjanjian Baru. Persis seperti orang-orang Kristen telah menggunakan banyak
ungkapan ("kenabian-kenabian") Perjanjian Lama untuk merujuk pada
Yesus, walaupun ungkapan-ungkapan tersebut dimaksudkan untuk arti yang berbeda,
maka Muhammad pun menggunakan banyak hal yang telah ia dengar tentang Yesus
untuk merujuk pada dirinya sendiri. Bagi Muhammad, kebesaran Yesus disebabkan
oleh kenyataan bahwa di dalam dan melalui diri Yesus sebagai hamba Tuhan, Tuhan
sendiri telah berkarya. Dengan demikian, "Kristologi" Muhammad tidak
terlalu jauh bergeser dari Kristologi gereja Kristen Yahudi. Apa
konsekuensi-konsekuensi dari semua penemuan baru ini?
Kita dihadapkan pada suatu problema momen yang luar
biasa, konsekuensi-konsekuensi yang belum tampak. Melihat bahwa
penemuan-penemuan tafsir dan sejarah yang telah kami urai di atas adalah akurat
dan dapat dijelaskan lebih jauh lagi, maka penemuan-penemuan tersebut merupakan
tantangan bagi kedua belah pihak untuk menghentikan berpikir perihal
alternatif-alternatif, Yesus atau Muhammad. Sebaliknya kedua belah pihak harus
berpikir mengenai sintesis Yesus dan Muhammad, terlepas dari semua keterbatasan
dan perbedaan. Muhammad bertindak sebagai saksi bagi Yesus, bukan bagi seorang
Yesus sebagaimana yang dapat dipandang oleh orang-orang Kristen non-Yahudi
Hellenistik, tapi bagi seorang Yesus sebagaimana dipandang oleh murid-murid
pertamanya, yang adalah orang-orang Yahudi seperti Yesus itu sendiri. Untuk
menghindari kesalahpahaman sejak permulaan dalam mendekati masalah ini, yang
sangat sulit bagi orang-orang Muslim dan orang-orang Kristen, kita harus
memperhatikan hal berikut. Sebagai seorang Kristen non-Yahudi Eropa, saya dapat
sepenuhnya memahami perkembangan Hellenistik dari Kristologi dan dapat menerima
kebenaran konsili-konsili Kristologis besar dari Nicaea hingga Khalcedon:
dipandang dari sudut Perjanjian Baru, maksud-maksud dan isi konsili-konsili
tersebut tentu saja bisa diperkokoh. Saya tidak percaya bahwa seorang Kristen
hari ini dapat atau harus secara naif memulai lagi semuanya dan menjadi seorang
Kristen Yahudi, katakanlah begitu. Tetapi dalam konteks ekumenis (dalam
hubungan dengan orang-orang Muslim dan orang-orang Yahudi), saya dibayangi
sebuah pertanyaan, bagaimana saya dapat membuat seorang Muslim (atau seorang
Yahudi) memahami kenapa orang-orang Kristen mempercayai Yesus sebagai Kristus,
Firman dan wahyu Tuhan? Yang menjadi niat saya kini, saya mempunyai hak penuh
menarik perhatian kepada pilihan Kristologis yang orisinal dan sepenuhnya sah
yang, walaupun ditepikan dan disembunyikan, dimulai didalam komunitas gereja
Kristen Yahudi paling tertua dan diteruskan selama berabad-abad oleh
komunitas-komunitas gereja Kristen Yahudi yang terpencar-pencar dari timur
Yordania hingga Arabia, dan dengan demikian pada akhirnya beralih kepada
Muhammad. Saya juga masih bertanya-tanya apakah mungkin terdapat kategori yang
sudah ada yang dengan lebih mudah memungkinkan orang-orang Yahudi dan
orang-orang Muslim mengerti Yesus ini sebagai wahyu Tuhan daripada sebagai
ajaran Helienistik tentang dua tabiat, yang ilahi dan yang manusiawi dalam
pribadi ilahi yang satu. Lalu, bagaimana seorang Muslim, mungkin dengan melihat
dari suatu perspektif ekumenis seperti itu, mencoba melihat Yesus ini, dan
demikian juga bagaimana seorang Kristen mungkin melihat Muhammad?
a. Dengan cara apa orang-orang Muslim dapat
memandang Yesus? Saya akan meringkas pikiran-pikiran saya di sini secara sangat
singkat: Orang-orang Muslim melihat Yesus sebagai nabi besar
dan utusan Tuhan Yang Esa, sosok yang secara khusus diangkat untuk menjadi
"Hamba Tuhan" oleh Tuhan sendiri, sejak dari kelahirannya hingga
pemuliaannya ke hadirat Tuhan-orang yang, bersama dengan pesan yang ia
sampaikan adalah penting selama-lamanya bagi Muhammad. Tentu saja bagi
orang-orang Muslim, Muhammad dan al-Qur'an yang diterimanya akan tetap menjadi,
seperti sebelumnya, petunjuk yang menentukan bagi keimanan dan tingkah laku,
kehidupan dan kematian.
Betapapun juga, jika di dalam al-Qur'an Yesus
diistilahkan sebagai "Firman" Tuhan dan pembawa "Injil",
bukankah orang-orang Muslim harus mencoba memperoleh suatu pemahaman lebih luas
tentang Injil ini dan menerimanya secara sungguh-sungguh? Hukum Islam, yang
kerap dicirikan oleh penindasan, dari perspektif pesan dan tingkah laku Yesus,
dapat dilihat dalam suatu pengetahuan yang lebih relatif (berkaitan), demi
Tuhan dan kemanusiaan. Dan manusia, meski tidak terbebas dari hukum itu
sendiri, akan terbebas dari legalisme --sama halnya dengan kasus orang-orang
Kristen Yahudi.
Dengan cara ini, akan diperoleh suatu pemahaman
baru dan lebih mendalam tentang Tuhan yang mencintai dan menderita bersama
rakyat, yang mempertimbangkan kehidupan Yesus, kematiannya --yang tidak bisa
ditolak-- dan kehidupan barunya. Maka kematian Yesus atas nama Tuhan ini dapat
memberikan makna penderitaan dan kegagalan, dan tidak mempunyai arti apa-apa
bila dipahami di permukaan saja.
b. Dengan cara apa orang-orang Kristen dapat
memandang Muhammad? Banyak orang Kristen dengan jelas memandangnya sebagai nabi
yang penting bagi banyak bangsa di bumi, seorang yang telah diberkahi dengan
kesuksesan yang luar biasa seumur hidupnya.
Tentu saja bagi orang-orang Kristen, Yesus Kristus
dan berita baik yang ia sampaikan merupakan ukuran yang menentukan bagi
keimanan dan tingkah laku, hidup dan mati, Firman Tuhan yang definitif (Ibrani
1:1ff). Oleh sebab itu, Kristus adalah dan tetap merupakan faktor pengatur yang
menentukan bagi orang-orang Kristen, demi Tuhan dan kemanusiaan. Bagaimanapun
juga, tidakkah orang-orang Kristen harus, sesuai dengan ajaran Perjanjian Baru
bahwa mereka masih mengakui kehadiran nabi-nabi bahkan setelah Kristus,
menerima Muhammad ini, yang mengambil tradisi Kristen Yahudi, dan
nasihat-nasihatnya dengan lebih sungguh-sungguh? Hal ini tak lain agar:
- Tuhan yang tak terbandingkan dan yang esa ditempatkan sepenuhnya di pusat keimanan;
- persekutuan tuhan-tuhan lain adalah mustahil;
- iman dan hidup, ortodoksi dan ortopraksis bersama-sama bahkan menjadi bagian politik.
Oleh karenanya, Muhammad akan berulang-ulang
memberikan koreksi profetik kepada orang-orang Kristen atas nama Tuhan yang esa
dan sama; "Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang
menjelaskan" (Q., s. 46:9)
Saya bertanya-tanya kepada diri sendiri: Jika
seorang Muslim atau Yahudi dapat diharapkan mengakui Konsili-konsili Hellenis
dari Nicea hingga Khalcedon, apa yang akan dilakukan oleh Yesus dari Nazareth,
orang Yahudi? Pertanyaan ini penting tidak hanya terbatas untuk seorang Kristen
Arab saja, melainkan juga bagi seorang Kristen Afrika, India, Indonesia, Cina
atau jepang.
Akhirnya --dan akan saya tutup di sini-- Islam dan
Kristen terlibat dalam sebuah keputusan keimanan yang harus diciptakan secara
rasional dan bertanggungjawab baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Sebagai seorang Kristen saya bisa yakin bahwa, sejauh saya telah memilih Yesus
ini sebagai Kristus untuk hidup dan mati saya, saya juga telah memilih
pengikutnya, yaitu Muhammad, lantaran Muhammad juga berseru kepada Tuhan yang
sama dan satu, dan kepada Yesus.
Di dalam buku pedoman anjuran-anjuran bermanfaat
yang dipesan oleh Gereja Protestan di Jerman yang berjudul Christen and Muslime
im Gespruch (diterbitkan oleh J. Micksch dan M. Mildenberger,1982), perhatian
diminta dengan adil, paling tidak secara singkat, untuk hubungan yang mungkin
antara Islam dan Kristen Yahudi:
Hal yang
paling penting ialah bahwa orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim tinggal
di dunia yang sama dan harus membuktikan keimanan mereka. Mereka tidak selalu
bereaksi dengan cara yang sama terhadap seluruh tantangan dunia ini. Walau pun
begitu, terlepas dari semua perbedaan, orang-orang Kristen dan orang-orang
Muslim diwajibkan oleh keimanan mereka hidup dengan tanggung jawab di hadapan
Tuhan dan melayani masyarakat manusia. Dengan penuh penghormatan satu sama
lain, mereka tidak boleh gagal untuk saling memberikan bukti keimanan mereka
satu sama lain (edisi Jerman hal.12ff.).
[i] Henricus Denzinger (ed. Adolfus
Schonmetzer), Enchiridion symbolorum, Editio XXXIV (Freiburg: Verlag Herder KG,
1965), 714 (hal. 342).
[ii] Denzinger, op.cit. (1295, 1379).
[iii] Wilfred Cantwell Smith, "Is
the Qur'an the Word of God?," dalam Questions of Religious Truth (New
York: Charies Schribner's Sons; and London: V. Gollanez Ltd.,1967).
[iv] Paul Schwarzenau, Korankunde fur
Christen (Stuttgart: Kreuz-Verlag, 1982), hal.124.
[v] Adolf Schlatter, Die Geschichte
der ersten Christenheit (Stuttgart: Calwer Verlag, 1983; edisi pertana Aufl.
Gutersloh, 1926), hal. 376-77 (terj.)
[vi] Adolf Schlatter, "Die
Entwicklung des judischen Christentums zum Islam," Eyangelisches
Missionsmagazin, N.S. LXII (1918), 251-64.
[vii] Hans-Joachim Schoeps, Theologie
and Geschichte des Jundenchristentums (Tubingen: Mohr, 1949), hal. 342.
Related Posts:
Agama
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :