Jumat, 26 April 2013
Revolusi Teknologi Militer dan Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia
AndiWidjajanto[i]
I
Reformasi
militer yang diinisisasi Indonesia sejak 1998 merupakan bagian dari proses
inovasi militer. Konsep inovasi militer yang diperkenalkan oleh Vincent Davis[ii] ini
bermuara kepada revolusi teknologi militer. Bagi Rosen, revolusi
teknologi militer ini akan meliputi inovasi doktrin perang, restrukturisasi
tata yudha (order of battle), dan peningkatan kinerja pertempuran
melalui evaluasi gelar yudha (military employement).[iii]
Reformasi militer yang dilakukan Indonesia belum diarahkan untuk mencapai
revolusi teknologi militer. Reformasi militer baru sebatas diarahkan untuk
mengeliminasi karakter-karakter tentara politik yang dikembangkan berdasarkan
konsep Jalan Tengah yang disusun oleh Nasution.[iv]
Keberlanjutan
reformasi militer menjadi suatu inovasi militer membutuhkan suatu proses
redefinisi intelektual yang akan mengubah cara pandang organisasi militer
tentang metode perang.[v]
Perubahan cara pandang ini akan terjadi hanya jika organisasi militer mampu
memproyeksikan perkembangan teknologi militer dalam 20-30 tahun ke depan dan
merencanakan proses adopsi dan adaptasiteknologi militer tersebut ke dalam
strategi dan doktrin militer. Proses inovasi militer yang menjadikan perkembangan
teknologi militer sebagai titik awal dari perkembangan strategi dan doktrin
militer inilah yang dikonseptualisasikan sebagai Transformasi Pertahanan.
Penempatan
teknologi militer sebagai titik awal transformasi pertahanan merupakan
pendekatan yang digunakan oleh Krepinevich untuk melakukan transformasi pertahanan
Amerika Serikat. Bagi Krepinevich, transformasi pertahanan didefinisikan sebagai
suatu proses sistematik untuk mengaplikasikan teknologi baru ke dalam system militer
yang dikombinasikan dengan suatu konsep operasional and adaptasi organisasi yang
inovatif sehingga merubah secara fundamental karakter dan metode konflik.[vi]
Proses
aplikasi teknologi militer baru ini menjadi karakter utama dari Transformasi Pertahanan.[vii]
Saat proses ini dilakukan, Transformasi Pertahanan akan mendorong terjadinya
perubahan instrumen perang secara signifikan. Bagi Cohen, instrumen perang terdiri
dari kombinasi dari teknologi militer, organisasi militer, serta strategi
operasional militer.[viii]
Dalam suatu proses transformasi pertahanan, segitiga instrumen perang ini akan berubah
secara drastis saat terjadi adopsi teknologi militer baru ke dalam organisasi militer.
Jika proses pembelajaran organisasi yang dilakukan untuk mengadaptasi teknologi
militer baru ini bisa dilakukan secara baik, maka organisasi militer tersebut
akan memiliki strategi operasional militer baru yang dapat mengarah kepada
revolusi teknologi militer.
Saat
ini, revolusi teknologi militer telah berada dalam tahap keenam. Lima tahap revolusi
militer yang dijabarkan oleh Knox dan Murray sudah menjadi bagian dari sejarah perkembangan
teknologi militer.[ix]
Kelima tahap itu adalah (1) pembentukan Negara modern dan institusi militer
modern, reformasi organisasi dan taktik militer, reformasi sistem logistik
militer; (2) mobilisasi dan militerisasi warga negara, mobilisasi ekonomi
negara, mobilisasi dukungan politik warga negara, tentara warga negara; (3) industrialisasi
militer dan adopsi teknologi; (4) integrasi antar angkatan dan integrasi metode
pertempuran; serta (5) pengembangan senjata pemusnah massal, serta komputerasi
dan digitalisasi senjata.
Tahap
VI dari revolusi militer berkaitan dengan revolusi teknologi informasi. Di tahap
ini, militer berupaya untuk memenangkan perang informasi dengan mengembangkan tidak
hanya suatu jenis senjata baru, namun membangun sistem senjata yang dapat
mengadopsi perkembangan teknologi terkini di bidang telekomunikasi, informasi, komputerisasi,
dan digitalisasi. Beberapa Angkatan Bersenjata di Asia Timur saat ini telah
mulai mengarah kepada Revolusi Militer VI.
Beberapa
negara-negara Asia Timur telah memiliki atau sedang merencanakan untuk memiliki
teknologi sistem senjata baru.[x] Cina, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, dan
Taiwan sedang mengembangkan kemampuan maritim baru yang mengarah kepada
pembentukan blue water navy, India dan Jepang sedang memperkuat industri
galangan kapalnya untuk dapat memproduksi kapal induk (aircraft carrier) buatan
domestik. Cina, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Singapura sudah memiliki
pesawat tanker yang memungkinkan pengisian bahan bakar di udara. Hampir seluruh
negara di Asia Timur telah memiliki pesawat tempur generasi IV seperti Su-27,
Su-30, dan MiG-29 buatan Rusia, atau F-15, F-16, dan F/A-18 buatan Amerika
Serikat, atau Mirage-2000 buatan Perancis. Pesawat tempur generasi IV ini
memiliki persenjataan paling modern termasuk radar-guided-air-to-air missile
varian AMRAAM atau AA-12. Sistem teknologi militer baru yang cenderung
diadopsi oleh negara-negara Asia Timur juga ditujukan untuk memperkuat
kemampuan C4ISR seperti pembelian pesawat berteknologi airborne early
warning and command oleh Australia dan Korea Selatan, atau sistem sensor laut
Aegis oleh Korea Selatan dan Taiwan.
Pemilikan
sistem teknologi militer baru oleh negara-negara Asia Timur ini akan meningkatkan
secara signifikan kapabilitas militer untuk melakukan peperangan. Negaranegara tersebut
akan memiliki kemampuan persenjataan dengan daya hancur yang lebih mematikan,
akurasi angkatan bersenjata dengan daya jangkau lebih besar, system komando dan
kontrol untuk memahami situasi medan tempur yang lebih efektif, serta kecepatan
mobilitas operasional dan taktis yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensinya,
jika pecah perang di Asia Timur, maka karakter pertempuran akan mengarah kepada
suatu pertempuran yanglebih cepat, lebih luas cakupan palagan perangnya, lebih
terkendali dan akurat penghancuran sasaran tempurnya, serta lebih mematikan.
Jika
pengembangan sistem teknologi militer baru menghasilkan suatu revolusi krida
yuha, maka kesenjangan adopsi dan adaptasi teknologi akan semakin menentukan hasil
akhir pertempuran. Korelasi antara kesenjangan teknologi dan hasil akhir
pertempuran ini telah dinyatakan oleh Fuller. Fuller memprediksikan bahwa dalam
perang modern, saat teknologi persenjataan telah berubah secara drastis, suatu
angkatan bersenjata yang tertinggal secara teknologi selama 50 tahun tidak
memiliki kesempatan untuk menang angkatan bersenjata yang berhasil melakukan
modernisasi.[xi]
II
Untuk
dapat menjadi bagian dari revolusi teknologi militer, Indonesia harus segera menginisasi
program transformasi pertahanan. Transformasi pertahanan hanya dapat dilakukan
Indonesia jika Indonesia memiliki kapasitas adopsi teknologi militer yang memadai.[xii]
Adopsi teknologi militer baru ini akan menentukan peningkatan enam komponen
kapabilitas pertahanan negara.
Komponen
pertama adalah kapabilitas eksploitasi informasi strategis yang digunakan untuk
mendukung implementasi suatu operasi militer. Kemampuan TNI untuk melakukan
eksploitasi informasi sangat ditentukan oleh keberadaan teknologi canggih untuk
meningkatkan sistem komando, kontrol, komunikasi, intelijen, pengintaian, serta
pengindraan yang dimiliki negara tersebut. Komponen kedua adalah kapabilitas
proyeksi kekuatan yang ditentukan oleh penempatan pasukan dalam markas-markas
komando militer yang terintegrasi dengan dukungan mobilitas tempur. Bentuk lain
dari proyeksi kekuatan adalah keberadaan armada laut dan skuadron udara yang
kuat yang dapat digunakan untuk melakukan serangan pre-emptif ke wilayah musuh.
Komponen
ketiga adalah kapabilitas dukungan tempur. Kapabilitas ini ditentukan oleh
penggunaan teknologi digital untuk meningkatan kecepatan dan integrasi system logistik
serta dukungan medik di wilayah pertempuran. Komponen keempat adalah
kapabilitas manuver. Salah satu bentuk operasi militer yang terus menerus
dikaji ulang adalah kemampuan manuver pasukan yang terdiri dari kemampuan preemption,
dislocation, dan disruption.[xiii]
Komponen kelima adalah kapabilitas mobilitas pasukan yang sangat tergantung dari
kualitas fisik anggota pasukan serta dukungan kendaraan pengangkut yang handal baik
angkutan darat, laut, maupun udara. Komponen terakhir adalah kapabilitas tempur
pasukan. Kapabilitas tempur pasukan akan ditentukan oleh keberhasilan satuan
TNI untuk dapat menggelar strategi operasi militer di semua tingkatan
pertempuran secara terpadu.
Hasil
akhir dari proses adopsi teknologi militer ini akan terlihat pada transformasi operasi
militer. Transformasi operasi militer ini akan ditentukan oleh dua faktor: (1) pengembangan
metode bertempur baru; dan (2) kemampuan untuk mengadopsi perkembangan
teknologi dan persenjataan ke dalam platform pertempuran. Kombinasi dari kedua
faktor tersebut dikenal sebagai kinerja pertempuran (battlefield performance).[xiv] Kinerja pertempuran ini diukur dari kapasitas
angkatan bersenjata untuk melakukan: (a) gelar pasukan secara cepat di berbagai
wilayah dan berbagai spectrum konflik; (b) manuver pertempuran secara
berkesinambungan dengan dukungan tempur dan fasilitas tempur yang memadai; (c)
operasi militer yang efektif; dan (d) adaptasi medan pertempuran secara lentur.[xv]
III
Transformasi
pertahanan menempatkan teknologi militer sebagai variabel utama yang akan
memungkinkan Indonesia untuk melakukan revolusi Teknologi militer. Untuk melakukan
revolusi Teknologi militer, Indonesia harus mampu mengembangkan kapasitas adopsi
teknologi militer yang akan meningkatkan komponen-komponen militer secara signifikan.
Pengembangan kapasitas adopsi teknologi militer ini akan tergantung dari kemampuan
Indonesia untuk memperkuat industri-industri pertahanan nasional.
Perkembangan
industri pertahanan di negara-negara Asia Timur menunjukkan adanya tiga model
utama industri pertahanan. Model pertama adalah autarky model yang cenderung
diterapkan oleh Jepang dan Cina. Model kedua adalah niche production model yang
diterapkan oleh Taiwan dan Korea Selatan. Model ketiga adalah global supply
chain model yang diterapkan oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Autarky
Model diterapkan oleh suatu negara yang
memiliki ambisi untuk mendapatkan kemandirian pertahanan. Kemandirian
pertahanan ini diukur dari (1) kapasitas negara untuk menguasai teknologi
militer yang dibutuhkan untuk membuat system senjata; (2) kapasitas finansial
nasional untuk membiayai produksi sistem senjata; serta (3) kapasitas industri
nasional untuk memproduksi sistem senjata di dalam negeri.
Autarky
Model ini akan tercapai jika suatu negara
mampu untuk minimal memiliki 70% kapasitas teknologi, finansial, dan produksi
sistem senjata. Untuk mencapai kemandirian pertahanan, suatu negara harus
mengembangkan rencana strategis pertahanan jangka panjang yang terkait dengan
ambisi negara tersebut untuk menjadi kekuatan militer utama di tingkat dunia
atau regional. Komitmen jangka panjang tersebut, misalnya, tampak dari rencana
Cina untuk memproyeksikan diri menjadi kekuatan hegemonik di tahun 2050.
Proyeksi 2050, yang dikenal sebagai rencana Liu Huaqing tersebut, memiliki tiga
target utama. Di tahun 2000, Cina direncanakan memiliki kapasitas Quanli
Duoqu (sea control), kapasitas Quanyu Kongzhi (sea denial) di tahun
2020, dan kapasitas Quanzhi Baochi (global projection) di tahun 2050.
Rencana
tersebut dioperasional dengan melalukan revitalisasi industri pertahanan melalui
beberapa metode, yaitu pertama, standarisasi dan sentralisasi pengadaan alutsista
yang diterapkan sejak tahun 2002. Kedua, konsolidasi industri pertahanan, terutama
dengan membentuk China Aviation Industry Cooperation, dan China State Shipbuilding
Corporation. Ketiga, peluncuran beberapa mega proyek seperti Proyek 085 untuk
membangun kapal induk bertenaga nuklir berbobot 93.000 ton. Proyek yang ditargetkan
selesai tahun 2020 ini dikerjakan oleh China State Shipbuilding Corporation di Jiangman,
Shanghai. Proyek lainnya adalah Proyek 089 yang dikerjakan oleh Dalian Shipbuilding
Industry untuk membangun kapal induk non-nuklir berbobot 48.000 ton yang
dilengkapi dengan pesawat-pesawat tempur J-10 buatan domestik.
Autarky
Model ini merupakan model ideal untuk
membangun industri pertahanan nasional. Namun, model ini hanya bisa dicapai
oleh negara-negara yang memiliki status atau berambisi menjadi kekuatan utama
dunia (great power) yang ditopang oleh postur militer yang besar. Saat
ini, hanya ada tujuh negara yang diprediksi dapat menerapkan autarky model di
abad 21 , yaitu Amerika Serikat, Rusia, Cina, India, Brazil, (konsorsium) Eropa
Barat, dan Indonesia.
Niche-Production
Model diterapkan oleh negara yang berupaya
untuk mengurangi ketergantungan senjata terhadap produsen luar negeri dengan
mengembangkan kapasitas nasional untuk menguasi teknologi militer utama.
Penguasaan teknologi militer ini terutama diarahkan untuk membantu negara
tersebut untuk mengembangkan delapan jenis senjata konvensional, yaitu (1)
senjata kecil dan ringan; (2) tank kelas utama; (3) kapal perang permukaan; (4)
kapal selam; (5) pesawat tempur; (6) helikopter serbu; (7) rudal; dan (8)
sistem komunikasi dan pengindraan militer.
Untuk
menerapkan model ini, suatu negara harus memiliki komitmen untuk melakukan
investasi ke sektor industri pertahanan terutama dengan berupaya mendapatkan transfer
teknologi militer dari produsen senjata yang mapan. Strategi ini, misalnya, secara
efektif dilakukan oleh Korea Selatan untuk mengembangkan kapal perang permukaan,
kapal selam, tank, dan pesawat tempur.
Untuk
kapal perang, Hyunday Heavy Industries, sedang mengembangkan Kapal Perusak
Korean Destroyer Experiment (KDX) King Sejong (11000 ton) yang dirancang untuk
memiliki kualifikasi teknis diatas Kapal Perusak AS. DDG-51 Arleigh Burke dan menggunakan
teknologi maritim yang dikembangkan oleh Thales (Perancis), BAE (Inggris), dan
Raytheon (Amerika Serikat). Untuk Tank, Hyundai Rotem telah mengembangkan Tank
K1A1 yang setara dengan M1 Abram atau Leopard 2A6. Tank K1A1 diproduksi oleh
Hyundai Rotem dengan bekerja sama dengan produsen-produsen tank utama dunia
seperti Rheinmetall Landsystem dan General Dynamics Land System. Untuk membuat
pesawat tempur masa depan Korea Fighter Experiment (KFX) IFX, Korea Aerospace
Industri melibatkan industri dirgantara lainnya. KAI hanya memiliki 63% teknologi
yang diperlukan untuk membuat K/IFX sehingga harus melibatkan Turkish Aerospace
Industries, Saab, Boeing, and Lockheed Martin untuk mendapatkan teknologi lainnya.
Peluang
untuk mendapat transfer teknologi ini bisa diperbesar terutama dengan memanfaatkan
munculnya celah pasar konsumen di pasar senjata internasional. Pasar senjata
internasional terdiri dari dua karakter: pasar konsumen (buyers
market) dan pasar produsen (suppliers market). Pasar konsumen
ditandai dengan tingginya persediaan senjata sementara permintaan senjata
cenderung rendah. Kondisi ini cenderung terjadi saat tercipta situasi peace
dividend (keuntungan perdamaian yang terjadi saat ada peralihan perang ke
damai) dan cenderung menguntungkan pembeli senjata. Pasar produsen ditandai
dengan tingginya permintaan senjata sementara persediaan senjata cenderung
terbatas. Kondisi ini cenderung terjadi saat krisis merebak di suatu kawasan atau
saat negara-negara dalam suatu kawasan melakukan modernisasi militer yang mengarah
ke perlombaan senjata. Pasar produsen cenderung menguntungkan produsen senjata.
Saat
ini, pasar senjata global cenderung mengarah kepada pasar konsumen. Ada tiga
indikasi untuk mendukung ini, yaitu: (1) negara-negara produsen memiliki
senjatasenjata dengan basis teknologi lama yang harus segera dijual sebelum
senjata generasi baru muncul. Misal, kemunculan pesawat tempur generasi V
(F22/F35/Euro Fighters) di 2013-2027 akan memaksa produsen utama (Lockheed
Martins, BAE, EADS) untuk segera menjual pesawat tempur generasi IV (F16,
Typhoon, Mirage 2000); (2) situasi keamanan regional (Asia Timur) relatif
stabil dan belum mengarah ke krisis yang akan memancing terjadi pembangunan
militer secara signifikan; (3) krisis ekonomi dunia (krisis hutang AS dan
Eropa) akan berdampak ke pemotongan belanja pertahanan, sehingga produsen terpaksa
menunda pengembangan senjata generasi baru, dan cenderung mengandalkan pendapatan
transisional dari penjualan senjata generasi lama.
Karena
pasar konsumen tercipta, maka negara konsumen cenderung memiliki posisi
tawar-menawar yang lebih baik dari untuk mendapatkan suatu sistem senjata. Untuk
hibah F-16 dari AS, misalnya, Indonesia bisa meminta AS dan Lockheed Martins untuk
menyediakan fasilitas khusus, seperti (a) paket dukungan finansial yang lebih ringan
untuk hibah F-16; (b) paket hibah yang lebih lengkap yang meliputi pelatihan, amunisi,
perawatan berkala, hingga transfer teknologi; (c) mekanisme transfer teknologi yang
dilengkapi dengan kerjasama industri pertahanan baik berupa co-production,
joint production, atau license; dan (d) mekanisme off-set (counter trade)
untuk menghemat devisa negara.
Saat
pasar konsumen tercipta, produsen cenderung tidak memiliki posisi yang kuat untuk
menekan negara pembeli untuk mengadopsi secara ketat kode etik perdagangan senjata
yang diatur dalam Kode Etik Arias. Bahkan, produsen mestinya berlomba-lomba untuk
menawarkan fasilitas-fasilitas khusus. Rusia menawarkan fasilitas kredit Negara
yang dilengkapi dengan mekanisme off-set. Konsorsium Eropa menawarkan mekanisme
kemitraan strategis yang mengandalkan mekanisme joint-production antara EADS
dengan industri pertahanan domestik. Untuk hibah F-16 ke Indonesia, AS
menawarkan fasilitas khusus berupa Foreign Military Financing yang
disertai dengan fasilitas transfer teknologi untuk meningkatkan kualifikasi
tempur F-16 sehingga bisa menyamai kualifikasi teknologi seperti yang dimiliki
oleh Singapura dan Taiwan. Karakter pasar konsumen di pasar senjata global
cenderung berlangsung singkat.
Karakter
ini hanya akan bertahan hingga negara produsen di AS dan Eropa Barat keluar dari
krisis hutang yang diperkirakan selesai 2015-2017. Karakter ini juga akan
bergeser ke karakter pasar produsen saat produsen senjata siap untuk
meluncurkan senjata generasi baru yang akan membuat senjata generasi lama tidak
lagi relevan dengan dinamika teknologi persenjataan. Untuk pesawat tempur,
pergeseran ke pasar produsen diperkirakan terjadi antara tahun 2015-2017 saat
pesawat tempur generasi V mulai dipasarkan oleh AS, Rusia, dan Eropa Barat. Celah
strategis kemunculan pasar konsumen ini yang memungkinkan suatu Negara untuk
membentuk niche-production model dengan mengupayakan terjadinya transfer
teknologi dalam setiap kontrak pengadaan senjata. Transfer teknologi ini
nantinya dapat menjelma menjadi penguasaan teknologi militer utama yang
memungkinkan suatu negara untuk memperkuat industri pertahanan nasional.
Global
Supply Chain Model cenderung dilakukan
oleh negara-negara yang telah memiliki basis teknologi militer yang mapan namun
tidak memiliki akses besar terhadap pasar senjata internasional. Ketiadaan
akses ini membuat negara-negara tersebut melakukan proses rasionalisasi
produksi senjata dengan cara mengintegrasikan produksi senjatanya ke suatu
konsorsium industri pertahanan global. Rasionalisasi ini dilakukan dengan tiga
metode utama, yaitu (1) penciptaan konsorsium industri senjata di tingkat regional
atau global; (2) mobilisasi sumber finansial dari sektor swasta lintas negara
untuk membiayai investasi ke sektor industri pertahanan; dan (3) penyebaran
teknologi militer dari produsen senjata utama ke anggota konsorsium.
Model
ini, antara lain, dilakukan oleh Australia yang telah mengkonsolidasikan Australian
Defense Industry dengan Thales (Perancis), Australian Aerospace Industry dengan
EADS, dan Tenix Defense dengan BAE (Inggris). Hal serupa dilakukan oleh Singapura
dengan mengembangkan kerja sama antara Thales dan Singapore Technologies
Engineering (STEngg) untuk membuat komponen-komponen system komunikasi dan
pengindraaan bagi kapal perang fregate kelas Lafayette. Kerja sama ini tidak
hanya menjadikan STEngg sebagai bagian dari rantai produksi Thales, namun juga bagian
dari rantai produksi kapal perang Eropa yang memanfaatkan teknologi dari
Thales.
IV
Dari
tiga model yang ada, autarky model merupakan model ideal untuk
mendapatkan kemandirian pertahanan. Model ini hanya bisa dicapai oleh
negara-negara yang memiliki status atau berambisi menjadi kekuatan utama dunia
(great power) yang ditopang oleh postur militer yang besar. Saat ini,
hanya ada tujuh negara yang diprediksi dapat menerapkan autarky model di
abad ke-21, yaitu: Amerika Serikat, Rusia, Cina, India, Brazil, (konsorsium)
Eropa Barat, dan Indonesia.
Untuk
dapat menerapkan model tersebut, empat strategi harus diterapkan Indonesia:
Pertama,
merumuskan rencana strategis pertahanan jangka panjang. Rencana strategis ini
harus bisa menggambarkan tiga perencanaan utama, yaitu: (1) Evolusi kekuatan
militer Indonesia menjadi kekuatan utama di Asia Timur. Evolusi ini tidak saja menggambarkan
target pemenuhan Kekuatan Pertahanan Minimal 2024, namun juga rencana
pengembangan postur pertahanan hingga 2050; (2) Cetak Biru Revitalisasi Industri
Pertahanan yang berisi Kebijakan Umum Pengembangan Industri Pertahanan, Strategi
Revitalisasi Industri Pertahanan 2024, dan Program Kerja Kemandirian Industri Pertahanan
2050; dan (3) Rencana Pengadaan Alusista 2024 yang dipilah dalam bentuk Rencana
Pengadaan Alutsista 2012-2014, 2014-2019, dan 2019-2024.
Kedua,
membentuk komitmen politik anggaran jangka panjang untuk menjamin kesinambungan
program pengembangan industri pertahanan. Komitmen politik anggaran ini
dilakukan dengan menetapkan target alokasi anggaran pertahanan terhadap PDB yang
secara bertahap dinaikan dari 1% PDB di tahun 2014 menuju 2,5% PDB di tahun
2024. Komitmen politik anggaran ini juga harus disertai dengan perumusan
kontrak-kontrak pengadaan jangka menengah yang bersifat mega proyek dari
pemerintah ke industry pertahanan. Mega proyek ini diarahkan untuk membangun
sistem senjata konvensional seperti pesawat tempur, kapal perang permukaan,
kapal selam, tank, helikopter serbu, dan rudal dalam jumlah besar sehingga
dapat memberikan kepastian dan kesinambungan proses produksi untuk industri
pertahanan nasional. Nilai nominal kontrak pengadaan ini jugaharus secara
bertahap ditingkatkan dari 10% nilai seluruh pengadaan senjata di tahun 2014,
menjadi minimal 30% di tahun 2024.
Ketiga,
melakukan konsolidasi industri pertahanan nasional dengan cara menetapkan dua
konsorsium strategis, yaitu konsorsium industri penerbangan nasional (national
aerospace industry) dan konsorsium industri pertahanan dan maritim nasional
(national maritime and defense industry). Kedua konsorsium ini harus
membentuk rantai produksi alutsista nasional yang melibatkan industri nasional
lainnya, termasuk industry menengah-kecil.
Keempat,
merintis aliansi industri pertahanan di tingkat regional dan global yang memperbesar
kemungkinan bagi Indonesia untuk secara cepat mengadopsi teknologi militer
terkini ke dalam proses pengadaan alutsista. Proses adopsi teknologi ini merupakan
metode untuk menerapkan niche-production model yang dapat dijadikan tahapan
transisi untuk mencapai kemandirian pertahanan Indonesia. Aliansi ini juga dibentuk
untuk memperbesar akses pasar senjata yang memungkinkan industry pertahanan
nasional menjadi bagian dari rantai produksi global. Metode ini mengandalkan
penerapan global suppy chain model yang juga dapat dijadikan tahapan transisi
bagi pengembangan industri pertahanan nasional. Keempat strategi tersebut
dirumuskan untuk menjamin adanya komitmen politik yang kuat untuk membentuk
kemandirian industri pertahanan Indonesia. Jika komitmen politik bisa
diwujudkan, pengembangan industri pertahanan nasional bisa dijadikan penjuru
untuk menginisiasi transformasi pertahanan yang menjadikan kemampuan adopsi teknologi
militer sebagai determinan untuk membangun kekuatan pertahanan modern di abad
XXI.
Sumber
: Jurnal Pertahanan Mei 2012, Volume 2,
Nomor 2
Daftar
Pustaka
Bitzinger, Richard A. Autums 2005. “Comethe
Revolution: Transforming the Asia-Pacific’s Militaries”. NavalWar College
Review. Vol. 58, No.4.
Cohen, Eliot. 2009. “Change and Transformation
inMilitary Affairs,” dalam Loo, Bernard (ed.), Military Transformation and
Strategy: Revolutions in Military Affairs and Small States. London: Routledge,
2009.
Davis, Vincent. 1967. The Politics of Innovation:
Patterns in Navy Cases. Denver: University of Denver Press.
Fuller, J.F.C. 1946. Armament and History. London:
Eyre & Spottiswoode.
Horowitz, Michael. 2006. The Diffusion of
Military Power: Causes and Consequences for International Politics. Cambridge,
Mass.: Harvard University Press.
Hundley, Richard O. 1999. Past Revolutions,
Future Transformations: What Can the History of Revolutions inMilitary Affairs
Tell Us About Transforming the US Military? Santa Monica,CA: RAND
Corporation.
Krepinevich, Andrew F. Fall 1994. “Calvary to
Computer: The Pattern of Military Revolutions”.The National Interest. 37.
Knox, MacGregor danWilliamsonMurray. 2001. “Thinking
about Revolution inWarfare,” dalam Knox, MacGregor dan Murray, Williamsom
(eds.). The Dynamics of Military Revolution 1300-2050. Cambridge:
Cambridge University Press.
Leonhard, Robert. 1991. The Art of Maneuver:
Maneuver-Warfare Theory and AirLand Battle. New York: Presidio.
Owens, Mackubin Thomas. Spring 1998. “Technology,
the RMA and Future War”. Strategic Review. 67.
Rosen, Stephen Peter. Summer, 1998. “New Ways of
War: Understanding Military Innovation”. International Security. Vol.13.
No.I.
[i] Penulis adalah Dosen
Revolusi Sistem Persenjataan Hubungan Internasional Universitas Indonesia.
[ii] Vincent Davis, The
Politics of Innovation: Patterns in Navy Cases, (Denver: University of
Denver Press, 1967).
[iii] Stephen
Peter Rosen, “New Ways of War: Understanding Military Innovation,” International
Security, Vol.13, No.I, (Summer, 1998), hlm.134-135.
[iv]
Konsep Jalan Tengah disampaikan oleh KSAD A.H. Nasution pada tanggal 12
November 1958 di Akademi Militer Nasional, Magelang. Konsep ini memberi
formulasi tentang pelibatan TNI dalam politik Negara dan menjadi dasar
perumusan Doktrin Dwi Fungsi ABRI.
[v] Rosen, op.cit., hlm.
136.
[vi]
Andrew F. Krepinevich, “Calvary to Computer: The Pattern of Military
Revolutions”, The National Interest¸37, (Fall 1994), hlm.30.
[vii]
Richard O. Hundley, Past Revolutions, Future Transformations:What Can the
Historyof Revolutions in Military Affairs Tell Us About Transforming the US
Military?, (Santa Monica,CA: RAND Corporation, 1999), hlm. 9. Lihat juga,
Mackubin Thomas Owens, “Technology, the RMA and Future War,” Strategic
Review, (Spring 1998), 67.
[viii]
Eliot Cohen, “Change and Transformation in Military Affairs,” dalam Bernard Loo
(ed.), Military Transformation and Strategy: Revolutions in Military Affairs
and Small States, (London: Routledge, 2009), hlm.16.
[ix]
MacGregor Knox, dan Williamson Murray, “Thinking about Revolution in Warfare,”
dalam Knox, MacGregor dan Murray, Williansom (eds.), The Dynamics of
Military Revolution 1300-2050 (Cambridge: Cambridge University Press,
2001), hlm.6-14.
[x]
Richard A. Bitzinger, “Comethe Revolution: Transforming the Asia-Pacific’s
Miltiaries,” Naval War College Review, Vol. 58, No.4., (Autums 2005).
[xi]
J.F.C. Fuller, Armament and History, (London: Eyre & Spottiswoode,
1946), hlm .31.
[xii]
Michael Horowitz, The Diffusion of Military Power: Causes and Consequences
for International Politics (Cambridge, Mass.: Harvard University Press,
2006), hlm. 45-71.
[xiii] Penjelasan
lebih rinci tentang kemampuan manuver dapat dilihat di Robert Leonhard, The
Art of Maneuver: Maneuver-Warfare Theory and AirLand Battle, (New York:
Presidio, 1991), hlm. 62-77.
[xiv] Kugler dan
Binnendijk, op.cit., hlm.60-63.
[xv] Ibid., hlm.61.
Related Posts:
Pertahanan
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :