Jumat, 26 April 2013
Evolusi Alam-Semesta*
Jorga
Ibrahim
Pendahuluan
Bilamana kita diminta menyampaikan kuliah untuk pendengar umum,
dengan tema yang berkaitan dengan bidang keilmuan yang sangat spesifik, perlu
kita renungkan bahwasannya hal ini sesungguhnya merupakan sebuah tantangan serius.
Para hadirin dalam kuliah ini tentu sangat beragam, ada yang sarjana dengan latar belakang pengetahuan yang beraneka ragam dan ada pula yang dating dari kalangan awam. Jelaslah kerumitan yang akan kita hadapi; kita harus menyusun sebuah tulisan yang bisa dipahami semua orang.
Dengan memperhatikan kenyataan ini, terasalah bahwa membuat kuliah
umum semacam ini tidak gampang. Lain halnya jika audiens yang dihadapi adalah para
ilmuwan yang memiliki pengetahuan yang sama, yang membuat kita merasa at
home dan merasa lebih mudah menyampaikannya.
Dalam kondisi demikian, untuk penyusunan tulisan yang disajikan,
kita perlu memiliki bekal tambahan, di antaranya pengetahuan yang kiranya dapat
menciptakan kehangatan dalam berdiskusi. Untuk muatan tulisan, diperlukan pula
materi dari pemikiran hal-hal lain yang kiranya penting.
Bagi pemberi kuliah, ini memang sulit, karena latar belakang
pengetahuan yang yang dimilikinya untuk yang luas itu, tentu tidak akan
memadai. Apalagi jika ada yang tingkat pengetahuannya cukup berbeda, maka
penyajian kuliah pun akan terasa tidak mudah. Namun saya harap tulisan ini
tidak demikian. Dan yang lebih penting, tulisan ini tidak terasa ”kering” dan
membosankan.
Gagasan pengadaan kuliah ini bermula ketika beberapa waktu yang
lalu saudari Nong Darol Mahmada dari Freedom Institute menghubungi saya di Bandung.
Dia meminta sekiranya saya bersedia menyampaikan sebuah kuliah umum di Freedom
Institute. Tema perkuliahannya tidak tanggung-tanggung, yakni tentang evolusi alam
semesta dan hubungannya dengan teori penciptaan alam semesta.
Tentu saja tema semacam ini berkemungkinan besar mengundang polemic
serta dialog panjang. Apalagi jika kita perhatikan kondisi ilmu pengetahuan dan
teknologi di negeri ini, yang sangat tertinggal dibandingkan dengan beberapa
negara maju yang memiliki pencapaian spektakuler di bidang sains dan teknologi.
Akan tetapi, bagaimanapun saya memandang kegiatan ini merupakan
sebuah langkah unik yang saya harapkan mampu menerobos cakrawala berpikir masyarakat,
untuk mengajak kita bersama-sama melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi terbaru di dunia ini.
Dari segi isi, Freedom Institute memberikan saya kelonggaran dalam
menyampaikan kuliah ini. Secara umum, saya diminta untuk menyampaikannya secara
ilmiah populer, dalam bahasa yang bisa dimengerti sebagian besar kaum awam.
Bagi saya, kegiatan seperti ini sangat baik dan perlu diteruskan.
Latar Belakang Pembahasan
Pertama-tama, harus saya jelaskan bahwa latar belakang pendidikan
saya adalah matematika murni.
Dalam pengetahuan matematika tersirat konsep ruang yang dapat
menuntun kita ke pemahaman ruang melengkung (curved space).
Konsep ruang melengkung pada dasarnya tidak mudah dimengerti. Konsep ruang melengkung
bukanlah seperti kertas datar digulung menjadi permukaan silinder. Lebih jauh,
harus benar-benar disadari bahwa hal ini mustahil kita pahami jika hanya dengan
membolak-balik ruang Euclid yang kita pakai sehari-hari dalam kehidupan
manusia.
Untuk bahasan di sini, katakanlah yang kita maksud dengan ruang
melengkung adalah ruang non-Euclid. Sebagai contoh, permukaan bola. Di
sini, yang dipandang sebagai garis lurus biasa disebut dengan geodesik, yaitu
setiap lingkaran besar seperti garis katulistiwa pada permukaan bumi. Jelas
tidak akan terdapat dua geodesik yang sejajar (mereka berpotongan di kedua kutubnya),
dan jumlah sudut segitiga bola melebihi nilai 180 derajat sudut.
Secara singkat saja, untuk mengenalnya saja, suatu ruang
melengkung yang kita perlu perhatikan disebut ruang Riemann (Riemannian
manifold) – temuan Georg Friedrich Bernhard Riemann (1826-1866). Inilah
alat untuk memahami ruang melengkung itu – suatu bahasan yang tidak akan saya
singgung lagi secara mendalam di tulisan ini, karena terlalu teknis.
Jadi untuk sederhananya, marilah, untuk memahami alam semesta,
kita ikuti saja bahwa ruang melengkung identik dengan konsep gravitasi
universal yang pernah ditemukan ilmuwan besar Albert Einstein (1879-1955) pada
1915.
Einstein dikenal karena karya tulisnya yang termashur The
General Theory of Relativity. Dalam teori ini Einstein menjelaskan
hukum-hukum alam sehingga ketika diterapkan pada alam semesta kita bisa
memahaminya. Di sinilah kita berjumpa dengan apa yang lazim dinamakan mekanika
relativistik.
Hal lain yang penting kita simak adalah tentang keadaan alam
semesta di saatsaat sangat dini, yaitu pada saat penciptaannya. Hukum-hukum
alam yang menjelaskannya dinamakan mekanika kuantum.
Bagian dari teori kuantum ini berkembang pesat terutama di Eropa
Barat, seperti di Gottingen, Wina, dan Kopenhagen pada pertengahan 1920-an.
Para tokoh besar perintisnya antara lain adalah Werner Heisenberg (1901-1976)
dan Erwin Schrödinger (1887-1961).
Impian Albert Einstein untuk menyatukan mekanika relativistik dan
mekanika kuantum tidak pernah tercapai. Namun, yang jelas, semenjak alam
semesta primordial sampai saat ini, keduanya telah menampilkan keampuhannya
dalam menjalankan peranan mereka masing-masing. Tidak akan terlalu menyimpang apabila
dikatakan bahwa kedua paradigma pengetahuan ini setidak-tidaknya bersifat
komplementer.
Disiplin ilmu yang membahas evolusi alam semesta serta
penciptaannya, untuk mudahnya disebut saja Kosmologi Perkuliahan kosmologi
seperti tersirat di atas pernah saya berikan bertahun-tahun pada Program Studi
(Prodi) Astronomi, di Institut Teknologi Bandung (ITB). Juga perkuliahan yang tergolong
kategori matematika murni banyak saya berikan pada Prodi Matematika, juga di
lingkungan ITB selama periode 1976-1986. Semua perkuliahan ditujukan untuk keperluan
tingkat Pasca Sarjana. Perlu diketahui pemakaian istilah Prodi (Program Studi)
yang dipergunakan saat ini dapat diartikan Jurusan pada abad yang lalu,
walaupun coraknya berlainan.
Sesuai permintaan Freedom Institute, saya akan menyinggung teori
penciptaan juga di sini. Teori ini terkait dengan peristiwa big bang di
era Planck, nama yang diambil dari nama penemu pertama teori kuantum Max Planck
(1858- 1954). Peristiwa big bang penyebab kelahiran alam semesta akan
saya bahas nanti.
Tidaklah mengherankan bilamana saja topik semacam ini mengundang pertanyaan:
bahwa di balik ini semua, kekuasaan dahsyat bagaimana sehingga terjadi alam
semesta yang kita huni dewasa ini. Di sinilah tempatnya manusia, terutama
sekali mereka yang menganut monotheisme. Di hati sanubarinya tertanam perasaan
untuk mengakui atau lebih dari pada itu, meyakini keberadaan Sang Pencipta,
Tuhan.
Dalam era abad pertengahan, hubungan para musisi, ilmuwan dan yang
tergolong bagian dari kebudayaan saling mempengaruhi, para ilmuwan melihat kosmologi
karena kita ditantang untuk menjadi man of analysis, kaitan dengan Ilahi
tentu akan terjadi, karena sampai saat ini, orang melihat the real big bang belum
tentu dapat dipahami bahkan untuk selama abad ini pun..
Bagi para penggemar musik, khususnya dari kategori yang
berlangsung pada periode 1750-1820 (era musik klasik), mereka akan teringat dan
tertarik pada sebuah gubahan tahun 1799 yang sangat indah dari komponis
kenamaan, Franz Joseph Haydn (1732-1809). Gubahan ini tertulis dalam bentuk oratorio
dengan judul die Schöpfung atau dalam bahasa Inggrisnya, the
Creation, mengikuti keberhasilan Isaac Newton (1643-1727) dengan teori
gravitasinya yang menjadi landasan mekanika klasik.
Sebaliknya juga, Joseph Haydn dipengaruhi perkembangan ilmu
pengetahuan di saat-saat itu dalam penciptaan musiknya. Misalnya dari Newton,
Haydn untuk die Schöpfung, ia membayangkan gerak segala isi alam semesta
yang diatur oleh hukum Newton yang menaunginya. Tertariknya kita menggeluti keingintahuan
akan rahasia alam semesta, yang menyangkut histori, struktur serta
penciptaannya mungkin saja terangsang oleh karya Haydn tentang Penciptaan.
Ketertarikan ke kosmologi tentu saja, inspirasinya dapat dating dari bidang
lain, yang sudah lebih dahulu maju, yaitu biologi dengan teori evolusi memgenai
asal muasal spesies.
Ilmuwan yang berkecimpung di bidang astronomi William Herschel
(1738-1822), juga diperhatikan Haydn, karena temuannya yang menakjubkan, planet
Uranus dengan dua bulannya utamanya, yaitu Titani dan Oberon. Herschel juga
tercatat sebagai penemu radiasi gelombang inframerah dan yang mengherankan,
dalam kenyataannya ia seorang komponis, tercatat dengan hasil sebanyak 24
gubahan berbentuk simfoni yang banyak dilupakan orang.
Semua partitur dalam oratorio die Schöpfung benar-benar
indah diiringi oleh alunan melodi yang merdu pula untuk dinikmati. Salah satu
bagiannya yang berjudul die Himmel erzählen atau the Heavens are
telling sangat menyentuh perasaan. Dan ungkapan kelanjutan partitur ini die
Ehre Gottes atau the Glory of God dengan alunan yang indah pula,
sangatlah memukau.
Komposisi nan indah itulah yang menggerakkan hati kita untuk
mengenal, mengetahui serta meneliti penciptaan dan evolusi alam semesta Dengan
kata lain, ésprit scientifique yang keluar dari padanya adalah
universal, keingintahuan untuk menelaah evolusi alam semesta beserta
strukturnya, yaitu ilmu kosmologi.
Pada kenyataannya yang mengagetkan, kosmologi yang pada awalnya di
permulaan abad ke-20 merupakan sebuah paradoks telah menjelma menjadi suatu
paradigma di permulaan abad ini.
Sedikit menyimpang pada pembicaraan di sini, perlu kita ketahui
bahwa era musik klasik berpusat di kota Wina, dengan para tokoh musik
termashurnya serta yang mewarnainya, yaitu Franz Joseph Haydn, Wolfgang Amadeus
Mozart (1756-1791) dan Ludwig van Beethoven (1770-1827). Di periode ini Wina
sangat termashur sebagai Panthéon of Classical Music, the World Capital
of Classical Music di dunia Barat.
Manusia selalu mengimpikan bisa benar-benar mengetahui segala hal
tentang permasalahan evolusi alam semesta, tempat di mana bumi manusia ada.
Dalam memahami semua teka-teki yang terkait dengan peristiwa problematic semacam
ini, tentu saja pada hakikatnya terbentanglah di hadapan kita pelbagai hal yang
sekiranya perlu kita pecahkan dalam bentuk urutan peristiwa kosmologi, dalam
suatu perspektif historis alam semesta. Dan ada baiknya, kita bertanya kepada
diri kita sendiri: dengan motivasi apa selaku pendorong untuk memecahkan
masalah ini?
Saya sendiri teringat akan seorang pelukis kenamaan kelahiran
Prancis, bernama Paul Gauguin (1848-1903), pelukis beraliran post-impresionism
yang pernah hidup soliter di tengah masyarakat kepulauan Tahiti. Sebuah karya besar
terkenal hasil lukisannya di tahun-tahun 1897/1898 memberikan gambaran tentang
kehidupan orang Tahiti, dan terpampang dengan megahnya di Museum of Fine Arts
di kota Boston, Amerika Serikat.
Yang mencengangkan pada lukisan tersebut di bawahnya bertuliskan D’où
venons nous, que sommes nous, où allons nous?, yang berarti dalam suatu permasalahan
historikal, kita harus meninjau bagaimana awal obyek muncul, apa hal itu
sekarang dan akan ke mana obyek itu di masa yang akan datang.
Kembali ke domain kosmologi, berkaitan dengan evolusi alam semesta
sangatlah bijaksana jika kita mengikuti jalan ini, memilihnya sebagai motivasi kita
untuk lebih memahami awal muasal alam semesta.
Baru-baru ini terbetik berita tentang keberhasilan percobaan
benturan atau tumbukan proton yang sangat baru pada bulan lalu di laboratorium
Large Hadron Collider (LHC) di Geneva, suatu instalasi dalam naungan Conseil Européen
pour la Recherce Nucléare (CERN). Keberhasilan eksperimen yang diperoleh LHC
memberikan konfirmasi atas kejadian seperti yang terjadi di era alam semesta
dini, 13,7 milyar yang silam.
Mengikuti kebiasaan, bagi kemudahan pemahaman, masa alam semesta
sampai saat ini, bisa kita bagi dalam tiga fase: pertama, phase alam semesta
sangat dini yang menandakan begitu miskinnya pengetahuan manusia tentang
alam semesta. Kedua, fase alam semesta dini, kurun waktu yang
berlangsung mengikuti pengetahuan fisika energi tinggi. Yang terakhir, yaitu
saat-saat pertama kali terbentuknya bintang, galaksi dan gugus galaksi, atau
fase transparan. Gambaran apa yang akan dialami alam semesta di masa
depan merupakan permasalan yang sangat menarik pula untuk diteliti.
Para ahli fisika partikel berkeinginan besar memahami fenomena big
bang di dekat-dekat saat penciptaan alam semesta, dengan melakukan
eksperimen atau semacam percobaan menirukan terjadinya tumbukan yang pernah
terjadi pada fase alam semesta dini dan sangat dini.
Keberhasilan percobaan LHC tersebut merefleksikan kebenaran
tentang teori fisika energi tinggi, hal ini berarti eksistensi fase alam
semesta dini memang telah terjadi. Ini adalah suatu keberhasilan yang luar
biasa. Selanjutnya terbukalah jalan untuk menyimak lebih jauh big bang dalam
era Planck.
Pendek kata, setidak-tidaknya diperlukan dua paradigma untuk
mengulas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam evolusi alam semesta.
Pertama, mekanika relativistik (General Relativity) yang
mengatur bagian ruang 3 dimensi (ruang spasial sebagai subruang dalam
ruang-waktu berdimensi 4) dalam ukuran berskala makro. Yang kedua, mekanika
kuantum untuk ruang itu dalam ukuran skala mikro, yaitu untuk alam semesta yang
masih berada dalam tahap-tahap usia dini.
Namun demikian, mekanika Newton atau mekanika klasik dan dinamika elektromagnetik
dengan pernyataan bentuk lengkap formalisme Maxwell, hasil pekerjaan
James Clerk Maxwell (1831-1879), dapat berlaku dalam ruang spasial alam semesta
pada periode kini. Ini mengingat bahwa alam semesta kita menjadi hampir datar (nearly
flat), yaitu mendekati ruang Euclid tigadimensional. Teori Newton tertuangkan
dalam bukunya yang sangat terkenal, Philosofiee Principia Matematica yang
biasa cukup disebut Principia.
Tentu saja aspek-aspek yang datang di luar apa yang telah
disinggung untuk menelaah evolusi alam semesta harus mendapatkan perhatian
tersendiri, yaitu yang beraspek dengan karakteristik kultural, filosofi, religi
ataupun mungkin saja tradisional dalam kehidupan masyarakat.
Skenario Alam Semesta
Bagi para ahli Biologi yang berkecimpung di bidang evolusi,
banyaknya penemuan fosil-fosil peninggalan kehidupan masa lalu kini sangat
mendukung kerja mereka. Fosil-fosil ini, meskipun dipandang kurang mencukupi
untuk keperluan penelitian, bagi para ahli yang bersangkutan, fosil-fosil
tersebut memperlihatkan keterpautan kehidupan yang luar biasa antara yang
sekarang sedang berlangsung dengan yang pernah ada pada jutaan tahun yang
silam.
Ini berarti para ahli Biologi tidaklah hanya mengetahui kejadian
kehidupan dalam lingkup kebiologian saja, tetapi juga dengan baik memahaminya
dari segi keterpautan kehidupan itu di dalam evolusinya.
Inilah sebuah fakta yang menampilkan sebuah perspektif: bahwa
mereka telah menempatkan posisi Biologi ke tingkatan yang sangat tinggi dalam
ilmu pengetahuan, suatu tanda bagaimana tingginya peradaban dan nilai kultural manusia
yang memiliki keberhasilan seperti ini.
Tidak dapat dipungkiri bagaimana hebatnya aspek kemajuan ilmu
tersebut mempengaruhi kemajuan yang menembus ke pelbagai disiplin ilmu lainnya.
Adanya paralelisme kondisi ini dengan apa yang terdapat dalam
peristiwa evolusi alam semesta untuk kosmologi tidaklah jelas. Bahkan sampai
paruh pertengahan abad yang silam pun, para ilmuwan yang bekerja pada bidang kosmologi,
umumnya hanya mengandalkan dan lebih menekankan pada penyusunan teori-teori
belaka dalam domain ini.
Kenyataannya sampai tahun 1920-an pun, belumlah orang mengenal
galaksi Milkyway atau Bimasakti, tempat Matahari bermukim, apalagi galaksi
terdekat Andromeda (Messier 31). yang masih dianggap bintang, yang berjarak di sekitar
4,2 tahun cahaya saja.
Para ahli kosmologi dalam penelitian evolusi alam semesta tidaklah
begitu beruntung dalam upayanya membongkar gejala alam semesta yang terjadi, terutama
dalam fase dini dan sebelumnya.
Walaupun tidak seberuntung para ahli Biologi, yang mengejutkan dalam
kosmologi adalah terjadinya penemuan semacam Rosetta Stone (Batu Rosetta). Ini
adalah batu yang secara misterius ditemukan tanggal 20 Agustus 1799, di lembah
sungai Nil, Mesir. Ternyata batu ini adalah suatu prasasti yang ditemukan oleh
salah seorang anggota pasukan Napoleon Bonaparte bernama Letnan Pierre François
Xavier Bouchard sewaktu ia mencari air dengan membongkar-bongkar sebuah dinding
bangunan Forte St. Julien, benteng tua di dusun Rosetta (El Raschid) dekat kota
Aleksandria.
Beberapa tahun kemudian terungkaplah bahwa Batu Rosetta itu
berisikan tulisan legenda masa lalu tentang Epiphane atau public decree yang
diterbitkan pharaoh Ptolomaeus pada tahun 196 SM. Dekrit ini sangatlah
menakjubkan. Sebagai prasasti, dekrit ini tertulis dengan huruf Yunani purba
untuk kepentingan hubungan diplomasi dengan imperium Yunani purba, dengan huruf
Demotic untuk bahasa yang dipakai rakyat golongan kebanyakan kerajaan Mesir,
serta huruf Hieroglyph bagi yang dipakai kalangan para bangsawan dan anggota
kerajaan.
Barulah sekitar dua dekade kemudian sejak ditemukannya Batu
Rosetta, misteri rahasia yang tersimpan di dalamnya selama lebih dari satu
setengah millenium itu terpecahkan oleh para ilmuwan kenamaan Eropa Barat yang berkecimpung
dalam ilmu purbakala, sastra dan linguistik. Suatu hasil yang membuka sejarah
jaman Mesir purba. Dan tercatatlah tokoh utama pembongkar prasasti Batu
Rosetta, Jean-François Champollion (1790-1832), ahli dalam bidang arkeologi, the
”father” of Egyptology.
Sejak terbukanya isi ”prasasti kunci” Batu Rosetta, terkuaklah
berbagai peristiwa dalam sejarah Mesir purba, dan ilmu pengetahuan tentang
Mesir berubah menjadi Modern Egyptology. Fakta yang tidak dapat
disangkal, ternyata para pharaoh yang hidup di masa silam telah mengangkat nama
kerajaan Mesir dan warganya ke jenjang negara-bangsa yang berperadaban tinggi
serta sangat terhormat, suatu kenyataan yang baru saja terbuka pada permulaan
abad ke-18.
Tercatat pula pharaoh Amenhotep IV salah seorang pemimpin yang
pernah sangat berkuasa di Mesir purba memberlakukan kepercayaan bagi rakyatnya bahwa
hanya ada satu dewa yang paling berkuasa di seluruh jagat, yaitu yang disebut
dewa Aten, sedangkan para dewa lain dipandang tidaklah berperan dengan
kekuasaan seperti semula. Nama ia sendiri diubah menjadi Akhenaten.
Hal ini menandakan ribuan tahun silam telah terjadi eksistensi
jalur monotheisme dengan pharaoh Akhenaten selaku penganut pertama kali yang pernah
ada di muka Bumi. Tetapi pharaoh berikutnya mengubahnya, berpaling kembali ke
yang semula, ke jalur polytheisme, yang mengakui banyak dewa yang berkuasa.
Kembali ke permasalahan kosmologi, peristiwa Batu Rosetta benar
telah terjadi melalui suatu penemuan yang tidak disengaja, diperoleh tidak
dengan perencanaan sama sekali. Dan penemuannya bukanlah yang diharapkan .
Penemuan ini terjadi pada tahun 1964/1965 berupa hasil observasi scientistsengineers
Arno Penzias dan Robert Wilson, yang bekerja pada Bell Telephone Laboratories
di Amerika Serikat.
Keberhasilan ini ternyata merombak wajah dan corak kosmologi yang sebelumnya
hanya polemik berkepanjangan menjadi yang merepresentasikan paradigma,
melukiskan alam semesta, yang real dan observable, yang dipercaya
bahkan diyakini eksistensinya. Di depan, kita akan kembali ke pembahasan ini.
Ilmuwan kenamaan pertama yang meneliti tentang big bang adalah
seorang pastor berkebangsaan Belgia, Georges Lemaître (1894-1966). Pada tahun 1926/1927
ia mengemukakan pandangan menyangkut penciptaan alam semesta, setelah ia
berhasil dengan baik memecahkan persamaan-persamaan Einstein secara independen.
Lemaître menegaskan bahwa alam semesta tidak statik sebagaimana
yang Einstein pegang teguh. Menurut Lemaître, dengan seutuhnya alam semesta, dalam
fase penciptaannya merupakan substansi begitu kecil (infinitesimal), yang
disebutnya sebagai primeval atom atau atom primitif. Tidaklah
pula ia pedulikan bagaimana terbentuknya atom primitif ini dan sebelumnya diasumsikan
belum pernah ada alam semesta apa pun.
Selanjutnya dipandang pula terjadi semacam ledakan atas atom primitif
itu menghasilkan fragmen-fragmen yang kemudian membentuk substansi baru berbentuk
partikel, bintang, galaksi dan benda-benda seperti yang dapat kita lihat
sekarang ini. Ini adalah pandangan sangat spektakuler di saat itu.
Reaksi keras terhadap apa yang Lemaître kemukakan ini berdatangan
dari masyarakat ilmu pengetahuan, termasuk Einstein sendiri karena di hatinya
di tahun-tahun itu lebih condong ke alam semesta statik. Einstein mengerti
sosok Lemaître merupakan seorang pastor Katolik dengan dukungan positif Paus Pius
XII dari keuskupan Vatikan, dan juga dengan argumen tersebut, Lemaître benar-benar
kuat berdasarkan sudut ilmu pengetahuan dan sejalan dengan dogma Kristiani
tentang penciptaan.
Debat kosmologi versus agama benar terjadi dan telah mengambil
bentuk sebuah polemik berkepanjangan selama beberapa dekade.
Bahkan pada Konferensi Solvey ke-IV di Bruxells tahun 1927, pada
suatu kontak dengan Lemaitre, Einstein hanya berkata: ”Vos calculs sont
correct, mais votre physique est abominabe” - “Perhitungan (analisa
matematiknya benar, (arti) fisikanya meragukan” - atas hasil pekerjaan dan
argumen Lemaître itu. Lemaître sama sekali tidaklah berkecil hati dan tetap
percaya bahwa ledakan primordial alam semesta datang berasal dari suatu titik
panas membara dan sangat padat di ruang waktu, seperti ia sebut atom primitif
atau primeval atom itu. Ini tiada lain daripada keadaan awal konseptual secara
benar yang kemudian biasa dikenal dengan big bang. juga disebut hot
big bang.
Di sini dipaparkan bahwa tiadanya awal serta akhir pada evolusi
alam semesta, dengan kerapatan materi, alam semesta dipandang tak berubah (konstan).
Pemuaian karena gerakan galaksi yang saling menjauh dari yang satu terhadap
yang lain diimbangi terbentuknya materi-materi baru di antara galaksi-galaksinya
untuk mempertahankan agar kerapatannya tetap dalam keadaan konstan.
Dalam tahun 1950-an itu pula, melalui sebuah wawancara radio BBC,
Fred Hoyle dengan tajam menjelaskan kelebihan steady state theory atas
hipotesa atom primitif serta disebutkan pula untuk pertama kalinya big bang sebagai
atom primitif tersebut. Ia mendapat pula sambutan begitu baik dari kebanyakan para
ahli ilmu pengetahuan kosmologi untuk teori baru tersebut. Pada suatu pertemuan
(seminar) ilmiah di Pasadena (California) pada 1960, Fred Hoyle menyapa
Lemaître dengan kalimat: ”this is the big bang man”.
Gagasan suatu ledakan primordial yang terkait pada ekspansi alam
semesta itu, kemudian ditinjau lebih jauh oleh Georges Gamow (1904-1968) emigrant
Russia yang hijrah pindah ke Amerika, bersama Ralph Alpher (1921-2007) serta
Robert Herman (1914-1997) dari Universitas George Washington. Pekerjaannya
dilakukan berdasarkan motivasi yang terkait dengan penjelasan bahwa bagaimana
unsur-unsur kimia yang lebih berat tersintesakan berawal dari hydrogen
primordial pada temperatur yang luar biasa tingginya.
Sampai tahun 1950-an, di kalangan ilmuwan ide primeval atom hanya
dipandang sebagai suatu hipotesa belaka yang berkenaan pada penciptaan alam semesta.
Tetapi G. Gamow beserta para temannya tetap melanjutkan pengembangannya.
Keadaan yang kurang menguntungkan ini dipicu pula oleh datangnya steady
state theory, teori yang ditampilkan oleh tiga pakar ilmu pengetahuan yang
masih muda Fred Hoyle (1915-2001), Hermann Bondi (1919-2005) dari Inggris
bersama Thomas Gold (1920-2004) dari Amerika Serikat.
Pemikiran hal ini bagi penelusuran lanjut ke era alam semesta
sangat dini menyimpulkan bahwa substansi, tepatnya untuk sejumlah kecil
unsur-unsur lainnya, cenderung berasal dari yang disebut soup kosmik
primordial, yang ”dimasak” dalam tungku (oven) dengan temperatur
yang luar biasa tingginya. Gamow memakai sebagai pengganti kata ”soup”
istilah ”ylem”, diambil dari
bahasa Ibrani-Yunani purba.
Tampaknya teori mengenai gagasan substansi primordial alam semesta
dengan atom primitif atau ylem itu kurang mendapat penjelasan yang cukup baik, sehingga
gagasan ini terabaikan dan orang mulai berpaling kembali ke penemuan observasi
hasil Edwin Hubble (1889-1953).
Penemuan Hubble adalah tentang ekspansi berdasarkan perhitungan
bahwa pergerakan galaksi saling menjauh dari yang satu terhadap yang lain,
seperti mengikuti aturan Doppler berkaitan dengan spektrum-spektrumnya, atau kecepatan
sebuah galaksi terhadap suatu galaksi lainnya berbanding lurus dengan jarak
antara kedua galaksi itu, inilah yang disebut Hukum Hubble.
Di tahun 1930-an, sudah ada pandangan tentang adanya elemen dasar
atau generator sebagai pengisi fundamental atau building blocks alam
semesta, yang berbentuk galaksi atau gugus galaksi. Diperlakukan di dalam
naungan Hukum Hubble, dapatlah dilihat kenyataan bahwa memang alam semesta
berekspansi.
Melalui pengertian ini, perhitungan memberikan hasil umur alam
semesta hanyalah sebesar dua milyar tahun, jauh lebih rendah dibanding dengan
umur batu-batuan (rocks) tertentu yang terdapat di muka permukaan bumi.
Dalam dunia kosmologi, memang diakui bahwa Georges Lemaître adalah penemu big
bang dan Edwin Hubble sebagai bapak kosmologi observasional. Sejenak kita
rangkum terlebih dahulu mengenai polemik model big bang versus model-model
evolusi alam semesta yang berlangsung begitu lama sampai tahun 1965.
Untuk mudahnya, representasi teori relativitas umum kita
singkatkan sebagai formalisme Einstein, seperti yang biasa kita kenal dengan
formalisme Newton.
Sejalan dengan pikiran dalam mekanika klasik (Newton), ide gaya
Newton diganti dengan ide tensor Einstein, dan yang terakhir inilah
yang memegang peranan penting setelah dikaitkan dengan distribusi materi
(energi) yang dikandung di alam semesta. Konsep tensor Einstein terbentuk
karena adanya tensor Riemann yang dibangun dengan tersedianya struktur
Riemann, karena memang kita bekerja pada suatu ruang Riemann.
Pertama-tama, pada 1917, Einstein dengan metodenya secara heuristik
sengaja memasukkan yang dia sebutkan sisipan atau suku (term)
kosmologi (cosmological term), Λ (Lambda) pada
solusi formalisme Einstein semula, sisipan dimaksudkan untuk mempertahankan
sifat statik alam semesta, yaitu daya tarik gravitasi disangga oleh
kekuatan karena manifestasi Λ.
Sebelumnya dalam bulan Maret tahun 1917 itu pula, seorang ahli
kosmologi kenamaan Belanda Willem de Sitter (1872-1934) dengan membiarkan keberadaan
suku kosmologi Λ, memberikan solusi alternatif, bahwasannya dalam evolusinya,
yaitu alam semesta berekspansi dengan laju ekspansi dipercepat (accelerated).
Hasil ini telah menimbulkan suatu dialog, polemic yang tajam dengan Einstein,
walaupun kedua orang ini sangatlah bersahabat.
Pada 1922, Alexander Friedmann (1888-1925), berkewarganegaraan
Russia, ahli ilmu pengetahuan matematika terkenal, tanpa adanya suku kosmologi Λ
mencoba memecahkan formalisme Einstein. Yang diperolehnya memberikan hasil,
semacam evolusi alam semesta dengan dinamika, alam semesta dapat langsung berekspansi
atau kalau tidak maka langsung berkontraksi.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, hasil pemecahan yang
dilakukan Georges Lemaître, solusi menunjukkan evolusi alam semesta berekspansi
berawal dari suatu atom primitif dan sebelumnya belum atau tidak ada alam semesta
apa pun.
Sangatlah penting untuk diingat, seorang sarjana kenamaan dan
cemerlang asal Prancis Elie Cartan (1869-1951), ahli ilmu pengetahuan
matematika luar biasa, secara analitik dan eksak di tahun 1922,
berhasil memecahkan formalism Einstein, memperoleh solusi yang betul-betul
mengandung suatu konstanta.
Konstanta yang didapatkan Elie Cartan tersebut tidak lain dari
pada sisipan kosmologi seperti yang ditampilkan Einstein. Untuk pembahasan
selanjutnya dan untuk sebutan suku kosmologi Λ kita akan pakai istilah
konstanta kosmologi (cosmological constant). Besaran ini akan memegang
peranan sentral bagi kupasan atau analisa evolusi alam semesta yang berawal hot
big bang.
Terdapat semacam pemikiran: konstanta kosmologi Λ tampaknya
meragukan keterkaitannya pada teori gravitasi universal atau relativitas umum
Einstein, dengan kata lain kandungan materi yang mengisi alam semesta sebagai
sumber daya gravitasinya tidaklah terepresentasikan oleh konstanta ini. Ada
dugaan kuat bahwa Λ berkaitan dengan paradigma teori kuantum yang
memberi kesan seolah-olah hal ini dapat saja merupakan reinkarnasi teori
relativitas umum Einstein.
Untuk kepentingan kuliah umum seperti di sini, kita pusatkan saja
perhatian selanjutnya pada peranan Λ, dengan demikian uraian akan tampak
lebih sederhana untuk mengerti terjadinya polemik big bang. Dapatlah
selanjutnya kita ikuti tujuan utama dengan cermat, yaitu pembahasan perspektif
evolusi alam semesta.
”Rosetta Stone” Kosmik
Orang yang sangat ahli dalam teori ini, yaitu Georges Gamow,
bersama-sama para temannya, yaitu Ralph Alpher dan Robert Hermann seperti yang
kita kemukakan sebelumnya. Perhatian terpusatkan pada fase alam semesta sangat dini,
dibayangkan bagaikan ylem atau unsur inti (nuclear elements) yang
dimasak dalam oven (tungku) mengeluarkan unsur-unsur kimia
seperti yang terdapat dalam tabel periodik Mendeleev.
Mereka menyadari bahwa produk nuklir itu bergantung pada
temperatur saat ini, yang berasal dari cosmic background radiation yang
tersisa (residual)..Artinya, kita dapat menelusuri terbentuknya
partikel-partikel di masa peristiwa cosmic backgroud radiation karena
pengetahuan adanya deteksi temperatur sisa yang ditinggalkannya itu. Selama
dalam periode akhir tahun 1940-an sampai awal tahun 1950-an, mereka membuat
perkiraan beberapa harga dengan kisaran antara 5 kelvin dan 50 kelvin sebagai temperatur
radiasi relik (residual) yang amat ampuh ini.
Sampai tahun 1964, hampir tidak seorang pun memperhatikan
pekerjaan mereka. Tetapi sebagaimana yang pernah dikemukakan di atas
sebelumnya, hasil observasi Arno Penzias dan Robert Wilson dari Bell Telephone Laboratories,
tahun 1965 memakai antena bentuk tanduk (horn-shaped), berlokasi di
Murray Hill, Holmdel, New Jersey, yang berdekatan dengan kota New York,
memperlihatkan temperatur saat ini di setiap sudut alam semesta sebesar di
sekitar 3 kelvin.
Keberhasilan A. Penzias dan R. Wilson ini, semula sama sekali
bukan yang mereka rencanakan dan tidak juga mereka pahami, bahkan ternyata
tidak pula menarik perhatian mereka. Padahal relik 3 kelvin alam semesta
tersebut sebenarnya merupakan pintu gerbang untuk memahami peristiwa big
bang atau kelahiran alam semesta itu sendiri.
Sejumlah para ahli ilmu pengetahuan dari Universitas Princeton,
R.H. Dicke (1916-1997) bersama P.J.E. Peeble, P.G. Roll dan D.T. Wilkinson
(1935-2002) setelah dengan upayanya mendapat data hasil observasi Penzias dan
Wilson tersebut, menganalisanya dengan cermat. Hasilnya memberikan kesimpulan, ternyata
benarlah radiasi temperatur 3 kelvin itu merupakan cerminan peninggalan atau
relik radiasi alam semesta di era penciptaannya yang masih berbentuk big
bang. Ini betul-betul hasil yang sangat luar biasa.
Itulah sebabnya, temuan temperatur 3 kelvin yang diperoleh Penzias
dan Wilson banyak orang menyebutnya sebagai Rosetta Stone kosmik atau Batu Rosetta
yamg terkait dengan bidang kosmologi.
Perlulah dicatat, tidaklah sulit untuk memahami peristiwa alam
semesta ini bagi Penzias maupun Wilson yang bekerja dalam bidang fisika
menyangkut astronomi radio yang handal. Hasil pekerjaan R. Dicke bersama
temantemannya yang menggunakan data pekerjaan mereka mengenai radiasi 3 kelvin tersebut,
kemudian mereka pahami dengan baik.
Setelah adanya penemuan Batu Rosetta kosmik yang begitu sangat
ampuh ini, segera hampir semua ahli ilmu pengetahuan kosmologi menganut
kenyataan eksistensi big bang. Evolusi alam semesta yang ditelitinya
yang disebut sebagai model big bang atau model big bang panas (hot
big bang model). Alam semesta yang diawali big bang sebagai
kelahirannya, yang disebut model
big bang panas, acapkali juga disebut
model standard kosmologi (cosmological standard model).
Hasil temuan ini mengingatkan bagaimana tajamnya kekuatan pikiran
dan penglihatannya yang pernah dicurahkan oleh para ilmuwan mengenai alam semesta
dan dinamikanya sehingga di saat ini kita mengenal konsep big bang dengan
baik. Terutama sekali, di antaranya G. Lemaître dan G. Gamow yang masing-masing
didampingi istilah atom primitif dan ylem, yang begitu terkenal untuk artian big
bang.
Nasib steady state theory yang pernah menggema begitu tenar
dan digemari, hasil temuan dua ahli ilmu pengetahuan kosmologi terkenal dari
Universitas Cambridge, Fred Hoyle dan Hermann Bondi, bersama Thomas Gold dari Universitas
Cornell, langsung runtuh. Itulah death sentence bagi teori steady state
sebagai akibat adanya model standard kosmologi. Ketiga orang ini sangat menentang
kehadiran big bang sebagai permulaan atau awal evolusi alam semesta.
Sewaktu Hermann Bondi berkunjung di tahun 1976-an ke Observatorium
Bosscha di Lembang, Bandung, dalam suatu percakapan pernah saya singgung mengenai
nasib teorinya, yaitu steady state theory. Bondi hanya memberi komentar
singkat saja it was finished, and just forget it, dan ternyata Bondi sudah
berpaling ke bidang lain, tidak lagi menekuni ilmu pengetahuan kosmologi.
Perlu diketahui terminologi big bang justru diciptakan oleh
penentangnya yang paling gigih yaitu Fred Hoyle, dan yang ganjil pula kata ini
justru dipakai oleh para ilmuwan yang mempelajari perihal alam semesta tanpa
adanya konvensi untuk menyepakatinya. G. Gamow sama sekali tidak menyukai
pemakaian istilah ini, dan sampai akhir hidupnya pun dia tetap gunakan istilah ylem.
Cosmic Microwave Background Radiation
Pengukuran-pengukuran menunjukkan relik big bang berupa
gelombanggelombang elektromagnetik, dan bersifat benda hitam, menganut hokum Planck,
disebut radiasi latar belakang gelombang mikro atau dalam bahasa asingnya,
Cosmic Microwave Background Radiation, disingkat umumnya dengan CMB (atau
CMBR). Selanjutnya, semenjak tahun 1965, perburuan secara besar-besaran
dilakukan untuk memperoleh data informasi yang lebih akurat guna mengetahui dan
memahami evolusi alam semesta serta struktur alamnya itu sendiri, dan
substansi-substansi yang terbentuk kemudian.
Peralatan-peralatan yang digunakan sangatlah canggih dengan
teknologi yang begitu maju serta membutuhkan biaya besar sekali. Bagi perburuan
untuk memperoleh informasi data dengan kecermatan yang tinngi dari peristiwa CMB,
umumnya melalui konsorsium beberapa negera maju dan kayalah, dapat dibangun
detektor-detektor yang sangat kompeks unyuk keperluan tersebut.
Sampai saat ini sudah terdapat tiga misi ruang angkasa yang tujuan
utamanya berfokus pada penelitian CMB, yaitu COBE (Cosmic Background Explorer) sebagai
program NASA (National Aeronautics and Space Administration), yang diluncurkan
tahun 1980, WMAP (Wilkinson Microwave Anisotropic Probe) juga dari NASA,
diluncurkan pada tahun 1990, dan yang terbaru misi dengan nama Planck Surveyor,
program yang dibuat oleh ESA (European Space Agency). Kelebihan observatorium
sebagai pesawat ruang angkasa, yang satu atas yang lainnya, singkatnya saja
resolusi gambar, yang diperoleh satelit yang diorbitkan belakangan lebih baik
dari yang diambil pendahulunya.
Kesemuanya berada di titik Lagrange kedua disingkat L-2,
suatu tempat berdekatan dengan bulan (berorbit mengitari matahari), tempat yang
sangat strategis untuk menyapu semua daerah langit ke mana pun arah yang
diambil untuk mendeteksi berbagai bayangan atau sejumlah gambar yang sesuai dengan
kapasitas instrumentasi yang ditempatkan di pesawatnya. Semuanya terdapat 5
titik Lagrange mulai L-1 sampai dengan L-5, yaitu
tempat-tempat yang diperhitungkan cukup stabil atas pengaruh gravitasi yang
berpangkal terutama berasal dari bumi, bulan dan matahari, artinya jika
ditempakan suatu stasiun ruang angkasa di daerah sekitar sebuah titik Lagrange,
pada dasarnya, benda itu secara relatif tidak memerlukan energi bagi pergerakan
berputar pada orbitnya mengitari Matahari.
Satelit ruang angkasa HST (Hubble Space Telescope) dengan tugas
misinya yang akan berakhir dalam 2 atau 3 tahun mendatang, telah memberikan
hasil yang cukup fundamental, bagi kepentingan pemahaman evolusi alam semesta, yaitu
memberikan usia alam semesta lebih kurang 13,3 milyar tahun, suatu periode
satu-satunya kesempatan adanya kehidupan.
Hasil satelit COBE memberikan temperatur CMB sebesar 2,7 K (kelvin)
dengan cukup cermat. Ternyata juga terlihat adanya peristiwa fluktuasi temperatur
pada CMB tersebut, hal ini menunjukkan bahwa alam semesta di masa amat dini tidak
isotropik (tidak uniform atau tidak merata). Dan barulah diperoleh hasil
yang lebih cermat dengan perhitungan berdasarkan data yang diperoleh WMAP.
Hasilnya memang tepat, memperkuat yang diperoleh dari COBE, yaitu adanya
ketidak-isotropikan (anisotropy) di alam semesta secara menyeluruh.
Analisa menggambarkan tidak isotropiknya itu bagaikan seperti peristiwa
akustik, seperti yang terdapat dalam peristiwa musik.
Dengan terlihatnya pengetahuan CMB terpantau setelah 380 ribu
tahun setelah peristiwa big bang, sebagai peristiwa akustik bolehlah
dikatakan periode CMB selama itu sebagai ”Symphony of the universe”.
Jika saja pengetahuan ini sudah diketahui di jaman musik baroque, klasik
atau pun romantik dalam abad-abad ke-16 sampai ke-17, tentunya hal ini akan
menjadi sumber yang luar biasa bagi inspirasi penciptaan musik para komponis
kenamaan.
Perlu kita ketahui, bahwa di dalam domain fisika energi tinggi
itu, secara teoretis telah terumuskan adanya unifikasi akbar (grand
unification), semacam format yang menyatukan semua partikel fundamental
dalam fisika partikel yang muncul dalam kelompok materi kelam. Inilah yang
dinamakan model standard (standard model) fisika partikel atau
fisika energi tinggi. Dengan demikian, model standard ini dengan sendirinya
teradopsi ke dalam model standard hot big bang pada domain kosmologi.
Guna ”menjaga” alam semesta bermodelkan hot big bang berlaku
dengan baik, maka di saat-saat terjadinya peristiwa materi kelam, dibuat
semacam hipotesa ad hoc, yakni peristiwa yang disebut alam semesta
inflasioner (inflationary universe), dengan periode hidupnya yang
amat singkat (A. Linde dan A. Guth). Peristiwa inflasi alam semesta diasumsikan
terjadi jauh sebelum keluarnya peristiwa CMB, dalam fase alam semesta sangat
dini. Jika saja tidak terjadi inflasi ini di fase itu, alam semesta di saat
peristiwa big bang relatif akan berukuran terlalu besar dibandingkan
dengan yang seharusnya, dan hal ini dapat mengakibatkan alam semesta yang kita
huni tidak lagi terobservasi seperti yang kita lihat dan rasakan sekarang saat
ini.
Hipotesa keberadaan alam semesta inflasioner merupakan bagian
penting yang sedang giat-giatnya diselidiki oleh para ahli yang paling kenamaan
dewasa ini. Sementara ini evolusi alam semesta dengan model standard hot big
bang mencakup pula era inflasioner. Telaah mengenai hipotesa ad hoc ini
sedang ditelusuri melalui hasil data yang diperoleh WMAP, mengingat timbulnya ketidak-isotropikan
radiasi bertemperatur 3 kelvin pada CMB. Kita belum dapat menyimpulkan apakah
asumsi ini sudah menjadi konjektur ataukah akan menjadi kebenaran adanya.
Keberhasilan eksperimen instalasi LHC (Large Hadron Collider),
seperti yang pernah dibicarakan sebelumnya, melalui pengadaan tumbukan atau
benturan proton yang begitu dahsyat, menunjukkan keberadaan partikel
fundamental yang terkelompok dalam materi kelam. Perihal ini mengarahkan
kemungkinan bahwa peristiwa alam semesta inflasioner dapat diterangkan dari
sudut domain fisika energi tinggi.
Dalam waktu mendatang, eksperimen pada akan lebih ditingkatkan,
yaitu dengan pengadaan energi yang sangat tinggi untuk pembeturan proton menghasilkan
fragmen-fragmen yang mempertajam keberadaan materi kelam. Apabila percobaan
memberikan hasil yang lebih tajam, penelusuran ke arah big bang akan
lebih dekat lagi. Di saat itulah, penelitian akan masuk ke dalam fase alam
semesta sangat dini, yaitu era Planck, era alam semesta dengan masih sangat
miskinnya akan pengetahuan fisika yang kita miliki. Walaupun begitu, artian
atom primitif atau pun ylem semakin dekat dengan big bang akan semakin
berkoinsidensi yang menunjukkan awal penciptaan alam semesta.
Kelanjutan Evolusi Alam Semesta
Berdasarkan gambar yang diperoleh WMAP, terlihat hasil yang sangat
fundametal pula yaitu kandungan alam semesta sendiri saat ini, untuk mudahnya
sebut saja terdiri atas kelompok baryon sebanyak 4% yang selama kita
manfaatkan dalam kehidupan kita, dan kelompok materi gelap atau materi
kelam (dark matter) sebesar 24%, serta yang merupakan misteri besar
yang disebut energi gelap atau barangkali energi kelam (dark
energy) sebesar 73%. Bentuk terakhir akan mendominasi peranannya,
menentukan nasib alam semesta di masa depan dalam kurun milyaran tahun.
Dalam fase alam semesta sekarang saat ini, alam semesta
menampakkan dirinya berdasarkan galaksi dan gugus galaksi sebagai building
blocks yang membangunnya. Yang begitu mengherankan keberadaan energi kelam
tidak tampak sama sekali dalam fase alam semesta dini, bahkan justru di saat
13,7 milyar tahun yang lalu pengaturan evolusi alam semesta didominasi oleh materi
kelam dengan kandungan sebesar 63% sebagaimana juga yang dihasilkan WMAP. Tentu
saja dapat kita pahami bagi pikiran manusia, yang tersedia hanyalah memberikan
skenario berbagai alternatif untuk kelanjutan evolusi alam semesta.
Alam semesta di saat ini memiliki bentuk (geometri) bersifat hampir
datar (nearly flat) dan berekspansi secara dipercepat (accelerated
expansion), dan inilah hasil yang dianut oleh mayoritas ahli ilmu
pengetahuan di bidang kosmologi. Tampaknya, kondisi realitas yang baru
dikemukakan ini akan menjadi pedoman yang penting untuk para ilmuwan kosmologi,
terutama yang berkecimpung di bidang observasional dan eksperimental. Di benak
pikiran kita dapat saja terkatakan bahwa materi kelam turut berperan
mengantarkan alam semesta dari keadaan fase dini ke keadaan seperti yang kita
lihat dan rasakan dewasa ini.
Disebabkan pengertian konstanta kosmologi, yaitu Λ, tidak
merefleksikan keberadaan materi kelam maupun gravitasi universal Einstein,
cukup masuk di akal peranan Λ mewakili peranan energi kelam. Alasan ini
cukup kuat mengingat energi kelam begitu misterius keberadaannya. Tugas materi
kelam cukup baik dalam mengimbangi daya tarik gravitasi Einstein tersebut. Selanjutnya,
dominasi energi kelamlah memperlihatkan kemampuannya, membawa alam semesta dari
keadaan bentuk ruang spasial ”hampir datar” sampai ke yang mulai berekspansi
secara pelahan-lahan sambil dipercepat.
Sebenarnya energi kelam menunjukkan dirinya dengan identitas
selaku gaya repulsif atau gaya dorong yang sangat asing atau misterius, sama
sekali belum kita ketahui bagaimana sosoknya. Ini berarti konstanta kosmologi Λ
berperan dengan mendorong galaksi-galaksi bergerak saling menjauh. Perlu
pula kita perhatikan, pertama bagi alam semesta yang belum menginjak usia
sebesar 7 milyar tahun, penampilan Λ masih lemah relatif dibandingkan
gaya gravitasi universal. Berikutnya, karena galaksi-galaksi bergerak saling
menjauh, peran Λ akan semakin kuat dan menjadi dominan, berakibat
alam-semesta berekspansi dengan laju yang dipercepat.
Skenario pembahasan mengenai kemungkinan kelangsungan evolusi alamsemesta
dapat dipaparkan berikut di bawah ini.
Perhatikan terlebih dahulu, konstanta kosmologi Λ bertindak
selaku suatu parameter, ini berarti konstanta ini akan mengambil bermacam-macam
nilai. Dan selanjutnya kita namakan konstanta kosmologi Λ dengan sebutan
suatu parameter kosmologi.
Pertama, apabila parameter kosmologi Λ berada dalam laju
konstan dengan waktu, ekspansi alam semesta akan berlanjut secara kontinu
dipercepat selamanya. Pada saat usia alam semesta melebihi 100 milyar tahun,
segala isi alam semesta menghilang dan didapatkan alam semesta dengan sebutan Big
Chill.
Kedua, jika parameter kosmologi Λ bertambah dengan waktu,
alam semesta akan mengalami ekspansi dengan percepatan katastropik yang sangat menghancurkan.
Pada saat usia alam semesta melewati 100 milyar tahun, semua isinya hancur
porak-poranda berkeping-keping tiada beraturan dan akhirnya lenyap pula. Yang
terbayangkan akhirnya hanyalah suatu alam semesta dengan sebutan Big Rip.
Ketiga yang terakhir, bila parameter kosmologi Λ berkurang
dengan waktu, berarti ekspansi alam semesta mengalami perlambatan, Atau alam
semesta mengerut, runtuh atau collapse. Yang tersisa hanyalah Big
Crunch, sebutan bagi alam semesta runtuh.
Berkenaan dengan konstanta kosmologi Λ diperlakukan sebagai
parameter kosmologi, maka kecermatan perhitungan Λ yang baik akan
menghasilkan pula gambaran tentang alam semesta lebih cermat pula.
Sebenarnya terdapat sejumlah parameter kosmologi yang akan membuat
pengetahuan evolusi alam semesta serta strukturnya lebih menentukan. Dengan begitu
ketepatan serta kecermatan harga-harga parameter kosmologilah kiranya diharapkan
dapat diperoleh melalui data-data pengamatan satelit, observatorium atau pun
stasiun yang ditempatkan baik di Bumi atau di ruang
angkasa.
Oleh sebab itu, disiplin kosmologi model standard, dengan
kemungkinan adanya nilai-nilai berpresisi tinggi pada parameter-parameter
kosmologi tersebut, cenderung untuk disebut sebagai ”kosmologi presisi” (precision
cosmology). Istilah precision cosmology sudah banyak dipakai dalam
literaturliteratur.
Dengan cermat dapat pula dihitung kerapatan total alam semesta
kita dan kerapatan alam semesta dengan pengandaian bersifat datar (flat).
Kita tuliskan perbandingan kedua kerapatan itu dengan notasi Ω, juga merupakan
sebuah parameter kosmologi. Mengingat alam semesta kita memiliki ruang yang bersifat
hampir datar, maka nilai kedua kerapatan itu akan berimpit, yaitu Ω berkisar
sekitar nilai 1. Dalam hal Ω > 1, kita akan melihat bentuk alam semesta
(the shape or topology of the universe) yang cenderung berbentuk ruang
3-dimensional berhingga (finite), akan tetapi tidak memiliki batas (borderless).
Ruang ini unik berkaitan dengan yang telah dibuktikan oleh G.
Perelman beberapa tahun yang lalu, ruang ini tiada lain merupakan bola
Poincaré. Mengenai permasalahan yang pernah dibuktikan Perelman, yaitu
konjektur Poincare yang berusia lebih dari satu abad. Sehubungan dengan hasil pembuktian
Perelman, maka alam semesta kita adalah ruang Poincare, dengan bentuk berhingga
dan tak memiliki batas.
Jika saja kelihatannya alam semesta ini begitu luas, sesungguhnya,
hanyalah bayangan atau cermin dari alam semesta fundamentalnya. Ingat hal
terakhir ini, seperti kita berdiri di dalam ruangan kaca, tampak luas karena
bayanganbayangan saja.
Dalam perkuliahan ini sementara untuk keperluan referensi dapat
dipakai cara dengan melihat pada beberapa websites yang berkaitan. Referensi
akan selengkapnya disajikan secara terpisah, setelah tersusun dengan baik.
Terima kasih.
Catatan:
Bilamana ingin melihat melibatkan diri dalam suatu dialog ataupun
dispute tentang permasalahan evolusi alam-semesta yang memungkinkan terjadinya polemik
tajam, sebaiknya kita pelajari betul Georges Lemaître. Ia memang ahli yang
sangat ulung di bidang matematika, fisika teori dan kosmologi. Di lain sisi, G.
Lemaître merupakan seorang agamawan dalam kedudukan Abbé di lingkungan
Kristiani Katholik, dan juga kuat dalam pengetahuan ilmu keagamaan serta bentuk
kepercayaan yang lain.
Pada tahun 1960, di Berkeley, Georges Lemaître pernah mengatakan
alasan apa sampai dia berpegang teguh pada konsep ”primeval atom” sebagai awal penciptaan
alam-semesta; alasannya, karena dia penyandang kedua profesi yang sangat luar
biasa tersebut. Paham kebenaran cosmological standard model dengan hot
big-bang atau primeval atom sudah menjadi basis filosofi bagi
penelitian konstelasi kosmologi di abad ini. Jelaslah, sesungguhnya konflik
antara ilmu pengetahuan dan keagamaan atau kepercayaan tidaklah perlu ada.
=========
* Disampaikan pada Kuliah Umum Freedom Institute, Jakarta, Kamis,
27 Mei 2010. Komentar atas tulisan mohon diemail ke jorga@as.itb.ac.id
Related Posts:
Sains
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
nice info gan
BalasHapushttp://www.toyota.astra.co.id/corporate-information/news-promo/news/kelebihan-miliki-grand-new-avanza-sebagai-mobil-keluarga/#news