Kamis, 25 April 2013
Profil Jawdat Said: "Islam Yang Menghidupkan, Bukan Mematikan"
Novrianoni Kahar
Artikel ini telah dimuat sebelumnya di majalah Madina, edisi Juli 2008
Andai lebih banyak ulama Islam seperti Jawdat
Said, sebagian citra negatif tentang Islam mungkin bisa diperbaiki. Geertz
Wilders tidak perlu bersusah-payah membuat kehebohan lewat filmnya yang
kontroversial itu, Fitna. Islam, melalui beberapa kutipan ayat dan
perilaku ulamanya, dipertontonkan Wilders sebagai agama pemaksa, terbelakang,
dan masih menjadi ancaman nyata bagi dunia.
Tentu satu orang semodel ulama asal Suriah ini
tidak serta-merta mampu mengubah citra. Tapi bila ada ribuan, bahkan jutaan
orang seperti Said di dunia Islam, tentu efeknya akan terasa. Islam yang damai;
mengajak, bukan mengancam; terbuka dan tidak memaksa; percaya diri, jauh dari
intimidasi. Itulah yang selalu ditekankan ulama bersahaja jeboleh Fakultas
Bahasa Arab Universitas al-Azhar, Mesir, ini dalam banyak pelatihan juru dakwah
yang melibatkan dirinya.
Ulama kelahiran 1931 di Biir Ajam, wilayah dataran tinggi Golan ini, memang kredibel untuk mengajurkan itu. Rekam jejaknya sebagai pemikir Islam yang santun dan terbuka, pelopor mazhab nirkekerasan dalam dakwah dan aktivisme Islam, sudah sohor seantero tanah Arab. Lewat khutbah Jumat, pengajian umum, dan diskusi publik ataupun terbatas, Said selalu mampu berargumen dari al-Quran dan sejarah Nabi untuk menyanggah kesejukan dan kedamaian Islam. Ia pun telah menulis banyak buku yang menggambarkan ciri khas pemikirannya.
Ulama kelahiran 1931 di Biir Ajam, wilayah dataran tinggi Golan ini, memang kredibel untuk mengajurkan itu. Rekam jejaknya sebagai pemikir Islam yang santun dan terbuka, pelopor mazhab nirkekerasan dalam dakwah dan aktivisme Islam, sudah sohor seantero tanah Arab. Lewat khutbah Jumat, pengajian umum, dan diskusi publik ataupun terbatas, Said selalu mampu berargumen dari al-Quran dan sejarah Nabi untuk menyanggah kesejukan dan kedamaian Islam. Ia pun telah menulis banyak buku yang menggambarkan ciri khas pemikirannya.
Para dai yang sempat mengikuti pelatihan dakwah
bersamanya mengakui, paradigma mereka dalam berdakwah berubah setelah
mendengarkan petuah-petuah Said. Bahkan, para pengunjung websitenya di
www.jawdatsaid.net banyak yang mengaku mendapat inspirasi yang kaya tentang
watak Islam yang sejuk dan damai dari transkrip khutbah dan tanya-jawab yang
diasuhnya.
Bicara soal rujukan Islam yang damai dari sudut pandang ulama Timur Tengah, menjadi tidak afdal bila tidak menyebut sosok dan pemikiran Said. Saidlah orang pertama yang dengan lantang menyuarakan mazhab nirkekerasan (mazhab allâ `unf) sebagai antitesis tren kekerasan yang meningkat dalam aktivisme Islam sejak 1960-an di Mesir dan negara Arab lainnya. Manifesto dan penjelasan mazhab antikekerasan itu dituangkannya dalam buku Mazhab Ibn Âdam al-Awwal: Musykilatul `Unf fil `Amal al-Islâmy(Mazhab Anak Adam Pertama: Problem Kekerasan dalam Aktivisme Islam, 1966).
Bicara soal rujukan Islam yang damai dari sudut pandang ulama Timur Tengah, menjadi tidak afdal bila tidak menyebut sosok dan pemikiran Said. Saidlah orang pertama yang dengan lantang menyuarakan mazhab nirkekerasan (mazhab allâ `unf) sebagai antitesis tren kekerasan yang meningkat dalam aktivisme Islam sejak 1960-an di Mesir dan negara Arab lainnya. Manifesto dan penjelasan mazhab antikekerasan itu dituangkannya dalam buku Mazhab Ibn Âdam al-Awwal: Musykilatul `Unf fil `Amal al-Islâmy(Mazhab Anak Adam Pertama: Problem Kekerasan dalam Aktivisme Islam, 1966).
Berteladan Kepada Habil
Pada tahun 1965, Jawdat Said sempat menjadi
objek tertawaan para aktivis Islam ekstrem yang sedang bergairah untuk mati
syahid dengan angkat senjata. Alkisah, di suatu masjid di Mesir, dia
memaklumatkan perlunya dakwah dan aktivisme Islam mengadopsi mazhab
nirkekerasan ala anak Adam: Habil. Itulah yang ia harapkan menjadi arah
pergerakan Islam yang ia geluti. Sebagai simpatisan Ikhwanul Muslimin sewaktu
belajar di al-Azhar Mesir, ia tak tahan melihat siklus kekerasan yang menjurus
ke arah lingkaran setan.
Pasalnya, di tahun 1966, kebanyakan aktivis
Islam bersorak gembira dengan tragedi pembunuhan an-Naqrasyi oleh kelompok
Islam bersenjata. Tapi Said tidak hanyut dalam eforia lenyapnya Perdana Menteri
Mesir yang difatwa sebagai “musuh Islam” itu. Ia justu melihat tragedi itu
sebagai pembunuhan tidak berdasar, aksi kriminal, awal malapetaka dan mata
rantai kekerasan yang tidak berujung dalam aktivisme Islam. Baginya, kekerasan hanya
akan memunculkan kekerasan lanjutan.
Benar saja, dua bulan setelah itu, pemimpin
Ikhwanul Muslimin, Hassan Al-Banna, yang justru terbunuh secara misterius. Para
aktivis Islam yang menjadi pemujanya, kini balik berduka dan menyumpah.
Selanjutnya, berbagai bentuk kekerasan kembali muncul bagai tiada berujung.
Dari situlah Said terinspirasi untuk membukukan gagasannya tentang doktrin
nirkekerasan (allâ `unf), terutama karena khawatir efek Mesir merambat
ke negeri asalnya, Suriah.
Tapi darimana fondasi prinsip nirkekerasan itu
dilandaskan? Berkat hafal Quran, Said segera teringat kisah pembunuhan pertama
dalam sejarah umat manusia, yaitu kisah Qabil dan Habil. Uniknya, al-Quran
mengisahkan, ketika hendak dibunuh, Habil justru tidak melawan dan pasrah-menyerah.
Dalam surat al-Maidah ayat 28, Habil mengatakan: “Jika engkau ayunkan tanganmu
untuk membunuhku, aku tetap tidak akan mengayunkan tangan untuk membunuhmu. Aku
takut akan Tuhan, penguasa semesta alam.”
Menurut Said, kisah Qabil dan Habil itu memberi makna
yang dalam. Pertama, ada aspek kepasrahan total kepada Tuhan. Kedua, ada
kemampuan untuk berkorban dengan jiwa sekalipun agar orang lain menemukan jalan
kebenaran. Ketiga, teladan bagaimana memutus siklus kekerasan. Itu menjadi
ibarat teramat penting bagi Said. Karena itu, ia berharap mazhab nirkekerasan
juga menjadi bagian dari prinsip yang dianut aktivis Islam yang ketika itu
sedang bergelora dalam mengobarkan perlawanan bersenjata.
Tak hanya dari al-Quran, dari sejarah para nabi
pun Said mencari teladan. Ia pun terjumpa, beberapa Nabi justru menghabiskan
hidup untuk berdakwah, tapi tak kunjung mendapat sambutan massa. Kebanyakan
bahkan tidak sempat berkuasa agar dapat memaksakan risalah ilahi yang mereka
emban. Nabi Nuh dan Isa al-Masih adalah contohnya. Sebagian nabi dan manusia
agung lainnya mati terbunuh, tapi ajaran-ajaran mereka tidak menyusul ke alam
baka. Said lalu membaut konklusi: kalau begitu, kebaikan akan tetap hidup; ia
akan menang dengan sendirinya, walau tanpa dipaksa-paksa. Said yakin, kebenaran
akan mencari jalannya sendiri untuk menang.
Monoteisme Bukan Lawan Politeisme
Selain punya argumen yang solid soal prinsip
nirkekerasan dalam agama, buku Said ini juga dianggap sebagai kritik paling
bernas terhadap gagasan Sayyid Quthb dalam Ma`âlim fit Tharîq (Rambu-Rambu
Jalan) yang terlanjut dianggap memberi inspirasi kepada kalangan garis keras
Islam Mesir untuk melakukan aksi-aksi kekerasan yang intensif di tahun
1960-an.
Said yang kini menjadi petani dan peternak lebah
di Desa Qunaithiriyah, dataran tinggi Golan, juga punya beberapa gagasan yang
khas dirinya. Pertama, Said lebih memaknai konsep tauhid sebagai konsep yang
berkaitan dengan persoalan sosial politik, bukan melulu persoalan metafisika
ketuhanan. Mengutip Muhammad Iqbal—pemikir pujangga Pakistan favoritnya selain
Malik bin Nabi, pemikir reformis asal Aljazair—Said menyatakan bahwa tauhid
atau monoteisme tidak selamanya berarti lawan politeisme atau paham banyaknya
Tuhan.
Tauhid memang lawan dari syirik. Tapi istilah
”syirik” dimaknainya sebagai paham ketidaksetaraan antar umat manusia. Dalam
paham ketidaksetaraan itu, syariat atau hukum tidak diterapkan terhadap semua
orang, namun dilakukan secara tebang pilih. Artinya, ada saja sebagian orang
yang ditempatkan atau secara faktual menempatkan diri di atas sentuhan hukum
seperti banyak dipraktekkan para tiran sampai abad modern ini.
Bagi Said, konsep tauhid mengandung spirit
pembebasan dan ikrar kesetaraan antar umat manusia di hadapan Tuhan (al-musâwat
baina al-basyar). Said berargumen, sebagaimana kaum muslim awal, kaum
musyrik Quraisy pun mengakui bahwa pencipta alam semesta tak lain adalah Allah.
Yang berbeda, mereka tidak kunjung paham konsekuensi dari pengakuan bahwa Tuhan
saja sesungguhnya Sang Penguasa itu. Mereka tidak juga mengerti bahwa jika
hanya Tuhan yang unggul, maka semua manusia setara di hadapan hukum. Nabi yang
berjanji akan menerapkan hukum tanpa pandang bulu terhadap anaknya Fatimah,
juga akan menerapkan hukum yang seadil-adilnya terhadap selain Fatimah. Namun,
gagasan itu too modern untuk dapat ditangkap pada zamannya, bahkan untuk zaman
sekarang pun.
Nabi Tak Memaksa, Para Tiran Memaksa
Kedua, Said juga berpandangan, ada perbedaan
yang kentara antara reformasi sosial yang dicanangkan para nabi Allah dengan
yang digagas dan dijalankan para tiran. Baginya, para tiran selalu ingin
menerapkan sikap Firaunik dalam reformasinya: sayalah yang berhak menghidupkan
dan mematikan kalian! (anâ uhyî wa umît). Sementara para nabi berpegang
pada prinsip ”saya akan membuat kehidupan, tapi tidak mematikan” (anâ uhyî
wa lâ umît). Persis dengan alasan itulah Said memantapkan hati menjadi
petani dan peternak lebah setelah berulang-ulang dicekal, dipenjara, dan
dilarang mengajar di sekolah-sekolah negeri di Suriah.
Sejalan dengan prinsip nirkekerasan yang
dianutnya, Said juga sangat terkesima dengan ayat ”tiada paksaan dalam agama”,
yang termuat di dalam al-Quran. Bagi Said, seluruh peradaban umat manusia yang
bergerak maju akan menganut prinsip nonpaksaan ini dalam legislasi hukum yang
terkait soal-soal keyakinan dan tidak akan membenarkan kriminalisasi terhadap
apa-apa yang ada di dalam pikiran dan sanubari manusia. Sejalan dengan redaksi
ayat lâ ikrâh, Said pun menyimpulkan bahwa berpegang teguh kepada tauhid
berarti menentang tirani (thâghut) yang lazimnya menganut prinsip
paksaan dan anti-perbedaan.
Said yakin, ada rahasianya mengapa Tuhan
menyebut ayat ”ayat lâ ikrâh” langsung satelah ”ayat kursiy” di dalam
al-Qur’an. Baginya, ”ayat kursiy” adalah ayat yang menegaskan ”pemuliaan
terhadap Tuhan” (tanzîhulLâh), sementara ”ayat lâ ikrâh” berisi
pemuliaan terhadap manusia (tanzîhul insân). Ayat ini adalah ayat yang
sedianya memproteksi manusia dari kesemena-menaan (al-qahr) dan
persekusi atas dasar perbedaan agama dan keyakinan.
Sejarah hidup nabi Muhammad pun, bagi Said
menunjukkan bahwa beliau mampu menciptakan masyarakat yang otonom dan relatif
bebas dengan wujudnya pasal-pasal Piagam Madinah yang tidak mendiskriminasi
siapapun karena perbedaan agama dan keyakinan. Bahkan dalam Perjanjian
Hudaibiyah, Nabi tidak keberatan dengan pasal “barangsiapa yang mau ikut serta
di dalam front Muhammad, silahkan masuk; dan barangsiapa yang tertarik masuk ke
dalam front Quraisy silahkan turut”.
Menariknya, front Muhammad di situ tidak disebut
sebagai front Islam, tapi justru dinamai front salâm atau kedamaian. Karena
itu, tidak mengherankan bila di dalam surat al-Mumtahanah ayat 8, al-Quran
menguatkan ketentuan yang tidak melarang umat Islam untuk senantiasa berbuat
baik dan adil terhadap kalangan nonagresor dari agama manapun. Berteladan
kepada Nabi, Said juga menyimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang beriman kepada
Allah adalah: menolak pemaksanaan, melindungi orang lain baik yang mukmin
maupun kafir, bila mereka menerima prinsip koeksistensi yang adil dan damai di
antara sesama umat manusia. Bagi Said, ajakan untuk menuju kalimat sawa di
dalam al-Qur’an, secara sosiologis berarti imbauan untuk “menerima prinsip
keadilan dan penyelesaian persoalan dengan cara-cara yang damai”.
Itulah nilai penting dari prinsip koeksistensi
yang adil dan damai di dalam Islam. Kelompok mayoritas memberikan hak-hak
minoritas secara adil. Bahkan, kalaupun mau lebih, di atas prinsip perlakuan
yang adil masih terdapat nilai yang lebih mulia, yaitu al-birr (pengabdian)
berdasarkan kasih sayang seperti pengabdian anak kepada orangtuanya atau
sebaliknya. Itulah misi sosial utama para nabi: berlomba-lomba dalam kebajikan.
Karenanya, cara paling tepat dalam meneladani para nabi tiada lain adalah
dengan berlomba-lomba berbuat kebajikan, bukan berlomba-lomba membuat
kecurangan dan keculasan, menebar kebencian, dan melakukan pengusiran terhadap
orang lain.
Kebebasan: Refleksi Kepercayaan Diri
Ada juga beberapa kritik terhadap keukeh-nya
Said berpegang para prinsip nonpaksaan dalam soal agama. Sebagian orang
berpendapat ia seorang yang naif. Jika agama yang dianggap mengandung
nilai-nilai kebajikan tidak dipaksakan, maka penyimpangan-penyimpangan akan
berkembang dan moral yang terkandung dalam ajaran agama akan menguap. Said
menampik kritikan itu. Baginya, berpegang teguh kepada prinsip nonpaksaan
justru mencerminkan rasa percaya diri yang tinggi; bahwa agama atau kebenaran
yang sedang kita anut dan genggam adalah agama yang benar dan sesuai dengan
fitrah manusia.
Prinsip ini pun dianggapnya menunjukkan
optimisme terhadap kemampuan dan kedewasaan umat manusia untuk dapat membedakan
sesuatu yang benar dan yang salah. Al-Qur’an pun, dalam terusan ayat lâ ikrâh
menyatakan kentaranya perbedaan antara kedewasaan (al-rusyd) dengan
kekanak-kanakan dalam cara beragama (al-ghay). Bagi Said, para juru dakwah
agama yang tidak percaya akan kedewasaan masyarakat manusia, sejak menit
pertama telah kehilangan modal dasar dalam berdakwah.
Bagi Said, justru dengan berpegang pada prinsip
nonpaksaan dalam agama itulah kreativitas untuk mencari alternatif-alternatif
dalam berpersuasi (misalnya dalam mencari formula syiar agama) dimungkinkan.
Pemaksaan, apalagi dengan cara-cara kekerasan, bagi Said hanya perkerjaan
sia-sia jika yang sesungguhnya ingin dicapai adalah pengamalan dan penghayatan
agama yang sejati.
Agama, bagi Said, lebih kurang sama dengan
cinta. Ia tidak akan tumbuh dan mekar dengan cara-cara paksaan. Agama,
sebagaimana cinta, tidak hidup dan bersemi dari represi. Ia justru tumbuh subur
hijau berseri dengan adanya perbuatan baik (ihsân). Sejarah menurut Said
membuktikan, para tiran yang senantiasa memaksakan kehendaknya dengan cara-cara
represi akan terjerembab, dan keimanan sebagaimana kekufuran, selamanya tidak
akan bisa dipaksa.
Bahkan, Nabi pun pernah mengutarakan rasa salutnya terhadap Raja Negus dari Abbisinia yang tidak menyiksa orang-orang yang tidak sekeyakinan dengannya (lihat wawancara dengan Said: Nabi Adalah Pengagum Raja Abbisinia). Said akhirnya membuktikan, di masanya yang tidak jaya sekalipun, Islam tidak surut dan mengkerut walau tidak berkolaborasi dengan kekuatan pemaksa yang digdaya.
Bahkan, Nabi pun pernah mengutarakan rasa salutnya terhadap Raja Negus dari Abbisinia yang tidak menyiksa orang-orang yang tidak sekeyakinan dengannya (lihat wawancara dengan Said: Nabi Adalah Pengagum Raja Abbisinia). Said akhirnya membuktikan, di masanya yang tidak jaya sekalipun, Islam tidak surut dan mengkerut walau tidak berkolaborasi dengan kekuatan pemaksa yang digdaya.
Karena itu, prinsip nonpaksaan dalam agama bagi
Said menjadi dasar yang menafikan bentuk paksaan dalam aspek lainnya. Ia
bersifat nafyul jins (menafikan semua bentuk dan jenis pemaksaan), baik dalam
soal agama, maupun dalam soal sosial politik lainnya. Para khalifah yang empat
pun dinamakan sebagai khulafâ al-râsyidîn karena mereka naik ke tampuk
kekuasaan tanpa ada paksaan. Karena itu pulalah khalifah-khalifah Islam
selanjutnya tidak dinamakan al-râsyidin.
Konversi Agama Tidak Mengapa
Konversi Agama Tidak Mengapa
Kritikus Said selanjutnya menyanggah argumen
nonpaskaan Said dengan hasis Nabi yang menganjurkan hukum bunuh atas orang yang
berpaling dari agama. Hadis itu menyatakan, ”barangsiapa yang berpaling dari
agamanya, bunuhlah ia!” Menurut Said, di masa Perjanjian Hudaibiyah, pun nabi
tidak meminta orang-orang Islam yang berpaling ke front musyrik Quraiys untuk
dibunuh. Populer dan luasnya keyakinan soal perlunya membunuh orang yang
berpaling dari agama ini, bagi Said tidak membuatnya benar. Betapa banyak
hal-hal dianut secara luas tapi sesungguhnya tidak benar alias salah kaprah.
Hadis ini, bagi Said tidak bertentangan dengan ayat la ikrâh.
Pertama, kalau berpegang pada prinsip bahwa
”ketentuan hadis tidak dapat menasakh Quran”, perkaranya langsung jelas dan
sudah selesai, yaitu tiada paksaan dalam soal agama. Kedua, kalau pun hadis ini
diakui ada dan sahih, ia pun harus ditakwilkan lebih dulu agar tidak
berbenturan dengan ketentuan al-Quran. Jika tidak, mestinya ia pun bisa berlaku
bagi orang-orang yang masuk Islam (berpaling dari agama lain). Said pun membuat
hipotesis ini: jangan-jangan, hadis ini justru berbicara soal orang yang hanya
main-main dalam praktik pindah agama.
Lalu bagaimana menafsirkan perang murtad (harbur
riddah) yang dilancarkan Abu Bakar terhadap para pembelot di masanya? Said
berpendapat, itu tidak dapat disebut sebagai pembunuhan (al-qatl), tapi
lebih tepat disebut peperangan (al-qitâl) terhadap orang-orang yang ingin
mengakhiri karir Islam, mengepung Madinah, dan menyerangnya. Ini lebih
berkaitan dengan soal separatisme! Ulama Islam pun sepakat, qitâl tidaklah
sama dengan qatl.
Hukum duniawi bagi orang yang murtad,
sebagaimana diutarakan Alquran tidaklah dijumpai. Mereka hanya ditunggu Tuhan
di akhirat kelak. Dan kalau seluruh penghuni dunia menganut prinsip “orang
murtad harus dihukum bunuh”, kata Said, orang Islam harus lantang berterikan:
bagi kami tidak! Islam tidak dirugikan sekecil biji zarah pun oleh orang-orang
yang murtad, tapi justru merugi besar jika menerapkan hukum yang bertantangan
dengan semangat al-Quran itu. Sebab, dengan begitu, kesannya orang tetap
menganut Islam hanya karena takut dibunuh. Islam akan tetap dicitrakan sebagai
agama pemaksa, terbelakang, dan ancaman terhadap perdamaian dunia. Itulah yang
tidak diinginkan ulama bersahaja asal Suriah ini. []
--------------------------------------------------------------------------
Wawancara dengan Jaudat Said "Nabi Adalah Pengagum Raja Abbisinia"
Wawancara dengan Jaudat Said "Nabi Adalah Pengagum Raja Abbisinia"
Apa pendapat Said tentang kultur kekerasan,
fundamentalisme, dan dampaknya terhadap perkembangan suatu masyarakat dan
bangsa? Berikut petikan wawancaranya dari berbagai sumber.
Anda dikenal sebagai pemikir Islam yang gigih memperjuangkan prinsip nirkekerasan dan nonpaksaan dalam masyarakat Islam. Mengapa?
Anda dikenal sebagai pemikir Islam yang gigih memperjuangkan prinsip nirkekerasan dan nonpaksaan dalam masyarakat Islam. Mengapa?
Pemaksaan, apalagi dengan kekerasan, tak akan
pernah melahirkan iman yang benar. Menyandu kepada kultur pemaksaan dan
kekerasan akan selalu menjadi penyebab keterbelakanan. Namun sampai kini, kita
masih saja terobsesi untuk melenyapkan orang lain, sampaipun sesama Muslim yang
berbeda pandangan dengan kita. Kita mengabaikan pendapat mereka dan menggunakan
cara-cara intimidasi dan teror terhadap mereka. Pertarungan kita melawan
akal-budi pun tak pernah berhenti. Ini memang bukan barang baru dalam kultur
kita. Karena itu, tidak mengherankan jika akal pikiran kita membeku dan tak
kunjung mampu berkembang. Kita selalu bergairah menghidupkan kultur paksaan,
bukan persuasi, baik dalam bidang politik maupun agama.
Padahal, jika Tuhan sendiri sangsi agamanya akan kalah dan punah (tanpa adanya kekuatan pemaksa), Dia pasti tak akan memfirmankan ayat “tiada paksaan dalam soal agama.” Apa yang kita alami saat ini adalah kebutaan mata-hati. Saya merasakan, kultur paksaan itulah yang senantiasa menghasilkan berbagai kekerasan dan terorisme di dalam masyarakat Islam. Dari semangat itulah lahir Saddam Husein, Taliban, dan milisi-milisi bersenjata. Mereka terlahir dari iklim belajar fikih dengan cara-cara terbelakang: memaksakan kebenaran pendapat dengan unjuk kekuatan, intimidasi, dan penghalalan darah orang yang berbeda dengan mereka.
Padahal, jika Tuhan sendiri sangsi agamanya akan kalah dan punah (tanpa adanya kekuatan pemaksa), Dia pasti tak akan memfirmankan ayat “tiada paksaan dalam soal agama.” Apa yang kita alami saat ini adalah kebutaan mata-hati. Saya merasakan, kultur paksaan itulah yang senantiasa menghasilkan berbagai kekerasan dan terorisme di dalam masyarakat Islam. Dari semangat itulah lahir Saddam Husein, Taliban, dan milisi-milisi bersenjata. Mereka terlahir dari iklim belajar fikih dengan cara-cara terbelakang: memaksakan kebenaran pendapat dengan unjuk kekuatan, intimidasi, dan penghalalan darah orang yang berbeda dengan mereka.
Adakah teladan dari sejarah Rasul tentang
prinsip nonpaksaan dalam soal politik dan agama?
Nabi yang mulia itu pernah diintimidasi, ditindas, dianiaya. Para kerabatnya pun banyak yang terluka dan terbunuh. Tapi ketika menaklukkan Mekah, beliau memberi amnesti kepada semua. “Pergilah berlalu! Kalian semua bebas,” tegasnya. Ia tidak memaksa sorang pun untuk memeluk Islam. Dia pun tidak melakukan tipu daya atau taktik intimidasi dan penganiayaan terhadap mereka yang tetap musyrik. Bahkan, Nabi pernah mengutarakan rasa takjubnya kepada raja Abbisinia yang tidak melancarkan penindasan terhadap kelompok-kelompok yang tidak sekeyakinan dengannya. Beliau mengatakan, “Di Abisinia hidup seorang raja yang tidak menyakiti orang yang tidak sekeyakinan dengannya.” Itulah teladan Nabi dalam menghadapi perbedaan paling fundamental sekalipun dalam hidup ini. Tapi sampai hari ini, kita masih tidak bisa hidup tanpa kudeta dan pertumpahan darah. Ini menandakan bahwa kita tidak pernah mengambil pelajaran dari sejarah.
Nabi yang mulia itu pernah diintimidasi, ditindas, dianiaya. Para kerabatnya pun banyak yang terluka dan terbunuh. Tapi ketika menaklukkan Mekah, beliau memberi amnesti kepada semua. “Pergilah berlalu! Kalian semua bebas,” tegasnya. Ia tidak memaksa sorang pun untuk memeluk Islam. Dia pun tidak melakukan tipu daya atau taktik intimidasi dan penganiayaan terhadap mereka yang tetap musyrik. Bahkan, Nabi pernah mengutarakan rasa takjubnya kepada raja Abbisinia yang tidak melancarkan penindasan terhadap kelompok-kelompok yang tidak sekeyakinan dengannya. Beliau mengatakan, “Di Abisinia hidup seorang raja yang tidak menyakiti orang yang tidak sekeyakinan dengannya.” Itulah teladan Nabi dalam menghadapi perbedaan paling fundamental sekalipun dalam hidup ini. Tapi sampai hari ini, kita masih tidak bisa hidup tanpa kudeta dan pertumpahan darah. Ini menandakan bahwa kita tidak pernah mengambil pelajaran dari sejarah.
Mengapa Anda begitu bersemangat memperjuangkan
prinsip nonpaksaan?
Karena tidak mungkin ada suatu masyarakat yang
dapat berkembang secara sehat dalam kultur paksaan yang berkembang subur.
Prinsip paksaan itu bukan bagian dari Islam. Yang menjadi bagian dari Islam
adalah prinsip nonpaksaan (lâ ikrâh). Nabi Muhammad senantiasa berdialog dan
bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam semua hal. Tapi ironisnya, sampai
kini pun kita tetap menghidupkan kultur paksaan. Selama kita selalu meremehkan
pendapat orang lain, selama itu pula kita tak akan pernah bisa menghargai
akal-budi. Akibatnya, kita tidak akan pernah bisa berprestasi dalam semua
aspek.
Mengapa Anda menghubungkan pertumbuhan
fundamentalisme dengan dominannya kultur pemaksaan?
Karena itulah yang sebenarnya terjadi. Kultur
paksaan itu memang begitu dominan, tidak hanya dalam dunia politik tapi juga
dalam gerakan-gerakan fundamentalisme agama. Dalam dunia politik kita
menjumpai, setiap kali seorang diktator tumbang, akan muncul diktator lain
sebagai pengganti. Gerakan fundamentalisme agama juga begitu: menginginkan
perubahan dan pergantian kekuasaan dengan cara-cara paksaan dan kekuatan
bersenjata. Karena itu, yang terjadi hanyalah siklus balas dendam dan jatuhnya
korban di kedua belah pihak, baik yang ditumbangkan maupun yang
menumbangkan.
Saya berpendapat, jika kelompok-kelompok
fundamentalis itu punya kesempatan berkuasa, mereka pasti akan menerapkan
kultur paksaan dengan sempurna. Saya menyayangkan di dalam masyarakat kita masih
begitu dominan kultur ini. Kita sukses besar membunuh kekuatan nalar dan
kreativitas. Kita tidak memahami ruh Islam dan semangat demokrasi yang
terkandung dalam banyak ayatnya. Karena itu, saya berpendapat bukan Barat yang
menciptakan kelompok-kelompok bersenjata di negeri kita, tapi mereka justru
lahir dari kultur paksaan di semua aspek yang masih dominan. Saya terkadang
merasa masih terlalu banyak umat Islam yang menjadi kaum neo-Khawarij yang
seolah-olah berbangga membunuh Ali untuk dipersembahkan sebagai cara
mendekatkan diri kepada Allah. []
Sumber: Jaringan Islam Liberal / http://islamlib.com
Related Posts:
Agama
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :