Kamis, 25 April 2013
Politik dan Kekuasaan dalam Islam: Membaca Kembali Sejarah Syiah
Luthfi Assyaukanie
Syi’ah adalah sekte pertama di dalam Islam yang kemunculannya sepenuhnya didorong oleh peristiwa politik. Semua bermula dari absennya wasiat Nabi Muhammad tentang siapa penggantinya jika dia meninggal. Jika sejak awal Nabi memberikan wasiat dan diumumkan kepada publik, pastilah sejarah Islam akan berjalan lain. Ketiadaan wasiat ini memunculkan persoalan besar beberapa saat setelah Nabi meninggal, yakni siapa yang akan menggantikannya? Selain sebagai pemimpin spiritual, Nabi Muhammad juga seorang pemimpin politik bagi warga Madinah. Kematiannya, dengan demikian, bukan hanya berarti hilangnya kepemimpinan spiritual, tapi juga kepemimpinan politik.
Syi’ah adalah sekte pertama di dalam Islam yang
kemunculannya sepenuhnya didorong oleh peristiwa politik. Semua bermula dari
absennya wasiat Nabi Muhammad tentang siapa penggantinya jika dia meninggal.
Jika sejak awal Nabi memberikan wasiat dan diumumkan kepada publik, pastilah
sejarah Islam akan berjalan lain. Ketiadaan wasiat ini memunculkan persoalan
besar beberapa saat setelah Nabi meninggal, yakni siapa yang akan
menggantikannya? Selain sebagai pemimpin spiritual, Nabi Muhammad juga seorang
pemimpin politik bagi warga Madinah. Kematiannya, dengan demikian, bukan hanya
berarti hilangnya kepemimpinan spiritual, tapi juga kepemimpinan politik.
Perundingan yang hampir menumpahkan darah di Saqifah yang
terkenal itu, sesungguhnya adalah permufakatan untuk mencari pengganti Muhammad
sebagai pemimpin politik, bukan sebagai pemimpin spiritual. Semua sahabat Nabi
sadar bahwa secara spiritual tak ada yang bisa menggantikan Muhammad. Juga,
mereka tahu diri bahwa tidak ada nabi setelah Muhammad. Bahwa pilihan kemudian
jatuh kepada Abu Bakar, sepenuhnya berdasar pertimbangan primus inter pares,
yakni karena Abu Bakar dianggap sebagai orang paling senior, paling dekat
dengan Nabi, dan punya sedikit jiwa kepemimpinan.
Dari perspektif tata-pemerintahan (polity) yang berlaku saat
itu, pilihan kepada Abu Bakar sebetulnya menyalahi aturan umum, yakni jika
seorang pemimpin politik meninggal, maka yang akan menggantikannya adalah
keturunannya atau famili terdekatnya. Karena Muhammad tidak memiliki anak
laki-laki, yang berhak menggantikannya seharusnya adalah anak perempuannya,
sebagaimana yang pernah terjadi pada kerajaan-kerajaan di sekitar Mediterania
saat itu. Ada opsi lain, jika warisan kekuasaan tidak jatuh ke tangan anak
perempuan, maka ia akan jatuh ke tangan saudara laki atau perempuan (adik).
Masalahnya, Nabi Muhammad tak memiliki adik, karena dia anak tunggal.
Satu-satunya famili terdekatnya adalah Ali bin Abi Thalib, sepupunya yang
sekaligus juga menantunya.
Tapi, mengapa para petinggi di Saqifah memilih Abu Bakar dan
bukan Ali? Bukankah lebih masuk akal dan bisa diterima publik jika Ali yang
menggantikan Nabi? Bukankah Fatimah, anak Nabi, layak dijadikan Ratu,
penerusnya, mengikuti tradisi tata-pemerintahan yang berlaku di kawasan itu?
Apalagi Fatimah adalah isteri Ali, yang juga sepupu Nabi. Adalah tidak masuk
akal mengikuti logika para pembesar di Saqifah yang memilih Abu Bakar dan
melupakan Ali sama sekali. Dalam perdebatan sengit antara Faksi Madinah dan
Faksi Mekah, yang muncul adalah nama-nama seperti Umar bin Khatab (Mekah), Abu
Ubaydah bin Jarrah (Mekah), Sa’ad bin Ubadah (Madinah/Khazraj), dan Bashir bin
Sa’d (Madinah/Aws).
Nama Ali atau Fatimah tak disebut sama sekali. Keduanya tak
hadir di Saqifah, tapi lebih memilih mengurusi jenazah Nabi, yang menurut
al-Tabari (Tarikh), hampir tak dipedulikan para sahabat besar yang tengah
memperdebatkan siapa pengganti Nabi kelak. Bagi Ali dan keluarganya, mengurusi
jenazah Nabi dan mempersiapkan pemakamannya jauh lebih penting ketimbang
meributkan kandidat pengganti Nabi. Mungkin, Ali dan Fatimah juga berpikir
bahwa kekuasaan tak akan pergi ke mana-mana, toh menurut tradisi politik yang
berlaku, kekuasaan selalu jatuh ke tangan anak atau famili terdekat.
Asumsi Ali dan Fatimah bahwa kekuasaan ayah mereka akan
jatuh ke tangan mereka terbukti keliru. Setelah upacara penguburan Nabi
selesai, pengganti Nabi tetaplah Abu Bakar. Satu persatu kaum Muslim melakukan
bay’at (sumpah) kepada Abu Bakar sebagai pengganti Nabi (khalifah). Bashar bin
Sa’ad, pemimpin Suku Aws yang sempat berminat menggantikan Nabi, mengurungkan
niatnya dan berbalik mendukung Abu Bakar. Dukungannya kepada Abu Bakar bukan
karena dia suka kepada mertua Nabi itu, tapi karena rival beratnya, Sa’ad bin
Ubadah (pemimpin Khazraj) bisa berpeluang besar, jika kaum Anshar tidak
mendukung Abu Bakar. Maka, terjadilah apa yang pernah terjadi dalam Pilkada DKI
2007, warga Jakarta memilih Fauzi Bowo bukan karena mereka suka dengan pria
berkumis itu, tapi karena mereka tidak suka jika Jakarta dipimpin oleh calon
yang didukung PKS.
Tidak semua orang mendukung Abu Bakar menjadi pengganti
Nabi. Abu Bakar dan timnya (di antaranya Umar bin Khattab yang paling antusias)
harus melakukan kampanye dari Jum’at ke Jum’at untuk meyakinkan kaum Muslim di
Madinah bahwa dia layak menjadi pengganti Nabi. Bay’at (sumpah setia) harus
segera dikumpulkan agar Abu Bakar mendapatkan legitimasi dan lancar dalam
mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik. Sayangnya, bay’at tidak diperoleh
dengan mulus. Sebagian suku di Madinah (misalnya Banu Ghatafan dan Khawazin)
menolak Abu Bakar dan tak bersedia memberikan bay’at. Untuk menunjukkan
perlawanan, mereka menolak membayar upeti (zakat), yang kemudian memicu apa
yang dalam sejarah Islam dikenal dengan ”Perang Apostasi” (hurub al-riddah).
Yang mengejutkan adalah bahwa penolakan bay’at bukan hanya
dilakukan oleh sebagian suku Anshar, tapi juga beberapa tokoh Muhajirin. Ali
bin Abi Thalib, menantu dan sepupu Nabi, juga tak bersedia melakukan bay’at
kepada Abu Bakar. Tentu saja, Ali bukanlah satu-satunya sahabat besar Nabi yang
menolak Abu Bakar. Ada Sa’ad bin Ubadah (perunding Saqifah dan pemimpin
Khahzraj), yang sampai wafatnya tak mau memberikan bay’at kepada Abu Bakar. Dia
juga tak mau memberikan bay’at kepada Umar bin Khattab, dan karena merasa
nyawanya terancam, dia hijrah ke Suriah hingga meninggal di sana. Ada Hubab bin
al-Mundzir, pahlawan dan ahli strategi yang mengantarkan kemenangan perang
Badar. Demikian juga, ada al-Abbas, Salman Al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, dan
Khuzaimah bin Tsabit; semua sahabat besar ini pada mulanya enggan memberikan
bay’at kepada Abu Bakar.
Ali baru memberikan bay’atnya kepada Abu Bakar setelah enam
bulan peristiwa Saqifah. Menurut Bukhari dan Muslim, Ali melakukan bay’at
setelah Fatimah, isteri tercintanya, meninggal. Tidak ada yang tahu pasti
mengapa Ali kemudian memberikan bay’atnya. Bagi para pengikutnya yang 25 tahun
kemudian dikenal dengan sebutan ”pengikut Ali” (syi’at Ali), bay’at Ali
dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dalam tekanan situasi politik di Madinah
ketika itu. Bagi mereka, Ali adalah pewaris yang sah dari kekuasaan yang
ditinggalkan Nabi. Bukan hanya karena Ali merupakan isteri Fatimah, tapi
menurut ”Syi’at Ali,” karena Nabi telah mengumumkan di Ghadir Khum bahwa Ali
adalah calon penggantinya kelak jika dia wafat.
Ghadir Khum adalah episode lain yang penting dalam sejarah
Syi’ah. Kaum Muslim dari kalangan Sunni dan Syi’ah berbeda pendapat, bukan
hanya apakah Nabi secara eksplisit memberikan wasiat kepada Ali di sana, tapi
apakah peristiwa Ghadir Khum itu benar-benar ada. Ghadir Khum adalah sebuah
lembah tempat para pesiar dan saudagar Mekah beristirahat dalam perjalanan
panjang mereka ke Syam. Lokasinya persis berada di tengah-tengah, sekitar 180
Km jarak antara Mekah dan Madinah. (di Google Earth, lokasinya terletak di
bujur ini: 22°49?30?N 39°4?30?E). Nabi dan para sahabatnya beristirahat di
tempat itu dalam perjalanan dari Mekah usai menunaikan haji wada. Di tempat
itulah Nabi diyakini memberikan khutbah dan wasiatnya soal siapa penggantinya
kelak.
Para perawi Sunni (termasuk Bukhari dan Muslim) membenarkan
bahwa Nabi pernah istirahat di situ dan --tentu saja-- memberikan khutbahnya.
Namun, mereka menolak kalau isi khutbah Nabi secara eksplisit menyebutkan
wasiat untuk Ali. Sebagaimana di tempat-tempat lain, Nabi selalu memberikan
khutbah dan seperti juga kebiasaannya, beliau memuji sahabat-sahabatnya. Kadang
memuji Abu Bakar, kadang memuji Bilal, kadang memuji Umar, dan kadang memuji
Utsman. Nah, di Ghadir Khum itu, Nabi memuji Ali. Sebetulnya pujian biasa saja,
yang sering ia lontarkan juga kepada para sahabatnya yang lain. Sanjungan itu
adalah ucapan Nabi bahwa Ali adalah seorang pemimpin yang sama dengan dirinya
(man kuntu mawlah, fa ali mawlah). Oleh para pengikut Ali, pernyataan Nabi ini
kemudian ditafsirkan sebagai wasiat kepada kaum Muslim bahwa setelah Nabi
meninggal nanti yang menjadi penggantinya adalah Ali.
Seperti Cak Nur yang kerap memuji orang, Nabi juga selalu
memuji sahabat-sahabatnya. Suatu kali Nabi memuji Abu Bakar sebagai ”pemimpin
kaum Muslim di surga,” ”pintu surga akan memanggilnya untuk memasukinya,” dan
”orang Islam pertama yang akan masuk surga.” Nabi juga pernah memuji Umar
dengan ungkapan yang terkenal ini: ”andaikata sesudahku ada Nabi, dialah Umar.”
Di Ghadir Khum, yang mendapat pujian kebetulan adalah Ali. Orang-orang Sunni
sama sekali tidak menganggap pernyataan Nabi itu sebagai sebuah wasiat. Nabi
biasa memuji sahabat-sahabatnya. Tidak ada yang unik dengan itu. Tapi, bagi
para pengikut fanatik Ali, pernyataan Nabi itu adalah sebuah wasiat penting.
Bahkan, Ghadir Khum adalah sebuah peristiwa besar, bukan hanya tempat. Ghadir
Khum adalah sebuah perjanjian suci yang dilanggar, yang akibatnya memunculkan
rangkaian peristiwa berdarah dalam tubuh umat Islam, dari pemberontakan
terhadap Abu Bakar, pembunuhan Umar, pembunuhan Uthman, dan puncaknya
pembunuhan Ali.
Dari perspektif politik, Ghadir Khum hanyalah sebuah
justifikasi belakangan para pengikut Ali untuk mendukung suatu niat lebih besar
yang sudah ada sejak awal: warisan kekuasaan. Menurut tradisi politik yang
berlaku pada saat itu, tidak ada orang yang paling berhak untuk menggantikan
Nabi kecuali Ali bin Abi Thalib. Tidak ada presedennya bahwa kekuasaan politik
jatuh kepada sahabat terdekat atau kepada seorang mertua. Yang selalu terjadi
adalah kekuasaan jatuh kepada adik atau anak. Nabi memiliki banyak anak dan
mestinya salah satu anaknya yang paling berhak meneruskan kekuasaannya. Pun,
jika anak-anaknya dianggap kurang layak, famili terdekatnya, yakni Ali, bisa
menjadi kandidat kuat. Apalagi Ali bukan sekadar sepupu, tapi juga seorang
menantu yang mengawini anak kesayangannya.
Syi’ah adalah sebuah sekte Islam yang muncul karena dorongan
politik. Kepemimpinan dinastik, yakni sistem pemerintahan turun-temurun, adalah
obsesi tertingginya. Sejak awal, para pengikut Ali memproyeksikan keluarga Nabi
(ahl al-bayt) sebagai poros dari kekuasaan yang mereka dukung. Buat mereka,
setelah Nabi meninggal, orang yang paling berhak untuk mewarisi kekuasaan
adalah anaknya, yakni Fatimah (kalaulah Nabi punya anak laki-laki, pastilah
anak itu yang akan jadi kandidat kuat). Setelah Fatimah/Ali meninggal,
kekuasaan politik harus turun kepada anak-cucunya. Karena alasan inilah mereka
menolak Muawiyah bin Abi Sufyan yang pada saat itu menjadi kompetitor Ali
paling kuat. Perang berdarah-darah yang dilakukan pengikut Ali kepada Mua’wiyah
dan anaknya (Yazid) adalah perang mempertahankan dinasti Ali. Pun, ketika Yazid
berkuasa, bagi para pengikut Ali, pemimpin yang sah tetaplah anak Ali, yakni
Hasan dan Husein.
Obsesi mempertahankan dinasti Ali terus tumbuh dalam diri
pengikut fanatik Ali yang sejak tahun 661 M, disebut sebagai ”Syi’at Ali.”
Setelah peristiwa Karbala yang oleh Ali Shari’ati, salah seorang tokoh Syi’ah
modern, disamakan dengan peristiwa penyaliban Yesus, obsesi dinastik kaum
Syi’ah terus dipelihara. Pembunuhan Husein bukan berarti kematian dinasti Ali.
Kaum Syi’ah meneruskannya dengan ”raja virtual” yang mereka sebut ”imam.”
Kekuasaannya pun diperluas, bukan hanya kekuasaan politik, tapi juga kekuasaan
spiritual. Sejak Husein terbunuh, imamah menjadi fondasi penting dalam ajaran
Syi’ah. Ketika seseorang kalah di dunia, maka dia akan membaw-bawa akhirat
untuk memperkuat dirinya. Persis seperti yang dikatakan Hamid Dabashi, sarjana
Iran yang menulis banyak buku tentang Syi’ah, kaum Syi’ah mengidap gejala
neurosis sejak pertama kali mereka kehilangan ”Yesus” mereka, yakni Husein bin
Ali yang mati dimutilasi oleh Yazid bin Muawiyah.
Obsesi dinastik ini terus berkelanjutan. Apa yang tak bisa
diwujudkan dalam kenyataan, diwujudkan dalam angan-angan. Dari sini, para
pengikut fanatik Ali kemudian membangun konsep ”imamah” yang lebih tepat
disebut sebagai ”kerajaan virtual.” Setelah Husein wafat, kaum Syi’ah menunjuk
anaknya Husein, yakni Ali atau yang lebih dikenal dengan Zayn al-Abidin.
Setelah Ali wafat, digantikan oleh puteranya, yakni Muhammad yang lebih dikenal
dengan Muhammad al-Baqir. Kerajaan virtual ini terus berlangsung secara
turun-temurun sampai pewaris ke-12, yakni: Muhammad bin Hasan bin Ali bin
Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali
bin Abi Thalib. Kesebelas orang ini plus Hasan bin Ali, menjadi ”raja” dalam
dinasti yang dibangun oleh orang Syi’ah. Mereka menyebutnya Syi’ah Imamiyah
atau Syi’ah Istna Asyariah (Syi’ah 12 Imam).
Sama seperti kerajaan atau sistem dinasti lainnya, ”kerajaan
virtual” yang dibangun orang-orang Syi’ah pun tidak maksum dari pertengkaran.
Pada awal abad ke-8 M, pengikut Syi’ah bertengkar siapa yang patut menggantikan
Ali bin Husein. Satu kelompok meyakini bahwa Muhammad al-Baqir, anak tertua Ali
yang patut menggantikan ayahnya. Tapi kelompok lain menganggap anak Ali yang
lain, yakni Zayd, lebih cocok. Kelompok kedua ini kemudian memisahkan diri dan
kelak disebut sebagai ”Syi’ah Zaydiyah.” Sedangkan kelompok pertama disebut
sebagai ”Syi’ah Imamiyah.” Perpecahan ini masih berlanjut. Pada pertengahan
abad ke-8, pertengkaran soal siapa yang layak menjadi pewaris kerajaan kembali
mencuat. Satu kelompok menjagokan Ismail bin Ja’far, sementara kelompok lain
mendukung Musa bin Ja’far. Kelompok pertama kemudian memisahkan diri dan
membangun sekte independen yang disebut ”Syi’ah Ismailiyah.”
Sejak berdiri, kaum Syi’ah terobsesi membangun kekuasaan
dinastik, bukan pemerintahan republik. Karena alasan inilah mereka menolak
mengakui pemerintahan Abu Bakar, Umar, dan Uthman. Buat mereka, pemerintahan
yang sah adalah pemerintahan turun-temurun, dari Nabi, ke Fatimah dan Ali, lalu
ke anak-cucu mereka. Perjuangan orang-orang Syi’ah menuai hasil pada awal abad
ke-10 ketika salah seorang keturunan Husein, yakni Abdullah al-Mahdi, berhasil
membangun sebuah kerajaan besar yang disebut Dinasti Fatimiyah. Dinasti
Fatimiyah (909-1171) adalah pengikut sekte Syi’ah Ismailiyah. Abdullah sendiri
adalah keturunan kelima dari Ismail bin Ja’far, pendiri sekte Ismailiyah. Sekte
Imamiyah pada akhirnya juga mampu mendirikan kerajaan besar di Iran, yakni
Dinasti Safawiyah (1501-1736). Dua dinasti ini, Fatimiyah dan Safawiyah
merupakan kerajaan-kerajaan yang sukses dan menjadi salah satu mercusuar
peradaban Islam.
Penutup
Sejak runtuhnya dinasti Safawiyah pada abad ke-18, tidak ada lagi kerajaan Syi’ah yang muncul. Para pemeluk Syi’ah lebih memilih menjadi rakyat yang dipimpin oleh orang non-Syi’ah seperti yang terjadi di Iraq, Lebanon, dan Bahrain, atau oleh orang-orang Syi’ah yang tak menganut ideologi politik ahlul bayt. Di Mesir, pengaruh Syi’ah semakin hilang sejak dinasti Ayubiyah (1171-1341) mengambil alih kekuasaan dari tangan Fatimiyah. Di Iran, dinasti Usmaniyyah yang Sunni menguasai pemerintahan selama lebih dari satu abad yang kemudian diteruskan oleh dinasti Pahlevi (1925-1979) yang tak peduli dengan ideologi ahlul bayt. Ideologi Syi’ah baru bangkit pada tahun 1980an, menyusul keberhasilan ”revolusi Islam” yang dipimpin Ayatullah Khomeini menumbangkan dinasti Pahlevi.
Sejak runtuhnya dinasti Safawiyah pada abad ke-18, tidak ada lagi kerajaan Syi’ah yang muncul. Para pemeluk Syi’ah lebih memilih menjadi rakyat yang dipimpin oleh orang non-Syi’ah seperti yang terjadi di Iraq, Lebanon, dan Bahrain, atau oleh orang-orang Syi’ah yang tak menganut ideologi politik ahlul bayt. Di Mesir, pengaruh Syi’ah semakin hilang sejak dinasti Ayubiyah (1171-1341) mengambil alih kekuasaan dari tangan Fatimiyah. Di Iran, dinasti Usmaniyyah yang Sunni menguasai pemerintahan selama lebih dari satu abad yang kemudian diteruskan oleh dinasti Pahlevi (1925-1979) yang tak peduli dengan ideologi ahlul bayt. Ideologi Syi’ah baru bangkit pada tahun 1980an, menyusul keberhasilan ”revolusi Islam” yang dipimpin Ayatullah Khomeini menumbangkan dinasti Pahlevi.
Tapi, seperti dikatakan Hamid Dabashi, teologi politik
Syi’ah tidak kompatibel dengan dunia modern. Sebagai sebuah agama, Syi’ah
sangat melankolis. Teologinya dibangun berdasarkan penderitaan dan kesedihan.
Masa silamnya mencengkeram dan menghantui terus para pemeluknya yang kini hidup
di dunia yang berbeda. Sikap seperti ini terus terbawa, bahkan ketika mereka
berkuasa. Kata Dabashi, dendam dan semangat perlawanan selalu mendominasi
kehidupan orang Syi’ah, ”sejak Imam Husein di Karbala, Ayatullah Khomeini di
Iran, Muqtada al-Sadr di Iraq, hingga Hassan Nasrallah di Lebanon... Syi’ah
adalah mayoritas dengan kompleks minoritas.”
Bibliografi:
1. Dabashi, Hamid. Shi'ism: A Religion of Protest. Cambridge, Mass.: The Belknap Press of Harvard University Press, 2011.
Bibliografi:
1. Dabashi, Hamid. Shi'ism: A Religion of Protest. Cambridge, Mass.: The Belknap Press of Harvard University Press, 2011.
2. Dabashi, Hamid. Theology of Discontent: The Ideological
Foundation of the Islamic Revolution in Iran. New Brunswick, NJ: Transaction
Publishers, 2006.
3. Hitti, Philip K. History of the Arabs. 8th ed. London,
New York,: Macmillan; St. Martin's Press, 1963.
4. Hodgson, Marshall G. S. The Classical Age of Islam.
Chicago: University of Chicago Press, 1974.
5. Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam : Conscience
and History in a World Civilization. 3 vols. Chicago: University of Chicago
Press, 1974.
Sumber: Jaringan Islam Liberal / http://islamlib.com
Sumber: Jaringan Islam Liberal / http://islamlib.com
Related Posts:
Agama Politik
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :