Selasa, 23 April 2013
Memperbaiki Citra Islam
Luthfi Assyaukanie
Beberapa waktu lalu saya menghadiri ceramah Karen Armstrong, sarjana
Inggris yang dikenal sangat simpatik terhadap Islam. Armstrong diminta
berbicara tentang Tantangan Agama pada Abad ke-21. Tapi dalam hampir
seluruh uraiannya, dia berbicara tentang Islam dan berbagai persoalan
yang dihadapi agama ini. Ceramah yang dihadiri hampi 1000 orang di ballroom
sebuah hotel di Singapura itu sangat menawan para hadirin, terutama
kaum Muslim yang merasa mendapat teman dan dukungan terhadap iman
mereka.
Sejak peristiwa 9/11, pengarang buku laris Sejarah Tuhan itu menjadi
juru bicara Islam yang sangat simpatik. Ia diundang berbagai forum
untuk menjelaskan sisi lain dari Islam yang kerap diabaikan pengamat dan
media massa. Sudah umum diketahui bahwa sejak peristiwa 9/11, citra
Islam sangat erat dengan terorisme dan kekerasan. Tugas Arsmtrong adalah
menjawabnya bahwa mengaitkan Islam dengan terorisme adalah keliru.
Islam adalah agama damai yang tidak mengajarkan umatnya menggunakan
kekerasan dan apalagi terorisme dalam berdakwah.
Sejauh menyangkut kampanye perbaikan terhadap citra Islam, Armstrong
tidak sendirian. Di dunia akademi Barat, selain Armstrong, ada beberapa
nama lagi seperti Montgomery Watt, Edward Said, John Esposito, dan
Robert W. Hefner. Para sarjana non-Muslim ini melihat ketidakadilan
dalam sirkulasi informasi di dunia selama ini, yakni penyuguhan citra
Islam yang begitu buruk. Berita seputar Islam yang dimuat media atau
ditulis para sarjana, jika bukan tentang terorisme pasti tentang tindak
kekerasan lainnya. Islam seolah-olah identik dengan kekerasan.
Saya ingin menyebut para sarjana Barat simpatik itu dengan “Front
Pembela Citra Islam” (FPCI). Bertolak belakang dari front lain yang
kerap menggunakan cara-cara kekerasan dalam berdakwah, FPCI benar-benar
mengadopsi cara yang dianjurkan al-Qur’an, yakni dengan ilmu pengetahuan
(bil hikmah), pesan baik (mau’izah hasanan) dan argumen yang kokoh (wa jadilhum billati hiya ahsan). Hal ini mereka lakukan bukan hanya dalam forum-forum ilmiah, tapi juga dalam karya-karya tulis.
Karen Armstrong, misalnya, menulis sejumlah buku tentang Islam. Di antaranya adalah Islam: A Short History dan Muhammad: A Biography of the Prophet,
di mana dia menguraikan tentang Islam dan Nabi Muhammad dengan sangat
menawan. Lewat penelitian yang mendalam terhadap sejarah Islam,
Armstrong berusaha menjelaskan sisi-sisi manusiawi Nabi Muhammad tanpa
kelihatan berapologi tapi juga tidak menohok, seperti yang biasa
dilakukan beberapa Orientalis Barat. Armstrong tidak menafikan bahwa ada
banyak peperangan dalam sejarah Nabi, tapi hal itu tidak boleh
dipisahkan dari dinamika kehidupan yang dijalani Nabi.
Menurut Armstrong, seperti yang ia jelaskan dengan sangat baik dalam the Battle for God,
perang atas nama agama bukanlah unik milik Islam saja, tapi juga ada
pada semua agama. Fundamentalisme modern yang berpuncak pada aksi-aksi
teror baik dalam Yahudi, Kristen, dan Islam, sesungguhnya adalah
ekspresi perlawanan terhadap dunia yang sekular dan anti-Tuhan.
Modernitas yang begitu mengandalkan rasionalitas dianggap berbahaya bagi
agama yang bersandar pada iman. Kaum beragama yang terus-menerus merasa
terancam akan melakukan serangan balik (backlash) terhadap simbol-simbol modernitas, termasuk di antaranya gedung komersial, stasiun kereta api, dan kafe-kafe.
Para sarjana non-Muslim itu tentu saja tidak sendirian. Kaum
intelektual Muslim di dunia Barat juga berusaha melakukan perbaikan
terhadap citra Islam yang selama ini telah dikotori para teroris dan
kelompok-kelompok yang mengklaim sedang membela Islam (padahal
sebenarnya sedang merusaknya). Para sarjana seperti almarhum Fazlur
Rahman, Abdullahi Ahmed al-Naim, Khaled Abu el-Fadl, Moqtader Khan, dan
dalam tingkat tertentu Irshad Manji, bisa dimasukkan dalam daftar FPCI
sejati.
Hanya saja berbeda dari para sarjana Barat non-Muslim, para sarjana
Muslim tak hanya berhenti pada pembelaan terhadap citra Islam, tapi juga
melakukan koreksi terhadap perilaku kaum Muslim dan beberapa doktrin
Islam yang dianggap keliru. Fazlur Rahman misalnya, sambil mengkritik
Orientalis, dia tetap kritis terhadap beberapa perilaku kaum Muslim yang
dianggapnya salah dalam memahami Islam. Lebih jauh lagi, Rahman bahkan
mengkritik beberapa doktrin Islam yang dianggapnya tidak lagi relavan
dengan kehidupan kaum Muslim modern.
Di Indonesia, saya melihat semakin banyak tumbuh gerakan Islam yang
dipelopori generasi muda. Mereka datang dari latarbelakang santri dan
memiliki latarbelakang keilmuwan Islam yang kuat. Gerakan ini berusaha
mengkonter orang-orang yang sering me(nyalah)gunakan Islam untuk
kepentingan politik dan ideologis mereka. Lewat wacana pemikiran, para
generasi muda ini berusaha memperbaiki citra Islam yang bopeng akibat
perilaku para teroris dan pendukungnya.
Islam yang dihadirkan oleh apa yang kerap disebut gerakan pembaruan
atau gerakan Islam liberal ini adalah Islam yang damai, yang toleran,
pro-demokrasi, dan mendukung semangat kebebasan sipil. Berbeda dari
Islam kaum teroris dan pendukungnya, kaum Muslim liberal meyakini bahwa
ajaran-ajaran Islam cocok dengan tantangan dunia modern, bisa
berinteraksi dengan Barat, dan bisa bekerjasama dengan dunia
internasional.
Tidak ada cara lain untuk memperbaiki citra Islam kecuali dengan
mengembangkan wacana seperti selama ini didukung kelompok-kelompok Islam
liberal, baik yang ada dalam Muhammadiyah, NU, maupun
organisasi-organisasi Islam lainnya. Tema-tema seperti pluralisme,
liberalisme, hak-hak perempuan, dan kebebasan sipil, adalah tema-tema
yang dapat membantu memperbaiki citra Islam yang selama ini terkait erat
dengan kekerasan, bom bunuh diri, penculikan, dan pengrusakan kafe.
Sudah saatnya kaum Muslim memperbaiki citra Islam dengan cara mengubur
dalam-dalam wacana primitif yang dikembagkan para teroris dan
pendukungnya.
Related Posts:
Agama
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :