Selasa, 23 April 2013
Membangun Harmoni Mencipta Perdamaian*
Evi Rahmawati
Lagipula, berbeda pandangan merupakan hak paten
sebuah negara yang menganut sistem deokrasi. Bukan hanya itu, hak ini juga,
dalam konsepsi political rights, tidak bisa dilepaskan dari dua hak lainnya
yang saling berkelindan: hak untuk mengekspresikan pendapat serta hak untuk
berserikat. Jika seseorang memiliki suatu pandangan tertentu, maka ia juga
punya hak untuk menyuarakan pandangannya serta mengorganisir masyarakat yang
memiliki pandangan serupa. Sebagai idealisme HAM, ini merupakan tiga hak dalam
satu paket, tegas Ulil. Dan peran negara adalah hadir dengan kesadaran serta
tanggung jawab untuk melindungi tiga hak tersebut. Manakala negara sadar akan
peran pentingnya ini, maka akan ada satu upaya untuk memproduksi serta
menegakkan hukum yang bisa mengakomodir ketiga hak tersebut.
Potret
masyarakat Indonesia belakangan ini merupa dalam wajah yang muram
terhadap beragam perbedaan. Terutama perbedaan pandangan seputar
tafsiran agama. Persoalan yang terus mengemuka di antaranya terkait isu
pluralisme, terlebih yang melibatkan perdebatan dalam tubuh agama itu
sendiri. Juga, isu penodaan agama yang kembali mencuat, terutama dalam
konteks kemunculan film Innocence of Muslim, yang karenanya sejarah
kekerasan atas nama agama berulang, terutama di negara-negara Timur
Tengah yang sedang mengalami proses transisi menuju pemerintahan
demokratis. Perdebatan-perdebatan di dua wilayah gagasan tersebut, dan
gagasan lain terkait perbedaan pandangan dalam ajaran agama, semakin
menguat.
Pada
workshop jurnalis bertema “Memberitakan Isu Keberagaman” inisiasi
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Padang (29/09), Ulil Abshar-Abdalla mengulas
duduk perkara persolan-persoalan tersebut, serta bagaimana negara bisa
mengambil peran di dalamnya. Menurut salah satu pendiri Jaringan Islam
Liberal (JIL) ini, soal kebebasan beragama, pluralisme, penistaan agama
dan keragaman di dalam suatu agama, merupakan perdebatan yang belum
selesai hingga saat ini. Ia tidak bisa diprediksikan khatam melalui
satu generasi. Bangsa Eropa pernah mengalami perang agama yang
berlarut-larut selama kurun waktu kurang lebih 30 tahun.
Masalah-masalah yang diperdebatkan kalangan Muslim menyangkut
persoalan-persoalan di atas, juga sempat mengemuka di wilayah
perdebatan bangsa Eropa saat itu.
Namun
demikian, Ulil percaya bahwa perdebatan-perdebatan tersebut akan selalu
menarik dan sehat bilamana semakin banyak masyarakat terlibat di
dalamnya. Yang mengkhawatirkan justru ketika ia diintervensi oleh
otoritas tertentu, apakah itu otoritas agama ataupun politik. Sikap
semacam ini, bagi Ulil, bisa menghambat proses pendewasaan masyarakat
dalam menghadapi kompleksitas di tubuh agama. Di sini, kita bisa
belajar dari pengalaman bangsa Eropa. Dalam masa-masa sulit akibat
perang agama, kendati perdebatan-perdebatan terus meruncing, namun ia
mampu melahirkan ide-ide bernas. Kita kenal John Locke misalnya,
berangkat dari masalah yang kurang lebih sama atau bahkan lebih serius
dari masalah yang kita hadapi sekarang, ia mampu menulis sebuah traktat
yang sangat terkenal, On Letter Concerning Toleration.
Di
Indonesia resistensi terhadap pluralisme memuncak selepas MUI
menerbitkan fatwa haram gagasan ini di tahun 2005. Ulil bisa memahami
mengapa MUI menentang pluralisme. Ada anggapan bahwa pluralisme
merupakan sebuah gagasan yang mengisyaratkan semua agama itu sama
benarnya. Pluralisme dianggap meyakini asumsi bahwa kebenaran bukanlah
monopoli salah satu dari sekian banyak agama di dunia. Ini bertentangan
dengan ajaran Islam yang menganggap dirinya sebagai agama yang paling
benar. Karena itu kemudian MUI memfatwa haram gagasan tersebut. Sikap
sebagaimana ditunjukkan MUI sesungguhnya pernah juga diperlihatkan oleh
kalangan gereja Katolik. Vatikan menegaskan bahwa gagasan pluralisme
yang berarti menyamakan semua agama tidak bisa diterima dalam ajaran
Katolik. Demikianlah, agama-agama cenderung meyakini bahwa ajarannya
yang paling benar. Sesungguhnya keyakinan tersebut cukup masuk akal
bagi Ulil. Karena, melalui keyakinannya itulah seseorang memilih untuk
menetap di dalam agamanya.
Secara
pribadi, demikian Ulil, ia percaya bahwa semua agama itu benar. Dan
baginya, cara MUI tidak begitu tepat dalam mendefinisikan pluralisme.
Gagasan ini tidak berpretensi menyamakan semua agama, melainkan
berupaya mencari dan akhirnya mempercayai keberadaan titik temu pada
setiap agama. Asumsinya memang berbeda-beda, namun yang menjadi
pertanyaannya: apakah memungkinkan ada titik temu dalam setiap agama?
Kalangan yang mengusung ide pluralisme menjawab, sangat mungkin. Jika
kita perhatikan, hampir setiap agama memiliki keprihatinan yang sama
terhadap persoalan-persoalan seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan
berbagai persoalan lain terkait dengan kehidupan sosial. Di sinilah
titik temu agama-agama menemukan bentuknya. Tetapi ini baru satu titik
yang dipertemukan oleh persoalan sosial.
Lebih
jauh, Frithjof Schuon pernah menulis The Transcendent Unity of
Religions yang mengurai kemungkinan titik temu antaragama sampai pada
level yang transenden, atau tauhid. Sarjana Barat yang kemudian masuk
Islam dan mengganti namanya menjadi Isa Nuruddin Ahmad ini menelusuri
titik temu antaragama melalui tradisi Islam, dan ia menemukannya dalam
pemikiran Ibn ‘Arabi. Filsuf Islam terkemuka ini meyakini bahwa inti
dari semua agama bisa saling dipertemukan. Jika pun terdapat beberapa
perbedaan, letaknya berada pada ranah perspektif. Ia kemudian mencoba
mengurai titik temu antara konsep trinitas dalam tradisi Kristiani
dengan konsep tauhid dalam Islam. Tentu saja ini menuai banyak
sanggahan. Tetapi poin utama yang ingin Ulil jelaskan di sini, bahkan
dari kalangan Islam sendiri, hadir para pemikir yang mencoba menelusuri
titik temu antaragama sampai pada tahap yang transenden.
Mengapa
titik temu menjadi penting, sekaligus menjelaskan mengapa kita perlu
menolak fatwa haram MUI atas pluralisme. Jika para penganut agama
menyadari perihal titik temu agama-agama itu memang ada, maka
kemungkinan terjalinnya dialog antaragama yang sehat pun sangat lapang.
Melalui dialog inilah harmoni atau keselarasan sosial akan terbangun,
lantas seiring itu, perdamaian dunia dapat dicapai.
Sebagaimana
diyakini Hans Kung, perdamaian dunia hanya bisa dicapai jika terbangun
harmoni antaragama. Harmoni bisa dicapai apabila ruang dan kesadaran
dialog antaragama mendapat tempat yang leluasa di masyarakat. Menurut
analisis teolog Katolik ini, salah satu pemicu konflik besar di abad
20, selain ideologi-ideologi sekuler seperti fasisme, kapitalisme dan
nasional-sosialisme Nazi, juga adalah agama. Bahkan pasca runtuhnya
tembok Berlin tahun 1989, kecenderungan yang menggejala di balik
konflik-konflik besar dewasa ini, memiliki keterkaitan dengan masalah
agama, di samping isu etnisitas atau etno-nasionalisme. Maka, jika
agama kemudian menjadi pemantik memanasnya konflik, ide Hans Kung
mengenai pentingnya dialog antaragama memang sangat relevan dalam
konteks masyarakat kita dewasa ini, tandas Ulil.
Namun,
dalam proses mendialogkan antaragama, selalu ada perkara yang menjadi
batu sandungan. Semisal mencuatnya isu penghujatan agama atau
blasphemy. Penjelasan informatif disampaikan Ulil mengenai masalah
terakhir ini. Sepanjang sejarah negara-negara Barat, blasphemy
berjejalin dengan merebaknya sekte-sekte di dalam agama Kristen.
Blasphemy tidak sama dengan hate speech atau anti-semit atau, jika
dikaitkan dengan Islam, Islamophobia. Ia merupakan sebuah pandangan yang
muncul dari dalam agama itu sendiri, yang dikemukakan oleh kelompok
berbeda. Blasphemy lebih erat kaitannya dengan penafsiran tertentu dalam
sebuah agama. Ia merupakan pandangan, dan bukan penistaan, yang memang
berbeda dari pandangan paten kalangan mayoritas di tubuh agama itu
sendiri.
Karena
blasphemy datang dari dalam rahim yang sama, bukan dari lingkar luar,
maka Ulil berpendapat bahwa film Innocence of Muslim yang memancing
kemarahan luar biasa beberapa waktu lalu itu, tidak bisa dikategorikan
sebagai blasphemy, karena ia datang dari seorang Kristen Koptik.
Menurutnya, film ini lebih mendekati islamophobia.
Menanggapi
langkah Presiden SBY yang mengajukan Resolusi Protokol Internasional
anti-Penodaan Agama atau blasphemy ke hadapan sidang PBB beberapa waktu
lalu, Ulil berpendapat bahwa langkah tersebut kurang tepat. Hukum atas
blaphemy sudah ditinggalkan oleh bangsa-bangsa di negara lain. Kendati
masih ada yang bertahan seperti di Massachusetts, misalnya. Namun
harus dicermati alasan mengapa hukum ini tidak lagi relevan. Pertama,
karena ini adalah hukum usang yang mengusung semangat haart artikelen
warisan orde baru, yang saat itu dipakai untuk menekan para aktivis
yang kritis terhadap rezim otoriter tersebut. Hukum ini juga sangat
diskriminatif, semangat yang dimilikinya bukan untuk menghargai
perbedaan, melainkan memberangusnya sedemikian rupa. Ini pernah berlaku
di negara-negara Eropa. Dahulu, hukum atas blasphemy dimanipulasi
sebagai alat kaum mayoritas untuk menindas kalangan minoritas. Di
Prancis misalnya, karena di sana Katolik begitu dominan, maka kalangan
Protestan kerap menjadi sasaran hukum blasphemy ini. Sebaliknya di
Inggris, giliran Katolik yang menjadi korban.
Dalam
kitab hukum Indonesia, UU PNPS 1965 melalui pasal 156a mewujud sebagai
pasal karet yang kerap dimanipulasi untuk menjerat kalangan minoritas.
Karenanya, bagi Ulil, undang-undang ini perlu dikaji ulang, bahkan
dihapus saja semestinya. Sebab, undang-undang ini berpotensi
menumpulkan kedewasaan para pemeluk agama dalam menyikapi perbedaan
pandangan di tubuh agamanya sendiri. Dengan begitu, diskriminasi akan
terus melebar, kalangan Ahmadiyah dan Syiah serta minoritas lain,
terancam dibatasi ruang geraknya.
Lagipula,
berbeda pandangan merupakan hak paten dalam sebuah negara yang
menganut sistem demokrasi. Bukan hanya itu, hak ini juga, dalam
konsepsi political rights, tidak bisa dilepaskan dari dua hak lainnya
yang saling berkelindan: hak untuk mengekspresikan pendapat serta hak
untuk berserikat. Jika seseorang memiliki suatu pandangan tertentu, maka
ia juga punya hak untuk menyuarakan pandangannya serta mengorganisir
masyarakat yang memiliki pandangan serupa. Sebagai idealisme HAM, ini
merupakan tiga hak dalam satu paket, tegas Ulil. Dan peran negara adalah
hadir dengan kesadaran serta tanggung jawab untuk melindungi tiga hak
tersebut. Manakala negara sadar akan peran pentingnya ini, maka akan
ada satu upaya untuk memproduksi serta menegakkan hukum yang bisa
mengakomodir ketiga hak tersebut.
Bergerak
pada poin terakhir, Ulil menyinggung hubungan peran negara dan
otoritas agama. Agama punya hak untuk mendakwahi umatnya, dan negara
berkewajiban melindungi setiap komponen masyarakat untuk menjalankan
agama atau apapun yang diyakininya. Negara harus netral di hadapan
semua agama. Ini sesungguhnya cita-cita yang terkandung dalam gagasan
sekularisme mutakhir. Twin toleration yang diprakarsai Alfred Stepan
menyampaikan kepada kita bahwa sekularisme dewasa ini tidak lagi
mengusung sikap permusuhannya terhadap agama sebagaimana diperlihatkan
sekularisme kuno yang masih dianut oleh sisa-sisa negara komunis,
seperti RRC. Toleransi kembar yang menjadi inti gagasan sekularisme
mutakhir ini menganut konsepsi bahwa toleransi dibutuhkan dari kedua
belah pihak: agama dan negara. Negara menoleransi agama dengan tidak
mencampuri urusan mereka, dan agama tidak mengintervensi negara untuk
memaksakan pandangannya. Dengan begitu, keduanya bisa menghargai satu
sama lain.
Jika
MUI, sebagai representasi dari kalangan mayoritas Islam Sunni di
Indonesia memiliki sebuah pandangan yang kemudian diwujudkan dalam
bentuk fatwa: Ahmadiyah keluar dari Islam, misalnya, itu bagian dari hak
berpendapat mereka. MUI boleh berpendapat seperti itu, lantas
menyatakannya ke hadapan publik serta mengorganisir masyarakat yang
sepemahaman dengan mereka. Hanya saja, harus dibedakan antara pandangan
yang dianut dalam sebuah agama, dengan undang-undang yang dianut oleh
sebuah negara. Di sini letak pentingnya klarifikasi ide. Banyak orang
yang pemikirannya masih rancu dalam memandang masalah ini, sehingga
menimbulkan kebingungan. Dan kebingungan tersebut akhirnya melahirkan
praktek perundang-undangan yang saling bertabrakan antara satu dengan
yang lainnya.
Jika
negara ini memang menganut sistem demokrasi, maka ia bukan milik satu
golongan saja. Karena itu, negara tidak bisa mengadopsi fatwa MUI
sebagai representasi golongan tertentu, ke dalam level undang-undang.
Karena dengan demikian, melalui hukum tersebut negara telah menegasikan
hak masyarakat lain yang berbeda pendapat dengan kalangan yang
diakomodirnya. Undang-undang bersifat mengikat semua orang, karenanya ia
harus bisa mengakomodir hak semua orang pula, bukan hak mayoritas
saja. Jika negara mampu mengkhidmati perannya dengan menegakkan
undang-undang yang menghargai setiap perbedaan di masyarakat, maka
harmoni akan terbangun dan cita-cita perdamaian dunia bisa tercapai.
* Reportase diskusi Ulil Abshar-Abdalla
** Dapat dilihat di; http://sejuk.org/editorial/62-editorial/271-membangun-harmoni-mencipta-perdamaian-reportase-diskusi-ulil-abshar-abdalla.html
Related Posts:
Sosial-Budaya
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :