abu bakar mangun

Minggu, 05 Mei 2013

Epos I

Kawan, kuajak kau berbicara dalam ruang sempit ini.Untuk berbagi cerita tentang nusa dan bangsa, tentang bumi dan manusia, tentang kehidupan dan alam.Semoga semuanya dapat terangkul dalam cacatan ini, sekalipun kita letih untuk menyusun pecahan keramik kisah dan pengalaman yang terlewati, entah masa kecil kita dilorong – lorong kampung, perkampungan yang kumuh ataupun disaat kita mampu mengenal kebiadaban dan kebajikan.
Kawan, sebelumnya aku memohon maaf jika kuterlalu membesarkan sesuatu dan aku yang mendominasi dialog langit dan bumi ini.Tapi kuharap aku mewakili pengalamanmu untuk merefleksi kehidupan dunia ini.Sekalipun itu tak kompleks dalam ruang – ruang penafsiran, karena pengalamanku itu bukan kekayaanmu dan begitupun sebaliknya.Tapi kuharap kita satu persepsi dalam memahami kehidupan ini.Tentang keadilan sosial dan hajatan kita bersama untuk menjerumuskan alam pikiran kita dalam penyelesaian segala problematika ummat manusia.Mungkin begitu kira – kira.
Sebut saja namaku, Baso.Aku dilahirkan di kampung halamanku, Benteng Jampea. Tanggal 09 Oktober 1986, bertepatan hari surat – menyurat sedunia. Mungkin ini hari baik bagiku.Aku harus cakap dalam tulis – menulis.Kira – kira ini pesan tersirat yang wajib untuk didengar dan dipatuhi.Tentu setelah menjalani permenungan.Sebab kita bukan anjing, tikus ataupun kerbau yang langsung melakukan sesuatu tanpa berfikir.Dan disaat merenung bukan menghayal.
Kampung halamanku, tanah tumpah darahku.Tanah bersejarah dalam penggalan kisah kehidupan dibumi ini.Tempat dimana kumengenal kebiadaban dan kebajikan. Tempat dimana kumulai menyingkap beda Tuan dan hamba. Beda kaya dan miskin, beda penguasa dan rakyat jelata. Beda tentara – polisi dengan masyarakat buta hukum, tempat dimana muncul segala perbedaan yang tak terbatas.Ruang penjara yanng terasing dari peradaban rasionalitas, modernis.
Ilmu pengetahuan hanya milik tuan – tuan, pejabat, penegak hukum, si kaya, si tuan tanah. Ilmu pengetahuan bukan milikmu, milikku sebagai rakyat jelata.Ia tersembunyi di dasar lautan yang dalam, yang tak tertembus sinar mentari. Ilmu pengetahuan sendiri terpenjara dalam dunianya sendiri.Sebab si Tuan sebagai pintu gerbang tak urung niatnya untuk membangun perkampungan yang tolol.Pintu – pintu pengetahuan disumbat agar tak setetespun terpental dilantai rakyat jelata. Sebab si tuan telah tahu, bahwa tanpa sumbatan sama saja memancing semut keluar dari sarangnya.
Belum lagi sang guru, orang – orang yang mesti saya cintai, kau juga kawan tentunya. Dalam nurani kita sebagai murid, tak tega rasanya untuk kita caci – maki.Tapi sadar atau tidak sadar, kehidupan memaksa kita untuk menimbang dan menilai, sebab kita telah ketahui bahwa dihalaman sekolah juga ada ketidak adilan.Juga ada ketidak becusan.Ada tembok atau bahkan jurang antara kita sebagai anak rakyat jelata dengan si anak Tuan.Untuk cukur rambut saja, ada ruang teristimewa bagi mereka. Sementara kita dipaksa untuk mematuhi deadline yang ditentukan, akan tetapi si anak Tuan (Koramil) mesti ditanyakan model rambut dan tidak masalah jatuh tempo. Inilah sisi kehidupan dalam pendidikan formal kala itu yang telah saya lewati.Sangat mengharukan dan menyakitkan.Ini bukan dendam, tetapi kisah yang menjadi anak panah dan menusuk ke dalam jantung hatiku yang dalam.
Kisah yang mesti jadi pelajaran bagi anak rakyat jelata, agar ia berani untuk menerobos dan menggedor pembatas yang terstruktur. Agar ia tampil sebagai kesatria dalam menghadapi dan memprotes ketidakadilan. Ya bandit tetaplah bandit, sekolah sudah tidak menjamin dalam proses memanusiakan manusia. Setidaknya itu kata PAT (singkatan untuk Sang Guru Sastra Nusantara).Apalagi gurunya memang bandit dari awal.
Maaf kawan, aku terlalu emosional dalam bercerita. Hingga kadang tidak terlalu serasi dengan apa yang awal saya bicarakan. Akan tetapi saya tekankan bahwa sejarah manusia, bukan hari kemarin atau hari ini dan hari esok, akan tetapi proses perjalanan. Kita harus nilai dari sisi itu, sebab lahirnya kebangkitan dan keterpurukan bertitik tolak dari gerak proses yang mengalir. Sama dengan apa yang kita alami hari ini, bermula dari ketidak adilan menuju kebangkitan secara rohani dan jasmani. Setidaknya begitu.

TAHUN AJARAN BARU
(1994 – 1995)
Hari ini, hari pertamaku masuk sekolah.Aku ditemani ibuku mendaftar, dalam sejuta harapan anaknya dapat berbakti kepada bangsa dan negara.Setidak – tidaknya, berbakti untuk masyarakat yang ada disekelilingnya. Ketika aku lulus dari Sekolah Dasar dan dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.
Aku menemukan suasana baru ketika kumulai menapaki halaman sekolah.Aku merasakan suasana yang berbeda dari biasanya.Tempat dimana aku dapat berpakaian bebas dan dapat mengekspresikan diriku sebagai manusia bebas.Aku merasakan bahwa, kemerdekaanku dirampas, dipenjara dengan pakaian yang wajib dipakai bagi anak seusiaku dihalaman sekolah.Aku benar – benar tersiksa.Ini kualami selama sekian tahun.
Lenganku digenggam ibuku dengan kuat.Agar aku tidak bisa lari.Lari dari halaman sekolah ini, lari dari intaian mata liar dari anak – anak sebayaku.
“Kau harus mengikuti pelajaran dengan baik!!!” kata ibuku.
Aku hanya menunduk, pasrah dalam ketakutan dan keterasingan.Dalam situasi hati yang tidak bersahabat, seakan aku berada didalam hutan belantara, sedang mata harimau mengintai dari berbagai sudut.
Ingin rasanya aku menjerit sekuat tenaga. Tapi ibuku meyakinkanku bahwa: inilah anakku, pintu gerbang dimana kau akan mengenal peradaban. Dimana kau akan memahami kehidupan belantara ini yang kaya, segala bentuk, sifat dan watak akan kau temukan untuk menjadi referensimu dalam menata hidupmu sendiri. Kau harus kuat dan yakin bahwa kau mampu menata dunia. Disini anakku, kau akan memahami dan belajar cara melawan lantaran kau tersudutkan, terzalimi. Disini pula, kau akan menemukan ketidak adilan jika memang itu kan kau jumpai. Sejuta watak akan kau jumpai disini anakku. Tapi, itu kabar gembira bagiku. Sebab dengan begitu kau akan melawan dan memberontak, setidaknya dengan kata.
Hari pertama diruang kelas aku diajari menghitung, matematika menjadi santapan pertamaku bersama kawanku yang lain. Kami diajari cara menggunakan jari tangan dan kaki sebagai alat hitung. Tidak ada kalkulator.Ini adalah ilmu pasti, bukan perkiraan atau ramalan.Ini juga gambaran, betapa hasil-hasil teknologi yang canggih sebagai buah pemikiran dari manusia-manusia yang tercerahkan belum menyentuh tanah kebanggaanku.Belum menunjukkan keseriusan kalangan atas untuk berbagi, setidaknya meminjamkan hasil-hasil teknologi itu untuk membantu kami dalam menjawab tantangan. Ini masalah kecil dalam ruangan kelas, namun kami gagal memperoleh kemudahan layaknya anak-anak kota yang didik secara modern, yang telah tercelup kedalam modernitas. Aku dan temanku sendiri, menggigil diruang tradisonal yang menyakitkan.Inilah rillnya kehidupan bagiku.
Sesungguhnya, aku tidak sadari bahwa disinalah aku mulai bertarung, melawan demi sebuah kebebasan, demi sebuah kata : “ Merdeka”. Sebuah kata yang diidamkan bagi semua manusia sebagai kunci menuju kebebasan yang hakiki. Dan aku baru menyadari, setelah sekian tahun aku menjalani proses itu.
Hariku kulewati dengan dialektik, perlawanan yang tak berujung.Situasi dimana aku harus selalu melawan dan melawan, setidaknya melawan dengan gumam dalam hati yang terlanjur tergenggam dengan petuah.Aku harus selalu belajar, aku harus patuh pada guruku, guruku yang mencintaiku (jika memang rasa itu ada) dan guruku sebagian yang lainnya yang telah tertanam ketidak adilan dalam dirinya.Aku harus mendengarkan petuah – petuah yang tak berdasar dan tak memiliki ujung pangkal.
Aku memang terpenjara dalam kata petuah itu.Aku harus patuh dan taat agar aku menyandang murid teladan.Aku harus membungkus dan menaruhnya diatas pundakku, tapi aku tidak boleh pasrah.Sebab jalan panjang yang penuh liku menantiku dijagad raya ini.Satu jalan, lawan tanpa kosa kata “menyerah”.

SHARE THIS POST   

0 komentar :