abu bakar mangun

Jumat, 26 April 2013

Revolusi Teknologi Militer dan Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia

AndiWidjajanto[i]

I
Reformasi militer yang diinisisasi Indonesia sejak 1998 merupakan bagian dari proses inovasi militer. Konsep inovasi militer yang diperkenalkan oleh Vincent Davis[ii] ini bermuara kepada revolusi teknologi militer. Bagi Rosen, revolusi teknologi militer ini akan meliputi inovasi doktrin perang, restrukturisasi tata yudha (order of battle), dan peningkatan kinerja pertempuran melalui evaluasi gelar yudha (military employement).[iii] Reformasi militer yang dilakukan Indonesia belum diarahkan untuk mencapai revolusi teknologi militer. Reformasi militer baru sebatas diarahkan untuk mengeliminasi karakter-karakter tentara politik yang dikembangkan berdasarkan konsep Jalan Tengah yang disusun oleh Nasution.[iv]
Keberlanjutan reformasi militer menjadi suatu inovasi militer membutuhkan suatu proses redefinisi intelektual yang akan mengubah cara pandang organisasi militer tentang metode perang.[v] Perubahan cara pandang ini akan terjadi hanya jika organisasi militer mampu memproyeksikan perkembangan teknologi militer dalam 20-30 tahun ke depan dan merencanakan proses adopsi dan adaptasiteknologi militer tersebut ke dalam strategi dan doktrin militer. Proses inovasi militer yang menjadikan perkembangan teknologi militer sebagai titik awal dari perkembangan strategi dan doktrin militer inilah yang dikonseptualisasikan sebagai Transformasi Pertahanan.

Penempatan teknologi militer sebagai titik awal transformasi pertahanan merupakan pendekatan yang digunakan oleh Krepinevich untuk melakukan transformasi pertahanan Amerika Serikat. Bagi Krepinevich, transformasi pertahanan didefinisikan sebagai suatu proses sistematik untuk mengaplikasikan teknologi baru ke dalam system militer yang dikombinasikan dengan suatu konsep operasional and adaptasi organisasi yang inovatif sehingga merubah secara fundamental karakter dan metode konflik.[vi]

Proses aplikasi teknologi militer baru ini menjadi karakter utama dari Transformasi Pertahanan.[vii] Saat proses ini dilakukan, Transformasi Pertahanan akan mendorong terjadinya perubahan instrumen perang secara signifikan. Bagi Cohen, instrumen perang terdiri dari kombinasi dari teknologi militer, organisasi militer, serta strategi operasional militer.[viii] Dalam suatu proses transformasi pertahanan, segitiga instrumen perang ini akan berubah secara drastis saat terjadi adopsi teknologi militer baru ke dalam organisasi militer. Jika proses pembelajaran organisasi yang dilakukan untuk mengadaptasi teknologi militer baru ini bisa dilakukan secara baik, maka organisasi militer tersebut akan memiliki strategi operasional militer baru yang dapat mengarah kepada revolusi teknologi militer.

Saat ini, revolusi teknologi militer telah berada dalam tahap keenam. Lima tahap revolusi militer yang dijabarkan oleh Knox dan Murray sudah menjadi bagian dari sejarah perkembangan teknologi militer.[ix] Kelima tahap itu adalah (1) pembentukan Negara modern dan institusi militer modern, reformasi organisasi dan taktik militer, reformasi sistem logistik militer; (2) mobilisasi dan militerisasi warga negara, mobilisasi ekonomi negara, mobilisasi dukungan politik warga negara, tentara warga negara; (3) industrialisasi militer dan adopsi teknologi; (4) integrasi antar angkatan dan integrasi metode pertempuran; serta (5) pengembangan senjata pemusnah massal, serta komputerasi dan digitalisasi senjata.

Tahap VI dari revolusi militer berkaitan dengan revolusi teknologi informasi. Di tahap ini, militer berupaya untuk memenangkan perang informasi dengan mengembangkan tidak hanya suatu jenis senjata baru, namun membangun sistem senjata yang dapat mengadopsi perkembangan teknologi terkini di bidang telekomunikasi, informasi, komputerisasi, dan digitalisasi. Beberapa Angkatan Bersenjata di Asia Timur saat ini telah mulai mengarah kepada Revolusi Militer VI. 

Beberapa negara-negara Asia Timur telah memiliki atau sedang merencanakan untuk memiliki teknologi sistem senjata baru.[x]  Cina, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, dan Taiwan sedang mengembangkan kemampuan maritim baru yang mengarah kepada pembentukan blue water navy, India dan Jepang sedang memperkuat industri galangan kapalnya untuk dapat memproduksi kapal induk (aircraft carrier) buatan domestik. Cina, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Singapura sudah memiliki pesawat tanker yang memungkinkan pengisian bahan bakar di udara. Hampir seluruh negara di Asia Timur telah memiliki pesawat tempur generasi IV seperti Su-27, Su-30, dan MiG-29 buatan Rusia, atau F-15, F-16, dan F/A-18 buatan Amerika Serikat, atau Mirage-2000 buatan Perancis. Pesawat tempur generasi IV ini memiliki persenjataan paling modern termasuk radar-guided-air-to-air missile varian AMRAAM atau AA-12. Sistem teknologi militer baru yang cenderung diadopsi oleh negara-negara Asia Timur juga ditujukan untuk memperkuat kemampuan C4ISR seperti pembelian pesawat berteknologi airborne early warning and command oleh Australia dan Korea Selatan, atau sistem sensor laut Aegis oleh Korea Selatan dan Taiwan.

Pemilikan sistem teknologi militer baru oleh negara-negara Asia Timur ini akan meningkatkan secara signifikan kapabilitas militer untuk melakukan peperangan. Negaranegara tersebut akan memiliki kemampuan persenjataan dengan daya hancur yang lebih mematikan, akurasi angkatan bersenjata dengan daya jangkau lebih besar, system komando dan kontrol untuk memahami situasi medan tempur yang lebih efektif, serta kecepatan mobilitas operasional dan taktis yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensinya, jika pecah perang di Asia Timur, maka karakter pertempuran akan mengarah kepada suatu pertempuran yanglebih cepat, lebih luas cakupan palagan perangnya, lebih terkendali dan akurat penghancuran sasaran tempurnya, serta lebih mematikan.

Jika pengembangan sistem teknologi militer baru menghasilkan suatu revolusi krida yuha, maka kesenjangan adopsi dan adaptasi teknologi akan semakin menentukan hasil akhir pertempuran. Korelasi antara kesenjangan teknologi dan hasil akhir pertempuran ini telah dinyatakan oleh Fuller. Fuller memprediksikan bahwa dalam perang modern, saat teknologi persenjataan telah berubah secara drastis, suatu angkatan bersenjata yang tertinggal secara teknologi selama 50 tahun tidak memiliki kesempatan untuk menang angkatan bersenjata yang berhasil melakukan modernisasi.[xi]

II
Untuk dapat menjadi bagian dari revolusi teknologi militer, Indonesia harus segera menginisasi program transformasi pertahanan. Transformasi pertahanan hanya dapat dilakukan Indonesia jika Indonesia memiliki kapasitas adopsi teknologi militer yang memadai.[xii] Adopsi teknologi militer baru ini akan menentukan peningkatan enam komponen kapabilitas pertahanan negara.

Komponen pertama adalah kapabilitas eksploitasi informasi strategis yang digunakan untuk mendukung implementasi suatu operasi militer. Kemampuan TNI untuk melakukan eksploitasi informasi sangat ditentukan oleh keberadaan teknologi canggih untuk meningkatkan sistem komando, kontrol, komunikasi, intelijen, pengintaian, serta pengindraan yang dimiliki negara tersebut. Komponen kedua adalah kapabilitas proyeksi kekuatan yang ditentukan oleh penempatan pasukan dalam markas-markas komando militer yang terintegrasi dengan dukungan mobilitas tempur. Bentuk lain dari proyeksi kekuatan adalah keberadaan armada laut dan skuadron udara yang kuat yang dapat digunakan untuk melakukan serangan pre-emptif ke wilayah musuh.

Komponen ketiga adalah kapabilitas dukungan tempur. Kapabilitas ini ditentukan oleh penggunaan teknologi digital untuk meningkatan kecepatan dan integrasi system logistik serta dukungan medik di wilayah pertempuran. Komponen keempat adalah kapabilitas manuver. Salah satu bentuk operasi militer yang terus menerus dikaji ulang adalah kemampuan manuver pasukan yang terdiri dari kemampuan preemption, dislocation, dan disruption.[xiii] Komponen kelima adalah kapabilitas mobilitas pasukan yang sangat tergantung dari kualitas fisik anggota pasukan serta dukungan kendaraan pengangkut yang handal baik angkutan darat, laut, maupun udara. Komponen terakhir adalah kapabilitas tempur pasukan. Kapabilitas tempur pasukan akan ditentukan oleh keberhasilan satuan TNI untuk dapat menggelar strategi operasi militer di semua tingkatan pertempuran secara terpadu.

Hasil akhir dari proses adopsi teknologi militer ini akan terlihat pada transformasi operasi militer. Transformasi operasi militer ini akan ditentukan oleh dua faktor: (1) pengembangan metode bertempur baru; dan (2) kemampuan untuk mengadopsi perkembangan teknologi dan persenjataan ke dalam platform pertempuran. Kombinasi dari kedua faktor tersebut dikenal sebagai kinerja pertempuran (battlefield performance).[xiv]  Kinerja pertempuran ini diukur dari kapasitas angkatan bersenjata untuk melakukan: (a) gelar pasukan secara cepat di berbagai wilayah dan berbagai spectrum konflik; (b) manuver pertempuran secara berkesinambungan dengan dukungan tempur dan fasilitas tempur yang memadai; (c) operasi militer yang efektif; dan (d) adaptasi medan pertempuran secara lentur.[xv]

III
Transformasi pertahanan menempatkan teknologi militer sebagai variabel utama yang akan memungkinkan Indonesia untuk melakukan revolusi Teknologi militer. Untuk melakukan revolusi Teknologi militer, Indonesia harus mampu mengembangkan kapasitas adopsi teknologi militer yang akan meningkatkan komponen-komponen militer secara signifikan. Pengembangan kapasitas adopsi teknologi militer ini akan tergantung dari kemampuan Indonesia untuk memperkuat industri-industri pertahanan nasional.

Perkembangan industri pertahanan di negara-negara Asia Timur menunjukkan adanya tiga model utama industri pertahanan. Model pertama adalah autarky model yang cenderung diterapkan oleh Jepang dan Cina. Model kedua adalah niche production model yang diterapkan oleh Taiwan dan Korea Selatan. Model ketiga adalah global supply chain model yang diterapkan oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Autarky Model diterapkan oleh suatu negara yang memiliki ambisi untuk mendapatkan kemandirian pertahanan. Kemandirian pertahanan ini diukur dari (1) kapasitas negara untuk menguasai teknologi militer yang dibutuhkan untuk membuat system senjata; (2) kapasitas finansial nasional untuk membiayai produksi sistem senjata; serta (3) kapasitas industri nasional untuk memproduksi sistem senjata di dalam negeri. 

Autarky Model ini akan tercapai jika suatu negara mampu untuk minimal memiliki 70% kapasitas teknologi, finansial, dan produksi sistem senjata. Untuk mencapai kemandirian pertahanan, suatu negara harus mengembangkan rencana strategis pertahanan jangka panjang yang terkait dengan ambisi negara tersebut untuk menjadi kekuatan militer utama di tingkat dunia atau regional. Komitmen jangka panjang tersebut, misalnya, tampak dari rencana Cina untuk memproyeksikan diri menjadi kekuatan hegemonik di tahun 2050. Proyeksi 2050, yang dikenal sebagai rencana Liu Huaqing tersebut, memiliki tiga target utama. Di tahun 2000, Cina direncanakan memiliki kapasitas Quanli Duoqu (sea control), kapasitas Quanyu Kongzhi (sea denial) di tahun 2020, dan kapasitas Quanzhi Baochi (global projection) di tahun 2050.

Rencana tersebut dioperasional dengan melalukan revitalisasi industri pertahanan melalui beberapa metode, yaitu pertama, standarisasi dan sentralisasi pengadaan alutsista yang diterapkan sejak tahun 2002. Kedua, konsolidasi industri pertahanan, terutama dengan membentuk China Aviation Industry Cooperation, dan China State Shipbuilding Corporation. Ketiga, peluncuran beberapa mega proyek seperti Proyek 085 untuk membangun kapal induk bertenaga nuklir berbobot 93.000 ton. Proyek yang ditargetkan selesai tahun 2020 ini dikerjakan oleh China State Shipbuilding Corporation di Jiangman, Shanghai. Proyek lainnya adalah Proyek 089 yang dikerjakan oleh Dalian Shipbuilding Industry untuk membangun kapal induk non-nuklir berbobot 48.000 ton yang dilengkapi dengan pesawat-pesawat tempur J-10 buatan domestik. 

Autarky Model ini merupakan model ideal untuk membangun industri pertahanan nasional. Namun, model ini hanya bisa dicapai oleh negara-negara yang memiliki status atau berambisi menjadi kekuatan utama dunia (great power) yang ditopang oleh postur militer yang besar. Saat ini, hanya ada tujuh negara yang diprediksi dapat menerapkan autarky model di abad 21 , yaitu Amerika Serikat, Rusia, Cina, India, Brazil, (konsorsium) Eropa Barat, dan Indonesia.

Niche-Production Model diterapkan oleh negara yang berupaya untuk mengurangi ketergantungan senjata terhadap produsen luar negeri dengan mengembangkan kapasitas nasional untuk menguasi teknologi militer utama. Penguasaan teknologi militer ini terutama diarahkan untuk membantu negara tersebut untuk mengembangkan delapan jenis senjata konvensional, yaitu (1) senjata kecil dan ringan; (2) tank kelas utama; (3) kapal perang permukaan; (4) kapal selam; (5) pesawat tempur; (6) helikopter serbu; (7) rudal; dan (8) sistem komunikasi dan pengindraan militer.

Untuk menerapkan model ini, suatu negara harus memiliki komitmen untuk melakukan investasi ke sektor industri pertahanan terutama dengan berupaya mendapatkan transfer teknologi militer dari produsen senjata yang mapan. Strategi ini, misalnya, secara efektif dilakukan oleh Korea Selatan untuk mengembangkan kapal perang permukaan, kapal selam, tank, dan pesawat tempur.

Untuk kapal perang, Hyunday Heavy Industries, sedang mengembangkan Kapal Perusak Korean Destroyer Experiment (KDX) King Sejong (11000 ton) yang dirancang untuk memiliki kualifikasi teknis diatas Kapal Perusak AS. DDG-51 Arleigh Burke dan menggunakan teknologi maritim yang dikembangkan oleh Thales (Perancis), BAE (Inggris), dan Raytheon (Amerika Serikat). Untuk Tank, Hyundai Rotem telah mengembangkan Tank K1A1 yang setara dengan M1 Abram atau Leopard 2A6. Tank K1A1 diproduksi oleh Hyundai Rotem dengan bekerja sama dengan produsen-produsen tank utama dunia seperti Rheinmetall Landsystem dan General Dynamics Land System. Untuk membuat pesawat tempur masa depan Korea Fighter Experiment (KFX) IFX, Korea Aerospace Industri melibatkan industri dirgantara lainnya. KAI hanya memiliki 63% teknologi yang diperlukan untuk membuat K/IFX sehingga harus melibatkan Turkish Aerospace Industries, Saab, Boeing, and Lockheed Martin untuk mendapatkan teknologi lainnya.

Peluang untuk mendapat transfer teknologi ini bisa diperbesar terutama dengan memanfaatkan munculnya celah pasar konsumen di pasar senjata internasional. Pasar senjata internasional terdiri dari dua karakter: pasar konsumen (buyers market) dan pasar produsen (suppliers market). Pasar konsumen ditandai dengan tingginya persediaan senjata sementara permintaan senjata cenderung rendah. Kondisi ini cenderung terjadi saat tercipta situasi peace dividend (keuntungan perdamaian yang terjadi saat ada peralihan perang ke damai) dan cenderung menguntungkan pembeli senjata. Pasar produsen ditandai dengan tingginya permintaan senjata sementara persediaan senjata cenderung terbatas. Kondisi ini cenderung terjadi saat krisis merebak di suatu kawasan atau saat negara-negara dalam suatu kawasan melakukan modernisasi militer yang mengarah ke perlombaan senjata. Pasar produsen cenderung menguntungkan produsen senjata.

Saat ini, pasar senjata global cenderung mengarah kepada pasar konsumen. Ada tiga indikasi untuk mendukung ini, yaitu: (1) negara-negara produsen memiliki senjatasenjata dengan basis teknologi lama yang harus segera dijual sebelum senjata generasi baru muncul. Misal, kemunculan pesawat tempur generasi V (F22/F35/Euro Fighters) di 2013-2027 akan memaksa produsen utama (Lockheed Martins, BAE, EADS) untuk segera menjual pesawat tempur generasi IV (F16, Typhoon, Mirage 2000); (2) situasi keamanan regional (Asia Timur) relatif stabil dan belum mengarah ke krisis yang akan memancing terjadi pembangunan militer secara signifikan; (3) krisis ekonomi dunia (krisis hutang AS dan Eropa) akan berdampak ke pemotongan belanja pertahanan, sehingga produsen terpaksa menunda pengembangan senjata generasi baru, dan cenderung mengandalkan pendapatan transisional dari penjualan senjata generasi lama.

Karena pasar konsumen tercipta, maka negara konsumen cenderung memiliki posisi tawar-menawar yang lebih baik dari untuk mendapatkan suatu sistem senjata. Untuk hibah F-16 dari AS, misalnya, Indonesia bisa meminta AS dan Lockheed Martins untuk menyediakan fasilitas khusus, seperti (a) paket dukungan finansial yang lebih ringan untuk hibah F-16; (b) paket hibah yang lebih lengkap yang meliputi pelatihan, amunisi, perawatan berkala, hingga transfer teknologi; (c) mekanisme transfer teknologi yang dilengkapi dengan kerjasama industri pertahanan baik berupa co-production, joint production, atau license; dan (d) mekanisme off-set (counter trade) untuk menghemat devisa negara.

Saat pasar konsumen tercipta, produsen cenderung tidak memiliki posisi yang kuat untuk menekan negara pembeli untuk mengadopsi secara ketat kode etik perdagangan senjata yang diatur dalam Kode Etik Arias. Bahkan, produsen mestinya berlomba-lomba untuk menawarkan fasilitas-fasilitas khusus. Rusia menawarkan fasilitas kredit Negara yang dilengkapi dengan mekanisme off-set. Konsorsium Eropa menawarkan mekanisme kemitraan strategis yang mengandalkan mekanisme joint-production antara EADS dengan industri pertahanan domestik. Untuk hibah F-16 ke Indonesia, AS menawarkan fasilitas khusus berupa Foreign Military Financing yang disertai dengan fasilitas transfer teknologi untuk meningkatkan kualifikasi tempur F-16 sehingga bisa menyamai kualifikasi teknologi seperti yang dimiliki oleh Singapura dan Taiwan. Karakter pasar konsumen di pasar senjata global cenderung berlangsung singkat.

Karakter ini hanya akan bertahan hingga negara produsen di AS dan Eropa Barat keluar dari krisis hutang yang diperkirakan selesai 2015-2017. Karakter ini juga akan bergeser ke karakter pasar produsen saat produsen senjata siap untuk meluncurkan senjata generasi baru yang akan membuat senjata generasi lama tidak lagi relevan dengan dinamika teknologi persenjataan. Untuk pesawat tempur, pergeseran ke pasar produsen diperkirakan terjadi antara tahun 2015-2017 saat pesawat tempur generasi V mulai dipasarkan oleh AS, Rusia, dan Eropa Barat. Celah strategis kemunculan pasar konsumen ini yang memungkinkan suatu Negara untuk membentuk niche-production model dengan mengupayakan terjadinya transfer teknologi dalam setiap kontrak pengadaan senjata. Transfer teknologi ini nantinya dapat menjelma menjadi penguasaan teknologi militer utama yang memungkinkan suatu negara untuk memperkuat industri pertahanan nasional.

Global Supply Chain Model cenderung dilakukan oleh negara-negara yang telah memiliki basis teknologi militer yang mapan namun tidak memiliki akses besar terhadap pasar senjata internasional. Ketiadaan akses ini membuat negara-negara tersebut melakukan proses rasionalisasi produksi senjata dengan cara mengintegrasikan produksi senjatanya ke suatu konsorsium industri pertahanan global. Rasionalisasi ini dilakukan dengan tiga metode utama, yaitu (1) penciptaan konsorsium industri senjata di tingkat regional atau global; (2) mobilisasi sumber finansial dari sektor swasta lintas negara untuk membiayai investasi ke sektor industri pertahanan; dan (3) penyebaran teknologi militer dari produsen senjata utama ke anggota konsorsium.

Model ini, antara lain, dilakukan oleh Australia yang telah mengkonsolidasikan Australian Defense Industry dengan Thales (Perancis), Australian Aerospace Industry dengan EADS, dan Tenix Defense dengan BAE (Inggris). Hal serupa dilakukan oleh Singapura dengan mengembangkan kerja sama antara Thales dan Singapore Technologies Engineering (STEngg) untuk membuat komponen-komponen system komunikasi dan pengindraaan bagi kapal perang fregate kelas Lafayette. Kerja sama ini tidak hanya menjadikan STEngg sebagai bagian dari rantai produksi Thales, namun juga bagian dari rantai produksi kapal perang Eropa yang memanfaatkan teknologi dari Thales.

IV
Dari tiga model yang ada, autarky model merupakan model ideal untuk mendapatkan kemandirian pertahanan. Model ini hanya bisa dicapai oleh negara-negara yang memiliki status atau berambisi menjadi kekuatan utama dunia (great power) yang ditopang oleh postur militer yang besar. Saat ini, hanya ada tujuh negara yang diprediksi dapat menerapkan autarky model di abad ke-21, yaitu: Amerika Serikat, Rusia, Cina, India, Brazil, (konsorsium) Eropa Barat, dan Indonesia. 

Untuk dapat menerapkan model tersebut, empat strategi harus diterapkan Indonesia:

Pertama, merumuskan rencana strategis pertahanan jangka panjang. Rencana strategis ini harus bisa menggambarkan tiga perencanaan utama, yaitu: (1) Evolusi kekuatan militer Indonesia menjadi kekuatan utama di Asia Timur. Evolusi ini tidak saja menggambarkan target pemenuhan Kekuatan Pertahanan Minimal 2024, namun juga rencana pengembangan postur pertahanan hingga 2050; (2) Cetak Biru Revitalisasi Industri Pertahanan yang berisi Kebijakan Umum Pengembangan Industri Pertahanan, Strategi Revitalisasi Industri Pertahanan 2024, dan Program Kerja Kemandirian Industri Pertahanan 2050; dan (3) Rencana Pengadaan Alusista 2024 yang dipilah dalam bentuk Rencana Pengadaan Alutsista 2012-2014, 2014-2019, dan 2019-2024.

Kedua, membentuk komitmen politik anggaran jangka panjang untuk menjamin kesinambungan program pengembangan industri pertahanan. Komitmen politik anggaran ini dilakukan dengan menetapkan target alokasi anggaran pertahanan terhadap PDB yang secara bertahap dinaikan dari 1% PDB di tahun 2014 menuju 2,5% PDB di tahun 2024. Komitmen politik anggaran ini juga harus disertai dengan perumusan kontrak-kontrak pengadaan jangka menengah yang bersifat mega proyek dari pemerintah ke industry pertahanan. Mega proyek ini diarahkan untuk membangun sistem senjata konvensional seperti pesawat tempur, kapal perang permukaan, kapal selam, tank, helikopter serbu, dan rudal dalam jumlah besar sehingga dapat memberikan kepastian dan kesinambungan proses produksi untuk industri pertahanan nasional. Nilai nominal kontrak pengadaan ini jugaharus secara bertahap ditingkatkan dari 10% nilai seluruh pengadaan senjata di tahun 2014, menjadi minimal 30% di tahun 2024.

Ketiga, melakukan konsolidasi industri pertahanan nasional dengan cara menetapkan dua konsorsium strategis, yaitu konsorsium industri penerbangan nasional (national aerospace industry) dan konsorsium industri pertahanan dan maritim nasional (national maritime and defense industry). Kedua konsorsium ini harus membentuk rantai produksi alutsista nasional yang melibatkan industri nasional lainnya, termasuk industry menengah-kecil.

Keempat, merintis aliansi industri pertahanan di tingkat regional dan global yang memperbesar kemungkinan bagi Indonesia untuk secara cepat mengadopsi teknologi militer terkini ke dalam proses pengadaan alutsista. Proses adopsi teknologi ini merupakan metode untuk menerapkan niche-production model yang dapat dijadikan tahapan transisi untuk mencapai kemandirian pertahanan Indonesia. Aliansi ini juga dibentuk untuk memperbesar akses pasar senjata yang memungkinkan industry pertahanan nasional menjadi bagian dari rantai produksi global. Metode ini mengandalkan penerapan global suppy chain model yang juga dapat dijadikan tahapan transisi bagi pengembangan industri pertahanan nasional. Keempat strategi tersebut dirumuskan untuk menjamin adanya komitmen politik yang kuat untuk membentuk kemandirian industri pertahanan Indonesia. Jika komitmen politik bisa diwujudkan, pengembangan industri pertahanan nasional bisa dijadikan penjuru untuk menginisiasi transformasi pertahanan yang menjadikan kemampuan adopsi teknologi militer sebagai determinan untuk membangun kekuatan pertahanan modern di abad XXI.

Sumber : Jurnal Pertahanan Mei 2012, Volume 2, Nomor 2

Daftar Pustaka
Bitzinger, Richard A. Autums 2005. “Comethe Revolution: Transforming the Asia-Pacific’s Militaries”. NavalWar College Review. Vol. 58, No.4.
Cohen, Eliot. 2009. “Change and Transformation inMilitary Affairs,” dalam Loo, Bernard (ed.), Military Transformation and Strategy: Revolutions in Military Affairs and Small States. London: Routledge, 2009.
Davis, Vincent. 1967. The Politics of Innovation: Patterns in Navy Cases. Denver: University of Denver Press.
Fuller, J.F.C. 1946. Armament and History. London: Eyre & Spottiswoode.
Horowitz, Michael. 2006. The Diffusion of Military Power: Causes and Consequences for International Politics. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Hundley, Richard O. 1999. Past Revolutions, Future Transformations: What Can the History of Revolutions inMilitary Affairs Tell Us About Transforming the US Military? Santa Monica,CA: RAND Corporation.
Krepinevich, Andrew F. Fall 1994. “Calvary to Computer: The Pattern of Military Revolutions”.The National Interest. 37.
Knox, MacGregor danWilliamsonMurray. 2001. “Thinking about Revolution inWarfare,” dalam Knox, MacGregor dan Murray, Williamsom (eds.). The Dynamics of Military Revolution 1300-2050. Cambridge: Cambridge University Press.
Leonhard, Robert. 1991. The Art of Maneuver: Maneuver-Warfare Theory and AirLand Battle. New York: Presidio.
Owens, Mackubin Thomas. Spring 1998. “Technology, the RMA and Future War”. Strategic Review. 67.
Rosen, Stephen Peter. Summer, 1998. “New Ways of War: Understanding Military Innovation”. International Security. Vol.13. No.I.



[i] Penulis adalah Dosen Revolusi Sistem Persenjataan Hubungan Internasional Universitas Indonesia.
[ii] Vincent Davis, The Politics of Innovation: Patterns in Navy Cases, (Denver: University of Denver Press, 1967).
[iii] Stephen Peter Rosen, “New Ways of War: Understanding Military Innovation,” International Security, Vol.13, No.I, (Summer, 1998), hlm.134-135.
[iv] Konsep Jalan Tengah disampaikan oleh KSAD A.H. Nasution pada tanggal 12 November 1958 di Akademi Militer Nasional, Magelang. Konsep ini memberi formulasi tentang pelibatan TNI dalam politik Negara dan menjadi dasar perumusan Doktrin Dwi Fungsi ABRI.
[v] Rosen, op.cit., hlm. 136.
[vi] Andrew F. Krepinevich, “Calvary to Computer: The Pattern of Military Revolutions”, The National Interest¸37, (Fall 1994), hlm.30.
[vii] Richard O. Hundley, Past Revolutions, Future Transformations:What Can the Historyof Revolutions in Military Affairs Tell Us About Transforming the US Military?, (Santa Monica,CA: RAND Corporation, 1999), hlm. 9. Lihat juga, Mackubin Thomas Owens, “Technology, the RMA and Future War,” Strategic Review, (Spring 1998), 67.
[viii] Eliot Cohen, “Change and Transformation in Military Affairs,” dalam Bernard Loo (ed.), Military Transformation and Strategy: Revolutions in Military Affairs and Small States, (London: Routledge, 2009), hlm.16.
[ix] MacGregor Knox, dan Williamson Murray, “Thinking about Revolution in Warfare,” dalam Knox, MacGregor dan Murray, Williansom (eds.), The Dynamics of Military Revolution 1300-2050 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), hlm.6-14.
[x] Richard A. Bitzinger, “Comethe Revolution: Transforming the Asia-Pacific’s Miltiaries,” Naval War College Review, Vol. 58, No.4., (Autums 2005).
[xi] J.F.C. Fuller, Armament and History, (London: Eyre & Spottiswoode, 1946), hlm .31.
[xii] Michael Horowitz, The Diffusion of Military Power: Causes and Consequences for International Politics (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2006), hlm. 45-71.
[xiii] Penjelasan lebih rinci tentang kemampuan manuver dapat dilihat di Robert Leonhard, The Art of Maneuver: Maneuver-Warfare Theory and AirLand Battle, (New York: Presidio, 1991), hlm. 62-77.
[xiv] Kugler dan Binnendijk, op.cit., hlm.60-63.
[xv] Ibid., hlm.61.

SHARE THIS POST   

0 komentar :