abu bakar mangun

Senin, 22 April 2013

Civil Society & Partai Politik dalam Demokratisasi di Indonesia

Aditya Perdana

1. Pendahuluan

Selama 11 tahun paska runtuhnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru, politikIndonesia telah mengalami perubahan dan dinamika sosial politik yang dramatis.Diawal masa Reformasi, euphoria kebebasan politik telah memberi celah munculnyakekuatan-kekuatan politik baru yang selama masa Orde Baru tidak dimungkinkanterjadi.Pembatasan jumlah partai politik di era Orde Baru telah berubah menjadi eramulitpartai pada Pemilu 1999 dan pemilu-pemilu selanjutnya.[i]Kekuatan organisasimasyarakat lainnya seperti LSM ataupun organisasi yang sejenis juga meningkatjumlahnya secara drastis bila dibandingkan dengan masa Orde Baru.[ii]
Di samping itu, perubahan kelembagaan politik setelah Reformasi jugamengalami perubahan, seperti adanya penguatan lembaga-lembaga politik (eksekutif,legislative dan yudikatif) dalam peran-perannya dan juga mekanisme proceduralseperti pemilihan umum yang lebih transparan dan adil bagi semua pihak. Aspekdesentralisasi juga menjadi salah satu perubahan penting dalam tatanan kehidupansocial politik di Indonesia karena kekuatan dan pergeseran politik di tingkat local punmenjadi lebih dinamis.Perubahan kelembagaan dan prosedur di dalam tatanan politiktelah menjadi salah satu aspek penting yang terjadi dalam masa demokratisasi diIndonesia.Namun demikian, dalam beberapa hal perubahan tersebut juga membawadinamika yang menarik untuk diperhatikan lebih dalam, semisal yang terjadi di civilsociety dan juga partai politik.Kedua elemen ini dianggap oleh kalangan ilmuwanpolitik sebagai kekuatan yang mendorong dan mengarahkan jalannya demokratisasidi sebuah Negara.

Tumbuh dan kembangnya civil society setelah Orde Baru runtuhmenimbulkan sebuah harapan baru yakni munculnya sebuah kekuatan yang pentingdalam mendorong gerakan pembaharuan politik di Indonesia.Pada saat yangbersamaan, struktur politik yang lebih terbuka dan memberi kesempatan yang lebihluas adalah keuntungan yang dimanfaatkan oleh kelompok civil society di Indonesia.Akibatnya arena politik seperti negosiasi dan lobi dengan penguasa politik yang duludianggap sebagai sesuatu hal yang dihindari oleh para aktornya, menjadi factor penting yang harus dipertimbangkan kembali.Maka tidaklah heran bila saat ini,beberapa aktor civil society lebih memilih bergabung dengan partai politik danbersedia untuk dicalonkan sebagai anggota legislative dalam pemilu 2009 yang lalu.

Sementara itu, keberadaan partai politik yang ada saat ini juga masihmenyisakan banyak pertanyaan.Pada satu sisi, kekuatan partai politik adalah sebuahkeharusan sebagai instrumen penting dalam proses-proses politik. Namun di sisi lain,perilaku para politisi dan pengurus partai yang belum menunjukkan sikapprofesionalitasnya dalam hubungan dengan konstituen ataupun dalam pembuatankebijakan adalah persoalan serius yang masih dihadapi. Bahkan citra partai politiksecara keseluruhan di mata masyarakat juga tidaklah baik karena para politisinyatelah menodai dengan perilaku yang buruk.[iii]

Dalam konteks relasi pembuatan kebijakan publik, civil society dan partaipolitik di Indonesia mulai terbangun hubungan yang saling menghargai, menghormatidan memahami keberadaan akan perannya dalam kehidupan politik. Meski awalnyakalangan civil society menganggap bahwa para politisi di lembaga legislatif tidakmampu menghasilkan produk perundangan yang substansial, namun belakangankalangan civil society menyadari bahwa keterbatasan peran dan aktivitasnya dalammempengaruhi proses pembuatan kebijakan tidak akan berarti tanpa kehadiran partaipolitik yang mengisi lembaga legislatif. Sebaliknya, partai politik juga memahamibahwa salah satu tugas civil society adalah memberi masukan yang konstruktif dalam proses tersebut. Namun demikian, hubungan ini tidaklah mudah dicapai karena prosespolitik yang penuh negosiasi adalah penghalang utama bagi terciptanya hubunganyang kondusif.

Keterbatasan ruang dan peran yang dimiliki oleh aktor civil society dalammendesakkan agenda-agenda perubahan yang lebih berorientasi kepentingan rakyat,telah merubah pola gerakan yang diinginkan oleh para aktivis gerakan sosial.Awalnya gerakan ekstra parlemen adalah sebuah pilihan yang dilakukan oleh paraaktor civil society.Namun belakangan, para aktor civil society menyadari bahwasalah satu ketidakefektifan gerakan ini dikarenakan keterbatasan yang dimiliki olehcivil society yaitu hanya menjadi kelompok penekan bukan kelompok penentu dalamlembaga legislatif.Oleh karenanya, beberapa aktor civil society merasa adakebutuhan yang mendesak untuk menjadi bagian di dalam lembaga legislatif. Artinyaperubahan peran dari civil society dengan fokus sebagai penekan menjadi perankelompok yang menentukan dalam proses kebijakan yaitu partai politik. Maka, dalamdua pemilu terakhir (2004 dan 2009), terdapat banyak nama aktor civil society yangikut bertarung dalam pemilu legislatif nasional (DPR dan DPD) ataupun DPRD.Dalam konteks itu, para aktor civil society yang ikut serta dalam pemilu DPR danDPRD telah berpindah menjadi aktor partai politik.

Salah satu masalah mendasar yang dihadapi dalam pelembagaan politik diIndonesia adalah penguatan akan lembaga-lembaga itu sendiri, terutama di kalangancivil society dan partai politik. Partai politik di Indonesia masih lemah dalam kontekspenguatan kelembagaan secara internal dan juga kapasitas dalam proses pembuatankebijakan publik. Sementara itu, civil society pun juga lemah dalam membangunkekuatan politik yang signifikan, baik di tingkat nasional ataupun di tingkat lokal.

Fokus makalah ini adalah mendiskusikan kondisi civil society dan partaipolitik dalam era demokratisasi yang tengah dijalankan di Indonesia. Ada duapertanyaan yang ingin diarahkan dalam makalah ini: pertama, dalam masademokratisasi ini, peran civil society (terutama dari kalangan Organisasi NonPemerintah) dan partai politik adalah penting. Namun demikian, relasi keduanyatidaklah semudah yang dibayangkan. Dilihat dari arena politik yaitu dalam prosespembuatan kebijakan publik dan pertarungan di dalam pilkada, bagaimana kondisicivil society dan partai politik? Kedua, bagaimana usaha pengembangan relasi yangkonstruktif antara civil society dan partai politik ke depan? Dua hal inilah yang akandibahas dalam makalah yang singkat ini.


2. Civil Society dan Partai Politik dalam Ranah teoritis

Diskusi mengenai civil society terbagi dua pandangan.Ada sebagian yangberpandangan bahwa civil society memiliki keterikatan yang erat dengan Negara,termasuk dalam hal ini dengan partai politik.[iv]Negara, termasuk apparatus dankebijakannya, merupakan bagian dari konsep sebuah masyarakat politik yang dicitacitakan.

Sebaliknya, civil society merupakan sebuah ranah masyarakat yang terpisahdengan ranah Negara karena dalam peran dan fungsinya yang lebih bebas danmerdeka dari intervensi Negara.[v] Civil society adalah kelompok masyarakat yangmemiliki kemandirian yang tegas terhadap berbagai kepentingan akan kekuasaan.Yang tidak kalah penting dalam konsep civil society adalah adanya partisipasi aktif darisemua warga negara baik yang tergabung dalam berbagai perkumpulan, organisasi ataukelompok lainnya sehingga akan membentuk karakter demokratis di lembaga tersebut.[vi]

Sementara itu, konsep partai politik sebagai sebuah kelompok atau organisasidi dalam masyarakat berbeda dengan apa yang telah disebutkan dalam civil society.Menurut Sartori yang dikutip oleh Miriam Budiarjo, definisi partai politik adalahsuatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihanumum itu mampu menempatkan calon-calonmnya untuk menduduki jabatan publik[vii].Dalam pengertian itulah maka partai politik berbeda dengan civil society terutamadalam aspek usaha meraih kekuasaan politik melalui jalur pemilihan umum.Meskikeduanya juga memiliki kesamaan dalam usaha untuk berkontribusi terhadapkepentingan publik.

Dalam konteks kebijakan, partai politik memiliki fungsi untukmengagregasikan atau merepresentasikan berbagai macam kepentingan danmenegosiasikan semua kepentingan tersebut menjadi sebuah kebijakan negara.Sebaliknya, civil society berperan untuk menuntut dan mengkritik terhadap kebijakanpemerintah, namun sayangnya kelompok ini tidak bisa mengimplementasikan kritiktersebut dalam hal yang kongkrit.[viii] relasi ini sebenarnya terbangun dalam membangunkepentingan akan lahirnya sebuah kebijakan publik.

Sementara itu, dalam konteks yang lebih mikro, relasi para aktor civil societydan para politisi terlihat dalam berbagai kerjasama. Para politisi di DPR, misalkan,mendukung apa yang disampaikan oleh civil society mengenai satu isu tertentu.Dalam kesempatan yang berbeda, para aktor civil society juga mendorong partaipolitik untuk lebih terbuka, transparan dan membuka komunikasi yang intensifdengan berbagai kelompok masyarakat, terutama di daerah pemilihannya.

Di belahan benua Eropa, partai politik juga mengalami situasi yang tidakmenguntungkan yakni ketidakpercayaan ataupun alieanasi dari publik.Salah satupenyebabnya adalah makin melemahnya ikatan antara konstituen dengan partaipolitik, termasuk salah satunya adalah ikatan keagamaan ataupun kekeluargaan didalam partai.Yang menarik adalah menguatnya isu-isu sosial kemasyarakatan dikalangan masyarakat yang kemudian mengikat kelompok-kelompok tersebut menjadisebuah kepentingan bersama yang diperjuangkan. Dalam perjalanannya, kelompokini dimungkinkan untuk menjelma sebagai partai politik seperti partai-partai Hijau di beberapa negara Eropa.[ix]

Indikasi melemahnya partai politik dan menguatnya civil society jugaditemukan di AmerikaLatin ataupun beberapa negara Asia, manakala civil societytelah berkontribusi untuk memberi bantuan yang memadai bagi pengembangan danpenguatan kelembagaan partai politik, seperti pengembangan kader-kader partaiterutama dalam berhubungan dengan konstituen atau merumuskan platformpembangunan yang akan diarahkan. Artinya, civil society juga memiliki kemampuandalam memobilisasi dukungan publik menjadi sebuah kebijakan publik.Sayangnya,civil society memiliki keterbatasan, terutama untuk mengambil perandalam politik yaitu berada di dalam arena pemutus kebijakan.

Padahal dalam negara yang sedang mengalami transisi demokrasi, kehadiranpartai politik dan civil society adalah bagian yang tidak bisa dianggap remeh.Linzdan Stepan menyatakan bahwa kehadiran civil society dan partai politik adalahbagian yang penting untuk menciptakan konsolidasi demokrasi, selain juga kehadiranbirokrasi yang efektif, kehadiran masyarakat ekonomi yang juga kondusif dan taatnyaaturan terhadap hukum secara bersama-sama.[x]Kehadiran civil society yang dijaminkebebasannya juga menopang bagi keberlangsungan partai politik, terutama untukmenghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.Tugas civilsociety adalah menghasilkan gagasan-gagasan yang konstruktif dalam pembangunan dan juga memonitor aparat negara serta kelompok-kelompok ekonomi. Sementara itu,tugas partai politik adalah menghasilkan dan membentuk konstitusi dan aturan-aturanperundang-undangan, mengontrol aparat birokrasi dan juga menghasilkan produkprodukkerangka kebijakan bagi semua pihak, termasuk kelompok ekonomi.[xi]

3. Model Relasi Partai Politik dan Civil Society

Untuk memahami relasi yang terjadi antara partai politik dan civil society,Beavis melihat ada tiga hal mendasar yaitu (1) tipe dari aktivitas yangmenghubungkan partai politik dan civil society; (2) kekuatan dari hubungan tersebut,terlebih dalam konteks seberapa dekat dan eksklusif hubungan tersebut dibangun; dan(3) arah dari pengaruh dalam relasi tersebut.[xii] Dalam model-model ini yang nantinyaakan menarik akan didiskusikan secara lebih mendalam.

Ada beberapa aktivitas yang dilakukan oleh civil society dan partai politiksecara bersama-sama, dimana lebih banyak fokus dalam konteks pembuatankebijakan publik seperti advokasi atau lobi terhadap suatu isu yang sedang dibahasdalam proses pembuatan undang-undang. Dalam konteks ini, civil society sebagaikelompok kepentingan yang akan me-lobi partai politik di DPR untuk mendorongdan mendiskusikan kepentingan yang mereka ajukan. Sebagai organisasi yangindependen dari kepentingan politik, civil society juga memiliki peran untukmemonitor janji-janji kampanye para kandidat dan partai dalam masa kampanye sertajuga perilaku para politisi di DPR.Dalam kesempatan yang berbeda, civil societyjuga dianggap sebagai wadah untuk berdiskusi tentang berbagai hal-hal pentingterkait dengan isu-isu yang mereka (anggota DPR) butuhkan saat itu.

Dalam konteks kebutuhan partai politik, civil society juga berperan dalammeningkatkan kapasitas organisasi partai dalam menjalankan fungsinya, melaluiberbagai bentuk pelatihan pengembangan kapasitas.Sebagai lembaga yang memilikisumber daya manusia yang diakui eksistensi dalam pembangunan, civil society jugamenyediakan para aktor dan pimpinannya sebagai kandidat yang mumpuni dalamajang pemilihan umum, baik untuk legislatif ataupun eksekutif.Pada saat yangbersamaan, civil society juga dapat berperan dalam mobilisasi para pemilih untukdapat memilih pemimpin partai politik yang sesuai dengan arah dan kepentinganmereka sebagai pemilih.

Sementara itu, bila kita memperhatikan hubungan kedua institusi ini dalamaspek kedekatannya, maka, Beavis menyebutkan terdapat empat arah relasi yangterkait satu sama lain. Dari perspektif civil society, paling tidak di kalangan civilsociety terhadap tiga pandangan relasi tersebut dilihat: (1) menghindari kontakdengan partai politik; dimana civil society berusaha untuk tidak terlibat dalamkegiatan politik sehingga mereka tidak diklaim memiliki aktivitas yang partisan. (2)mendukung partai politik secara menyeluruh, tanpa ada keberpihakan; hal ini dilihatdari komitmen civil society untuk mendukung partai politik berdasarkan agenda sertaisu yang sama dengan kepentingan kelompok civil society tersebut. (3) beraliansidengan satu partai politik; dalam konteks ini sebuah kelompok civil society atau lebihmenyediakan bergagai informasi dan bentuk pelatihan hanya kepada satu partaipolitik, dan biasanya mereka memiliki ikatan yang kuat seperti kelompok buruh.

Dari perspektif partai politik, terdapat empat pandangan yang dapat dilakukanoleh partai politik: (1) memiliki jarak jauh dengan civil society; situasi inimengindikasikan bahwa partai tidak memiliki hubungan dengan civil society atauadanya kompetisi yang keras satu sama lain sehingga tidak memiliki relasi yangdekat. (2) mendapat dukungan dari banyak kelompok masyarakat dalam jangka waktuyang singkat; hal ini disebabkan tergantung dari kepentingan seperti apa yangmenjadi titik temu dari relasi tersebut. (3) memiliki hubungan jangka panjang dengansatu atau beberapa kelompok civil society; hal ini diindikasi dari adanya dukunganserius dan permanen dari satu kelompok civil society kepada satu partai politik,seperti kelompok think thank, kelompok serikat pekerja dan lain-lainnya. Dan (4)relasi yang terputus dengan kelompok civil society; hal ini dimungkinkan manakalasalah satu organ partai memutuskan keluar dari partai dan bertransformasi menjadikelompok civil society dengan pertimbangan efektivitas kerja dibandingkan berada didalam partai politik.

Sementara itu dari arah pengaruhnya, relasi partai politik dan civil societytergantung dari konteks bagaimana kepentingan tersebut berhasil diolah dan dikelola.Ada yang berpandangan bahwa partai politik sebenarnya juga memiliki kelompokkelompokcivil society yang punya pengaruh di dalam konstituen sehingga partaimemiliki kekuasaan yang besar. Sebaliknya, kelompok civil society juga memilikitingkat independensi yang tinggi ketimbang partai politik karena dipengaruhi situasidan lingkungan sosial politik di negara yang bersangkutan.

Secara keseluruhan model yang diungkapkan oleh Beavis ini merupakanbentuk relasi yang diasumsikan berada dalam konteks negara yang tengah mengalamitransisi demokrasi. Artinya, konteks relasi ini tidaklah tunggal dan satu arah melainkan kondisi yang memiliki ketergantungan dengan apa yang terjadi dalamnegara yang bersangkutan.


4. Civil Society di era Pemerintahan Orde Baru

Pada masa pemerintahan Orde Baru, peran civil society dalam pembuatankebijakan tidaklah signifikan.Bahkan partai politik pun tidak mendapat peran yangpenting.Kalaupun ada hanya partai politik yang berkuasa penuh memiliki pengaruhdalam pembuatan undang-undang di DPR seperti Golkar. Artinya proses pembuatankebijakan bukanlah sarana yang mempertemukan berbagai kelompok kepentingandengan kelompok politik di DPR, melainkan dominasi kelompok yang berkuasa.Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga berkeinginan untuk mendominasiberbagai hal, termasuk urusan internal organisasi kemasyarakatan dan partai politik.

Namun demikian, pertumbuhan kelompok oposisi yang memiliki pengaruhbesar terjadi di akhir masa pemerintahan Orde Baru.Munculnya partai politikalternatif seperti PUDI dan PRD yang kemudian dilarang oleh pemerintahan OrdeBaru di tahun 1996-1997 dan perlawanan dari PDI pimpinan Megawati atas upayapemerintah ikut campur dalam konflik internal PDI, adalah fakta kekuatan politikoposisi semakin menguat. Pada saat yang bersamaan kelompok-kelompok LSM,
mahasiswa ataupun kelompok buruh juga semakin keras terhadap kebijakanpemerintahan Orde Baru yang semakin represif.[xiii] Kasus-kasus pelanggaran HAMyang kontroversial disorot pula oleh komunitas internasional karena pada saat ituIndonesia memiliki ketergantungan dana pembangunan dari IGGI.[xiv]

Secara khusus, bila kita melihat perkembangan kekuatan civil society padamasa Orde Baru terdapat tiga kategori civil society menurut Edward Aspinall yaitu:[xv]pertama, organisasi yang dibentuk sebagai bagian dari kelompok fungsional padamasa awal pemerintahan Orde Baru seperti HKTI. Model kelompok civil societyyang seperti ini memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pemerintahan Orde Barubahkan menjadi bagian dari kekuatan Golongan Karya.Kedua, organisasi yang semikorporatis terhadap negara, dimana kelompok ini memiliki independensi dalam idedan gagasannya namun dapat berkompromi terhadap kebijakan negara agar merekadapat bertahan hidup serta memiliki suara dalam lembaga legislatif atau eksekutif.Kelompok seperti NU dan Muhammadiyah merupakan kategori yang masuk didalamnya karena mereka sadar bahwa mereka memiliki kekuatan jaringan sertapendukung yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan politik penguasa.Ketiga,kelompok civil society yang berkembang menjadi kelompok oposisi.Kelompok inimemiliki keotonoman yang kuat terhadap kekuasaan negara bahkan cenderungmengkritik berbagai kebijakan dan tindakan dari negara.Tidaklah heran bilakemudian aparat negara juga bersikap represif terhadap kelompok ini seperti YLBHIataupun WALHI.[xvi]Maka kekuatan civil society pada masa Orde Baru tidaklahsignifikan karena sebagian kelompok civil society juga memiliki aliansi dengankekuatan di lingkaran kekuasaan.

Dalam konteks itulah terlihat bahwa kelompok civil society dan partai politikpada masa Orde Baru memiliki relasi yang sulit dideskripsikan menurut model yangdiajukan oleh Beavis. Alasannya adalah pada satu sisi, kelompok civil societymerupakan bagian tak terpisahkan dengan partai politik atau bahkan civil societyyang memiliki keotonoman juga merasa ada ketergantungan untuk bisa hidup dariusaha mendukung negara. Sementara di sisi lain, civil society juga merasakan perlukehadiran akan kekuatan politik. Sayangnya keterbasan ruang politik serta wadahpolitik yang diberlakukan oleh negara mengakibatkan kelompok civil society tidakleluasa untuk dapat berkontribusi terhadap proses pembuatan kebijakan, termasukpembuatan undang-undang.

5. Dinamika Relasi dalam Pembuatan Kebijakan

Paska Orde Baru, relasi antara partai politik dan civil society di Indonesiamulai terlihat dalam bentuk yang lebih konstruktif dikarenakan adanya keterbukaanpolitik serta ruang kebebasan untuk berekspresi. Partai politik tumbuh bak jamur dimusim hujan dan civil society pun mengalami hal yang sama. Meski tumbuh dalamruang politik yang terbuka, namun keduanya tidak serta merta dapat dengan mudahmenjalin komunikasi yang harmonis di arena pembuatan kebijakan.Di lembagalegislatif seperti DPR, diskusi yang panas antara para pembuat undang-undangdengan kelompok masyarakat seperti LSM ataupun universitas kerap terjadi.[xvii]Dinamika inilah yang menjadi menarik untuk dilihat dalam konteks relasi yang nyataantara kelompok civil society dengan partai politik yang berada di DPR. Terdapat duakasus nasional yang akan didiskusikan dalam bagian selanjutnya yaitu mengenaikeberhasilan Undang-undang Pembentukan Peraturan perundang-undanganNo.10/2004 yang didorong oleh berbagai kelompok civil society[xviii] dan dinamika daripembahasan paket UU politik tahun 2009 yang dikawal oleh Koalisi NGO untukPenyempurnaan Paket UU Politik.[xix]Sementara ada satu kasus di tingkat lokal yaknikeberhasilan mendorong Peraturan Daerah terkait dengan peran dan partisipasikelompok perempuan dalam Badan Perwakilan Desa di Kabupaten DonggalaSulawesi Tengah.[xx]

Undang-undang Pembentukan Peraturan perundang-undangan (P3)No.10/2004 lahir atas dorongan dan inisiatif dari anggota DPR dan juga dukungandari kelmpok civil society. Salah satu pertimbangan yang penting adalah ketiadaanruang partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan yang tidak terdapat dalamaturan di atasnya. Artinya, selain ada kebutuhan partisipasi warga namun yang jugapenting adalah proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang memberiruang adanya hal tersebut. Dari kalangan civil society terdapat satu koalisi yangberperan sebagai pengawal dan juga pemberi informasi serta masukan yangkonstruktif kepada para anggota DPR yaitu Koalisi Kebijakan partisipatif yangdidirikan tahun 2002. Meski dalam proses pembentukan UU P3 terbilang a lot karenabeberapa partai politik menganggap adanya kekhawatiran akan bentuk partisipasipublik dalam pembuatan undang-undang, namun atas desakan dan pengawalan yangkonsisten, undang-undang tersebut berhasil disahkan pada tahun 2004.

Sementara itu, dalam pembahasan paket revisi UU Politik tahun 2009 (UUPartai Politik, UU Pemilu, UU Pilpres dan UU Susduk MPR/DPR/DPRD), adabenturan kepentingan-kepentingan dalam diskusi pembahasan di antara anggota DPRyang notabene adalah partai politik dengan kalangan civil society yang tidak memilikikepentingan politik apapun.Dalam pembahasan sistem pemilu saja ada duapandangan serius di kalangan DPR yaitu sistem proporsional dengan daftar terbukaterbatas atau sistem proporsional dengan daftar terbuka murni. Dalam pandangan Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik sebaiknya adalah sistem proporsionaldengan daftar terbuka murni karena pemilih tidak akan dirugikan untuk memilih yangterbaik. Sebaliknya pandangan yang memilih sistem terbuka terbatas beranggapanbahwa partai tetap memerlukan mekanisme internal untuk memberi kesempatan bagikader-kadernya untuk dapat terpilih dengan mudah.Namun pembahasan system pemilu yang penting ini dimenangkan oleh pilihan sistem proporsional daftar terbukaterbatas, meski akhirnya keputusan Mahkamah Konstitusi membatalkan tentang pasalini yang mengakibatkan sistem pemilu adalah proporsional terbuka murni.[xxi]

Dalam kasus lokal seperti di Donggala, lahirnya Peraturan Daerah yangmemberi kesempatan istimewa kepada perempuan untuk berpartisipasi di dalamforum Badan Perwakilan Desa merupakan perjuangan dari kelompok civil societyyang bergerak di isu pemberdayaan perempuan.Salah satu pertimbangan adanyaperda ini adalah mendesaknya kebutuhan keterwakilan perempuan yang nyata dalamtingkat desa, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Meski terdapathambatan kultural dan sosial yaitu masih kuatnya hukum adat yang patrilineal, namundukungan nyata dari para anggota DPRD, termasuk yang laki-laki, terhadap perda initerlihat dalam pengesahannya.Salah satu poin yang menjadi sukses dalammendorong perda ini adalah kemampuan mobilisasi sumber daya serta lobi-lobi untukmeyakinkan bahwa perda ini penting untuk segera dilahirkan di Donggala.

Apa yang bisa dipelajari dalam kasus-kasus tersebut? Pertama, aktivitas yangterbangun antara civil society dan partai politik masih dalam kerangka membangunkebijakan publik yang berpihak kepada rakyat.Maka tidaklah heran bila kelompokcivil society masih kerap melakukan lobi dan advokasi kepada para pembuatkebijakan untuk mendorong serta mengawal isu-isu yang ingin mereka tekankan.Kedua, pada saat yang bersamaan, para politisi di DPR merasa bahwa merekamemiliki asupan informasi serta bahan yang memadai mengenai isu-isu yang sedangmereka bahas sehingga kebutuhan merespon tuntutan serta dukungan dari kelompokcivil society adalah penting.Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa civil society danpartai politik sama-sama menyebarkan dukungan secara keseluruhan, tidak hanyasatu atau dua partai atau kelompok civil society. Sebaran dukungan ataupun tuntutantergantung dari isu dan kepentingan apa yang ingin mereka raih nantinya sehinggaikatan dalam relasi tersebut tidaklah permanen dan bersifat sementara.

6. Dinamika Relasi dalam Pemilihan Umum dan Pilkada

Selain bertarung di luar arena pembuatan kebijakan, kelompok civil societyjuga memikirkan strategi lain yang jauh lebih efektif yaitu menjadi bagian dari prosespembuatan kebijakan. Maka, bergabung atau menjelma sebagai aktivis partai politikyang sudah ada dan mapan adalah pilihan dari berbagai arena pertarungan politiklainnya.[xxii]Tidaklah heran bila kemudian beberapa aktor dan pimpinan kelompok civilsociety yang memiliki pengaruh kuat di tingkat nasional dan daerah memutuskanuntuk mengambil langkah ini, yaitu masuk ke dalam partai dan berharap menjadianggota legislatif.

Pada Pemilu 2004, telah muncul beberapa aktor civil society yangmemutuskan menjadi calon anggota legislatif seperti Nursyahbani Kantjasungkana[xxiii]yang mewakili PKB atau Muspani[xxiv] yang bertarung di jalur DPD untuk daerahpemilihan Bengkulu.Berkat perjuangan yang gigih dan tak kenal lelah merekaberhasil memenangkan pertarungan tersebut.Namun kisah kegagalan juga dialamioleh banyak aktor civil society, seperti salah satunya adalah Sarah Larry Mboeik yanggagal memenangkan kursi DPD dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur.[xxv]

Ada beberapa pelajaran menarik yang diperoleh dari perjuangan para actor civil society yang bertarung di kancah pemilu 2004 yang kemudian menjadi bahanrefleksi dalam perjuangan politik lainnya: pertama, para aktivis civil society lebihmemutuskan untuk bertarung di DPD ketimbang DPR karena bila menjadi caleg diDPR maka mereka harus menjadi anggota partai politik. Artinya menjadi anggotapartai mengindikasikan bahwa mereka memiliki kepentingan yang partisansedangkan bila menjadi anggota DPD yang notabene adalah calon perseorangan danindependen, tidak ada indikasi partisan tersebut.Dalam memilih jalur DPD, paraaktivis juga beranggapan mereka memiliki keleluasaan untuk mengatur strategipemenangan berdasarkan kekuatan mereka sendiri.Kedua, pilihan untuk bergabungdengan partai politik lebih disebabkan alasan yang emosional yaitu berdasarkankedekatan, baik secara etnisitas ataupun secara garis perjuangan.Maka tidaklah heranbila beberapa aktor civil society yang dikenal dekat dengan kelompok masyarakat didesa/kampung lebih memilih partai yang juga dikenal memiliki kedekatan tersebut.[xxvi]

Dalam Pemilu 2009, para aktivis yang menjadi anggota partai dan tercatatsebagai caleg DPR RI semakin semarak. Diantaranya terdapat nama Ratna BantaraMukti (aktivis perempuan-PDIP), Apong Herlina (aktivis perempuan-PDIP), IndraJaya Piliang (akademisi/peneliti-Golkar), Hetifah Sj Sumarto (aktivis planologi-Golkar), ataupun Binny Buchori (aktivis perempuan-Golkar), yang resmi bertarungdalam sebagai caleg di masing-masing daerah pemilihannya. Namun demikian,diantara nama-nama tersebut hanyalah Hetifah SJ Sumarto yang sukses memperolehkursi di Senayan dalam periode 2009-2014 nanti.[xxvii]Sementara itu, nama-nama paraaktivis yang bertarung di DPD pun juga tidak jauh berbeda dengan pemilu 2004,namun kali ini Muspani gagal dan Sarah Larry berhasil.

Salah satu alasan partai politik merekrut para aktivis Ornop menjadi calegadalah untuk memperkuat dan membuka peluang bagi non-kader partai untuk bisabersaing dan memenangkan suara partai dalam pemilu 2009.Syarat ini pun diterimadengan catatan agar mereka sebagai tokoh Ornop yang berpengaruh ditempatkandalam nomor yang memiliki peluang yang besar keterpilihannya.[xxviii]Meski pilihan inimenegasikan kepentingan partai politik dalam pengembangan internalnya denganmemberi kesempatan kepada kader terbaiknya, namun pilihan ini menjadi sesuatuyang penting diambil partai manakala citra partai tengah menurun.[xxix]

Dalam konteks pemilu 2009, pelajaran yang menarik diangkat adalah peluangpolitik yang terbuka bagi aktor civil society untuk terlibat dalam arena pemilu.Sayangnya, partai politik masih beranggapan bahwa keterlibatan para tokoh civilsociety ini tidaklah didukung secara nyata dalam mobilisasi para pemilih lantarankompetisi diantara caleg di masing-masing partai juga bersaing ketat.Pada saat yangbersamaan, meski peluang tersebut ada dalam waktu yang relatif sempit untukbersosialisasi, namun para aktor civil society dengan kekuatan jaringannya tidakdapat memperoleh dukungan secara penuh dari kawan seprofesinya.Inilah yangmasih menjadi masalah yang belum tertuntaskan manakala komitmen politik daripara aktor Ornop yang ingin terjun di ranah pemilu tidak mendapat dukungan yangmemadai dari koleganya.Padahal salah satu titik lemah keterlibatan para aktor civilsociety dalam politik adalah ketiadaan sumber daya finansial untuk dapatbersosialisasi dan memperkenalkan diri di hadapan para konstituen.

Dalam arena pertarungan di lembaga eksekutif di tingkat lokal yaitu pilkada,keterlibatan aktor civil society sebagai kandidat, baik sebagai gubernur/wakilgubernur hingga bupati/wakil bupati, tidaklah signifikan karena memang belum adakeberhasilan para aktor tersebut memenangkan pilkada.Sebagian besar pemenangpilkada merupakan figur yang populer karena aktivitasnya di dalam birokrasipemerintahan, baik sebagai pejabat daerah atau pusat, atau tokoh yang memilikiketerikatan yang kuat dengan jalur kekuasaan di tingkat lokal seperti jawara diBanten.[xxx]

Salah satu yang menyebabkan keberatan kandidat yang berasal dari kalangancivil society adalah adanya proses transaksi ekonomi yang cukup mahal untuk“membeli” perahu politik dalam pilkada. Disebutkan dalam regulasi tentang pilkadasebelum munculnya calon perseorangan, bahwa kandidat dalam pilkada diajukan olehpartai politk atau gabungan partai politik dengan kriteria tertentu.Akibatnya, hanyakandidat yang memiliki kemauan besar dan modal yang cukup besar untuk bisabertarung dalam pilkada.Meski tidak ada gambaran yang komprehensif mengenaijumlah uang yang dikeluarkan oleh seorang kandidat dalam pemenangan pilkada,namun Syarif Hidayat menyatakan bahwa ada banyak transaksi politik uang yangdiberikan oleh kandidat kepada banyak pihak untuk memuluskan jalankemenangannya.[xxxi]Dalam konteks itulah penulis meyakini bahwa mundurnya banyakaktor civil society yang potensial menjadi calon bupati ataupun walikota dikarenakanfaktor finansial.

Pelajaran yang menarik dari keterlibatan civil society di arena pilkada adalahmenyangkut kelemahan dalam hal mobilisasi dukungan sumber daya finansial untukmemaksimalkan upaya pemenangan politik.Padahal di kalangan civil society sendiri,persoalan finansial bagi berlangsungnya jalan organisasi dan juga keberlanjutanprogram bagi kepentingan masyarakat adalah masalah yang juga tidak kalah peliknya.Dilema inilah yang menjadi pertimbangan sulit bagi para aktor civil society untukbertarung dalam berbagai arena pemilu, termasuk pilkada.

7. Membangun Relasi yang Konstruktif

Relasi dan dinamika yang terbangun diantara dua kelembagaan ini, civilsociety dan partai politik, sedang berusaha menemukan arah yang konstruktif.Dahulupada masa Orde Baru, kelompok civil society yang cenderung beroposisi denganpemerintah, tidak mendapat tempat dalam konstelasi politik nasional.Pada saat yangbersamaan, hegemoni Golkar yang didukung oleh penguasa Orde Baru telahmematikan langkah dan strategi partai politik lainnya seperti PPP dan PDI.Dalamkonteks ini kita tidak mampu mendiskusikan secara jelas arah relasi civil society danpartai politik.

Dalam era paska reformasi, kedua institusi ini sebenarnya telah sepakat bahwamembangun demokrasi tentu memerlukan relasi yang konstruktif, terutama demimenghasilkan kebijakan-kebijakan public yang menguntungkan masyarakat luas.Hanya saja yang perlu didiskusikan secara intensif menyangkut perbedaan perspektifmengenai hal tersebut.Bagi kelompok civil society, kebutuhan untuk terlibat dalamarena pembuatan kebijakan adalah penting.Permasalahannya kemudian adalahbagaimana mengkoneksikan kebutuhan tersebut menjadi sebuah kenyataan manakalaterdapat kendala yang masih dihadapi, semisal mobilisasi dukungan financial yangdibutuhkan dalam pemenangan pemilu.Hal ini bisa terjadi karena partai politik besardi Indonesia masih menghadapi persoalan serius dalam pembenahan internalorganisasi, semisal dalam urusan rekrutmen yang belum tertata dengan baik.[xxxii]Padahal salah satu usaha untuk memenangkan pemilu adalah menyangkut mekanismerekrutmen yang dikaitkan dengan cara pemenangan tersebut. Artinya para aktor civilsociety yang berkeinginan untuk menjadi anggota partai politik tertentu dan menjadicaleg partai tersebut akan mempertimbangkan kembali manakala partai belummemikirkan secara serius terkait dengan aspek pemenangan tersebut.

Sementara itu, partai politik juga berpandangan bahwa memenangkan pemiluataupun memutuskan sebuah perundang-undangan tanpa dukungan nyata darikelompok atau organisasi kemasyarakatan adalah sesuatu yang sulit dilakukan.Makatidak heran bila partai politik memiliki organ dan sayap kelompok masyarakat yangberkoneksi langsung dengan kebutuhan mereka.[xxxiii]Dalam konteks itu kelompok civilsociety dan partai politik memiliki kedekatan yang jelas, namun masih memilikipermasalahan yang harus dicari penyelesaiannya.Apakah mengajak dan memintaaktor civil society ke dalam partai untuk membantu penyelesaian hal tersebut danmendorong agar terjadi hubungan yang permanen dan saling menguntungkan dikemudian hari?Ataukah yang bersifat sementara, dimana kehadiran aktor civilsociety hanya menjadi pelengkap bagi usaha meningkatkan suara partai?Makadiskusi tentang hal ini menjadi agenda yang menarik agar tidak menimbulkan rasacuriga.

Gagasan Blok Politik Demokratik yang disampaikan oleh DEMOSmerupakan sebuah hal yang menarik.[xxxiv]Gagasan ini sebenarnya ingin memberipenekanan adanya lembaga perantara diantara dua kekuatan yaitu organisasi partaipolitik yang punya tujuan politis dengan organisasi civil society seperti organisasigerakan social dan organisasi kerakyatan lainnya. Harapannya model blok seperti iniakan mampu menjelma sebagai sarana yang efektif untuk menjembatani kepentinganpolitik dari organisasi civil society dengan keterbatasan yang mereka miliki. Namun
demikian, catatan yang perlu didiskusikan adalah bagaimana blok ini mampu secaraefektif bekerja dalam mengarahkan kepentingan politik dari kelompok civil societymanakala komitmen diantara para aktor (baik di dalam partai dan civil society) belumterbangun dengan utuh. Pada saat yang bersamaan, kesiapan infrastruktur baikmenyangkut mobilisasi sumber daya untuk mengarahkan tujuan politik masihmenghadapi persoalan serius di partai politik dan civil society.Sebagai contoh, dalampersoalan sumber daya, partai politik dan civil society masih mengandalkanmobilisasi dari pihak luar untuk menjalankan organisasinya.Parahnya, partai politikmemiliki kelemahan dalam mengelola sumber daya secara baik, terutama dalamurusan pendanaan. Artinya untuk menciptakan sebuah bangunan blok yang baikdibutuhkan kedua organ penopangnya yaitu civil society dan partai politik yang jugamemiliki kesiapan yang memadai untuk menciptakan sebuah blok yang efektif.

Oleh karena itu, salah satu hal yang bisa dilakukan segera adalah membangunkomitmen diantara para aktor civil society dan pimpinan partai politik untukmendesakkan agenda pembangunan blok politik demokratik. Hal yang positif padasaat ini adalah adanya kawan-kawan Ornop yang sudah bergabung di partai menjadipenghubung dalam upaya menciptakan komitmen bersama ini. Bila ini bisa dilakukandan mendapat dukungan luas dan nyata dalam bentuk kesamaan komitmen terhadapblok-blok ini maka akan terbuka kemungkinan kerjasama ini bisa diwujudkan.

8. Penutup

Relasi yang terjadi antara civil society dan partai politik berada dalam kondisiyang dinamis.Pada masa Orde Baru, relasi tersebut tidak mudah dibayangkan karenamemang kekuatan dan hegemoni penguasa Orde Baru mengakibatkan tidak adanyabangunan komunikasi diantara mereka.Namun pada masa paska Orde Baru, relasitersebut mulai terlihat.Dari keterlibatan yang bersifat ekstra parlementer dimanaperan civil society menjadi kelompok kritis terhadap lembaga-lembaga pemerintahhingga menjadi bagian dari parlementer, meski jumlahnya belum terlalu signifikan.Paling tidak ada perubahan yang lebih terlihat dalam bentuk perkawinan yan masihbersifat personal, bukan kelembaagaan.

Berbagai gagasan untuk menjembatani kebutuhan ini sebenarnya sudahbanyak didiskusikan.Ada yang berpendapat lebih baik masuk ke dalam partai danterlibat langsung.Namun banyak pula yang menyatakan ketidaksetujuaanya denganpertimbangan non-partisan.Gagasan Blok Politik demokratik yang berusahamenyeimbangkan perbedaan kedua pandangan tersebut juga tengah dilakukan.Artinya di kalangan civil society memang sudah ada kebutuhan untuk bergerak danmengambil peran-peran politik secara langsung, sementara itu di kalangan partaipolitik juga tengah memikirkan hal yang sama. Persoalannya kemudian berada dalambagaimana menciptakan situasi yang menguntungkan tersebut.Padahal di kalanganinternal civil society dan partai politik juga masih menyisakan banyak persoalandalam mengelola sumber daya yang dimiliki.Oleh karenanya, masa demokratisasi diIndonesia terlihat masih panjang karena elemen-elemennya pun masih perlu berbenahdiri secara serius.

* Makalah ini disampaikan pada Seminar Internasional ke-10 "Representasi Kepentingan Rakyat pada Pemilu Legislatif 2009", yang diselenggarakan oleh Yayasan Percik, Salatiga - Jawa Tengah, pada tanggal 28-30 Juli 2009.

** Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI dan Peneliti Pusat Kajian Politik FISIP UI. Dapat dikontak di : aditya.perdana@ui.ac.id


Daftar Pustaka

Aspinall, Edward. Indonesia Transformation of Civil Society and DemocraticBreakthrough dalam Muthiah Alagappa, Civil Society and Political Change inAsia: Expanding and Contracting Democratic Space. Palo Alto: StanfordUniversity Press, 2004.

Beavis, Gwendolyn. Civil Society Groups and Political parties: supportingconstructive relationships, Occasional Papers Series. USAID, 2004.

Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik.Jakarta: Gramedia, 2008.

Chandhoke, Neera. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: ISTAWA,2001.

Cohen, Jean L. Dan Andrew Arato. Civil Society and Political Theory, dalamHodgkinson, Virginia A. dan Michael W.Foley (ed.). The Civil Society Reader.University Press of New England, 2003.

Culla, Adi Suryadi. Rekonstruksi Civil Society, Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia.Jakarta: LP3ES, 2006.

Demos. Satu Dekade reformasi: Maju dan Mundurnya Demokrasi di Indonesia. Dapatdiakses di:http://www.demosindonesia.org/downloads/1210760409_Satu_Dekade_Reformasi-Presentasi.pdf

Hapsara, Beka Ulung, Sugeng Bahagijo dan Darmawan Triwibowo, MembangunKembali tradisi Demokrasi dari Akar Rumput, Kasus Lerry Mboek, Muspanidan Imam Azis, dalam Darmawan Triwibowo (ed). Gerakan Sosial: wahanaCivil Society bagi Demokratisasi, Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa,2006.

Hershey, Marjonie Randon. Citizens’ Group and Political Parties in the UnitedStates, Annals of the American Academy of Political and Social Science,Vol.528, Citizens, Protest and Democracy, July 1993.

Hidayat, Syarif, Pilkada, Money Politics and The Dangers of “Informal Governance”Practices, dalam Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto (ed). DeepeningDemocracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada).Singapore: ISEAS, 2009.

Hikmah, Nor, dkk. Gerakan Ekstra Parlementer Baru, Mendorong Demokrasi ditingkat Lokal. Jakarta: YAPPIKA, 2008.

Hikmah, Nor. Perda Keterwakilan Perempuan: Menciptakan Bulonggo Baru diSulawesi Tengah dalam Nor Hikmah, dkk. Gerakan Ekstra Parlementer Baru:Mendorong Demokrasi di Tingkat Lokal. Jakarta: YAPPIKA, 2008.

Ichwanuddin,Wawan, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri. Masyarakat Sipil danKebijakan Publik: Studi Kasus Aktivitas Masyarakat Sipil dalamMempengaruhi Kebijakan Publik. Jakarta: YAPPIKA, 2006.

Kariyadi, Syafa'atun dan Willy Purna Samadhi.Blok Politik Demokratik, PanduanPelatihan. Jakarta: Demos, 2008.

Linz, Juan J.dan Alfred Stepan. Problems of Democratic Transition andConsolidation: Southern Europe, South America and Post-Communist Europe.Baltimore: The John Hopkins University Press, 1996.

Masaaki, Okamoto dan Abdul Hamid.Jawara in Power 1999-2007, Indonesia,No.86, Oktober 2008.

Perdana , Aditya. Aktor Civil Society dan Pemilu 2009. ALIANSI No.49/September-November 2008.

PUSKAPOL FISIP UI. Studi Kasus dan Pembelajaran Partai Politik di Indonesia,Jakarta: PUSKAPOL FISIP UI dan IRI, 2008.

Romli, Lili, Aditya Perdana, Wawan Ichwanuddin dan Miftah Sabri. KerangkaPenguatan Partai Politik di Indonesia. Depok: PUSKAPOL UI dan Kemitraan,2008.

Sakai, Yumiko. Indonesia Flexible NGOs vs Inconsistent State Control dalamShinichi Shigetomi (ed). The State and NGOs, perspective from Asia.Singapore: ISEAS, 2002.

Tanuredjo, Budiman. Ketika ‘Serangan” Muncul dari Rapat Komisi I DPR, dalamHCB Dharmawan.Lembaga Swadaya Masyarakat, Menyuarakan NuraniMenggapai Kesetaraan. Jakarta: Kompas, 2004.

Tornqueist, Olle. Apa dan Mengapa Blok Politik Demokratik, dapat diakses dihttp://www.demosindonesia.org/laput/article/article.php?id=327

Zuhro, R.Siti, dkk. Demokrasi Lokal, Peran Aktor dalam Demokratisasi. Yogyakarta:Ombak, 2009.

Siaran Pers Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik tanggal 18 Januari 2008 tentangPilihan Sistem Pemilu 2009.dapat diakses di www.parlemen.net.

MK Putuskan Pemilu Gunakan Suara Terbanyak, hukumonline, 24 Desember 2008.dapat diakses di www.hukumonline.com.




[i]Peserta pemilu 1999 sebanyak 48 partai politik. Sedangkan pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politikdan pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik dan 6 partai local di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapatmengakses www.kpu.go.id

[ii]Jumlah LSM ataupun organisasi kemasyarakatan tidak pernah jelas. Kalaupun ada terdapatpeningkatan jumlah Ornop sekitar 12.000 di antara tengah tahun 1990-an. Dari sejumlah itu, hanyasekitar 10-20 persen yang bisa dikonfirmasi datanya. Lihat Yumiko Sakai, Indonesia Flexible NGOs vsInconsistent State Control dalam Shinichi Shigetomi (ed), The State and NGOs, perspective from Asia,Singapore, ISEAS, 2002, hal.165.

[iii]Survey nasional yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dalam kurun waktu 8-20 September2008 mengkonfirmasi bahwa sebagian pemilih di Indonesia (42 persen) mengaku tidak ada partai yangbagus akan program-programnya. Bahkan sebanyak 63 persen responden tidak percaya bahwa partaibebas dari korupsi. Lihat www.lsi.or.id

[iv]Pada masa Yunani Kuno, Civil society dan negara adalah berasal dari definisi yang sama yaknikoinomia politike (masyarakat politik) dimana setiap manusia dikenal sebagai zoon politikon (makhlukpolitik). Lihat Neera Chandhoke. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta, ISTAWA, 2001,hal.115

[v]Pandangan ini diwakili oleh Hegel dimana civil society adalah momentum dimana peran transisi darikeluarga menjadi organisasi sosial dan nantinya berujung pada terbentuknya negara. Ibid, hal.176

[vi]Cohen, Jean L. Dan Andrew Arato, Civil Society and Political Theory, dalam Hodgkinson, VirginiaA. dan Michael W.Foley (ed.). The Civil Society Reader. University Press of New England, 2003

[vii]Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 404.

[viii]Gwendolyn Bevis, Civil Society Groups and Political parties: supporting constructive relationships,Occasional Papers Series, USAID, 2004, hal. 7.

[ix]Ibid hal. 8

[x]Linz dan Stepan menyebutkan partai politik sebagai masyarakat politik. Lihat Juan J.Linz dan AlfredStepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America andPost-Communist Europe, Baltimore, The John Hopkins University Press, 1996, hal.7-8.

[xi]Ibid, hal. 14

[xii]Beavis, op.cit., hal.9-13

[xiii]Dalam hal ini kasus-kasus pelanggaran HAM serius dilakukan oleh pemerintah Orde Baru sepertikasus Kedung Ombo, pembunuhan aktivis buruh Marsinah dan banyak kasus lainnya. Lihat NorHikmah, dkk Gerakan Ekstra Parlementer Baru, Mendorong Demokrasi di tingkat Lokal, Jakarta,YAPPIKA, 2008, hal.5-6.

[xiv]Kasus yang menghebohkan dan controversial antara Negara dan civil society diantaranya adalahpembantaian Dili dan juga pembangunan KedungOmbo. Lihat Yumiko Sakai, op.cit, hal.164.

[xv]Edward Aspinall, Indonesia Transformation of Civil Society and Democratic Breakthrough dalamMuthiah Alagappa, Civil Society and Political Change in Asia: Expanding and ContractingDemocratic Space, Palo Alto, Stanford University Press, 2004, hal.71-72

[xvi]Studi yang khusus mendiskusikan peran dan aksi YLBHI dan WALHI dilakukan oleh Adi SuryadiCulla manakala kehadiran kedua Ornop ini berkontribusi terhadap gerakan advokasi masyarakat dalamberbagai isu lingkungan ataupun isu kemasyarakatan lainnya. Ihat Adi Suryadi Culla, RekonstruksiCivil Society, Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 2006.

[xvii]Salah satunya adalah tudingan dari anggota DPR mengenai aktivitas kelompok LSM yang dibiayaioleh Negara asing dan disinyalir akan mengganggu keamanan. Lihat Budiman Tanuredjo, Ketika‘Serangan” Muncul dari Rapat Komisi I DPR, dalam HCB Dharmawan, Lembaga SwadayaMasyarakat, Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, Jakarta, Kompas, 2004, hal.165.

[xviii]Wawan Ichwanuddin, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri, Masyarakat Sipil dan Kebijakan Publik:Studi Kasus Aktivitas Masyarakat Sipil dalam Mempengaruhi Kebijakan Publik, Jakarta, YAPPIKA,2006.
               
[xix]Lihat Siaran Pers Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik tanggal 18 Januari 2008 tentang PilihanSistem Pemilu 2009.dapat diakses di www.parlemen.net.

[xx]Nor Hikmah, Perda Keterwakilan Perempuan: Menciptakan Bulonggo Baru di Sulawesi Tengahdalam Nor Hikmah, dkk, Gerakan Ekstra Parlementer Baru: Mendorong Demokrasi di Tingkat Lokal,Jakarta, YAPPIKA, 2008.

[xxi]MK Putuskan Pemilu Gunakan Suara Terbanyak, hukumonline, 24 Desember 2008. dapat diakses diwww.hukumonline.com

[xxii]Dalam berbagai diskusi dan aksi politik yang nyata, ada beberapa pilihan langkah strategis yangdilakukan oleh beberapa kelompok civil society, seperti WALHI pernah mengusulkan untuk menjelmamenjadi Partai Hijau, namun gagal diwujudkan.DEMOS dengan berbagai risetnya mengusulkandibentuknya sebuah Blok Politik Demokratik yang menjadi lembaga perantara kekuatan politik yangterorganisir dengan kekuatan non politik seperti gerakan sosial dan gerakan rakyat.Lihat SyafatunKariyadi dan Willy Purna Samadhi, Blok Politik Demokratik, Panduan Pelatihan, Jakarta, Demos,2008.

[xxiii]Aktivis Ornop yang banyak bergerak dalam isu perempuan dan gender.

[xxiv]Aktivis pembela hukum bagi kelompok masyarakat miskin di Bengkulu.

[xxv]Sarah Larry Mboeik adalah aktivis PIAR di NTT.Dalam pemilu 2009 Sarah kembali bertarungdalam arena DPD, dan kali ini berhasil mendapatkan kursi mewakili NTT. Beka Ulung Hapsara,Sugeng Bahagijo dan Darmawan Triwibowo, Membangun Kembali tradisi Demokrasi dari AkarRumput, Kasus Lerry Mboek, Muspani dan Imam Azis, dalam Darmawan Triwibowo (ed). GerakanSosial: wahana Civil Society bagi Demokratisasi, Jakarta, LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, 2006.hal.33-90

[xxvi]Seperti anggota DPRD perempuan yang dikisahkan oleh IRI dan PUSKAPOL UI yaitu AndiMariattang (DPRD Provinsi Sulsel-PPP), Isti'anah ZA (DPRD Provinsi Yogyakarta-PAN), EstiWijayanti (DPRD Provinsi Yogyakarta-PDIP) dan Eva Nurna Karmila (DPRD Kota Padang-PKS).Mereka ini adalah aktivis kelompok civil society yang dekat dengan basis konstituen dan juga secaraemosional kekeluargaan. Seperti bapaknya Andi Mariattang yang juga mantan petinggi PPP di Wajo,sementara Isti'anah dekat dengan kalangan Muhammadiyah di yogyakarta. Lihat PUSKAPOL FISIPUI, Studi Kasus dan Pembelajaran Partai Politik di Indonesia, Jakarta: PUSKAPOL FISIP UI danIRI, 2008, hal.105-109.

[xxvii]Hetifah berhasil memperoleh suara sebanyak 23.413 di Kalimantan Timur dan berada di nomor urut2 dari perolehan suara Partai Golkar di dapil tersebut.

[xxviii]Pernyataan ini disampaikan dalam forum berbagai diskusi terbatas PUSKAPOL UI yangmengundang beberapa orang tokoh Ornop yang bersedia bergabung dan dicalonkan sebagai calegdengan syarat mereka ditempatkan dalam urut jadi (sekitar nomor 1-3) di dapil masing-masing.Namunsayangnya, akibat keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai perubahan sistem pemilu mengubah arahdan strategi gerakan para caleg untuk memobilisasi dukungannya.

[xxix]Aditya Perdana, Aktor Civil Society dan Pemilu 2009, ALIANSI No.49/September-November 2008.

[xxx]Sebagai contoh yang menarik, berdasarkan penelitian Siti Zuhro dan kawan-kawan di empat daerah:Solok (Sumbar), Bojonegoro (Jatim), Gianyar (Bali) dan Bone (Sulsel), para aktor yang berperandalam pilkada merupakan tokoh-tokoh politisi dan birokrat, baik di pemda ataupun dalam militer.Lihat R.Siti Zuhro, dkk, Demokrasi Lokal, Peran Aktor dalam Demokratisasi, Yogyakarta, Ombak,2009. hal.225. Sementara itu, Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid menyebutkan kekuatan jawarayang memiliki pengaruh dalam pertarungan politik di provinsi Banten. Lihat, Okamoto Masaaki danAbdul Hamid, Jawara in Power 1999-2007, Indonesia, No.86, Oktober 2008, hal.109-138.

[xxxi]Syarif Hidayat menyebutkan berdasarkan data yang dikumpulkan oleh ICW pada periode pilkadatahun 2005, ada sumbangan pembangunan mesjid senilai Rp.5 juta, atau pembayaran untukfungsionaris partai yang mendukung kandidat sebesar Rp.30 juta per orang. Lihat Syarif Hidayat,Pilkada, Money Politics and The Dangers of “Informal Governance” Practices, dalam Maribeth Erbdan Priyambudi Sulistiyanto (ed), Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for LocalLeaders (Pilkada), Singapore, ISEAS, 2009, hal.130-131

[xxxii]Selain persoalan rekrutmen dan kaderisasi, persoalan serius yang dihadapi partai adalah menyangkutkeberadaan platform yang tidak dilihat secara serius.Di samping juga persoalan kohesifitas konflikdalam partai yang perlu diagendakan. Lihat Lili Romli, Aditya Perdana, Wawan Ichwanuddin danMiftah Sabri, Kerangka Penguatan Partai Politik di Indonesia, Depok, PUSKAPOL UI danKemitraan, 2008, hal.19-26

[xxxiii]Sebagai contoh dalam konteks Amerika Serikat, hubungan antara kelompok warga dengan partaipolitik bisa saling melengkapi dengan syarat salah satunya ada kedekatan secara ideologis.Meskidalam konteks ini ideology bukanlah aspek yang penting namun menjadi pengikat yang memadai.Lihat Marjonie Randon Hershey, Citizens’ Group and Political Parties in the United States, Annals ofthe American Academy of Political and Social Science, Vol.528, Citizens, Protest and Democracy,July 1993, hal.149

[xxxiv]Olle Tornqueist, Apa dan Mengapa Blok Politik Demokratik, dapat diakses dihttp://www.demosindonesia.org/laput/article/article.php?id=327. Makalah yang disampaikan oleh timpeneliti Demos dalam seminar berjudul Satu Dekade reformasi: Maju dan Mundurnya Demokrasi diIndonesia. Dapat diakses di: http://www.demosindonesia.org/downloads/1210760409_Satu_Dekade_Reformasi-Presentasi.pdf

SHARE THIS POST   

0 komentar :