abu bakar mangun

Senin, 22 April 2013

Reposisi Anak Jalan ke Jubeti di Makassar*

Abubakar Mangun

Anak jalanan yang menjadi Jubeti, adalah bagian dari pilihan rasional sekaligus menjalankan praktik kuasa. Dengan ide yang dimiliknya, mereka mendefinisikan sendiri bahwa belokan adalah lahan anak jalanan dan kuasa atasnya ada di tangannya.
Selama hampir dua minggu keberadaan saya di Makassar, ada hal menarik dalam pengamatan saya. Melewati beberapa jalan-jalan utama kota Makassar dan hampir di setiap ada belokan atau tikungan, saya menemukan (yang saya sebut) juru belokan-tikungan atau Jubeti. Bagi saya, ini bukan fenomena biasa yang hadir begitu saja. Saya meyakininya sebagai sebuah praktik politik yang dijalankan oleh anak-anak jalanan.

Jika kita mau meluangkan waktu untuk wawancara dengan anak jalanan yang jadi Jubeti. Mungkin saja kita akan memahami bahwa apa yang dilakukannya berangkat dari kesadaran bahwa mereka punya kuasa dalam definisi mereka sendiri. Foucault sendiri mendefinisikan kuasa. Menurutnya, kuasa adalah nama yang diberikan kepada situasi strategi yang rumit dalam masyarakat tertentu, sehingga kekuasaan itu abstrak. Ia sekadar ide atau gagasan, maka yang menguasai potensi ide atau gagasan itulah yang berpeluang berkuasa. Lebih lanjut dikatakan bahwa kekuasaan tidak bersifat tunggal, akan tetapi ia menyebar dimana-mana dan dalam relasi social bagaimanapun (Ritzer & Smart: 2012).

Anak Jalanan 

Sekalipun anak jalanan, dalam ukuran kelas social mungkin saja berada pada level grass root. Akan tetapi, bagimanpun mereka berada pada alas piramida, mereka tetap memiliki ide. Nah, ide inilah yang mengurai kuasanya. Anak jalanan tersebut akan membangun konsep kuasanya di ranah yang selama ini mereka berada. Tidak ada lain, ya jalanan.

Selama ini, anak jalanan biasanya dianggap sebagai masalah sosial, bahkan sampai-sampai untuk menggusur mereka, pemerintah menerbitkan peraturan daerah. Tentu dengan demikian, anak jalanan ini akan mencari jalan yang paling memungkinkan agar mereka bisa tetap berada di jalanan dengan jubbah yang berbeda. 

Ini adalah pilihan yang paling rasional bagi mereka untuk memberikan proteksi atas lahan-lahannya yang selama ini digunakan untuk mendapatkan modal secara ekonomi. Bisa jadi, alih (katakanlah) profesi menjadi Jubeti adalah pilihan yang paling memungkinkan mereka untuk tetap bertahan dijalan.

Anak jalanan yang menjadi Jubeti, adalah bagian dari pilihan rasional sekaligus menjalankan praktik kuasa. Dengan ide yang dimiliknya, mereka mendefinisikan sendiri bahwa belokan adalah lahan anak jalanan dan kuasa atasnya ada di tangannya.

Bagaimana bisa, jalanan sebagai tempat public yang semua warga Negara memiliki hak yang sama untuk mengaksesnya dengan gratis, tiba-tiba ada sekelompok orang (anak jalanan) memungut biaya. Seberapapun anda duduk dengan gagah di dalam mobil anda, ketika berada di belokan atau tikungan anda bisa tunduk pada Jubeti. 

Hanya ada pilihan bagi pengendara kendaraan mobil; pertama, anda ingin cepat-cepat melewati belokan atau tikungan tanpa ada hambatan? Ya, Jubeti dapat membantu anda dengan bayaran +/- Rp 1.000. Kedua, anda melewati belokan atau tikungan tanpa bantuan Jubeti, tapi konsekuensinya adalah anda akan lama berhenti di belokan atau tikungan berhubung banyaknya lalu lalang kendaraan dari arah yang lain. 

Praktik Jubeti ini bukan sekedar persoalan tawar-menawar jasa, akan tetapi anak jalanan masuk pada ruang kuasa. Dimana merekalah yang mendefinisikan kuasanya atas akses public tersebut, hingga ketika pengguna jalan berada di belokan atau tikungan, dengan sendirinya berada dalam ruang kuasa Jubeti tersebut. 

Perlawanan

Adanya stigma yang mendudukkan anak jalanan sebagai masalah social ditambah ketatnya regulasi pemerintah (contoh; Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pembinaan Anak Jalanan (ANJAL), Gelandangan, Pengemis dan Pengamen di Kota Makassar) yang mengharuskan anak jalanan ini untuk meninggalkan wilayahnya, bahkan dengan cara kasar yang di praktikkan oleh Satpol PP.

Dengan instrument itu, bukan berarti anak jalanan akan lari dan meninggalkan wilayahnya begitu saja. Ini bukan soal seberapa efektif tidaknya Perda ini berjalan, akan tetapi fenomena ini adalah lahan bagi kita untuk memahami tentang anak jalanan yang secara cerdas mereposisi diri mereka sebagai Jubeti. Lampu merah yang selama ini ditempati untuk menjual nyanyian, sekalipun mereka di usir dari lampu merah tersebut, sekali lagi, mereka tetap bertahan di belokan dan tikungan sebagai Jubeti dengan konsep kuasanya.

Ketika mereka mereposisi dirinya, ini adalah tahapan perlawanan mereka yang terusir dari wilayahnya. Jadi, praktek pengklaiman di tempat public dan cara mereka mereposisi dirinya hanyalah bagian dari senjatanya orang-orang yang kalah (meminjam istilah James C. Scott). Inilah praktik perlawanan yang dibangun secara diam-diam, dan mungkin saja sebagian dari kita menganggapnya sebagai hal-hal biasa. 

Perlawanan ini adalah tindakan-tindakan apapun yang dilakukan oleh pihak yang kalah atau kelas bawah, yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim yang dibuat oleh kelas atas (Scott, 2000).

Perlawanan sehari-hari yang dijelaskan oleh Scott adalah model perjuangan yang dianggap biasa-biasa saja, namun dilakukan secara terus menerus oleh kelompok yang dianggap lemah terhadap kelompok kelas atas. Perlawanan ini dimaksudkan sebagai tindakan sehari-hari atau kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan, hingga secara terbuka tidak dapat kita ketahui bahwa sesungguhnya sedang terjadi upaya perlawanan.

Kemungkinan - kemungkinan yang bisa muncul; pertama, perlawanan ini menunjukkan bahwa anak jalanan tetap eksis. Bahwa menjadi Jubeti, bukan berarti menghilangkan identitasnya sebagai anak jalanan. Kedua, perlawanan ini akan berdampak pada bermunculannya kritik atas implementasi perda yang diterbitkan oleh pemerintah, hingga yang menjadi objek kritik atau bahkan hujatan adalah pemerintah itu sendiri. Ketiga, secara simbolik, anak jalanan telah menunjukkan bahwa mereka punya kuasa di belokan dan tikungan. Hingga, jalanan yang dipahami sebagai milik public menjadi terbantahkan di mata mereka sebagai anak jalanan.***


* Telah dimuat di harian Tribun Timur ; 
http://makassar.tribunnews.com/2013/02/22/reposisi-anak-jalan-ke-jubeti-di-makassar

SHARE THIS POST   

0 komentar :