abu bakar mangun

Kamis, 25 April 2013

Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam

Abdul Moqsith Ghazali

Naskah Pidato Pembaruan Islam di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8 Juli 2011

Darimana penegasan pembaruan pemikiran Islam ini mesti dimulai. Tentu pertama-tama dengan cara membenahi cara pandang kita terhadap al-Qur’an, mengerti pokok-pokok risalah kenabian, lalu mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi khazanah pemikiran dan karya para ulama terdahulu, serta benar dalam mendudukkan akal dan memfungsikannya dalam proses penafsiran wahyu.
Pengantar

Pokok-pokok pembaruan pemikiran Islam penting ditegaskan, karena beberapa hal. Pertama, di tengah situasi zaman yang kian kompleks, kita tak cukup hanya bersandar pada pikiran-pikiran keislaman lama yang sudah tak relevan dengan konteks zaman. Sebab, apa yang dirumuskan ulama terdahulu mungkin telah berhasil memecahkan sejumlah masalah di masa lalu, tapi belum tentu terampil menyelesaikan masalah di masa kini. Al-Qur’an membuat metafor menarik mengenai tak abadinya keberlakuan sesuatu yang lama. Dikisahkan al-Qur’an mengenai perilaku Ashhabul Kahfi (para pemuda yang tertidur lama dalam gua) yang harus menukar koin, karena koin lama sudah tak laku lagi. Belajar dari semangat ijtihad para ulama salaf seperti Imam Syafii, Imam Hanafi, dan lain-lain, kita memerlukan sejumlah pembaruan di berbagai bidang keislaman.

Kedua, di tengah berbagai usaha yang mengerdilkan al-Qur’an, kita membutuhkan cara pandang baru terhadap al-Qur’an. Jika sebagian orang memberikan tekanan yang terlampau kuat pada aspek hukum dalam al-Qur’an, maka kita harus mendalaminya dengan pemahaman utuh tentang wawasan moral-etik al-Qur’an. Tak cukup membaca al-Qur’an sekedar untuk memperoleh kenikmatan kata dan bahasa, kita harus melangkah untuk membuka cakrawala makna. Jika sebagian orang hanya memposisikan al-Qur’an berupa deretan huruf dan aksara, maka kita perlu meletakkan makna al-Qur’an dalam konteks sejarah. Al-Qur’an bukan unit matematis yang statis, melainkan gerak sejarah yang dinamis. Melalui pemahaman terhadap konteks kesejarahan al-Qur’an (asbab nuzul wa waqi’iyyah al-Qur’an) itu, kita menjadi tahu bahwa al-Qur’an tak boleh dilucuti dari aspek kultural-sosialnya. Di sinilah kita membutuhkan bukan hanya tafsir baru al-Qur’an, melainkan juga metodologi baru dalam memahami al-Qur’an.

Ketiga, sejumlah orang hendak menjadikan Islam sebagai ladang persemaian diskriminasi dan dehumanisasi. Kita menyaksikan kian tingginya diskriminsi terhadap perempuan, misalnya. Padahal, terang benderang bahwa diskriminasi berbasis kelamin adalah tidak adil, karena seseorang tak pernah bisa memilih lahir dengan kelamin apa--laki-laki atau perempuan. Namun, sebagian orang tetap berpendirian bahwa perempuan adalah manusia tak sempurna; separuh diri perempuan adalah manusia, dan separuhnya yang lain merupakan setan yang mengganggu keimanan laki-laki. Pandangan misoginis ini menghuni sebagian pikiran umat Islam, dulu dan sekarang.

Diskriminasi dan intimidasi juga mengarah pada kelompok minoritas; sekte minoritas dan agama minoritas. Sekelompok orang yang mengatasnamakan sekte mayoritas dan agama mayoritas di negeri ini suka menempuh jalan kekerasan. Dan kekerasan itu terus meluas dengan kecepatan api membakar hutan. Sejauh yang bisa dipantau, kekerasan atas nama agama yang kerap terjadi di Indonesia bukan penghukuman terhadap orang yang bersalah, tapi lebih merupakan pembantaian terhadap mereka yang tak berdaya. Bahkan, kecenderungan untuk saling mengkafirkan di internal Islam makin kuat. Di mana-mana bermunculan “teologi pemusyrikan”, “teologi pengkafiran”, “teologi penyesatan” terhadap umat Islam lain. Dari teologi seperti ini, maka meletuslah misalnya peristiwa Cikeusik Banten. Di Cikeusik, kematian datang sebagai manifestasi keberingasan tafsir agama. Dalam kaitan itu, kita perlu menyusun teologi yang inklusif-pluralis, bukan yang diskriminatif dan intimidatif.

Keempat, “perang” telah mendominasi diskursus umat Islam belakangan. Bahwa pedang harus dihunus dan pistol segera ditembakkan pada orang-orang yang sudah didefinisikan menyimpang dan memusuhi Allah. Frase “murka dan kemarahan Allah” (ghadlab Allah) yang ada dalam Islam digunakan untuk membenarkan metode perang seperti pembunuhan massal dan terorisme. Pandangan seperti ini sekalipun digali dari khazanah keislaman klasik, saatnya diperbaharui kembali. Sebab, Islam sejatinya tak menghalalkan pembantaian. Kita tak menyalahkan kucing karena memakan tikus, atau anjing karena menyerang kucing. Kita mempertanyakan manusia yang memancung manusia lain. Manusia adalah maha karya Allah. Dan Allah menghargai manusia begitu rupa (wa laqad karramna bani Adam). 

Pertanyaannya darimana penegasan pembaruan pemikiran Islam ini mesti dimulai. Tentu pertama-tama dengan cara membenahi cara pandang kita terhadap al-Qur’an, mengerti pokok-pokok risalah kenabian, lalu mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi khazanah pemikiran dan karya para ulama terdahulu, serta benar dalam mendudukkan akal dan memfungsikannya dalam proses penafsiran wahyu. 

Pokok Al-Qur’an 

Al-Qur’an adalah wahyu Allah. Ia memang berbahasa Arab, tapi yakinlah bahwa ia tak memiliki hubungan kepemilikan dengan orang Arab. Al-Qur’an tak identik dengan etnik Arab. Bahasa Arab dipinjam Allah untuk memudahkan percakapan antara Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril. Allah sudah berjanji dalam al-Qur’an bahwa Ia tak akan pernah mengirimkan pesan wahyu kecuali dengan bahasa manusia (seorang nabi) yang kepadanya ia diwahyukan. Melalui bahasa lokal Arab yang partikular itu, Nabi Muhammad bisa mengerti pesan universal al-Qur’an. Dan kita yang hidup sekarang pun bisa ambil bagian dari proses pemaknaan al-Qur’an.

Bentuk teks al-Qur’an telah sempurna, tapi ketahuilah bahwa maknanya tetap cair. Tak ada interpretasi final terhadap al-Qur’an. Bahkan, salah satu sumber kebesaran Islam adalah dimungkinkannya keberagaman pemaknaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Satu ayat ketika sampai pada orang berbeda selalu terbuka peluang bagi lahirnya produk tafsir yang berbeda. Itu sebabnya dalam literatur tafsir dikenal beragam jenis tafsir, yaitu tafsir ‘ilmi (tafsir yang berbasis pada temuan sains), tafsir fiqhi (tafsir berbasis hukum), tafsir adabi (tafsir bercorak sastra), tafsir ijtima’i (tafsir berwatak sosial), dan tafsir sufi (tafsir dengan sentuhan pengalaman spiritual). Dengan perkataan lain, ada tafsir yang berfokus pada tata bahasa, latar belakang sejarah, implikasi juridis, ajaran teologis, pendidikan moral, makna alegoris, dan seterusnya. Menariknya, tafsir generasi yang satu bersifat independen, tak bergantung pada tafsir generasi lainnya.

Kekayaan bahasa dan keindahan diksi al-Qur’an memungkinkan kita untuk menginvestigasi makna-makna al-Qur’an. Jika jurisprudensi hukum Islam fokus pada elaborasi sistematis ajaran-ajaran al-Qur’an mengenai perbuatan badani manusia (af’al al-mukallafin), maka tasawwuf bergerak pada wicara batin nurani manusia. Sementara teologi berkutat pada bagaimana merumuskan dan mengkonseptualisasikan Tuhan seperti yang dipahami melalui teks-teks al-Qur’an. Para ulama, dari dulu hingga sekarang, terus mencurahkan seluruh kehidupannya untuk memahami al-Qur’an. Di ruangan kecil al-Qur’an itu, 30 Juz, para penafsir berhimpitan untuk menembus “batas” pengertian al-Qur’an. 

Penelusuran makna dan kerja menafsirkan al-Qur’an seperti itu merupakan cara manusia untuk berpartisipasi dalam Firman Tuhan. Bentuk partsipasi paling bertanggung jawab dalam memaknai al-Qur’an adalah dengan mengkerangkakannya ke dalam sebuah bangunan metodologi. Para ulama terdahulu telah menyusun sejumlah metodologi untuk menafsirkan al-Qur’an. Namun, berbagai pihak menilai bahwa metodologi yang disuguhkan para ulama terdahulu terlampau rumit, sehingga tak mudah diakses banyak orang. Persyaratan-persyaratan kebahasaan dan kemestian-kemestian gramatikal yang ditetapkan para ulama ushul fikih dalam menafsirkan al-Qur’an misalnya menimbulkan perasaan minder umat Islam ketika berhadapan dengan al-Qur’an.

Kita memerlukan metodologi sederhana dan ringkas dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga penafsiran al-Qur’an bisa dilakukan banyak orang. Misalnya, penting diketahui bahwa Qur’an yang terdiri dari ribuan ayat, ratusan surat, puluhan fokus perhatian, sekiranya dikategorisasikan hanya terdiri dari dua jenis. Pertama, ayat fondasional (ushul al-qur’an). Masuk dalam jenis kategori pertama ini adalah ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid, cinta-kasih, penegakan keadilan, dukungan terhadap pluralisme, perlindungan terhadap kelompok minoritas serta yang tertindas. Saya berpendirian bahwa ayat fondasional seperti itu tak boleh disuspendir dan dihapuskan. Meminjam sebuah peribahasa, ayat ushul tak akan lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Ia bersifat abadi dan lintas batas--batas etnis juga agama. Tak ada agama yang datang kecuali untuk mengusung pokok-pokok ajaran fondasional itu.

Kedua, ayat partikular (fushul al-Qur’an). Ayat al-Qur’an yang tergabung dalam jaringan ayat partikular adalah ayat yang hidup dalam sebuah konteks spesifik. Sejumlah pemikir Islam memasukkan ayat jilbab, aurat perempuan, waris, potong tangan, qisas, ke dalam kategori ayat fushul. Tahu bahwa ayat itu bersifat partikular-kontekstual, maka umat Islam seharusnya tak perlu bersikeras untuk memformalisasikannya dalam sebuah perangkat undang-undang. Sebab, yang dituju dari sanksi-sanksi hukum dalam al-Qur’an misalnya adalah untuk menjerakan (zawajir), bukan yang lain. Yang menjadi perhatian kita adalah tujuan hukum dan bukan hurufnya [al-‘ibrah bi al-maqashid al-syar’iyah la bi al-huruf al-hija’iyyah]. Jika dengan hukum penjara, tujuan hukum sudah tercapai, maka kita tak perlu untuk kembali ke bentuk hukum lama. 

Ketika belajar kitab fikih di pesantren, saya tahu bahwa bab yang paling jarang dikunjungi para ustadz dan santri yang mengaji adalah bab tentang hukum pidana Islam (bab al-jinayat). Mungkin para ustadz itu telah menyadari bahwa sebagian besar hukum pidana Islam sudah tak cocok dengan kondisi sekarang. Ormas besar Islam Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah pun tak pernah mengusulkan pemberlakuan hukum pidana Islam. Mereka tahu bahwa kita sudah hidup di abad 21. Semangat zaman telah memaksa kita untuk meninggalkan sanksi-sanksi hukum primitif yang brutal seperti hukum pancung, dan lain-lain. 

Kategorisasi ayat seperti itu kiranya bisa membantu umat Islam dalam memahami pesan dasar al-Qur’an. Bahwa dalam al-Qur’an, ada ayat yang tetap-tak berubah (al-tsawabit) dan ada ayat yang maknanya sangat kontekstual; tidak tetap dan lentur (al-mutaghayyirat). Yang tetap, kita dogma-statiskan. Sementara, terhadap yang al-mutaghayyirat, kita dinamisasi dan kontekstualisasikan. Di lingkungan para pengkaji Islam, upaya itu dikenal dengan istilah “tatsbit al-tsawabit wa taghyir al-mutaghayyirat”. Dengan perkataan lain, kita tak boleh mendogmakan yang kontekstual, dan mengkontekstualkan yang tak tetap (tatsbit al-mutaghayyirat wa taghyir al-tsawabit). 

Risalah Kenabian

Umat Islam diperintahkan membaca dua kalimah Syahadat. Syahadat pertama (asyhadu an la ilaha illa Allah) adalah syahadat primordial. Yaitu janji awal kita untuk bertuhan hanya kepada Allah Yang Esa, bukan kepada yang lain, sebagaimana dipaparkan ayat “alastu bi rabbikum qalu bala syahidna”. Sementara syahadat kedua (wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah) adalah syahadat komunal. Pada syahadat pertama, umat Islam dengan umat agama lain bisa berjumpa. Sementara, pada syahadat kedua, umat Islam dengan umat agama lain bisa berpisah. Itu berarti kita tak bisa memaksa umat agama lain agar meyakini dan mengakui kenabian Muhammad SAW dan meyakini detail syariat yang dibawanya. Bagi saya, soal mengakui atau tak mengakui kenabian dan detail syariat Muhammad SAW lebih merupakan soal mereka, dan bukan soal kita (umat Islam). 

Namun, ingatlah bahwa Islam adalah agama yang sangat terbuka. Dalam hadits Nabi yang kemudian menjadi dasar penetapan rukun iman, umat Islam diperintahkan untuk mengimani seluruh nabi-nabi dan utusan Allah. Sejumlah riwayat menuturkan bahwa tak kurang dari 124 ribu nabi yang dikirim Allah dan 313 rasul yang diutus ke bumi. Jika tak bisa mengetahui seluruh rasul Allah, umat Islam diperintahkan untuk mengimani 25 rasul yang nama-namanya sudah tercantum dalam al-Qur’an. Rasulullah diperintahkan untuk berkata, “aku bukanlah yang pertama dari deretan rasul-rasul Allah” (ma kuntu bid’an min al-rusul). Nabi Muhammad hanya salah satu dari ribuan nabi-nabi itu.

Sebagian ajaran yang dibawa Nabi Muhammad ada yang baru, dan sebagiannya yang lain lebih merupakan pengembangan dan modifikasi dari ajaran para nabi sebelumnya. Allah berfirman, “inna hadza lafi al-shuhuf al-ula shuhuf Ibrahim wa Musa” [sesungguhnya pokok-pokok ajaran moral al-Qur’an sudah ada dalam mushaf-mushaf yang pertama, yaitu Mushaf Nabi Ibrahim dan Mushaf Nabi Musa]. Jika kita ringkaskan, risalah kenabian yang dibawa Nabi Muhammad (mungkin juga para nabi lain) adalah sebagai berikut:

Pertama, risalah kenabian adalah risalah tauhid, bukan risalah syirik. Semua nabi, termasuk Nabi Muhammad, membawa ajaran tauhid. Bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Allah Yang Esa. Tetapi, yang problematik selalu pada tingkat konseptualisasinya. Yahudi, Kristen, dan Islam berbeda dalam merumuskan soal ke-Esa-an Allah. Di internal Islam sendiri terdapat perbedaan amat tajam antara Mu’tazilah, Asy’ariyah, juga Maturidiyah dalam menjelaskan Esanya Allah. Bahkan, Imam Asy’ari (peletak dasar teologi Sunni) dan Asya’irah (pengikut Imam Asy’ari) berbeda pandangan dalam menjelaskan sifat dan dzat Allah.

Saya meyakini bahwa Allah Yang Esa dan Yang Mutlak tak mungkin dijelaskan oleh manusia yang relatif. Karena itu, diperlukan kerendah-hatian dari setiap manusia untuk tak mengabsolutkan konsep ketuhanannya. Kita mesti belajar untuk tak jadi manusia yang menganggap diri selalu benar. Amat berbahaya sekiranya setiap orang mengklaim bahwa rumus ketuhanan versi dirinya adalah yang paling benar. Itu bukan hanya menunjukkan kepongahan si perumus, melainkan juga telah mengecilkan kebesaran Allah yang tak berhingga itu. Definisi manusia tentang Allah Yang Esa sesungguhnya lebih merupakan fantasi dan imajinasi manusia tentang Yang Esa, dan bukan Yang Esa itu sendiri. Bagi saya, Tuhan Yang Esa tetaplah Allah yang tak terungkap dan tak terjelaskan (kanzan makhfiyan). Gabungan konsep ketuhanan tak mungkin bisa menembus tirai kegaiban ketuhanan.

Kedua, risalah kenabian adalah risalah kemanusiaan, bukan risalah pembantaian. Setiap nabi lahir untuk menegaskan pentingnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu poin dalam Khutbah Wada’ Nabi Muhammad yang terkenal itu adalah penegasannya untuk menghargai manusia. Ia berkata, inna dima’akum wa amwalakum wa a’radlakum haramun ‘alaikum kahurmati yawmikum hadza wa baladikum hadza wa syahrikum hadza. Tak boleh ada darah yang tumpah serta martabat yang ternoda. Karena itu, saya tak mengerti jika ada sekelompok orang yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad tiba-tiba membantai pengikut Nabi Muhammad yang lain. Tak ada alasan jihad fisabilillah dibalik rentetan kekerasan atas nama agama di Indonesia.

Jihad disyariatkan untuk merawat kehidupan bukan untuk menyongsong kematian. Zainuddin al-Malibari menegaskan bahwa membantu sandang, pangan, dan papan orang miskin adalah bagian dari jihad. Jamal al-Banna, pemikr Islam dari Mesir, dalam bukunya al-Jihad mengatakan, anna al-jihad al-yawm laysa huwa an namuta fi sabilillah wa lakin an nahya fi sabilillah (jihad hari ini bukan untuk mati di jalan Allah, melainkan untuk hidup di jalan Allah). Dengan perkataan lain, jihad adalah tindakan menghidupkan dan bukan mematikan. Al-Qur’an menegaskan bahwa barang siapa membunuh satu jiwa sama dengan membunuh semua jiwa. Dan barang siapa menghidupkan satu jiwa, sama dengan menghidupkan semua jiwa. Itulah sendi ajaran Islam yang menjunjung kemanusiaan. Tuhan menciptakan manusia secara berbeda-beda agar mereka saling mengakui dan memahami (li ta’arafu), bukan untuk saling membasmi. 

Perbedaan keyakinan dan agama pun bukan alasan untuk merendahkan kemanusiaan seseorang. Apalagi untuk membunuh. Sebab, soal keyakinan adalah soal individual antara manusia dengan Tuhannya. Dan Allah memberi kebebasan penuh bagi manusia untuk memilih suatu agama atau keyakinan. La ikraha fi al-din (tak ada paksaan dalam soal agama). Dengan demikian, orang yang membunuh umat agama lain hanya karena soal perbedaan agama sesungguhnya telah melanggar risalah kemanusiaan yang dibawa Nabi Muhammad. Sejarah menunjukkan hubungan harmonis antara Nabi Muhammad dengan para tokoh agama lain. Mulai dari kebiasaan tukar menukar hadiah antara Nabi Muhammad dan Muqauqis (raja Iskandariah Mesir) yang Kristen sampai kepada keikutsertaan Mukhairiq (tokoh Yahudi Madinah) dalam Perang Uhud bersama Nabi. Bahkan, dalam al-Qur’an ada pengkuan bahwa orang yang paling enak dijadikan sebagai sahabat atau teman adalah orang-orang Nashrani. [wa latajidanna aqrabahum mawaddatan li alladzina amanu alladzina qalu inna nashara]. 

Ketiga, traktat kenabian adalah traktat etik dan bukan traktat politik. Said al-Asmawi berkata bahwa Allah menghendaki Islam sebagai agama, tapi para pemeluknyalah yang membelokkannya menjadi politik-siyasah [inna Allah arada al-Islam diynan wa arada bihi al-nas an yakuna siyasatan]. Itu sebabnya tak ada perintah eksplisit dalam al-Qur’an agar Nabi Muhammad mendirikan sebuah negara. Tak ada cetak biru pemerintahan dalam Islam. Nabi Muhammad melalui hadits-haditsnya tak juga mengintroduksi jenis pemerintahan tertentu. Pengelolaan pemerintahan Madinah adalah improvisasi politik sementara Nabi Muhammad ketika pengaturan jenis pemerintahan yang ideal dan efektif belum ditemukan. Sebab, untuk urusan duniawi, dengan terus terang Nabi Muhammad mengaku ketak-cakapan dirinya. Nabi bersabda, “antum a’lamu minni bi umuri duniyakum” [engkau lebih tahu tentang urusan duniawi kalian].

Dengan demikian, berdirinya negara Indonesia yang berjangkar pada Pancasila dan UUD 1945 tak bertentangan dengan risalah kenabian. Indonesia memang tak dirancang sebagai negara Islam. Tapi, bukankah di negara ini, umat Islam bebas menjalankan ajaran agama Islam. Tak pernah ada halangan bagi umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam. Umat Islam boleh melaksanakan shalat; dimana saja, kapan saja, dan berapa saja. Mau puasa sepanjang masa, tak dilarang. Umrah berkali-kali juga boleh. Memakai jilbab, berjenggot lebat, bercelana di atas tumit, pun tak ada hambatan. Kebebasan umat Islam dalam menjalankan ajaran agama bahkan tafsir-tafsir keagamaan ini menyebabkan tak dibutuhkannya upaya formalisasi syariat Islam. Memformalisasikan ajaran yang sudah hidup dan lama terpraktekkan dalam masyarakat adalah buang-buang energi dan tindakan sia-sia.

Sikap terhadap Karya Lampau

Umat Islam selalu menunjukkan keterkaitannya pada masa lalu. Tumpukan kitab kuning peninggalan intelektual ulama terdahulu tak susut bahkan makin meninggi di lembaga-lembaga pendidikan Islam Indonesia. Pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-din di Indonesia intensif mengajarkan, juga mendiskusikan, hasil karya para ulama salaf. Kreasi intelektual para ulama klasik itu telah menjadi sokoguru intelektual ulama Indonesia, dari dulu hingga sekarang. Bahkan, keulamaan seseorang belakangan amat ditentukan apakah yang bersangkutan memiliki kemampuan mengakses kitab kuning atau tidak. Secara berseloroh, sebagian teman berkata; sekiranya di rak buku seseorang kita temukan jejeran kitab kuning, maka pastilah ia seorang ulama. Sebaliknya, jika lemari buku seseorang penuh dengan “kitab putih”, maka yang bersangkutan tak mungkin disebut ulama.

Pertanyaannya, bagaimana seharusnya kita memperlakukan khazanah keislaman klasik itu? Pertama-tama, mestilah disadari bahwa sebuah karya intelektual tak lahir dari ruang kosong. Ia muncul dari sebuah konteks. Konteks keindonesiaan kita hari ini tak sama dengan konteks ketika karya ulama salaf itu disusun. Karena itu, tak bijaksana kalau kita terus memobilisasi pandangan keislaman lama yang tak relevan untuk memecahkan problem masa kini. Kita tak mungkin mengcopy pemikiran-pemikiran lampau yang berlangsung di kawasan Timur Tengah untuk diterapkan di Indonesia, tanpa proses kontekstualisasi bahkan modifikasi. Yang bisa kita lakukan adalah menangkap spiritnya dan tak melulu memperhatikan teksnya.

Karya para ulama klasik bukan wahyu, melainkan tafsir atas wahyu. Ia merupakan produk ijtihad. Persoalan siapa yang merumuskannya, untuk kepentingan apa, dalam kondisi sosial yang bagaimana dirumuskan, serta lokus geografis seperti apa, dengan epistemologi apa akan cukup besar pengaruhnya dalam proses pembentukan sebuah karya. Karena itu seharusnya kita meletakkan sebuah pemikiran dalam susunan konfigurasinya saat pemikiran itu diproduksi di satu sisi, dan dalam konteks epistemologisnya di sisi lain. Mengetahui konteks-konteks tersebut bukan hanya penting bagi pengayaan pengetahuan sejarah sosial suatu pemikiran, melainkan juga berguna untuk kebutuhan kontekstualisasi pemikiran lama atau bahkan penyusunan pemikiran keislaman baru, yaitu jenis pemikiran yang bertumpu pada problem-problem kemanusiaan dan kondisi obyektif masyarakat Indonesia. 

Kedua, kita mesti memilah-milih antara teks yang relevan dan yang tak relevan. Kita tak bisa mengawetkan tafsir-tafsir lama yang cenderung menistakan perempuan dan umat agama lain. Kita tak mungkin mempertahankan pandangan ulama yang melarang perempuan menjadi pejabat publik atau menghalalkan penumpahan darah umat agama lain. Tafsir yang demikian tak boleh mendominasi percakapan intelektual kita hari ini. Betapun canggihnya sebuah pemikiran jika berujung pada tindak kekerasan, maka ia batal dengan sendirinya. Karena itu, sekiranya mungkin, kita perlu mencari tafsir lama lain yang lebih mengapresiasi perempuan dan menghargai umat lain. Jika tak mungkin, kita seharusnya memproduksi tafsir baru yang memanusiakan kaum perempuan dan menghargai umat non-Muslim. 

Sementara pandangan lama yang masih relevan dan masih bisa kita resepsi untuk memuluskan jalan bagi dialog dan kerja sama agama-agama di Indonesia di antaranya adalah pandangan Muhyiddin Ibn Arabi. Ketika para ahli fikih bersilang-sengketa mengenai kedudukan non-Muslim di negeri mayoritas Muslim, Ibn Arabi melangkah jauh dengan mengintroduksi agama cinta. Perbedaan-perbedaan di ranah eksoterik fikih ini luluh dalam agama cinta Ibn Arabi. Salah satu deretan bait puisinya adalah:

Aku pernah menyangkal sahabatku
karena agamaku tak sama dengan agamanya

(Kini) hatiku telah terbuka
Menerima semua bentuk (agama)
Padang rumput bagi rusa,
Rumah untuk berhala-berhala

Gereja bagi para pendeta,
Ka`bah untuk orang tawaf
Papan-papan Taurat
Lembar-lembar Qur’an

Aku mereguk agama cinta
Kemana pun dia menuju
Cinta kepada-Nya
adalah agama dan keyakinanku

Lewat tasawwuf-falsafinya, Ibn Arab membuka tirai dan menghapus sekat di antara para pemeluk agama yang berbeda. Sebagaimana Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi menyuarakan pendapat serupa. Bahwa visi pokok ajaran agama adalah cinta dan kasih. Kerap diceritakan bahwa di antara murid-murid Rumi terdapat orang-orang Nashrani dan Yahudi. Apa yang dirintis Ibn Arabi dan dilakukan Rumi adalah jalan untuk menampilkan keramahan agama. Itu senafas dengan teks agama yang menggambarkan ketak-terbatasan rahmat dan kasing sayang Allah. Teks itu berbunyi, ”wa rahmati wasi’at kulla sya’in” [sesungguhnya kasih sayang-Ku melampaui semua hal]. 

Introduksi agama cinta di saat kekerasan datang bertubi-tubi adalah oasis. Kita ingin mengembalikan Islam kepada semangat dan khittah awalnya sebagai agama cinta bukan agama prasangka. Agama yang terus-menerus dikampanyekan dengan jalan teror dan kekerasan akan kehilangan simpati dari pemeluk agama itu, apalagi dari orang lain. Sementara agama yang direklamekan dengan cinta, maka ia akan mengundang selera. 
Sejarah agama-agama menunjukkan perihal naik dan turunnya pamor satu agama. Bahkan, ada agama yang telah ribuan tahun hidup kemudian sirna ilang kerta ning bumi. Pasti ada banyak faktor kenapa agama-agama itu tak lagi diminati dan tak dipilih masyarakat. Di samping karena ketidak-mampuan agama untuk beradaptasi dan bernegosiasi dengan lingkungan sosial baru, faktor para juru kampanye yang suka menebar tafsir kebencian dan menghalalkan kekerasan akan turut memerosokkan reputasi agama itu. 

Islam telah berumur 1500-an tahun. Ia akan tetap abadi dan diminati sekiranya ditopang dengan tafsir-tafsir keislaman yang pro-perdamaian, bukan pro-kekerasan. Tafsir-tafsir lama yang pro-kekerasan dan tak menghargai nilai-nilai kemanusiaan tak mungkin kita lestarikan. Namun, tafsir-tafsir terdahulu yang pro-perdamaian pastilah akan tetap berguna buat tegaknya Islam yang ramahtan lil alamin. Terhadap karya ulama terdahulu yang pro-pluralisme dan perdamaian, berlaku kaidah, ”al-Muhafadlah ’ala al-qadim al-shalih wa al-alkhdzu bi al-jadid al-ashlah” [memelihara yang lama yang masih maslahat dan mengambil yang baru yang lebih maslahat].

Posisi Akal 

Ajaran Islam tak ditujukan kepada anak-anak, melainkan kepada manusia dewasa yang memiliki kemampuan rasional utuh. Dengan akalnya manusia bisa menentukan yang baik dan yang tidak. Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi pernah berkata, “Wahai saudara, engkau adalah pikiran itu sendiri, dirimu selebihnya bukanlah apa-apa kecuali otot dan tulang”. Menurut Ibnu Bajjah, berfikir adalah fungsi tertinggi manusia. Berfikir akan mengantarkan manusia berjumpa dengan Tuhan sebagai Sang Akal Aktif. Ibnu Thufail dalam novel filsafatnya, Hayy ibn Yaqzhan, mengisahkan seorang anak yang dibuang ke pulang kosong. Ia diasuh hewan dan dididik alam. Di tengah rimba itu, dengan akalnya yang masih berfungsi, ia bisa berfilsafat dan berteologi, dan akhirnya bisa menyatu dengan Tuhan. Apa yang dikatakan para filosof itu paralel dengan apa yang ditegaskan al-Qur’an. Bahwa Allah telah mengilhamkan kepada manusia suatu kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk [faalhamaha fujuraha wa taqwaha]. 

Akal yang dimiliki manusia merupakan anugerah Allah paling berharga. Ia tak hanya berguna untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang yang baik dan yang buruk, tapi juga untuk menafsirkan kitab suci. Tanpa akal, kitab suci tak mungkin bisa dipahami. Menurut Ibn Rushd, dalam agama, akal berfungsi untuk menakwilkan kitab suci ketika teks kitab suci tak bisa dikunyah akal sehat. Sebuah hadits menyebutkan, “al-din aql la dina li man la aqla lahu” [agama itu adalah akal, tak ada agama bagi orang yang tak berakal]. Maka benar ketika para ulama menyepakati bahwa kebebasan berfikir (hifdzl al-‘aql) termasuk salah satu pokok ajaran Islam (maqashid al-syariah). Dengan demikian seharusnya Islam lekat dengan kebebasan berfikir. Imam Syafii konon pernah ditanya salah seorang muridnya tentang tafsir agama yang bertentangaan dengan akal, maka Imam Syafii memerintahkan untuk mengikuti petunjuk akal, karena akal punya kemampuan untuk menangkap kebenaran. 

Problemnya, kita menghadapi fenomena dan kecenderungan untuk mendisfungsikan peran dan kemampuan akal. Fenomena ini bisa dilihat dari dua hal. Pertama, bermunculannya berbagai fatwa keagamaan yang membingungkan umat menunjukkan betapa tak berfungsinya akal. Mulai dari haramnya perempuan menyetir mobil, legalisasi perbudakan perempuan, hingga tak dibolehkannya rebonding. Dalam kasus-kasus seperti ini, akal tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan hukum. Menurut mereka, manusia yang hanya mengandalkan akal sembari mengabaikan petunjuk tekstual-skriptural wahyu tak akan menjadi manusia yang baik. Sonder petunjuk abjad dan titik koma wahyu, tindakan manusia menjadi tak terkontrol, hidup permisif, sehingga yang akan muncul adalah sejumlah kekacauan dan kesemrautan di tengah masyarakat. 

Kedua, pada saat yang bersamaan, diciptakanlah sejumlah lembaga keagamaan yang berfungsi untuk menghukum orang-orang yang dianggap menggunakan akal secara overdosis. Institusi ini diberi kewenangan memvonis bahwa seseorang telah menyimpang atau keluar dari Islam. Sejumlah intelelektual Muslim mendapatkan vonis sesat-menyesatkan dan kafir dari lembaga-lembaga tersebut. Ujungnya adalah penghalalan darah yang bersangkutan. Naif, jika di negeri-negeri lain orang berlomba-lomba untuk menggunakan akal pikiran, maka di negeri-negeri Muslim, orang-orang masih berlomba untuk mengkafirkan mereka yang menggunakan pikiran. Ramainya pengafiran disaat orang lain menggunakan pikirannya tampaknya mendorong Nashr Hamid Abu Zaid untuk menulis buku al-Tafkir fi Zaman al-Takfir. 

Banyak orang yang kini tak berani menggunakan akal pikiran ketika berhadapan dengan pemikiran keagamaan. Padahal, wahyu al-Qur’an terus menantang manusia untuk mendayagukanakan akalnya dengan berbagai jenis ungkapan seperti afala ta’qilun (apakah kalian tidak berfikir), afala tatadabbarun (apakah kalian tidak merenung), afala yandhurun (apakah mereka tidak melihat dengan seksama), dan lain-lain. Dalam ushul fikih, akal diberi kesempatan untuk mensortir dan menyeleksi hukum dalam Islam, yang dikenal dengan takhsish bi al-a’ql, taqyid bi al-aql, tabyin bi al-‘aql. Akal diberi otoritas untuk menjelaskan ajaran yang samar, membatasi keberlakuan hukum yang terlampau umum, mengeksplisitkan sesuatu yang tersembunyi (implisit) dalam wahyu. 

Dengan demikian, wahyu dan akal mestinya saling mempersyaratkan. Yang satu tak menegasi yang lain bahkan saling mengafirmasi. Akal akan turut memperkaya wawasan etik wahyu. Sementara wahyu potensial mengafirmasi temuan kebenaran dari akal. Akal merupakan subyek yang aktif dalam mendinamisasikan gugusan ide-ide ketuhanan dalam wahyu. Sementara wahyu adalah tambang yang bisa digali terus-menerus oleh akal manusia. Dengan perangkat akal yang dimilikinya, manusia kemudian tak hanya berfungsi sebagai hamba Allah (‘abdullah) melainkan juga sebagai khalifah Allah di bumi. 

Kalau kita percaya pada kisah purba agama, begitu pentingnya kedudukan manusia sebagai makhluk yang berakal budi di sisi Allah, sampai-sampai Allah tak mempedulikan sejumlah kritik para malaikat yang menolak penciptaan manusia. Allah mengacuhkan keberatan malaikat atas diciptakannya Adam. Allah tetap menciptakan manusia bahkan memikulkan amanat kepadanya. Kepercayaan Allah dan pemberian amanat kepada manusia ini bukan tanpa alasan. Sekiranya wahyu Allah tak sampai kepada sekelompok manusia, maka Allah telah menyiapkan piranti lunak berupa nurani dan akal budi yang berfungsi sebagai suluh penerang dan penunjuk jalan. Allah tak akan membebankan kewajiban syariat dan memberikan hak kepada manusia jika manusia hanya berupa daging, tulang, dan darah. Dengan nurani dan akal budi yang melekat pada dirinya, maka manusia pantas memilikul amanat dari Tuhannya.[]

Jakarta, 8 Juli 2011

Sumber Bacaan

Abd Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Jakarta: KataKita, 2009.

---------- (ed.), Ijtihad Islam Liberal, Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL): 2006

Abi Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’at, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005.

Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Pustaka, 2000.

Goenawan Mohamad, Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai, Jakarta: KataKita, 2007.

Ibn Arabi, Dzaha’ir al-A’laq: Syarh Tarjuman al-Asywaq, Kairo: Tanpa penerbit, Tanpa Tahun.

Ibn Hisyam, al-Sirah al-nabawiyah, Beirut-Libanon: Dar al-Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1997.

Ibn Rushd, Fashl al-Maqal Fima Bayna al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, Mesir: Dar al-Ma’arif, Tanpa Tahun.

Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqzhan, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun.

Jamal al-Banna, al-Jihad, Kairo: Dar al-Fikr al-Islami, Tanpa Tahun. 

----------, al-Ta’addudiyah fi Mujtama’ Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-Islami, Tanpa Tahun.

Jawdat Said, La Ikraha fi al-Din, Damaskus: al-‘Ilm wa al-Salam li al-Diarasat wa al-Nashr, 1997.

Najmuddin al-Thufi, Syarh Mukhtashar al-Rawdhah, Kairo:Mathabi’ al-Syarq al-Awshath, 1989.

Nashr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zaman al-Takfir, Kairo: Dar al-Kutub, Tanpa Tahun.

Sachiko Murata & William C. Chittik, The Vision of Islam, Yogyakarta: Suluh Press, 2005.

Said al-Asymawi, al-Islam al-Siyasi, Kairo: Siyna li al-Nasyr, 1992.

Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibbin, Semarang: Thaha Putera, Tanpa Tahun.

SHARE THIS POST   

0 komentar :